Share

5. SEBUAH PELARIAN

Cadudasa terbangun saat ia merasa ada sengat matahari menerpa wajahnya. Matanya memicing tertimpa cahaya jingga. Dengan kesusahan ia mencoba bangkit dengan rasa nyeri di bagian belakang lehernya, seperti baru dihantam benda keras.

Hal pertama yang ia lihat adalah hamparan gurun pasir di seberang tubuhnya, ada pegunungan yang tidak terlalu besar namun seperti mengepulkan asap terlihat samar di sana. Ia cukup jelas mengenal tempat itu sebagai daerah bebas, area terluar yang menghubungkan perbatasan antara negeri Adighana dan negeri Danta, tempat yang disebut sebagai Gurun Kawah Berapi. Tempat di mana terjadinya pertikaian memalukan di dalam pasukan Adighana saat sedang bersiap melakukan serangan ke negeri Danta empat tahun yang lalu. Namun yang cukup membingungkannya adalah untuk apa ia berada di sini?

Ia mencoba menengok ke arah lain, seorang pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya sedang melepas tenda kecilnya namun ia bisa memastikan dari sorot mata pria ini bahwa ia adalah orang yang tempo hari membawanya dari penjara. Keyakinan ini pula yang membuatnya perlahan berjalan dengan langkah siaga menghampiri pria itu, baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia dihadang oleh seseorang pria paruh baya, yang sangat ia kenal.

“Senang kembali berjumpa, Gusti?”

Cadudasa tentu saja terperanjat kaget, “Haruyan?”

“Jujur, saya minta maaf untuk kejadian tidak mengenakkan di hari terakhir kita berbincang di penjara, dan untuk pengakuan menyebalkan di sidang, serta tentu saja untuk rasa nyeri di sana.” Haruyan menunjuk leher Cadudasa.

“Ya...” Cadudasa berusaha tenang sambil mengusap punggung lehernya, “untuk yang terakhir agak sulit dimaafkan.”

Haruyan tersenyum.

“Tapi kenapa kau melakukan ini? Kenapa ke tempat ini? Dan apa rencana kalian berdua?” Cadudasa mengernyitkan dahi

“Tidak hanya berdua, Gusti..” sebuah suara mengagetkan Cadudasa muncul dari arah belakangnya.

Cadudasa menoleh dan semakin kaget, “Kau?”

“Saya juga meminta maaf atas semua hal yang sudah saya tuduhkan pada Gusti.” Subali, sang pemilik suaran tadi menunduk hormat.

Cadudasa kali ini menghela nafas berat, ribuan pertanyaan dan kebingungan memekik dalam kepalanya. Apalagi setelah ia menoleh ke arah lain lagi, ada keluarga Subali dan keluarga Haruyan juga yang ada di sana sedang merapikan tenda.

Cadudasa semakin ingin meledak kepalanya. “Ada apa ini sebenarnya?”

.................................................................................................................................

“Nama saya Anureksa dari desa Teluk Hulu di Negeri Cayapata, tapi leluhur saya dari negeri Tirtayana..” buka pria yang membawa Cadudasa dari penjara saat ia, Cadudasa, Haruyan, dan Subali dan para keluarga mereka yang terdiri dari istri dan dua anak Subali, serta istri dan tiga anak Haruyan duduk melingkar di dalam kemah.

“Saya dan dua sahabat saya berutang nyawa pada keponakan anda, Gusti, Bayu.”

Air muka Sandanu seketika berubah.

“Ya, atas itulah kami bertiga bersumpah untuk mengabdi padanya. Dua teman saya diperintahkannya untuk menjaga Desa Jalupang, tempat di mana kami bertemu. Namun Desa tersebut dibakar oleh tentara Adighana dan separuh warganya dibunuh! Penjajah!” Anureksa menggeram murka.

Cadudasa, Haruyan, dan Subali serta yang lain terdiam, mereka tahu itu ulah Restu Singgih dan tentaranya.

“Tapi terpujilah Dewa, dua teman saya itu beserta sedikit warga yang selamat berhasil meloloskan diri saat para tentara sedang sibuk membakar dan menjarah isi desa. Mereka mengirimkan saya surat pekan lalu lewat kapal yang bersandar di pelabuhan Adighana.”

Anureksa tersenyum, lalu melanjutkan kisahnya, “saya diperintahkan Bayu untuk mengawasi keadaan anda, Gusti Cadudasa. Dan saya datang di saat yang tepat, saat anda sedang dipaksa ke penjara. Lalu saya mulai mengikuti gerak-gerik keluarga dan orang terdekat anda untuk menentukan langkah berikutnya. Saya melihat bagaimana Gusti Subali dan Gusti Haruyan diintimdasi oleh Senopati Darmendra dan antek-anteknya.”

“Betul..” lanjut Haruyan, “lalu entah bagaimana caranya ia mendatangi saya dan Subali tanpa diketahui oleh pengawasan Darmendra, menanyakan apa sebenarnya yang terjadi, dan kami ceritakanlah semuanya..”

“Bahwa sebenarnya Gusti difitnah oleh Darmendra yang sejak lama tak suka dengan gusti, bahwa tujuan Gusti sebenarnya adalah mengajak saya dan Paman Haruyan untuk menjaga Bayu dari Anarbuana serta menjaga tahta agar tidak dikudeta perlahan oleh Darmendra dengan membuat Putri Paramitha jatuh cinta dan mau menikah dengan Anarbuana.”

“Karena aku tahu Darmendra, aku tau kelicikannya, apalagi semenjak Anarbuana dengan sengaja melemparkan tombak ke arah Bayu di pesta ulang tahun Putri Paramitha saat melihat sang putri diminta oleh Baginda Raja berkenalan dengan Bayu. Dia pasti menganggap bahwa Bayu adalah saingannya seperti halnya Reksa.” Jawab Cadudasa dengan nada sesal.

“Saya mengambil kesimpulan jika kita berada di pihak yang sama, para pembela Bayu. Karena itu kami menyusuh rencana bersama untuk meloloskan Gusti, perlu waktu yang cukup lama untuk itu, termasuk upaya Gusti Subali diam-diam menyisipkan saya menjadi salah satu penjaga sel dengan wewenangnya sebagai kepala pengawal istana. Sementara itu Gusti Haruyan berusaha menjauhkan kami dari intaian para anak buah Darmendra sembari membuat obat tidur dengan dosis besar untuk para penjaga penjara yang lain.”

“Beruntung istri saya seorang perawat..” Haruyan tersenyum.

“Jadi saat persidangan?” Cadudasa merasa ragu dengan asumsinya.

“Jika gusti mengira kami berpura-pura melawan, Gusti benar.” Jawab Subali, “Kami harus membuat Darmendra yakin jika kami berada di pihaknya, kami harus berusaha membuat Darmendra merasa menang sehingga ia tak lagi curiga kepada kami dan mengurangi pengawasan kepada kami, sehingga saat semua orang yakin bahwa Gusti akan dipenggal, kami beraksi.”

“Kalian melakukan ini tanpa bantuan siapapun?” Cadudasa heran

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status