Share

Bagian 6

POV Meylina

"Wanita yang bersamamu di rumah ujung komplek siapa?" Tanyaku sambil menggengam erat tangannya. Seketika mas Agung tampak kaget mendengar pertanyaanku. Ia terdiam cukup lama untuk menjawab sebuah pertanyaan sederhana.

Aku menatap matanya lekat untuk mencari kejujuran di dalam sana, berharap jawaban dari mas Agung akan membuatku melupakan segala fikiran buruk yang sedari kemarin menggangguku.

"Wanita? Maksud kamu apa?" Tanyanya dengan ekspresi yang tampak sedikit bingung, kemudian aku menjelaskan padanya bahwa ibu kemarin bertanya tentang rumah di ujung komlek karena bu Ida memberitahunya bahwa bu Ida melihat Mas Agung bersama seorang wanita yang tampak seperti akan pindah rumah.

Aku menangkap sedikit rasa cemas dari mata mas Agung, matanya kini tak lagi menatap mataku. 

"Mungkin bu Ida salah liat sayang, waktu itu mas kan udah kirim pesan ke kamu kalo mas harus ketemu klien, masa kamu lupa sih." Ucapnya lagi tanpa menatap mataku, padahal biasanya jika sedang berhadapan seperti ini mas Agung selalu menatap mataku. 

Aku ingat pada hari itu mas Agung memang mengirimiku pesan bahwa akan pulang sedikit telat karena harus menemui klien, saat itupun mas Agung pulang ke rumah tak begitu malam. Aku menarik seulas senyum, mencoba peecaya akan apa yang mas Agung katakan.

"Ya udah mas, mungkin memang Bu Ida salah liat, kalo gitu aku istirahat dulu yah." Aku langsung membaringkan tubuhku karena jujur aku merasa badanku benar- benar tak bertenaga.

"Tapi mas harus kembali ke kantor, kamu ngga apa-apa kan?" Ucapan mas Agung membuatku kembali merasa jika mas Agung memang sedikit berubah. Jika dulu saat aku pingsan mas Agung sampai tak berangkat bekerja hingga keesokannya walau aku paksa, meskipun saat itu ada meeting penting mas Agung rela membatalkannya karena mengkhawatirkanku, dan memilih menemaniku hingga benar-benar pulih, tapi sekarang? 

"Mas ada meeting yang nggak mungkin mas tinggalin sayang." Ucap mas Agung seolah tahu fikiranku terhadap sikapnya. "Tapi mas janji mas gak akan pulang malem, habis rapat mas bakal langsung pulang."

Aku hanya mengangguk saat mas Agung mencium keningku dan beranjak pergi. 

Berbaring di tempat tidur tak serta merta membuatku tertidur. Entahlah, aku benar-benar merasa tak tenang memikirkan mas Agung, jauh di dalam hati aku yakin mas Agung tengah menyembunyikan sesuatu, tapi akupun tak yakin apa yang mungkin mas Agung sembunyikan dariku.

Aku mencoba melihat-lihat akun media sosialnya, berharap menemukan sesuatu, namun semuanya tampak normal, bahkan tak ada satupun hal yang bisa membuatku curiga terhadapnya.

"Apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan?" Gumamku dalam hati.

Satu minggu berlalu, keadaanku sudah benar-benar sehat sejak 2 hari lalu, akupun sudah mulai pergi ke butik untuk bekerja karena jika berdiam di rumah saja sungguh membuatku suntuk. Namun mas Agung seminggu ini selalu pulang telat. Aku tak lagi mencurigainya, karena aku percaya ia tak akan melakukan apapun yang akan membuatku sakit, jikapun ia terlambat pulang ia selalu mengabariku jadi kuanggap semuanya normal.

Hari itu aku baru ingat bahwa aku di anjurkan untuk melakukan USG oleh dokter di rumah sakit saat itu, Sebelumnya pun aku lupa tak memberitahu pada mas Agung. Mumpung pekerjaan di butik sedikit santai aku berniat akan mengunjungi dokter kandungan sore ini sendiri karena tadi pagi mas Agung memberitahuku bahwa sore ini akan pulang telat.

Aku fikir tak apa aku pergi sendiri toh hanya pemeriksaan biasa, aku hanya berharap hasilnya akan baik-baik saja.

Saat tiba di klinik dokter kandungan yang tak jauh dari butik aku langsung mendaftar dan mendapat antrian no 5. Tak begitu lama namaku di panggil.

"Ibu Meylina, ada yang bisa saya bantu bu?" Tanya dokter cantik yang kutaksir belum berumur 40 tahun itu dengan senyum ramahnya.

"Seminggu yang lalu saya masuk UGD karena sakit perut datang bulang dok, jadi dokter dari UGD menyarankan saya untuk melakukan USG." Terangku. Dokter bernama Citra itu terlihat diam sejenak. Kemudian menanyaiku tentang hal-hal yang berkaitan dengan sakit perut yang kualami jika sedang datang bulan, hingga sangat mendetail.

"Dari yang bisa saya simpulkan Ibu Meylina bisa saja mengidap Endometriosis." Ucapnya tenang namun membuat dadaku berdebar.

"Endometriosis?". Jujur aku terkejut dan tak mengerti, aku hanya berharap jika itu bukanlah penyakit berbahaya.

"Endometriosis adalah penyakit pada sistem reproduksi wanita. Kondisi ini dapat menyebabkan jaringan dari lapisan dalam dinding rahim tumbuh di luar rongga rahim. Endometriosis terjadi saat jaringan endometrium tumbuh di luar rahim. Jika seorang wanita mengidap endometriosis, jaringan tersebut juga mengalami proses penebalan dan luruh, yang sama dengan siklus menstruasi. Namun, darah tersebut akhirnya mengendap dan tidak bisa keluar karena terletak di luar rahim sehingga dapat mengiritasi jaringan di sekitarnya" Dokter Citra menjeda penjelasannya dan menatapku dengan senyum, namun aku tak lagi bisa fokus, aku mulai takut.

"Gejala endometriosis umumnya menimbulkan rasa sakit yang luar biasa pada sekitar pinggul dan perut bagian bawah. Gejala akan terasa paling parah sebelum dan selama siklus menstruasi, selain itu volume darah yang berlebihan saat menstruasi, darah serta pendarahan di luar siklus menstruasi juga termasuk gejala endometriosis. Pengidap endometriosis juga bisa mengalami gejala lain, seperti konstipasi, diare, kelelahan, dan mual selama periode menstruasi, dan itu semua Ibu Meylina alami"

"Tapi dok, apakah penyakit tersebut berbahaya? dan apa mungkin itu juga penyebab hingga saat ini saya belum bisa hamil?" Tanyaku benar-benar khawatir. Aku benar-benar takut jika ternyata kondisiku lah yang membuatku tak kunjung hamil, sungguh aku takut ini akan membuat mas Agung dan Ibu mertuaku kecewa, karena selama ini aku selalu meyakinkan pada mereka bahwa semuanya baik-baik saja, tapi sekarang? bagaimana aku bisa yakin semuanya akan tetap baik-baik saja jika ternyata ada yang salah dalam tubuhku.

"Wanita yang mengidap penyakit ini sebenarnya masih bisa hamil, namun itu semua tergantung pada tingkat keparahan endrometriosis tersebut. untuk memastikannya kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan. Dan agar benar-benar yakin tindakan yang akan dilakukan adalah pemeriksaan laparoskopi".

Ucapan dokter Citra membuatku shock, aku benar-benar tidak siap, aku hanya bisa terdiam dengan mata yang mulai mengembun, kurasakan ada yang berlomba keluar dari sudut mataku, hingga tak terasa aku mulai terisak.

"Ibu tidak perlu khawatir, insyaallah akan ada jalan, sejauh pengalaman saya dan pasien saya yang menderita penyakit ini, beberapa dari mereka tetap berhasil hamil, meskipun perjuangan mereka tetaplah di atas wanita tanpa penyakit. Sbelumnya mari kita peeiksa melalui USG terlebih dahulu ya bu"

Asisten dokter yang sedari tadi berdiri di samping ranjang pemeriksaan membimbingku membaringkan tubuh di atas ranjang, kemudian dokter muali melakukan prosedur pemeriksaan USG.

Setelah selesai dokter menjelaskan kembali tentang pemeriksaan laparoskopi, namun aku memberitahu dokter Citra bahwa akan mendiskusikan terlebih dahulu hal ini pada Mas Agung.

Setelah selesai berkonsultasi aku langsung keluar. Fikiranku sangat kalut, dengan rasa takut yang mendominasi, bukan takut dengan penyakitku, tapi aku takut akan mengecewakan Mas Agung. Jujur akupun takut Mas Agung tak siap menerima keadaanku. Apalagi setelah menanti 4 tahun dengan sabar namun yang di dapat adalah kabar buruk. Meskipun dokter Citra tadi meyakinkanku bahwa kemungkinanku bisa hamil masih ada tapi membayangkan perjuangan yang akan kami lalui menjadi lebih panjang dan berat membuat nyaliku menciut.

Dalam perjalanan pulang aku berniat mampir sebentar ke rumah ibu mertuaku untuk menceritakan keadaanku. Aku berharap setelah bercerita pada ibu, nantinya aku akan lebih siap untuk menceritakan hal ini pada mas Agung. Maka kuputuskan untuk mampir membeli roti terlebih dahulu di toko roti langganannya.

Saat sampai di pelataran toko aku menangkap sosok yang sangat aku kenal tampak seperti sedang bersitegang dengan seorang wanita. Kuperhatikan lagi karena takut salah mengenali. Namun ternyata sosok itu memang benar Ibu mertuaku, tapi hal yang membuatku kaget adalah sosok wanita yang tampak tengah bersitegang dengan ibu mertuaku. Ya akupun mengenalnya, ia adalah mbak Santi, wanita yang sempat mebawaku ke rumah sakit saat aku pingsan seminggu yang lalu.

"Apa yang terjadi?, Apa mungkin ibu mengenal mbak Santi? Tapi kenapa mereka tampak bersitegang?" Banyak pertanyaan muncul dalam benak. Dan rasa khawatir terhadap ibu membuatku langsung turun dari taksi online yang kutumpangi untuk menghampiri mereka.

Saat jarakku sudah dekat dengan mereka samar kudengar Ibu tengah memaki mbak Santi.

"Untuk apa kau kembali dalam hidup kami? Sudah cukup putraku dulu menderita karenamu." Teriak Ibu.

"Aku minta maaf bu, aku khilaf, kumohon maafkan aku." Iba mbak Santi sembari memegang tangan ibu.

Saat jarakku dengan mereka semakin dekat, mbak Santi melihatku, ia langsung melepaskan genggaman tangannya. Ia tampak benar-benar terkejut melihatku. Kemudian Ibu pun menoleh kearahku. Sama halnya dengan Mbak Santi ibu pun tampak terkejut melihatku.

"Ibu? Ibu kenapa? apa yang terjadi? Apa ibu punya masalah dengan mbak Santi?" Tanyaku tanpa basa basi karena aku khawatir melihat ibu yang berderai air mata.

"Santi?" Ibu malah balik bertanya padaku. "Santi siapa yang kamu maksud nak?"

"Ini mbak Santi bu, aku mengenalnya seminggu lalu, ia adalah orang yang menolong dan membawaku ke rumah sakit saat pingsan, apa ibu punya masalah dengan mbak Santi?" Jujur aku bingung, aku tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi, kenapa bisa sangat kebetulan sekali aku mendapati ibu bersitegang dengan wanita yang baru satu minggu lalu aku kenal.

"Apa Santi yang kamu maksud adalah wanita ini nak?" Tanya ibu sambil melempar tatapan tajam ke arah mbak Santi. Tampak jelas rasa benci di dalamnya.

"Apa kau sengaja mendekati menantuku untuk menghancurkan dan menyakitinya hah?" Ibu bertanya begitu lantang pada mbak Santi, namun aku semakin tak mengerti, kenapa pula ibu berfikiran mbak Santi ingin menyakitiku, memang siapa dia, tanyaku dalam hati. Kulihat mbak Santi hanya menundukkan kepala, tanpa berani menatapku atau ibu.

"Dengar wanita tak tahu diri, sebaiknya kamu pergi, jangan pernah muncul di depanku, atau di depan anak dan menantuku lagi, cukup kau menyakiti kami dulu. Sudah untung kami tak menuntutmu karena membawa uang anakku pergi". Ucapan ibu membuatku teringat Susan.

"Tunggu bu, maksud ibu mbak Santi pernah mebawa pergi uang mas Agung juga seperti Susan?" Tanyaku dengan mata melotot tak percaya.

"Dialah Susanti, wanita kurang ajar yang membawa kabur uang suami kamu dulu". 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status