Share

6. TEMPAT PERLINDUNGAN

“Kalian melakukan ini tanpa bantuan siapapun?” Cadudasa heran

“Harus diakui, Gusti..” kata Subali, “ini adalah rencana yang sangat nekad namun brilian, bisa memperdaya ratusan prajurit dan orang-orang penting di istana itu adalah sebuah hal yang luar biasa.”

“Dan sebuah pengalih perhatian yang bagus dari Subali dengan membakar gudang pangan penjara.” tambah Haruyan.

“Bagimana dengan keluargaku? Mereka juga tahu?” Ada nada khawatir dari tanya Cadudasa

Haruyan menggeleng, “yang tahu rencana ini hanya yang ada di sini.”

“Tapi itu justru berbahaya bagi mereka dengan aku kabur dari penjara.”

“Justru lebih berbahaya lagi jika mereka tahu atau ikut. Tidak ada satupun bukti yang membuat mereka harus dianggap terlibat oleh pihak istana. Mereka pasti tahu bahwa kami yang melakukannya.” Jawab Haruyan yakin, “Lebih menyenangkan mengetahui diri kami bukan orang yang menghianati pejabat baik seperti anda, Gusti.”

“Sebenarnya aku sama sekali tak takut jika takdirku harus berakhir di tiang pancung, daripada harus membahayakan kalian.” kata Cadudasa

“Kami yang takut jika harus kehilangan Gusti Cadudasa.” jawab Subali, “Kami berhutang banyak pada Gusti, lebih dari nyawa kami.”

“Tidak semua hutang harus dibayar, Subali.” Jawab Cadudasa

“Tapi semua hutang layak untuk diperjuangkan.” Subali menatap Cadudasa tajam.

“Lagipula, kita belum layak kalah, Gusti.” Haruyan bersuara, “Kita masih bisa berjuang di luar istana, kita masih bisa mencegah hal-hal buruk terjadi. Dan mungkin Dewata memberikan jalan seperti ini untuk kita, karena itulah kita diberi kesempatan untuk melakukan ini.”

Cadudasa terdiam lama, ia agak berpikir dan berusaha menyerap apa yang baru saja ia dengarkan. Matanya lantas menatap keluarga Subali dan Haruyan, anak-anak mereka. Anak Subali perempuan dan laki-laki, masih kecil 6 dan 4 tahun. Sementara anak Haruyan ada yang sudah 15 tahun, seorang laki-laki, adiknya perempuan berusia mungkin 8 tahun, dan yang bungsu berusia mungkin 6 tahunan.

“Kalian bahkan juga membahayakan hidup mereka, masa depan mereka.” Cadudasa masih menatap anak-anak koleganya itu.

“Mereka anak-anak dari seorang prajurit. Mereka sudah siap dengan segala resikonya” ucap Haruyan, “Lagipula cepat atau lambat mereka harus memahami apa itu berjuang.”

Cadudasa menatap Haruyan cukup lama, lalu memandang Anureka yang dari tadi lebih banyak diam.

“Jujur saja, kau memukulku dengan cukup keras.”

“Saya tidak punya pilihan, Gusti.” kata Anureksa sambil meneguk minuman dari gelasnya.

“Kenapa aku harus mempercayaimu?”

“Pasukan manusia serigala dari Lembah Bernawa memenggal leher sahabat saya tepat di depan wajah saya, dan mereka hampir melakukan hal yang sama pada saya dan sahabat saya yang serta warga desa, tapi Bayu memukul mereka semua, dia bukan hanya menyelamatkan nyawa saya dan penduduk desa, tapi semua desa di Lalawangan Sembaru.”

“Dan di mana dia sekarang?” tanya Cadudasa.

“Dia ada di sebuah misi yang sangat penting, dan sepertinya misi itu sudah bukan rahasia lagi.”

“Jika benar memang dia sedang membawa benda yang seperti orang-orang katakan itu, maka dia akan dihadang banyak ancaman.”

“Saya melihat kemampuannya Gusti,” jawab Anureksa, “Dia sudah siap dengan semua ancaman itu.”

“Semoga saja...” kata Cadudasa, “Tapi mengapa harus ke Gurun ini? Kalau tujuan kalian adalah membawaku kabur dari Adighana, maka tempat ini bukanlah tempat yang bijak.”

“Ini yang agak sulit dipahami,” jawab Anureksa, “Saat saya sedang dalam perjalanan ke Adighana saya pernah bermimpi, seorang pertapa tua menemui saya dan mengaku jika dia adalah guru dari Bayu, lalu ia bilang pada saya jika ada situasi yang membuat saya harus menjauhi pasukan Adighana, maka gua kawah berapi bukanlah tempat yang buruk untuk bersembunyi.”

“Dan kau percaya?”

“Saya mengabdikan hidup saya untuk Bayu, dan pria tua ini adalah gurunya. Dia minta saya bersembunyi ke Desa Rudira pun akan saya turuti.”

“Kalian percaya?” Cadudasa bertanya pada Haruyan dan Subali.

“Sejauh ini dia punya rencana yang bagus.” Haruyan mewakili Subali.

“Baik...” kata Cadudasa, “Lalu apa rencanamu selanjutnya?”

Anureksa terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “menunggu di sana.”

*********************************************************************************************************************************************************************************************************************************

Hari sudah sangat gelap ketika akhirnya Cadudasadan rombongannya yang menggunakan beberapa ekor kuda sampai di depan sebuah gua di kaki Gunung Kawah Berapi. Tidak seperti namanya yang cukup menggambarkan suatu hal yang membara, suasana di tempat itu justru sangat dingin, anak bungsu Subali bahkan menangis karena kedinginan.

Cadudasa melepas ikat kepala tebalnya dan menyerahkannya pada Subali.

“Gunakan ini untuk membungkus tubuhnya.”

“Terima kasih, Gusti..”kata Subali sambil langsung memberikan itu pada istrinya.

“Sekarang buktikan kebenaran mimpimu.” Kata Cadudasa pada Anureksa, “Karena jika kau berbohong, maka kau akan dapat kesulitan yang besar.”

Anureksa tak menjawab, dengan obor kecilnya ia perlahan memasuki gua itu, namun baru beberapa langkah di luar gua, terdengar suara berwibawa dari dalam gua.

“Tidak ada antrian dalam aturan gua ini, masuklah kalian semua.”

Mereka lantas saling pandang sebelum kemudian masuk ke gua itu dengan langkah hati-hati dan waspada. Haruyan, Subali, Anureksa, dan bahkan putra tertua Haruyan terlihat memegang gagang pedang di pinggang mereka menandakan kewaspadaan tingkat tinggi. Mereka berjalan sekian puluh meter dan semakin jauh berjalan, cuaca dingin yang tadi mereka temui di depan gua kini berangsur hilang digantikan rasa hangat yang menjalar, mungkin karena mereka sudah di dalam atau mungkin karena cahaya obor yang banyak berjejer di dinding gua tersebut. Namun semakin jauh mereka menyusuri lorong tersebut gua tersebut semakin melebar, suara air terdengar merdi di sela-sela dinding gua. Gemuruh suara kawah yang di bagian depan tadi sempat terdengar kini justru menghilang. Yang jelas semakin ke dalam semakin tenang suasananya.

Anureksa yang berada di barisan terdepan sontak kaget ketika dilihatnya dua orang yang ia kenal telah berada di dalam gua itu bersama puluhan orang lainnya.

“Danur? Kampalu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status