"Dimas, aku__.""KELUAR!" Lena tak bisa berbuat apa-apa. Melihat wajah Dimas yang murka membuatnya tak berani bertindak lebih jauh. Dia harus menunggu dan memikirkan cara lain.'Kamu pasti akan menikahi aku, Dim. Bagaimanapun caranya.'*Arya mengambil benda pipih dari saku celananya, kemudian mencari nama kontak untuk menghubungi mamanya."Apa? Dwi pingsan?" Suara Sonia membuat Arya memijat pelipisnya sendiri.Mau tak mau Arya harus memberitahu apa yang terjadi. Hanya saja dia tak berani menyampaikan kabar pada mamanya Dimas, bahwa Dimas telah menghamili wanita selain istrinya."Kasihan Dwi, Arya. Mama nggak nyangka kalau Dimas sampai tega seperti itu pada istrinya.""Arya juga bingung, Ma. Dimas bersikeras nggak mau melepas, Dwi. Bahkan untuk menolong Dwi yang tengah pingsan pun, Arya merasa nggak berhak. Arya harus bagaimana, Ma?""Ya udah. Kamu turuti aja apa maunya Dimas. Bagaimanapun, Dimas memang lebih berhak pada istrinya. Kamu menjauh dulu dari mereka. Biar mama hubungi tante
Ratih terhenyak. Bukannya wanita paruh baya itu tak menyangka akan apa yang Sonia ucapkan. Wanita itu sendiri tahu bahwa putranya memang bersalah karena telah menjalin hubungan dengan wanita lain di luar pernikahan.Namun yang membuat Ratih syok adalah Dimas telah melanggar norma-norma agama sedemikian parah hingga membuahkan kehamilan. Dirinya merasa sia-sia telah membekali putra semata wayangnya itu dengan rasa tanggung jawab dan juga moral."Ratih. Kamu enggak apa-apa, kan?" Sonia khawatir melihat Ratih yang terdiam tanpa sepatah kata pun."Jangan khawatir, Nia. Aku masih kuat." Bulir bening menetes di pipinya."Kamu tenang dulu ya, Tih. Siapa tahu wanita itu hanya memfitnah Dimas. Kamu dan aku sama-sama tahu bagaimana perangai Dimas selama ini, kan?" ucap Sonia menguatkan sahabatnya.Ratih menghela napas, merasa terbebani dengan cobaan yang datang bertubi-tubi. Belum lagi selesai satu masalah, sudah timbul masalah lain lagi. Tadinya Ratih sudah mulai tenang dengan sikap Dimas. Di
Dwi tak menjawab. Hanya menangis dengan semakin sesenggukan. Ratih mengerti bagaimana perasaan wanita itu. Ratih pun bisa melihat bahwa menantunya itu sudah mulai memberikan hatinya pada Dimas. Dari tatapan dan caranya menatap suaminya di meja makan, Ratih tahu bahwa sudah ada benih-benih cinta di antara mereka.Untuk itu lah Ratih tak pernah lagi membicarakan perceraian. Berharap kedua anak menantunya akan berdamai sebelum seratus hari kepergian suaminya."Jangan khawatir, Sayang. Ada mama di sini. Mama akan sepenuhnya berada di pihak kamu."Dwi menggenggam erat tangan mama mertuanya. Dwi tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. "Kenapa kamu pingsan? Apa yang sedang kamu pikirkan?" Ratih mencoba memancing perasaan Dwi.Dia melihat kali ini menantunya itu terlihat lebih rapuh. Padahal sebelumnya gadis itu begitu tegar, bahkan setelah tahu bahwa Dimas memiliki kekasih dan ingin menceraikannya.Namun kali ini Dwi berbeda. Membuat Ratih yakin kalau Dwi telah benar-benar jatuh cinta
"Hentikan sandiwara konyol kamu!" Ratih menahan tangan Lena yang masih histeris saat memukul-mukul perutnya sendiri.Wanita paruh baya itu tahu bahwa Lena sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatiannya. Namun demi anak yang dikandung gadis itu, Ratih mengalah.Dia khawatir anak yang dikandung Lena benar-benar anak Dimas. Tentu saja dia tak tega jika anak itu harus meninggal akibat ibunya yang sedang frustrasi.Lagipula semua orang tahu bahwa Dimas dan Lena berpacaran. Mau tidak mau tuduhan sebagai ayah dari anak yang dikandungnya adalah Dimas. Rasa tanggung jawab adalah pesan yang selalu ditanamkan Ratih pada putra semata wayangnya itu."Biarin aja dia, Ma! Itu bukan anak Dimas. Terserah dia mau menggugurkan anak itu atau tidak!"Dimas tak lagi terkecoh oleh sandiwara wanita yang dulu dicintainya itu."Tega kamu, Dim! Begini cara kamu? Habis manis sepah dibuang? Kamu mau membuang aku setelah mendapatkan wanita yang lebih muda? Laki-laki macam apa kamu?" Lena merasa begitu terpuk
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya air mata Ratih mengalir. Ternyata keputusannya untuk menikahkan Dwi dan Dimas harus berakhir seperti itu. Ratih merasa bersalah karena merasa telah menghancurkan masa depan dan cita-cita Dwi. Untuk itu dia ingin segera memperbaikinya.Sonia pulang dengan diantar sopirnya, sedangkan Arya menawarkan diri untuk mengantar Dwi dan Ratih pulang. Dia tak sampai hati melihat Dwi begitu terpukul atas perbuatan suaminya."Ma, kenapa mama mengusir mas Dimas? Dwi jadi merasa bersalah. Biar Dwi aja yang pergi, ya?" Dwi membuka percakapan di dalam mobil.Arya yang sedang menyetir, menoleh ke arah Dwi yang duduk di sampingnya."Memangnya kamu mau ke mana? Kamu tega ninggalin mama?" Ratih mengusap air matanya "Tapi mas Dimas anak mama. Apa kata orang nanti kalau tau mama mengusir mas Dimas karena Dwi?""Apa kamu juga bukan anak mama? Sudahlah, Dwi. Biar saja Dimas seperti itu. Dia harus belajar bertanggung jawab atas perbuatannya. Kamu fokus aja sama kehamilan ka
Dwi terdiam. Hatinya kini menangis. Baru saja dia berniat mengecap indahnya pernikahan bersama suami yang mulai dia cintai, kini harus kembali kehilangan.Dwi tak lagi menyahuti ucapan mertuanya. Merasa serba salah karena kini suaminya belum bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.Dwi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu membuang pandangan ke arah jendela. Menatap mobil yang lalu lalang di sepanjang jalan. Larut dalam pikiran.*Sesampainya di rumah, Dwi langsung naik ke lantai atas menuju kamarnya. Mamanya heran melihat sikap Dwi yang jadi lebih pendiam. Membuat Ratih berpikir bahwa menantunya itu begitu terpukul dengan kelakuan anaknya.Dwi mengurung diri sepanjang hari. Hingga dia tersentak saat mendengar suara seseorang memintanya utuk turun."Disuruh ibuk makan malam, Mbak Dwi."Dwi turun setelah selesai mandi. Menemui mamanya yang sedang menunggu di ruang makan, sendirian."Mas Dimas belum pulang, Ma?" tanya Dwi."Biarin aja. Mana mungkin anak itu berani pulan
"Belum, Mas. Apa mungkin mas Dimas di rumah Lena, ya?" Suara Dwi terdengar kecewa. Dan Arya bisa merasakannya."Sudah coba telepon, Dwi?""Belum, Mas.""Kenapa?"Dwi tak menjawab."Mau Mas yang hubungi?" Arya menawarkan bantuan.Dwi yang sudah menyaksikan pertengkaran mereka di kantor tadi merasa tidak enak hati."Enggak usah saja, Mas. Biarin aja. Sudah, ya. Maaf ganggu Mas Arya malam-malam. Assalamualaikum."Dengan cepat Dwi mematikan panggilan meski belum ada jawaban salam dari Arya. Dirinya merasa bersalah, namun tak tahu harus berbicara pada siapa.Dwi lalu membaringkan diri di atas ranjang. Masih tetap mendekap benda pipih canggih itu di dadanya. Berharap ada keajaiban yang membuatnya memiliki kekuatan untuk menghubungi suaminya. Asal dia tahu Dimas baik-baik saja. Itu sudah cukup untuknya.Saat larut dalam pikiran, tiba-tiba ponsel Dwi berdering. Ada panggilan masuk dari Dimas. Tangan Dwi bergetar. Bingung harus menjawabnya atau tidak.Tak lama nada dering berhenti. Disusul not
"Dwi! Jangan lakukan itu, Dwi. Mas mohon. Beri kesempatan sama Mas sekali ini saja. Sumpah demi Allah, Sayang. Sekali pun Mas nggak pernah menyentuh Lena." Dimas terdengar panik. Dia tidak menyangka kalau mamanya akan mengambil keputusan dengan cepat."Itu sudah jadi keputusan Mama, Mas. Dwi nggak bisa berbuat apa-apa." Dwi tampak pasrah. "Dwi sudah bilang sama mama kalau Dwi nggak hamil.""Kenapa kamu lakukan itu, Dwi? Mas mengatakan itu untuk menyelamatkan pernikahan kita. Lena pasti akan terus mengancam Mas agar menceraikan kamu jika Mas tidak berkata seperti itu.""Tapi Dwi nggak mau membohongi mama, Mas. Mas Dimas tega memberi harapan palsu sama mama? Mama pasti akan bertambah marah jika tahu bahwa cucu yang diidam-idamkannya itu tidak ada. Kenapa Mas tidak menikahi Lena saja? Bukankah itu juga akan menjadi cucu mama juga?" Dwi tak dapat lagi menahan tangisnya.Hatinya begitu perih mengucapkan kalimat-kalimat yang sebetulnya sangat bertentangan dengan hatinya. Jauh di lubuk hatin