Dimas begitu terpukul mendengar penolakan dari istrinya. Namun demi menunjukkan rasa sayang dan ketulusan hatinya, Dimas mengalah. Dia tak mau lagi bersikap kasar dan memaksa wanita itu. Dia akan menunggu sampai Dwi benar-benar siap."Mas akan menunggu kamu, Dwi. Mas juga akan buktikan kalau Mas tidak main-main dengan ucapan Mas."Dengan membawa rasa kecewa, Dimas keluar dan meninggalkan istrinya untuk menenangkan diri.Dwi langsung bergerak dan mengunci pintu. Lalu menjatuhkan diri, duduk bersandar di balik pintu. Dia menangis sambil memeluk lututnya sendiri. Dia tak menyangka, ciuman pertamanya telah dimiliki Dimas malam ini.*Di ruangan terpisah, Lena duduk bersandar dalam dekapan seseorang di sofa apartemen milik seorang pria. Pakaian yang sebagian terbuka menunjukkan bahwa keduanya baru saja melakukan pertempuran yang luar biasa."Kamu bahagia sekarang, kan, Sayang?" Pria itu mengecup ceruk leher Lena dengan lembut."Tentu saja, Rangga. Aku senang kok, bisa sama kamu seperti ini
"Hentikan itu, Len! Jangan lagi mengungkit masa lalu. Ini terakhir kali kamu ke sini. Kalau tidak ingin dipermalukan karena diusir oleh sekuriti, jangan pernah lagi menginjakkan kaki ke tempat ini lagi!" Dimas berucap tegas sembari mendorong tubuh Lena agar menjauh."Masa lalu?" Lena mendecih. "Kamu anggap aku apa? Habis manis sepah dibuang. Kamu harus tanggung jawab dengan bayi yang ada di perutku ini!" Lena tersenyum licik."Apa?" Dimas terperanjat ketika mendengar ucapan wanita itu."Aku hamil. Dan itu anak kamu!"Dimas melotot sembari menelan ludah. "Jangan main-main, Lena. Bagaimana bisa?""Main-main? Kamu nggak ingat apa yang kita lakukan di villa sebulan yang lalu?"Dimas memutar ulang memori di kepalanya. Saat itu Dimas baru saja mendengar kabar yang mengejutkan. Orang tuanya meminta dia untuk menikahi Dwi. Saat itu papanya sudah sakit-sakitan. Lalu meminta Dimas untuk mengabulkan permintaannya agar bisa tenang dan cepat sembuh.Tentu saja Dimas tidak langsung menerima. Apal
Dimas merasa tak percaya dengan apa yang dia lihat. Foto saat dirinya bertelanjang dada dan tertidur sambil memeluk Lena. Sungguh dia tidak mengingat peristiwa apa yang terjadi hingga dia harus berada dalam posisi seperti itu."Tidak, Lena. Itu tidak mungkin. Aku tidak pernah melakukan hal serendah itu padamu." Lutut Dimas bergetar, lemas."Tidak mungkin apanya? Kamu lihat sendirikan, wajah kamu begitu lelah karena kehabisan tenaga?" Lena tertawa mengejek."Kamu pasti menjebakku, kan?" Dimas memegang bahu Lena dengan kuat."Jangan beralasan, Dim! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.""Bohong! Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?""Tentu saja karena aku masih percaya sama kamu. Tapi kenyataannya sekarang kamu benar-benar telah mengkhianatiku. Dan sekarang, kamu nggak bisa mengelak lagi. Kamu harus menikahiku.""Tidak. Tidak bisa. Aku sudah menikah.""Aku tidak peduli. Kamu harus ceraikan anak pungut itu dan segera nikahi aku. Aku nggak mau anakku lahir tanpa ayah." "Berhen
Dimas berusaha menghentikan langkah istrinya. Namun, Lena langsung menarik tangannya agar Dimas tak kemana-mana."Lepaskan aku!" Dimas membentak Lena."Aku berhak melarang kamu. Kamu ayah dari anakku!" Lena balas membentak."Jangan mimpi! Lakukan saja test DNA. Aku bukan orang bodoh yang langsung percaya pada bualanmu!" Dimas menatap tajam wanita di hadapannya.Lena terperanjat. Dia tak berpikir jika Dimas akan berpikir ke arah sana. Lena mengira bahwa Dimas akan melunak karena mereka akhirnya punya alasan untuk menikah. Ternyata Lena salah. Bukannya bahagia mendengar bahwa mereka akan memiliki anak dari buah cinta mereka, Dimas malah murka dan menuduhnya yang bukan-bukan.Lena tampak bersedih. Air matanya mengalir mendapatkan perlakuan Dimas yang kasar seperti itu. Dan lebih parahnya lagi, sedikit pun Dimas tak mempercayai ucapannya.*"Dwi, kamu kenapa?" tanya Arya ketika berpapasan dengan Dwi di sebuah lorong menuju toilet.Tanpa menjawab, gadis itu langsung menerobos masuk, tak m
Setelah membuat Lena shock dengan sikapnya, Dimas keluar untuk menyusul Dwi. Dia berjalan cepat mencari Dwi ke mejanya. Namun istrinya sedang tak berada di sana."Mana Dwi?" tanya Dimas pada karyawati yang duduk di sebelah Dwi."Katanya mau mengantar dokumen ke ruangan Pak Arya, Pak," sahut gadis berkemeja abu-abu itu.Dimas langsung bergegas menuju ruangan Arya. Tanpa mengetuk pintu pria yang sedang dilanda kecemasan itu mendorong paksa pintu kayu berwarna cokelat di hadapannya.Di dalam pikirannya, saat ini Dwi sedang menangis mengadu pada sahabatnya itu, dan Dimas tak ingin Arya mengambil kesempatan dengan memeluk istrinya dengan dalih menenangkannya.Namun saat pintu terbuka, ruangan itu kosong. Tak ada Dwi di sana, maupun pemilik ruangan itu.Dimas meremas rambutnya sendiri. Merasa frustasi bahwa kini Dwi dan Arya menghilang bersamaan. Bayangan Dwi menangis di pelukan Arya menari-nari di kepalanya. Andai saja itu benar, dia bersumpah akan meninju wajah Arya saking geramnya.Dimas
"Istri?" sindir Arya. "Emang istri kamu ada berapa? Kamu pikir aku nggak tahu bagaimana selama ini kamu memperlakukan Dwi?""Kamu__." Dimas ingin kembali mendekatinya. Namun tangan Dwi kuat memegangi lengan berotot pria itu.Dimas menatap Dwi yang sedang menangis bercampur dengan ketakutan. Rasa amarah tadi menjadi rasa iba melihat istrinya yang begitu menderita karena ulah dirinya."Keluar! Mas akan jelaskan semuanya." Dimas menatap istrinya dengan lekat."Dwi nggak mau mendengar apa pun lagi. Semuanya udah jelas. Dwi memang bodoh karena hampir percaya dengan ucapan Mas. Tapi Dwi nggak buta! Mata Dwi jelas melihat Mas Dimas berpelukan dengan wanita itu. Jadi kita akhiri sampai di sini!" "Kamu salah paham! Itu nggak seperti yang kamu pikirkan. Sekarang ikut Mas. Kita bicarakan dengan tenang." Dimas menarik tangan Dwi dan menyeretnya. Namun Dwi tidak mau hingga membuat Arya kembali turun tangan."Lepaskan dia, Dim! Dwi nggak mau ikut sama kamu!""Jangan ikut campur urusan rumah tangga
Arya menatap Dimas tak percaya. Hatinya begitu terluka. Meski Arya tak pernah tahu bahwa sejak menikah, Dimas tak pernah menyentuh istrinya, namun dia tak menyangka bahwa pada akhirnya Dwi benar-benar telah menjadi milik sahabatnya, seutuhnya.Arya merasa kecewa. Harapannya tentang perceraian sepasang suami istri itu musnah sudah. Meski Dwi menginginkannya, wanita itu bisa saja berubah pikiran dengan anak yang kini ada di dalam kandungannya."Jangan main-main, Dimas! Anak pungut itu tidak mungkin hamil," sanggah Lena dari belakang. Merasa tidak terima dengan pengakuan Dimas."Apa yang tidak mungkin? Dwi adalah istriku. Aku halal melakukan apa saja padanya. Jadi jangan bermimpi aku akan menceraikannya." Dimas harus terlihat percaya diri.Pria itu hanya mengarang cerita agar Arya dan Lena berhenti mengharapkannya menceraikan Dwi. Padahal Dimas sendiri sadar, sekali pun dia belum berhasil mendapatkan haknya sebagai seorang suami."Tapi kamu sudah berjanji padaku, Dim. Kamu bilang tidak a
"Dimas, aku__.""KELUAR!" Lena tak bisa berbuat apa-apa. Melihat wajah Dimas yang murka membuatnya tak berani bertindak lebih jauh. Dia harus menunggu dan memikirkan cara lain.'Kamu pasti akan menikahi aku, Dim. Bagaimanapun caranya.'*Arya mengambil benda pipih dari saku celananya, kemudian mencari nama kontak untuk menghubungi mamanya."Apa? Dwi pingsan?" Suara Sonia membuat Arya memijat pelipisnya sendiri.Mau tak mau Arya harus memberitahu apa yang terjadi. Hanya saja dia tak berani menyampaikan kabar pada mamanya Dimas, bahwa Dimas telah menghamili wanita selain istrinya."Kasihan Dwi, Arya. Mama nggak nyangka kalau Dimas sampai tega seperti itu pada istrinya.""Arya juga bingung, Ma. Dimas bersikeras nggak mau melepas, Dwi. Bahkan untuk menolong Dwi yang tengah pingsan pun, Arya merasa nggak berhak. Arya harus bagaimana, Ma?""Ya udah. Kamu turuti aja apa maunya Dimas. Bagaimanapun, Dimas memang lebih berhak pada istrinya. Kamu menjauh dulu dari mereka. Biar mama hubungi tante