Share

SWEET TEMPTATION
SWEET TEMPTATION
Author: Difi

The Blue Eyes

"Good morning, wife," bisik Matheo di telinga Laura sambil memeluknya dari belakang.

Laura berjingkat kaget, hampir saja menjatuhkan spatula yang dipegang. "Berhenti menggodaku Math atau masakan ini tidak akan selesai."

Alih-alih menjauh matheo malah semakin mengeratkan pelukannya dan mulai menciumi leher istrinya. "Aku menginginkanmu sekarang Sayang, karena semalam aku sudah terlalu lelah " 

"Math, please... tidak sekarang, aku harus segera bersiap untuk pergi bekerja," ucap Laura sambil terus meronta dari dekapan pria itu. 

Tapi sepertinya Matheo tak peduli, pria itu langsung membalik tubuhnya kasar, melumat bibirnya tanpa kelembutan sama sekali. Laura ingin membalas gerakan bibir Matheo tapi entah kenapa ciuman mereka tak pernah seirama. Kini tangan Matheo mulai menyingkap gaun satin tipis yang digunakan, dan tidak menemukan penghalang lagi di baliknya. 

Entah sejak kapan pria itu telah meloloskan celananya sendiri. Laura merasa semakin terhimpit ke meja dapur, membuatnya tak bisa menghindar lagi. Dengan kasar Matheo mengangkat sebelah kakinya, lalu tanpa aba-aba pria itu langsung mendorong miliknya kedalam inti gairh Laura yang sama sekali belum siap.

Laura hanya bisa mendesah pasrah, menggigit bibir bawahnya saat merasakan sedikit perih di dalam miliknya. Dia bisa melihat bagaimana Matheo terus bergerak tanpa peduli dengan dirinya, seakan hanya menganggapnya sebuah alat seks yang tak perlu diberi kenikmatan. Selama ini percintaan mereka hanya sekedar untuk memenuhi nafsuu Matheo, tanpa melihat apakah dia juga menikmati atau tidak.

Laura selalu berusaha menikmati saat mereka bercinta, dengan mulai menggoyangkan bagian tubuhnya seperti wanita-wanita penghibur yang pernah dilihatnya di film-film. Tapi nyatanya semua itu akan percuma ketika Matheo telah mendapat pelepasan dan meninggalkannya begitu saja, bahkan saat dia belum merasakan apa-apa.

"Ok Sayang, aku tunggu sarapannya," kata matheo setelah menarik miliknya dan langsung pergi ke kamar mereka.

Laura hanya mendesah pasrah, kembali melanjutkan memasakannya dengan kehampaan yang sudah lama dirasakan. Sudah hampir dua tahun pernikahan mereka, tapi sekalipun Laura tidak pernah mencapai pelepasan saat bercinta dengan suaminya. Sungguh ironis memang, saat seluruh dunia mengatakan rasa bercinta itu bagaikan surga dunia tapi baginya biasa saja.

Laura tidak mengerti apa yang salah di sini, dulu saat masih berpacaran Matheo terlihat seperti laki-laki dengan gairah yang tinggi dan itu akan mengimbangi dirinya yang memang memiliki gairah yang meluap-luap. Tapi setelah menikah semua pemikiran itu hilang, karena saat bercinta Matheo tidak pernah bisa bertahan lebih dari lima menit. Semua itu membuat Laura sangat frustasi, dia selalu berfikir apa tubuhnya kurang menarik sehingga tidak bisa membangkitkan gairah suaminya atau karna masalah umur yang memang beda umur mereka terlampau jauh. Laura yang kini berumur 24 tahun dan matheo yang telah berumur 38 tahun, entahlah, untuk saat ini dia sudah cukup bahagia hanya seperti ini.

"Apakah sarapannya sudah siap?" Pertanyaan Matheo sontak membuyarkan lamunannya.

"Iya," jawab Laura sambil menghidangkan sarapan di atas meja makan. 

Dia ikut duduk di hadapan Matheo, mulai menyantap kentang tumbuk dengan irisan bacon yang tersaji di piringnya.

"Aku baru akan pulang besok," kata Matheo yang langsung membuatnya berhenti mengunyah.

Dia menatap pria itu dengan kening berkerut. "Kenapa? Bukankah acaranya sudah selesei kemarin? kau bilang hanya akan mengurus sisanya saja kan?" 

"Iya, tapi mengurus pembayaran pegawai dan para vendor tidak bisa langsung selesei dalam sehari," jawab Matheo tenang sambil tetap memakan sarapannya.

"Memangnya seberapa banyak pegawai dan vendor yang terlibat hanya dalam acara peresmian sebuah rumah sakit?" bantah Laura.

Terdengar bunyi dentingan sendok yang cukup nyaring diatas piring Matheo. "Please Laura, jangan mulai lagi... percuma aku menjelaskan karna  kau akan tetap merasa benar dengan segala pemikiran pintarmu itu." 

Matheo meninggalkannya begitu saja, terlihat melenggang ke arah ruang depan. Perdebatan mereka memang tak pernah berujung damai, karena Matheo yang selalu pergi sebelum masalah selesai. 

Laura memilih untuk meninggalkan ruang makan, melenggang pergi memasuki kamarnya. Dia harus segera bersiap untuk pergi bekerja pagi ini, melakukan rutinitas yang akan mengalihkan kekesalannya.

==*==

Laura berjalan memasuki Smith Hospital dengan ekspresi tak bersahabat, mengabaikan segala macam sapaan dari para staf di sana. Dia melangkah cepat memasuki ruang prakteknya, mendaratkan pantattnya dengan kasar di kursi kebesarannya. Lagi-lagi hanya helaan nafas lelah yang keluar dari hidungnya, bertepatan dengan seorang perawat yang memasuki ruangannya. 

"Maaf Dok, apa anda tidak mengikuti rapat evaluasi bulanan?" tanya si perawat pirang dengan tubuh berisi.

"Oh shit... Aku benar-benar lupa," pekik Laura sambil menegakkan tubuhnya.

Dia segera berjalan cepat meninggalkan ruangannya, berbelok ke sisi kiri untuk memasuki sebuah lift yang akan membawanya ke lantai teratas. Dia bergerak gelisah di dalam lift tersebut, terus mengetuk-ngetukkan heel sepatunya di lantai sambil menatap angka atas pintu yang terasa begitu lambat.

Ting...

Akhirnya pintu itu terbuka juga, membawa kakinya berlari menuju ruangan di ujung koridor. Berlari kecil agar segera sampai di ruangan rapat. Laura benar-benar mengutuk kakinya yang seakan tidak bisa direm, dan sekarang dia harus berakhir tersungkur di depan para petinggi rumah sakit beserta seluruh jajaran dokter dengan posisi yang sangat memalukan.

"Kabel sialan," umpatnya dalam hati, sudah pasti sekarang seluruh mata diruangan ini sedang menatapinya dengan aneh.

"dr. Walker, are you oke?" tanya seorang pria tua yang menggunakan snelli seperti dirinya

"Im fine," jawab Laura sambil mendongak ke atas masih dengan posisi bersujud,  saat itu lah matanya bertemu dengan iris mata sebiru lautan yang seakan menghipnotisnya. Tapi bukan si mata biru itu yang tadi menanyainya melainkan dr. Robert Brown, kepala devisi spesialis bedah yang sekarang sedang membantunya berdiri.

"Berdirilah dr. Walker," kata dr. Robert sambil memegang lengannya.

"Thank you dr. Brown," jawabnya sambil berdiri dan menepuk sisi roknya yang tidak kotor.

"Silahkan duduk dr. Walker," ucap dr. Robert lagi dan di jawab dengan anggukan oleh Laura. 

Laura berjalan ke kursi untuk jajaran dokter, entah hanya perasaannya saja atau memang benar si mata biru dengan terang-terangan sedang menatapinya dengan tatapan yang sulit diartikan.

'Apa aku terlihat sangat menyedihkan?' gerutunya dalam hati.

"Kau baik-baik saja Laura?" tanya wanita berambut merah di sebelahnya.

"Tadi dr. Brown sudah menanyakannya Mellisa," jawab Laura sambil memutar mata jengah. 

Dia melihat sahabatnya itu terkekeh pelan.

"Who is he?" tanyanya sambil mengarahkan dagunya ke depan.

"Siapa?" Mellisa malah balik bertanya dengan kedua alisnya yang terangkat.

Untuk kedua kalinya Laura memutar matanya, benar-benar jengah dengan sifat sahabatnya yang kadang sangat lemot. "Siapa lagi kalo buka laki-laki si mata biru yang tadi berdiri dengan dr. Brown, memang ada orang asing lain selain dia di ruangan ini?" 

Mellisa hanya membulatkan bibirnya seakan berkata "Ow" tanpa suara.

 "Wait... Tadi kau bilang laki-laki bermata biru, sedetail itukah kau memperhatikannya?" tanya Mellisa sambil menaik turunkan alisnya. 

 

"Lupakan..." jawab Laura cepat, sambil memalingkan wajahnya yang telah berhias rona merah. 

#To be continue....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status