Bab 7 Grub RT rame
"Waalaikumsalam," jawab seseorang yang ada di seberang telepon.
"Ada apa, Tar?" Pertanyaanku kepada Tari tetanggaku yang tinggalnya cukup jauh dari rumah.
"Bel, Imam nikah lagi? Acara di rumahmu tadi acara syukuran pernikahan suamimu kan? Kok kamu mau sih di madu?"
"Oh itu," jawabku biasa saja.
"Kok Kamu biasa aja sih, Bel? Apa bener kamu merestui mereka? Apa kamu yang menyiapkan acara tersebut?" Tari mencerca aku dengan banyak pertanyaan.
"Aku gak pernah merestui mereka. Awalnya aku gak tahu, Tar. Kata mertua itu acara arisan. Taunya acara syukuran pernikahan suamiku sendiri. Aku baru tahu setelah acara selesai," tuturku panjang lebar kepada Tari. Tari ini teman semasa sekolah menengah. Kebetulan dia mendapatkan suami yang rumahnya cukup jauh dengan rumah Mas Imam tapi masih satu Rt. Bisa dibilang rumah Tari adalah rumah paling ujung.
"Mbok ya cerai saja tho, Bel. Suami model begitu kok ya masih nekat bertahan sampai sekarang. Malah sekarang Berani nikah lagi! Padahal kalau dilihat dia itu rajin ke masjid lho! Sholat lima waktu, tapi kok kelakuan model begitu yak?"
"Aku gak tahu, Tar. Aku bingung. Mau dibawa kemana pernikahanku ini?"
"Dibawa ke meja hijau dong! Kamu jangan bod*h-bod*h amat jadi perempuan. Kamu itu juga berhak bahagia. Cus tinggalin Imam lalu cari pria lain yang lebih baik dari dia!"
Aku membuang napas dengan kasar. Memang ada benarnya omongan Tari baru saja. Sebaiknya aku pikirkan itu matang-matang. Tapi kalau aku berpisah dengan Mas Imam sekarang, bagaimana membalas sikap mereka kepadaku selama ini?
"Bel, kamu sudah baca grup belum? Rame tau lagi bahas kamu. Yang paling parah itu Bu Juleha. Dia bilang kamu pantes di madu. Mending kamu buka grub deh!"
Segera aku matikan sambungan telepon. Segera aku mencari grub RT dimana aku juga menjadi anggotanya.
"Astagfirullahaladzim," ucapku sembari membaca satu persatu.
[Ada yang punya madu baru]
[Huh, madu? Manis dong?]
[Madunya kali ini bukan manis tapi beracun. Ati-ati ya. Jangan sampai suami pulang bawa madu]
[Makanya jadi istri itu yang pinter. Pinter dandan pinter masak apalagi pinter di ranjang. Kalau sudah bawa madu pulang. Bagaimana? Jangan lupa pinter bikin anak! Hahaha]
Percakapan di grup RT sangatlah ramai. Mereka banyak yang hanya mengirim emoticon menangis bahkan ada yang mengirim emoticon tertawa. Memangnya kehidupanku adalah bahan lelucon? Bisa-bisanya mereka membahas madu dalam grup RT. Yang notabene aku juga sebagai anggota. Sepertinya mereka sengaja. Karena kepergianku ke rumah Emak disaksikan beberapa tetangga.
Aku menghela nafas panjang. Berat sungguh berat. Aku harus mengambil keputusan. Benda pipih itu aku letakan di atas meja yang ada di kamar. Jika melihat beberapa status wa para tetangga pasti seputaran madu. Bahkan di grup RT pun juga membahasnya. Membuatku semakin pusing saja.
"Nduk, sudah gak usah dipikirkan. Kamu wudhu sana! Sholat istikharah, minta petunjuk sama Allah. Biarkan Allah yang memberi jalan keluar. Pasrahkan semuanya. Lalu ambil keputusan!"
"Iya, Mak. Maafkan Bela, Mak."
"Iya, kamu yang sabar ya?"
Segera aku mandi karena jam sudah menunjukan angka lima. Semua pakaian yang ada dalam tas segera aku rapikan di lemari. Kali ini aku akan tinggal disini cukup lama. Segera aku tunaikan sholat ashar yang tertunda gara-gara melihat status wa para tetangga. Mencari ketenangan dan juga menjernihkan pikiran.
Setelah selesai segera aku hampiri ibu yang tengah sibuk menyiapkan makanan. Kami berbincang cukup lama.
"Adit mana, Bu?" Adik satu-satunya yang aku miliki. Sedari tadi siang tak aku jumpai.
"Dia nginep di rumah temannya. Katanya seminggu,"
"Lama banget?"
"Iya, ditinggal pulang kampung oleh kedua orangtuanya. Jadi Adit tidur disana sampai orangtuanya kembali," ucap Emak sembari mengaduk teh dalam gelas.
Kami bertiga berkumpul di meja makan. Menikmati makan malam sederhana namun sangat nikmat karena Emak yang membuatnya. Tapi kali ini berbeda rasanya masakan Emak hambar. Membuat aku enggan memasukannya kedalam mulut.
Bapak hanya melihatku sekilas. Dia tahu aku sedang kacau. Apapun makanannya akan terasa hambar jika hati sedang kalut. Mereka saling melempar pandangan. Diam tapi saling berbicara dengan hati. Sedangkan aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Kamu sudah sholat magrib?" tanya Emak yang sebenarnya sudah tahu kalau aku sudah menjalankan kewajibanku.
"Sudah, Mak." jawabku dengan suara berat.
"Apapun keputusanmu Bapak sama Emak mendukung. Ingat jangan kau korbankan hatimu lagi!" tutur Bapak sembari meletakan piring kosong.
Aku mengangguk. Tak ada jawaban yang lebih dari bibir ini.
"Sudah, tinggalkan piring kotormu. Lekas istirahat. Jangan lupa sholat istikharah ya! Minta petunjuk!"
"Iya, Mak." Segera aku meninggalkan piringku yang masih ada sisa. Mengambil wudhu lalu melaksanakan kewajiban. Tak lupa sholat istikharah meminta petunjuknya.
Menengadahkan tangan, mengeluarkan keluh kesah kepada sang khalik.
Aku berjalan mengambil map berwarna coklat. Membuka perlahan lalu membaca kertas itu satu persatu.
Membaca tanggal demi tanggal lalu mengingat kenangan pahit itu. Ah, ternyata kertas ini akan aku gunakan juga. Lembaran kertas terakhir. Membuatku menghela napas panjang. Ternyata pernikahan tidak hanya sekedar pengorbanan tapi juga bisa menerima apa adanya. Jika saja waktu itu aku tak mengatakan hal yang tak benar. Akan berbeda cerita saat ini.
Ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Kini aku harus bisa menyelesaikannya sendiri. Karena memang itu juga salahku.
Segera aku mengirim pesan kepada sahabat lamaku.
Mungkin dia bisa membantu menyelesaikan masalahku.
******
Sudah seminggu aku tinggal dirumah Emak. Tapi Mas Imam tidak kunjung menjemputku. Sesekali aku melihat statusmya di sosial media. Begitu romantis dan juga penuh cinta. Memamerkan perut Lia yang sepertinya mengandung. Aku tersenyum kecut melihat postingannya. Tanganku mengepal. Ada amarah yang memuncak.
Lamunanku buyar ketika sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pekarangan rumah. Seorang pria berpakaian rapi dan juga seorang wanita yang tak asing lagi bagiku.
Segera aku hampiri mereka. Tak lupa senyum merekah aku tunjukan.
"Makin cantik aja kamu, Bel."Puji wanita itu cukup membuatku tersipu malu.
"Siapa pria ini?" tanya ku penasaran. Karena sosoknya sangat tampan dan juga cukup mapan jika dilihat dari penampilannya.
Pria itu melempar senyum. Lesung pipinya yang ada dikedua sisi. Menambah begitu manisnya pria ini.
Bab 8 Lia merajukPOV IMAM"Mas, rumah berantakan banget sih. Kamu kok gak bersih-bersih?" tanya Lia yang baru bangun dari tidur. Wanita itu sekarang sudah tidak lagi bekerja. Semenjak kami menikah dan semenjak dia mengandung. Aku menyuruhnya berhenti bekerja. Aku takut jika terjadi apa-apa dengan bayi yang sedang ia kandung."Aku kan kerja, Sayang. Nanti biar Ibu yang beberes rumah." Aku mengusap rambut Lia dengan lembut. Lia memang berbeda dengan Bela. Dia manja dan sedikit keras kepala. Sedangkan Bela setiap hari bangun pagi lalu menyiapkan makanan untuk sarapan dan juga bekal yang dibawa ke pabrik. Rajin beberes rumah dan juga menyirami tanaman. Seminggu sudah dia pergi dari rumah. Tanamannya pun sudah banyak yang mati karena tak pernah tersentuh air."Lia juga laper, suruh Ibu sekalian bawa makanan!" pinta Lia dengan manja. Aku membuang napas dengan kasar. Pasti Ibu akan berbicara panjang lebar jika aku kembali menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, sekaligus membawa makanan
Bab 9POV Bela"Assalamualaikum," Salam terdengar dari Kania. Teman lamaku."Waalaikumsalam," Segera aku menghampirinya lalu menghamburkan pelukan kepada wanita yang sudah lama tidak bertemu itu."Apakabar, Bel? Kamu kok kurusan sih?""Iya, nih. Lagi diet," jawabku asal, sengaja aku tidak berterus terang. Ada banyak hal yang menjadi beban pikiranku. Sehingga tubuhku tergerus hingga menjadi kurus dan seperti tak terurus."Ow, ya kenalin. Dia Mas Arya, seorang pengacara yang sudah aku ceritakan kemarin." Aku mengangguk lalu melempar senyuman kepadanya."Ayo, masuk dulu! Kita bicara di dalam!"Segera aku mengajak mereka masuk kedalam rumah. Karena Emak dan juga Bapak sedang tidak ada dirumah. Jadi akulah yang mengambilkan minuman dan juga makanan ringan di dapur. Mungkin ini adalah langkah besar yang harus aku ambil. Dengan hati-hati aku menceritakan setiap detil kepada Mas Arya. Dan bukti foto.Ya, aku tidak bodoh seperti yang mereka pikir. Setiap kali aku mendapat pukulan maupun tendan
BAB 10"Waalaikumsalam," jawabku pelan. Lalu aku mengikuti Emak. Menjatuhkan bobot tubuhku ke kursi rotan yang berada di ruang tamu."Kamu ada masalah dengan Imam?" tanya Om Gunawan tanpa basa-basi."Iya, Om." jawabku singkat. Karena aku malas menjelaskan sesuatu hal yang menurutku pribadi kepada orang lain. Meskipun Om Gunawan adalah sepupu jauh Emak."Imam itu baik lho. Dia juga Sholeh, kamu rugi jika berpisah dengannya!" Rugi bagaimana? Yang ada aku akan sering ia sakiti."Maaf, Om. Kali ini Bela tidak bisa bertahan! Bela terlalu sakit hati, sudah cukup Bela bodo* selama ini. Membiarkan Mas Imam bertindak seenaknya sendiri. Tapi untuk kali ini dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya!""Maksud kamu apa Bela? Kamu tidak sungkan kepadaku? Yang sudah membayar hutang-hutang keluargamu?! Apa ini balasan darimu atas kebaikanku?""Kamu salah sangka Gunawan. Sebenarnya Imam itu …." Belum juga Emak menyelesaikan ucapannya. Om Gunawan sudah memotongnya."Kalau begitu bayar hutang-hutang
BAB 11 "Kamu kan tahu, Sayang. Aku lagi sakit, nanti kalau sudah sembuh pasti aku belikan!" "Iya, Lia ngerti kok. Ini diminum dulu, Mas. Air putihnya. Mas harus banyak-banyak minum. Biar cepet sembuh!" Segera aku minum air putih yang sudah dibawakan Lia hingga tandas tak tersisa."Tapi kan, Mas. Jaman sekarang kita gak perlu pergi, cukup dirumah barang bisa datang sendiri. Kita beli secara online? Gimana? Kalau Mas kontrol ke rumah sakit butuh motor. Lia periksa ke dokter juga pake motor. Motor itu penting! Tapi kalau motor model begituan, Lia gak bisa, Mas. Kita beli motor sekarang ya, Mas?" Lia mengerlingkan matanya entah kenapa menolaknya aku tak bisa. Aku hanya bisa mengiyakan semua permintaan Lia. Istri tercantik ku yang kini bersamaku.*******POV BelaAku segera masuk kedalam rumah. Menyelesaikan pekerjaanku membungkus jus dan lainnya."Itu tadi bukannya mertua kamu ya, Bel?""Eh, Emak. Ngagetin Bela aja. Iya, Mak. Tapi Bela usir. Bela gak mau balik lagi! Katanya Mas Imam kec
Bab 12"Bela baru saja mengantar dagangan ke warung, Mak." Ada keraguan untuk melanjutkan ucapanku. Namun Emak memperhatikanku dengan serius. Wanita tua itu adalah malaikatku. Bagaimana bisa aku tak jujur dengannya? Memendam sakit itu sendiri rasanya sangat luar biasa."Ada apa?""Bela takut, Mak!""Kamu takut apa khawatir? Ada Allah. Kamu berserah diri sama Allah. Dia maha segala-galanya. Dialah yang memberi kita cobaan, tanyakan pada-NYA bagaimana mengatasinya?" Emak mengusap rambutku dengan lembut. Bulir-bulir air bening pun berdesakan ingin keluar. Sedangkan tanganku masih sibuk menyatukan piring kotor yang hendak dicuci."Semua tetangga membicarakan Bela, Mak. Status Bela saja masih diproses belum juga jadi janda. Bela khawatir banyak fitnah nantinya!"Emak mengulas senyum. Wanita itu memang bisa diandalkan. Semua beban ku bagi dengannya."Kamu takut jadi omongan orang? Kamu takut jadi janda? Terus kalau kamu jadi istri Imam lagi, kamu mau berbagi suami? Kamu mau disakiti lagi?"
Bab 13 bimbangAku membalas sapaan Mbak Arumi tak kalah ramah. Dia menyuruhku memanggil Mbak. Katanya agar lebih dekat saja ujarnya. Mbak Arumi duduk berdampingan dengan Mas Arya. Entah mengapa melihat keharmonisan rumah tangga mereka rasanya aku iri. Kenapa tak kudapati dengan rumah tangga yang aku bina selama ini? Mas Imam berubah setelah aku mengatakan diriku mandul. Apakah ada yang salah? Padahal semua orang sudah mempunyai jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tapi apakah hanya sedalam itu dia mencintaiku?Aku mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Entah mengapa nama Mas Imam masih saja hinggap di pikiranku. Padahal jika aku mau bisa saja aku kesana dan menanyakan keadaannya. Tapi tak kulakukan. Nia menyenggol lenganku. Hingga membuyarkan lamunanku."Mikirin apa sih, Bela?" tanya Mbak Arumi. Reflek aku hanya tersenyum sambil membenahi rambut yang ternyata sudah tertutup dengan jilbab.Tidak mungkin jika aku menjawab sedang memikirkan calon mantan suami. Ah, membayangk
Bab 14 kedatangan RatnaAku menghela napas panjang. Meskipun bapak tidak melanjutkan ucapannya. Tapi aku mengerti akan seperti apa pada akhirnya.Aku terdiam sejenak. Menyatukan kata agar terdengar tidak egois."Bela, masuk dulu! Biar nanti Bela nyari solusi gimana baiknya. Masalah pengacara, biar nanti saya bicarakan dengan Nia dan Mas Arya. Mereka lebih tahu!"Emak mengusap punggungku dengan lembut lalu mengangguk. Keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak uang yang kami butuhkan. Ah, andai waktu bisa kuputar kembali. Sudahlah, tak baik jika terus merutuki jalan takdir yang sudah diberikan Allah. Aku beranjak dari tempat duduk. Berjalan gontai menuju kamar. Kujatuhkan bobot tubuhku diatas kasur. Sedangkan tas masih dalam dekapan.Aku meraih ponsel yang berada di dalamnya. Keningku mengkerut tak percaya melihat beberapa pesan di aplikasi berwarna hijau."Ibu? Ngapain ibu kirim pesan sama aku?" Banyak pertanyaan yang muncul begitu saja dalam pikiranku. Segera aku buka pesan
Bab 15Apakah aku tidak salah dengar? Wanita itu tanpa malu meminta ku kembali kerumah yang seperti neraka. Tak ada raut wajah bersalah atau sekedar meminta maaf. Tapi rasanya sulit sifat manusia itu berubah dengan cepat. Melihatnya saja, aku sudah bisa menebak. Dia dijadikan menantunya pembantu di rumah anak sendiri. Sehingga mencoba memintaku kembali agar semua tugas aku yang mengerjakan. Ow, tentu tidak akan pernah terjadi. Aku bersumpah untuk itu."Anda bicara seperti itu tidak mempunyai hati apa? Anda tidak mempunyai malu dengan kami? Meminta maaf kepada kami saja tidak anda lakukan. Dan sekarang tanpa malu meminta anak saya pulang?! Jangan pernah berharap itu terjadi. ku, Ibu yang sudah melahirkannya. Akan menjadi orang pertama yang menolak Bela rujuk dengan Imam. Dengar itu baik-baik!" Emak menahan amarah. Terlihat dari tangannya yang mengepal. Rahangnya pun mengeras, wajah yang tadi teduh berubah menjadi merah padam."Sabar, Mak!" Bapak mencoba menenangkan wanita yang duduk