Share

6. TEMPAT PERLINDUNGAN

last update Last Updated: 2023-01-10 19:05:46

“Kalian melakukan ini tanpa bantuan siapapun?” Cadudasa heran

“Harus diakui, Gusti..” kata Subali, “ini adalah rencana yang sangat nekad namun brilian, bisa memperdaya ratusan prajurit dan orang-orang penting di istana itu adalah sebuah hal yang luar biasa.”

“Dan sebuah pengalih perhatian yang bagus dari Subali dengan membakar gudang pangan penjara.” tambah Haruyan.

“Bagimana dengan keluargaku? Mereka juga tahu?” Ada nada khawatir dari tanya Cadudasa

Haruyan menggeleng, “yang tahu rencana ini hanya yang ada di sini.”

“Tapi itu justru berbahaya bagi mereka dengan aku kabur dari penjara.”

“Justru lebih berbahaya lagi jika mereka tahu atau ikut. Tidak ada satupun bukti yang membuat mereka harus dianggap terlibat oleh pihak istana. Mereka pasti tahu bahwa kami yang melakukannya.” Jawab Haruyan yakin, “Lebih menyenangkan mengetahui diri kami bukan orang yang menghianati pejabat baik seperti anda, Gusti.”

“Sebenarnya aku sama sekali tak takut jika takdirku harus berakhir di tiang pancung, daripada harus membahayakan kalian.” kata Cadudasa

“Kami yang takut jika harus kehilangan Gusti Cadudasa.” jawab Subali, “Kami berhutang banyak pada Gusti, lebih dari nyawa kami.”

“Tidak semua hutang harus dibayar, Subali.” Jawab Cadudasa

“Tapi semua hutang layak untuk diperjuangkan.” Subali menatap Cadudasa tajam.

“Lagipula, kita belum layak kalah, Gusti.” Haruyan bersuara, “Kita masih bisa berjuang di luar istana, kita masih bisa mencegah hal-hal buruk terjadi. Dan mungkin Dewata memberikan jalan seperti ini untuk kita, karena itulah kita diberi kesempatan untuk melakukan ini.”

Cadudasa terdiam lama, ia agak berpikir dan berusaha menyerap apa yang baru saja ia dengarkan. Matanya lantas menatap keluarga Subali dan Haruyan, anak-anak mereka. Anak Subali perempuan dan laki-laki, masih kecil 6 dan 4 tahun. Sementara anak Haruyan ada yang sudah 15 tahun, seorang laki-laki, adiknya perempuan berusia mungkin 8 tahun, dan yang bungsu berusia mungkin 6 tahunan.

“Kalian bahkan juga membahayakan hidup mereka, masa depan mereka.” Cadudasa masih menatap anak-anak koleganya itu.

“Mereka anak-anak dari seorang prajurit. Mereka sudah siap dengan segala resikonya” ucap Haruyan, “Lagipula cepat atau lambat mereka harus memahami apa itu berjuang.”

Cadudasa menatap Haruyan cukup lama, lalu memandang Anureka yang dari tadi lebih banyak diam.

“Jujur saja, kau memukulku dengan cukup keras.”

“Saya tidak punya pilihan, Gusti.” kata Anureksa sambil meneguk minuman dari gelasnya.

“Kenapa aku harus mempercayaimu?”

“Pasukan manusia serigala dari Lembah Bernawa memenggal leher sahabat saya tepat di depan wajah saya, dan mereka hampir melakukan hal yang sama pada saya dan sahabat saya yang serta warga desa, tapi Bayu memukul mereka semua, dia bukan hanya menyelamatkan nyawa saya dan penduduk desa, tapi semua desa di Lalawangan Sembaru.”

“Dan di mana dia sekarang?” tanya Cadudasa.

“Dia ada di sebuah misi yang sangat penting, dan sepertinya misi itu sudah bukan rahasia lagi.”

“Jika benar memang dia sedang membawa benda yang seperti orang-orang katakan itu, maka dia akan dihadang banyak ancaman.”

“Saya melihat kemampuannya Gusti,” jawab Anureksa, “Dia sudah siap dengan semua ancaman itu.”

“Semoga saja...” kata Cadudasa, “Tapi mengapa harus ke Gurun ini? Kalau tujuan kalian adalah membawaku kabur dari Adighana, maka tempat ini bukanlah tempat yang bijak.”

“Ini yang agak sulit dipahami,” jawab Anureksa, “Saat saya sedang dalam perjalanan ke Adighana saya pernah bermimpi, seorang pertapa tua menemui saya dan mengaku jika dia adalah guru dari Bayu, lalu ia bilang pada saya jika ada situasi yang membuat saya harus menjauhi pasukan Adighana, maka gua kawah berapi bukanlah tempat yang buruk untuk bersembunyi.”

“Dan kau percaya?”

“Saya mengabdikan hidup saya untuk Bayu, dan pria tua ini adalah gurunya. Dia minta saya bersembunyi ke Desa Rudira pun akan saya turuti.”

“Kalian percaya?” Cadudasa bertanya pada Haruyan dan Subali.

“Sejauh ini dia punya rencana yang bagus.” Haruyan mewakili Subali.

“Baik...” kata Cadudasa, “Lalu apa rencanamu selanjutnya?”

Anureksa terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “menunggu di sana.”

*********************************************************************************************************************************************************************************************************************************

Hari sudah sangat gelap ketika akhirnya Cadudasadan rombongannya yang menggunakan beberapa ekor kuda sampai di depan sebuah gua di kaki Gunung Kawah Berapi. Tidak seperti namanya yang cukup menggambarkan suatu hal yang membara, suasana di tempat itu justru sangat dingin, anak bungsu Subali bahkan menangis karena kedinginan.

Cadudasa melepas ikat kepala tebalnya dan menyerahkannya pada Subali.

“Gunakan ini untuk membungkus tubuhnya.”

“Terima kasih, Gusti..”kata Subali sambil langsung memberikan itu pada istrinya.

“Sekarang buktikan kebenaran mimpimu.” Kata Cadudasa pada Anureksa, “Karena jika kau berbohong, maka kau akan dapat kesulitan yang besar.”

Anureksa tak menjawab, dengan obor kecilnya ia perlahan memasuki gua itu, namun baru beberapa langkah di luar gua, terdengar suara berwibawa dari dalam gua.

“Tidak ada antrian dalam aturan gua ini, masuklah kalian semua.”

Mereka lantas saling pandang sebelum kemudian masuk ke gua itu dengan langkah hati-hati dan waspada. Haruyan, Subali, Anureksa, dan bahkan putra tertua Haruyan terlihat memegang gagang pedang di pinggang mereka menandakan kewaspadaan tingkat tinggi. Mereka berjalan sekian puluh meter dan semakin jauh berjalan, cuaca dingin yang tadi mereka temui di depan gua kini berangsur hilang digantikan rasa hangat yang menjalar, mungkin karena mereka sudah di dalam atau mungkin karena cahaya obor yang banyak berjejer di dinding gua tersebut. Namun semakin jauh mereka menyusuri lorong tersebut gua tersebut semakin melebar, suara air terdengar merdi di sela-sela dinding gua. Gemuruh suara kawah yang di bagian depan tadi sempat terdengar kini justru menghilang. Yang jelas semakin ke dalam semakin tenang suasananya.

Anureksa yang berada di barisan terdepan sontak kaget ketika dilihatnya dua orang yang ia kenal telah berada di dalam gua itu bersama puluhan orang lainnya.

“Danur? Kampalu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   23. SEPARUH DEWA

    Aku mengetuk pintu ruangan Paduka namun sebelum kulakukan, Paduka telah berseru dengan suara beratnya dari dalam. “Masuk!” Perasaanku langsung tak nyaman. Aku pelan masuk ke ruangannya sambil menunduk, sempat kulihat ia duduk masih dengan pakaian kebesarannya yang belum berganti, sepertinya ia memang sama sekali belum pulang ke kediamannya. Ia lalu mendekat kepadaku. “Mohon ampun, Paduka, saya tidak sempat menyambut kepulangan paduka karena baru selesai mengerjakan laporan bencana banjir….” PLAKKK!! Begitu keras tamparan Paduka Gajahsora hinggap di pipi kiriku dan aku sendiri terhuyung-huyung ke arah pintu sambil meringis kesakitan. Sambil menahan takut, aku langsung bersimpuh di depannya. “Mohon ampun, Paduka, apa gerangan salah hamba hingga Paduka segeram ini?” Sumpah demi apapun, aku tak pernah melihat Paduka semarah ini kepada para pejabatnya. Aku menggigil gemetar ketakutan. “Kau lalai, Estungkara! Aku kecewa padamu!” geram Paduka Gajahsora. “Maafkan jika saya lancing,

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   22. PRIA YANG KEMBALI

    Setelah kejadian itu hingga beberapa hari kemudian tak pernah lagi kulihat Purwaca, Brata pun juga mengaku tak pernah lagi melihatnya. Entah di mana sekarang ia berada jujur aku tak peduli, justru yang aku pedulikan adalah bagaimana tanggapan Paduka Gajahsora jika tahu bahwa aku sempat memarahi Purwaca yang notabene adalah anak dari kawannya. Tapi kurasa Paduka juga tak akan ambil pusing, Purwaca adalah pria dewasa yang tau akan konsekuensi dari segala hal yang telah ia lakukan.Namun nampaknya itu tak berlaku bagi Putri Aruna, sang Putri Nampak agak murung dari biasanya selepas menghilangnya Purwaca. Ia tak sesemangat biasanya. Memang ia mencoba tidak memperlihatkan prubahan raut wajahnya namun bukan berarti aku tak tahu bahwa sebenarnya ia merasa kehilangan. Aku mulai khawatir menafsirkan jika itu adalah tanda bahwa Tuan Putri jatuh cinta pada pria itu. Ia masih sangat muda dan sangat berharga. Aku memang tak punya hak untuk mementukan jodohnya, namun jika aku jadi raja, Purwaca sam

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   21. SAAT SANG MAHAPATIH MURKA

    Hari itu aku tak melihat Brata sekalipun, biasanya ia selalu menemuiku untuk melaporkan rencana pengawasannya. Kebetulan pekerjaanku juga sudah mulai menipis yang artinya aku bisa menyediakan waktuku untuk menengok Putri Aruna. Biasanya di jam seperti ini Putri Aruna sedang menyulam di pekarangan belakang kediamannya. Aku tau remaja itu senang sekali menyulam benang membentuk suatu kain yang memuaskan hasrat seninya. Namun aku tak menemukan sang Putri ke kediamannya, begitu pun pengawalnya. “Di mana Putri Aruna?” aku mencoba bertanya pada pelayan pribadinya. “Mohon ampun, saya tidak tahu, Gusti. Tuan Putri sejak tadi, bahkan tidak mau ditemani para pengawalnya.” kata si pelayan sambil menunduk takut. “Maksudmu tanpa ditemani pengawal bagaimana?” “Ampun, Gusti. Tadi saya mendengar Tuan Putri pergi dan bilang kepada pengawalnya untuk tak usah mengikutinya.” Aku mulai khawatir. “Sekarang di mana para pengawalnya?” “Ada di belakang, Gusti.” Dengan wajah marah dan tanpa permisi aku

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   20. TUAN PUTRI PILIHAN DEWA

    Bayu atau Ganendra Aryasathya merasakan getaran aneh di dalam lambungnya, seperti sesuatu yang besar sedang berusaha menyeruak keluar, terlontar beserta darah yang mengalir dalam nadinya. Ia tak tahu perasaan semacam apa itu, namun nama yang disebut oleh Estungkara itu seperti begitu lekat dengan jiwanya. Benarkah karena itu adalah ibunya? Entahlah, otaknya masih terlalu payah untuk diajak berpikir saat ini setelah menerima fakta-fakta yang enggan ia terima namun seperti ada sisi lain dirinya yang mengakui hal itu. Estungkara sepertinya menangkap ribuan pertanyaan yang menghinggapi para tamunya yang sedang mendengarkan ceritanya itu. Tampak dari wajah kebingungan bercampur penasaran yang menghiasi rona muka mereka disapu cahaya-cahaya temaram dari obor yang menyala. Estungkara tersenyum. “Aku tahu, ada banyak sekali tanya dari kalian semua, tentang kisah apa ini, dan apa hubungannya ini dengan kalian. Tapi bolehkah aku melanjutkan kisah masa laluku itu kembali?” Tak ada yang menjawa

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   19. PRIA ISTIMEWA

    Malam itu adalah kali pertama aku melihat dan bertemu dengan Purwaca, dan aku bersumpah demi para Dewa, tidak pernah kulihat pria setampan dan sesempurna dirinya. Wajahnya putih bersih tanpa noda setitik pun, matanya tajam dan teduh, alisnya melengkung indah bagai liukan sungai yang hanya ada dalam cerita-cerita surgawi, bibirnya tipis dihiasi senyum ramah dan menagih simpati siapapun yang menangkap senyum itu. Tubuhnya tinggi jangkung dengan bahu yang kokoh dan punggung yang seolah diukir dengan pahatan tangan terbaik para Dewa. Dadanya bidang dan perutnya rata dengan tonjolan otot-otot kekar di sana. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam yang tergerai rapi sesekali bergoyang pelan disapu udara yang lewat menyapa helai -helainya. Tak hanya penampilan fisiknya yang memukau, tutur bicaranya juga sangat menyenangkan. Ia begitu lihai memilih kata demi kata, kalimat demi kalimat, dalam memikat lawan bicaranya. Sangat santun dalam bersikap. Dalam kurun waktu beberapa saat berbicara denga

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   18. PENJAGA DARAH

    “Aku memiliki darah manu, Estungkara. Mungkin kau pernah belajar itu dari Resi Renjamin. Darah utama, darah para penakluk, darah yang diberkati Dewa, darah unggulan, istimewa jika kau ingin menyebutnya. Tak semua dari kami, para keturunan Paduka Kurangga Bernawa memilikinya, hanya mereka yang dipilih dewa. Aku takbtahu siapa yang memilikinya sebelum aku, tapi aku yakin bukan orang tuaku atau kakekku, mungkin Paduka Kurangga Bernawa, Paduka Maharaja Jaya Prabawa II, atau Maharaja Cipta Atmadewa juga memilikinya, entahlah. Hal ini sangat penting untuk dirahasiakan, karena jika pemiliknya dibunuh atau atau digauli dengan ritual tertentu, maka darah ini bisa saja berpindah kepada orang yang melakukannya, dan mereka tentu bukan orang yang bermaksud baik. Berbahaya pastinya.” “Lantas apa hal yang membuat Paduka membeberkan ini pada saya?” aku mencoba mencari tahu tentang rahasia yang cukup mengejutkanku ini, aku pernah belajar memang tak semua manusia memiliki darah manu, mungkin satu band

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status