Cadudasa terbangun saat ia merasa ada sengat matahari menerpa wajahnya. Matanya memicing tertimpa cahaya jingga. Dengan kesusahan ia mencoba bangkit dengan rasa nyeri di bagian belakang lehernya, seperti baru dihantam benda keras.
Hal pertama yang ia lihat adalah hamparan gurun pasir di seberang tubuhnya, ada pegunungan yang tidak terlalu besar namun seperti mengepulkan asap terlihat samar di sana. Ia cukup jelas mengenal tempat itu sebagai daerah bebas, area terluar yang menghubungkan perbatasan antara negeri Adighana dan negeri Danta, tempat yang disebut sebagai Gurun Kawah Berapi. Tempat di mana terjadinya pertikaian memalukan di dalam pasukan Adighana saat sedang bersiap melakukan serangan ke negeri Danta empat tahun yang lalu. Namun yang cukup membingungkannya adalah untuk apa ia berada di sini?
Ia mencoba menengok ke arah lain, seorang pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya sedang melepas tenda kecilnya namun ia bisa memastikan dari sorot mata pria ini bahwa ia adalah orang yang tempo hari membawanya dari penjara. Keyakinan ini pula yang membuatnya perlahan berjalan dengan langkah siaga menghampiri pria itu, baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia dihadang oleh seseorang pria paruh baya, yang sangat ia kenal.
“Senang kembali berjumpa, Gusti?”
Cadudasa tentu saja terperanjat kaget, “Haruyan?”
“Jujur, saya minta maaf untuk kejadian tidak mengenakkan di hari terakhir kita berbincang di penjara, dan untuk pengakuan menyebalkan di sidang, serta tentu saja untuk rasa nyeri di sana.” Haruyan menunjuk leher Cadudasa.
“Ya...” Cadudasa berusaha tenang sambil mengusap punggung lehernya, “untuk yang terakhir agak sulit dimaafkan.”
Haruyan tersenyum.
“Tapi kenapa kau melakukan ini? Kenapa ke tempat ini? Dan apa rencana kalian berdua?” Cadudasa mengernyitkan dahi
“Tidak hanya berdua, Gusti..” sebuah suara mengagetkan Cadudasa muncul dari arah belakangnya.
Cadudasa menoleh dan semakin kaget, “Kau?”
“Saya juga meminta maaf atas semua hal yang sudah saya tuduhkan pada Gusti.” Subali, sang pemilik suaran tadi menunduk hormat.
Cadudasa kali ini menghela nafas berat, ribuan pertanyaan dan kebingungan memekik dalam kepalanya. Apalagi setelah ia menoleh ke arah lain lagi, ada keluarga Subali dan keluarga Haruyan juga yang ada di sana sedang merapikan tenda.
Cadudasa semakin ingin meledak kepalanya. “Ada apa ini sebenarnya?”
.................................................................................................................................
“Nama saya Anureksa dari desa Teluk Hulu di Negeri Cayapata, tapi leluhur saya dari negeri Tirtayana..” buka pria yang membawa Cadudasa dari penjara saat ia, Cadudasa, Haruyan, dan Subali dan para keluarga mereka yang terdiri dari istri dan dua anak Subali, serta istri dan tiga anak Haruyan duduk melingkar di dalam kemah.
“Saya dan dua sahabat saya berutang nyawa pada keponakan anda, Gusti, Bayu.”
Air muka Sandanu seketika berubah.
“Ya, atas itulah kami bertiga bersumpah untuk mengabdi padanya. Dua teman saya diperintahkannya untuk menjaga Desa Jalupang, tempat di mana kami bertemu. Namun Desa tersebut dibakar oleh tentara Adighana dan separuh warganya dibunuh! Penjajah!” Anureksa menggeram murka.
Cadudasa, Haruyan, dan Subali serta yang lain terdiam, mereka tahu itu ulah Restu Singgih dan tentaranya.
“Tapi terpujilah Dewa, dua teman saya itu beserta sedikit warga yang selamat berhasil meloloskan diri saat para tentara sedang sibuk membakar dan menjarah isi desa. Mereka mengirimkan saya surat pekan lalu lewat kapal yang bersandar di pelabuhan Adighana.”
Anureksa tersenyum, lalu melanjutkan kisahnya, “saya diperintahkan Bayu untuk mengawasi keadaan anda, Gusti Cadudasa. Dan saya datang di saat yang tepat, saat anda sedang dipaksa ke penjara. Lalu saya mulai mengikuti gerak-gerik keluarga dan orang terdekat anda untuk menentukan langkah berikutnya. Saya melihat bagaimana Gusti Subali dan Gusti Haruyan diintimdasi oleh Senopati Darmendra dan antek-anteknya.”
“Betul..” lanjut Haruyan, “lalu entah bagaimana caranya ia mendatangi saya dan Subali tanpa diketahui oleh pengawasan Darmendra, menanyakan apa sebenarnya yang terjadi, dan kami ceritakanlah semuanya..”
“Bahwa sebenarnya Gusti difitnah oleh Darmendra yang sejak lama tak suka dengan gusti, bahwa tujuan Gusti sebenarnya adalah mengajak saya dan Paman Haruyan untuk menjaga Bayu dari Anarbuana serta menjaga tahta agar tidak dikudeta perlahan oleh Darmendra dengan membuat Putri Paramitha jatuh cinta dan mau menikah dengan Anarbuana.”
“Karena aku tahu Darmendra, aku tau kelicikannya, apalagi semenjak Anarbuana dengan sengaja melemparkan tombak ke arah Bayu di pesta ulang tahun Putri Paramitha saat melihat sang putri diminta oleh Baginda Raja berkenalan dengan Bayu. Dia pasti menganggap bahwa Bayu adalah saingannya seperti halnya Reksa.” Jawab Cadudasa dengan nada sesal.
“Saya mengambil kesimpulan jika kita berada di pihak yang sama, para pembela Bayu. Karena itu kami menyusuh rencana bersama untuk meloloskan Gusti, perlu waktu yang cukup lama untuk itu, termasuk upaya Gusti Subali diam-diam menyisipkan saya menjadi salah satu penjaga sel dengan wewenangnya sebagai kepala pengawal istana. Sementara itu Gusti Haruyan berusaha menjauhkan kami dari intaian para anak buah Darmendra sembari membuat obat tidur dengan dosis besar untuk para penjaga penjara yang lain.”
“Beruntung istri saya seorang perawat..” Haruyan tersenyum.
“Jadi saat persidangan?” Cadudasa merasa ragu dengan asumsinya.
“Jika gusti mengira kami berpura-pura melawan, Gusti benar.” Jawab Subali, “Kami harus membuat Darmendra yakin jika kami berada di pihaknya, kami harus berusaha membuat Darmendra merasa menang sehingga ia tak lagi curiga kepada kami dan mengurangi pengawasan kepada kami, sehingga saat semua orang yakin bahwa Gusti akan dipenggal, kami beraksi.”
“Kalian melakukan ini tanpa bantuan siapapun?” Cadudasa heran
“Kalian melakukan ini tanpa bantuan siapapun?” Cadudasa heran“Harus diakui, Gusti..” kata Subali, “ini adalah rencana yang sangat nekad namun brilian, bisa memperdaya ratusan prajurit dan orang-orang penting di istana itu adalah sebuah hal yang luar biasa.”“Dan sebuah pengalih perhatian yang bagus dari Subali dengan membakar gudang pangan penjara.” tambah Haruyan.“Bagimana dengan keluargaku? Mereka juga tahu?” Ada nada khawatir dari tanya CadudasaHaruyan menggeleng, “yang tahu rencana ini hanya yang ada di sini.”“Tapi itu justru berbahaya bagi mereka dengan aku kabur dari penjara.”“Justru lebih berbahaya lagi jika mereka tahu atau ikut. Tidak ada satupun bukti yang membuat mereka harus dianggap terlibat oleh pihak istana. Mereka pasti tahu bahwa kami yang melakukannya.” Jawab Haruyan yakin, “Lebih menyenangkan mengetahui diri kami bukan orang yang menghianati pejabat baik seperti anda, Gusti.”“Sebenarnya aku sama sekali tak takut jika takdirku harus berakhir di tiang pancung, d
Dua nama yang disebut oleh Anureksa itu lantas menoleh ke arah Anureksa, ada diam yang sempat terjadi di antara mereka sebelum kemudian mereka saling memeluk melepaskan kerinduan antar sesama saudara di antara ketiganya.Sementara itu para penghuni gua yang lain termasuk Cadudasa dan rombongannya terlihat bingung dengan pertemuan tiga orang dewasa itu, sebelum akhirnya Anureksa yang tampaknya telah puas dengan sensasi pertemuan itu menoleh ke arah Cadudasa dan rombongannya“Mereka Kampalu dan Danur, dua sahabat yang saya ceritakan.” Ia lalu menunjuk para rombongan yang bersama Kampalu dan Danur, “dan ini adalah warga yang selamat dari pembantaian di Desa Jalupang.”Cadudasa dan yang lain menyambut dengan senyum tipis ke arah para rombongan yang dibawa oleh Kampalu dan Danur itu.“Mahapatih Cadudasa kah itu?” Kampalu bertanya pada Anureksa.Anureksa mengangguk.“Jadi bagaimana kalian semua bisa kabur dari tentara Restu Singgih hingga kemari?” Haruyan seolah mewakili pertanyaan yang ada
Bayu menatap tajam ke arah Anarbuana dan pasukannya tanpa menjawab sepatah katapun. “Semoga empat tahun yang berlalu tak membuat kau lupa dengan hubungan hangat kita, Bayu.” kata Anarbuana dingin, “Ingat, kau punya hutang yang harus dilunasi.” Bayu mendekati Anarbuana perlahan, ia cukup yakin dengan langkahnya kali ini ketimbang pertarungan terakhir mereka di gelanggang pesta Putri Paramitha. “Lepaskan mereka berdua” kata Bayu, “Mereka tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita.” “Tentu Bayu, “ jawab Anarbuana cepat, “Tapi ini bukan lagi tentang masalah pribadi kita, lebih rumit rasanya. Mari kuperjelas, aku ingin sesuatu yang kau bawa dan aku yakin kau tahu apa yang kumaksud, dan akan kulepaskan dua orang ini lalu kau ikut bersamaku untuk diadili di Adighana bersama Cadudasa.” Bayu agak kaget ketika nama Cadudasa disebut, sudah cukup lama ia tak mendengar kabar orang yang baik itu, “Ada apa dengan Gusti Cadudasa?” “Misi kudetamu dengan kalung dunia kami itu ternyata membu
Anarbuana juga terdiam, ia seperti merasakan ada kekuatan yang besar sedang merayap dalam sorot mata Bayu yang menahan sakit. Mungkin agak sulit dideskripsikan, tapi sebagai seorang salah satu petarung handal, ia tahu persis kalau lawan di depannya kini sama sekali lawan yang berbeda kemampuannya dengan yang ia hadapi beberapa saat yang lalu. Bayu menggenggam tangannya dan menatap tajam ke arah Anarbuana sebelum dengan cepat menyarangkan sebuah tendangan setengan melompat ke arah anak dari Senopati Darmendra itu. Anarbuana menghindar beberapa senti sambil berupaya menangkis dengan tangannya. Ada rasa nyeri hebat yang menjalar di tangannya akibat tangkisan itu meskipun tak ingin ia akui, namun setidaknya itu membuktikan betapa berbahayanya serangan Bayu barusan. Tak menunggu Anarbuana bernafas dengan tenang, kali ini Bayu kembali mengeluarkan tendangan kerasnya kali ini berhasil menghajar pinggul Anarbuana. Pria itu mengerang kesakitan sambil mencoba membalas dengan tendangan tinggi k
Gerimis yang masih betah turun memukul-mukul kilauan pedang maut macan bulan disertai sambaran kilat di atas langit malam yang menambah kesan seram dari apa yang akan dilakukan Anarbuana. Para prajurit menantikan puncak serangan Anarbuana dengan tegang, mereka tahu jika Bayu tak akan selamat dari serangan itu kali ini. Pun begitu pula yang dirasakan oleh Sutha dan Rukmana yang semakin tak nyaman firasatnya. Dalam cara berdirinya yang tidak sempurna itu, Bayu masih sempat melihat gerakan ancang-ancang dari Anarbuana. Bersamaan dengan itu ia merasa ada getaran yang berasal dari ransel kecil yang sedari tadi menempel di punggungnya, tempat di mana ia menyimpan kalung Gajahsora. Dalam upayanya menahan sakit, pusing, dan sesak di dada karena serangan Anarbuana, ia masih bisa menerka jika ada yang tidak beres yang akan terjadi. Anarbuana berjalan dengan sikap siap menyerang, ketika Bayu merasakan ranselnya semakin bergetar hebat. Ia tahu ia tak akan bisa menghindar atau menangkis serangan
Di dalam gua kawah berapi yang lebar dan besar itu nampak seorang pria tua dikelilingi oleh puluhan orang yang terdiri dari orang dewasa, pria, wanita, remaja, anak-anak, hingga bayi dan balita. Semua orang di sana memperhatikan sang pria tua yang duduk santai bersila di atas sebuah batu seukuran gajah remaja dengan wajah tenang. Ia balas memandangi para pengungsi yang memenuhi guanya itu. Mulai dari para perempuan, anak-anak, hingga para lelaki dewasanya. Termasuk di antara para pemimpin dari dua rombongan yang datang secara terpisah itu, Anureksa, Kampalu, Danur, Subali, Haruyan, dan tentu saja Cadudasa. Khusus Cadudasa, pria itu agak lama menatapnya. Sang mantan mahapatih Adighana sempat balas menatap, namun entah kenapa ia tak berani terlalu lama memandang mata tajam dan tenang si pria tua. Ia lantas menunduk segan. Padahal biasanya ia tak pernah gagal mempertahankan tatapan mata tenang saat beradu pandang. Sang pria tua tersenyum sambil melemparkan ekor matanya ke dinding-dindi
Bayu, Sutha, dan Rukmana masih diliputi kebingungan dan kekagetan luar biasa saat mereka menyadari bahwa Kalung Gajahsora malah membawa mereka ke makam Ganendra Aryasathya dan kedua orang tuanya. Bagaimana bisa? Dan mengapa baru sekarang, saat Anarbuana dan pasukannya hampir saja mengakhiri petualangan Bayu? Toh, harus diakui, memang tempat inilah yang menjadi tujuan dari perjalanan Bayu sejak empat tahun yang lalu. Sejak ia dilatih dengan sangat keras oleh Ampu Estungkara. Justru sekarang Bayu harus bingung apakah lega atau takut, karena apa yang harus ia lakukan dengan kalung dan makam ini. “Ini tempat seharusnya kalung ini berada kan, Bayu? Sesuai sumpahmu pada gurumu?” tanya Sutha memastikan dengan raut wajah tegang. “Iya, sepertinya begitu... “ jawab Bayu dengan nafas agak tersengal, “namun aku masih bingung.” “Bingung kenapa?” “Apa yang harus aku lakukan?” “Apakah kita perlu menggali makam ini dan menaruhnya di dalam sana?” Rukmana bertanya agak takut dan ragu. “Itu yang
Bayu menengok ke arah sekitarnya, mencoba menemukan alasan baik untuk meredakan ketegangannya yang sialnya sama sekali tak ia temukan. Sementara itu kedua sahabatnya semakin tegang dengan wajah yang pucat seolah sedang melihat bayangan malaikat maut sedang menari bersiap menyambut akhir hidup mereka dalam pelukan api api panas yang mulai mengelilingi mereka. Dalam segala kekalutannya, Bayu berlari sambil berteriak kepada teman-temannya itu, “kita keluar dari tempat ini sekarang!” Bayu melaju menuju pintu depan diikuti temannya dengan wajah panik dan langsung berusaha membuka pintu itu dari dalam dengan sekuat tenaga, berhasil, pintu itu terbuka dan mereka langsung menghambur ke halaman rumah yang tak begitu luas itu namun di situlah kejutan lainnya muncul. Tak ada asap, tak ada keributan, tak ada kegaduhan, tak ada satupun pemandangan yang menyatakan bahwa rumah itu sedang terbakar dari dalam. Bahkan mereka merasa di luar sangat tenang, kendaraan berlalu lalang sekali-sekali dan seo