Share

Bab 6

Bab 6 

Pov Ratna

"Gak papa kok, Sayang. Kamu istirahat sana gih! Biar Ibu yang menyelesaikan semuanya." Meskipun aku berkata demikian tapi lain dihati lain di mulut. Jangan sampai sikapku terlihat buruk dimata menantu satu ini. Agar apa? Agar dia pikir aku baik dan dia memberi aku uang.

"Ya sudah, Lia masuk dulu, Bu. Ow ya, Bu nanti tolong bikinin Lia bakso kuah ya? Sepertinya tadi Lia liat ada bakso dalam kulkas." pinta Lia tanpa sungkan kepadaku. Dia pikir dia siapa? Memerintah seenak jidatnya sendiri. Kalau bukan karena dia banyak uang aku tidak mau melakukannya.

"Iya nanti Ibu buatkan. Kamu suka pake mie berwarna putih atau kuning?" tanya ku sok perhatian. Meskipun dalam hati aku mengeluh.

"Dua-duanya ya, Bu?" Lia mengerlingkan matanya. Sungguh membuatku malas melihatnya.

"Iya," jawabku singkat agar dia lekas pergi dari hadapanku.

Setelah semua pekerjaan selesai. Aku segera membuatkan Lia bakso. Sedangkan dia malah enak-enakan tidur di kamar. Melihat Lia yang tidur di kamar bersama Imam. Rasanya amarahku memuncak. Aku sebagai mertua sedari tadi beberes rumah belum juga istirahat. Mereka malah malas-malasan.

Aku merutuki diriku sendiri. Kenapa kemarin aku harus menawari Lia untuk mengadakan syukuran atas pernikahannya. Malah akhirnya membuatku capek sendiri begini. Sungguh aku sangat menyesal.

********

POV BELA

Bude Siti mengajakku duduk didapur. Karena ada Amir yang tengah mengikuti belajar online di ruang tamu. Mungkin jika aku dan Bude Siti berbicara akan mengganggu konsentrasi Amir. Aku menjatuhkan bobot tubuhku di kursi plastik warna merah yang berada di dapur. Tas yang sedari tadi aku jinjing pun segera aku letakan. Aku menenangkan hati dan juga pikiran.

"Kamu yang sabar ya, Bel. Ini ujian buat kamu!"

"Bude juga sudah tahu?"

"Iya, Bude Sudah tahu semuanya, pas Pakdemu diminta buat jadi saksi. Sebenarnya dia sudah menanyakan banyak hal kepada Imam maupun Ratna. Mertua kamu. Tapi mereka bilang kamu merestui, entah dari mana Imam bisa mendapatkan surat kuasa dari kamu bahwa kamu merestui pernikahan Imam dengan Lia. Pakde yang kala itu melihat suratnya. Percaya begitu saja. Tanpa mencari tahu terlebih dahulu keaslian surat tersebut. Maafkan Pakde dan juga Bude. Ya, Bela?"

"Iya, Bude. Gak papa. Mungkin Bela saja yang terlalu gampang mereka bod*hi!" Aku menunduk merutuki sikapku selama ini yang terlalu lemah kepada mereka.

"Terus, rencana kamu ke depan apa?"

"Bela masih memikirkannya, Bude. Bela takut salah langkah. Apalagi emosi Bela sekarang masih naik turun. Akan aku pikirkan lagi nanti!"

"Ya sudah, kalau begitu. Apa kamu juga akan berterus terang dengan Emak?" Bude Siti meletakan segelas air putih di meja yang ada di depanku.

"Belum tahu, Bude. Bela bingung." 

"Sudah diminum dulu, nanti kalau Amir sudah selesai kamu bisa langsung pulang!"

Aku mengangguk. Karena dengan hati yang hancur. Aku kehilangan banyak kata untuk diucapkan. Tidak berapa lama Pakde Hamdani pulang kerumah. Mengucap salam lalu langsung pergi menuju dapur yang berniat menghampiri istrinya.

"Lho Bela masih disini? Pakde pikir kamu pulang diantar Bude. Karena Pakde liat Amir masih belajar."

Aku menggelengkan kepala. Pakde pun tidak memaksa aku menjawab setiap pertanyaannya. Sehingga dia juga diam saja setelah melihat aku menggelengkan kepala.

"Bapak, kasihan Bela lho Pak. Kita harus bantu dia!"

"Lha mau gimana lagi, Bu? Bapak juga sudah berusaha. Tadi sebelum pulang saja Bapak sempet menasehati Imam sama Ibunya. Tapi mereka malah terdengar tidak suka dengan nasehat Bapak. Ya sudah, Bapak tinggal pulang saja! Bapak juga sudah males sama mereka. Meskipun Ratna itu adik kandung Bapak!"

"Eh, aneh memang si Ratna itu. Padahal dia dulu merasakan sakit hati bagaimana ditinggal suami karena wanita lain. Kenapa anaknya malah didukung berpoligami? Heran aku sama dia," sungut Bude Siti yang ikut kesal dengan sikap adik iparnya itu.

Aku masih diam dengan pikiranku sendiri. Tak selang berapa lama Amir selesai belajar online. Akupun segera pulang ke rumah bersama Amir. Aku langsung berpamitan dengan Pakde dan juga Bude. Dalam perjalanan pulang pikiranku masih sibuk mengingat setiap perkataan Mas Imam maupun Ibu mertuaku. Apakah aku memang benar-benar dibutakan karena cinta? Sehingga tidak masuk akal jika selama 10 tahun lamanya aku bertahan dengan sikap Mas Imam dan juga ibunya. Meskipun perubahan sikap Mas Imam terlihat setelah umur lima tahun pernikahan kita.

Tuling ...tuling ... tuling.

Beberapa pesan masuk kedalam aplikasi berwarna hijau itu.

Aku hanya melihat tanpa membukanya. Grup RT dimana aku menjadi anggotanya sangat ramai. Entah apa yang mereka bahas? Untuk saat ini aku sedang tak ingin membacanya. Segera kumasukkan kedalam tas benda pipih itu. Satu jam kemudian kami tiba dirumah emak. Rumah sederhana  bercat kuning itu nampak sepi. Aku yakin Bapak sama Emak sedang pergi ke ladang. 

Amir pun langsung berpamitan pulang. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih banyak atas bantuannya mengantarku pulang. 

"Makasih ya, Mir! Ini buat jajan," ucapku sembari menaruh uang ke dalam saku jaketnya.

Aku membuka pintu rumah dengan mengambil kunci yang Ibu sembunyikan di bawah pot bunga. Kebiasaan dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Segera aku membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar. Menjatuhkan bobot tubuhku di atas kasur.

Pikiranku menerawang jauh. Berpikir keras apa yang akan aku lakukan untuk membalas semua perbuatan Mas Imam dan juga Ibu mertua? Hingga tak terasa mata ini semakin lama semakin lengket saja rasanya. Hingga tidak berapa lama aku terlelap. Dengan kepala yang masih terlilit jilbab instan.

"Nduk, Bel Bela. Bangun, Nduk!" Suara lembut Emak terdengar membangunkan ku. Segera aku membuka mata lalu mengerjapkan nya.

"Emak?" Segera aku menghamburkan pelukanku ke arahnya.

Tanpa dikomando aku pun langsung menangis tergugu. Meluapkan semua sesak di dada. Menangis sejadi-jadinya diperlukan Emak. Dengan lembut Emak mengusap rambutku pelan. Dia wanita yang hangat.

Emak melonggarkan Pelukanku. Lalu menatapku dengan seksama.

"Kamu ada masalah dengan suamimu?" Pertanyaan Emak seperti biasa jika aku kembali pulang kemudian menangis dalam pelukannya. Memang hati Ibu bisa merasakan jika anaknya sedang tidak baik-baik saja.

Aku mengangguk. 

"Kenapa? Imam mukul lagi?" tanya Ibu sembari meneliti setiap inci tubuhku mencari memar bekas pukulan.

"Mas Imam kali ini tidak main tangan, Mak!"

"Lalu apa yang membuatmu menangis, Nduk?"

Ada keraguan untuk menceritakan nya pada Emak dan juga Bapak. Pasti mereka akan kepikiran. Tapi kalau aku tidak menceritakannya kepada mereka. Lantas kepada siapa lagi aku berbagi rasa? "Mas Imam menikah lagi, Mak." Dengan bermodal keberanian aku berterus terang kepada Emak.

"Apa? Imam nikah lagi? Bapak gak salah dengar?" sahut Bapak setelah mendengar ucapanku. Aku mengangguk, air mataku kembali berlinang tanpa bisa dihentikan.

Emak terdengar membuang nafas dengan kasar. Lalu mengusap rambutku dengan lembut. Kemudian meraih kepala ku dan menenggelamkan dalam pelukannya.

"Sabar," Satu kata yang terucap dari bibir wanita yang telah melahirkanku itu.

"Dasar Imam itu kurang ajar, sok-sokan alim. Tapi kelakuannya gak bermoral!" sungut Bapak yang mulai marah setelah mendengar perkataanku.

"Bapak kan sudah berkali-kali bilang. Cerai saja dengan Imam. Tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak sehat lagi! Apalagi dia sering menyakitimu dan berbuat kasar padamu. Bapak itu dari dulu sudah tidak suka dengan Imam. Kamu aja yang nekat!"

"Bela sungkan, Pak. Dengan Om Gunawan. Mereka berjasa kepada keluarga kita. Saat kita sedang ada masalah dulu! Tidak mungkin aku menolak perjodohan itu!" jawabku sambil mengusap air mata yang terus mengalir.

Bapak menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan. Berfikir sejenak, mencerna semua ucapanku yang baru saja ia dengar. Ya, Om Gunawan adalah orang yang menjodohkan aku dengan Mas Imam. Dia sepupu jauh kami. Keluarga Om Gunawan berjasa saat kami sedang ada masalah. Dulu bapak dan Emak terlilit hutang. Om Gunawan lah yang membantu melunasi hutang-hutang bapak. Sehingga rasanya kurang pantas jika aku menolak perjodohan itu. Meskipun sebenarnya bapak dan ibu kurang sreg dengan Mas Imam.

"Maafkan, Bapak sama Emak ya Nduk. Harus melibatkan kamu dengan masalah kami!" Emak mengusap air matanya yang tumpah.

Kring … kring …. Kring.

Ponsel ku berdering. Ada seseorang yang menelpon ku. Namun entah dari siapa? Tak aku hiraukan. Karena aku sedang malas menjawab telepon dari siapapun.

Ponselku terus saja berdering. Hingga membuat semua orang yang ada di ruangan itu memperhatikan benda pipih itu yang tergeletak di atas kasur.

"Angkat dulu itu, Nduk. Siapa tau penting!" pinta Emak.

Aku segera menjawab telepon.

"Halo, Assalamualaikum," ucapku setelah menggeser tombol warna hijau ke sebelah kanan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Bela yang malang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status