Share

Mengadu Pada Akbar

Pukul delapan lebih, para pelanggan tidak sepadat pagi tadi. Ibu mertua kembali datang dengan wajah yang seperti biasa. Kusut seperti lap pel.

Kuharap pagi-pagi Ibu tidak membuat keributan denganku. Bisa malu aku dilihat yang lain. Tadinya aku berniat bertanya langsung padanya setelah aku menutup warung sejam lagi. Aku penasaran, ingin tahu alasannya membenciku selama ini.

Kebetulan orang yang kupikirkan datang kembali ke warung.

"Kamu tiap hari sibuk begini?" tanyanya ketus. Sepertinya Ibu sengaja datang, menunggu saat warung sepi hingga tak ada orang yang melihat watak aslinya.

Aku tersenyum menanggapinya meski dalam hati dongkol.

  "Iya Bu, alhamdulillah, masih banyak peminatnya."

"Pantes aja kamu membiarkan Akbar  sendirian menyiapkan sarapan pagi dan baju kerjanya. Huh, urusan duit aja cepat, ngurus suami abainya minta ampun. Mana Akbar harus bangun tengah malam, nganterin dulu kamu belanja, melayani pembeli. Kamu itu ya, benar-benar istrinya nggak tau diri!! Kamu anggap anakku itu kacung, hah?!" Lagi, kata menyakitkan itu terlontar dari bibirnya.

"Kok Ibu ngomong gitu, sih. Kami 'kan bagi-bagi tugas, lagi pula kami sudah biasa. Apa salahnya coba dia ikut membantu." Mataku memerah mendengar perkataan ibu yang berhasil menusuk dadaku.

"Nah, nah, mulai lagi. Kamu itu ya, kalau dibilangin memang nggak pernah sekali aja sadar diri. Ngebantah melulu! Nggak sadar hidupnya nyusahin si Akbar terus!!" 

"Mas Akbar nggak pernah protes kok, Bu. Jadi—"

"Bukan berarti juga kamu nggak pengertian gini!!" kata Ibu memotong ucapanku sambil mengacak-acak buncis.

Jari telunjuk Ibu juga hampir menoyor kepalaku saat beberapa orang mendekat ke warung.

"Ikan basah masih ada nggak, Teh Dina?"

Ucapan membeli dari arah belakang membuat bibir Ibu terkatup. Dengan memutar wajahnya malas, wanita itu segera berlalu dari warung dengan membawa kekesalannya. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum getir menyambut pembeli. Jangan sampai mereka tahu bagaimana watak ibu mertuaku yang penuh dengan amarah dan kebencian padaku.

**

Aku menutup warung hari ini dengan perasaan dongkol luar biasa. Sengaja berjalan cepat sambil membawa beberapa kresek belanjaan, berisi pesanan orang.

Sampai di rumah, aku langsung masuk  untuk bicara dengan Ibu. Sikapnya tidak bisa kutoleri lagi. Meskipun hanya membuang muka dan marah-marah dengan tuduhannya tanpa melukai,  tapi berhasil membuat psikisku sakit. Aku bukan hewan yang bisa direndahkan dan terus-terusan di jajah olehnya. Aku sakit hati. Dan itu lebih pedih daripada sakit di bagian luar.

"Bu, ayo kita bicara."

Aku langsung duduk di kursi ketika Ibu tengah menikmati kue-kue kering yang berjajar di atas meja.

"Mau ngomong apa kamu?!"

"Jangan ngegas, Bu. Biasa saja, nanti darah tinggi Ibu kumat," kataku dingin. Biar saja, biar Ibu tahu kalau aku tak takut padanya.

"Halah, ngomong aja kamu bahagia jika Ibu sakit gara-gara kamu!!" 

"Bu, sebenarnya kenapa sih sejak Ibu datang ke mari, sikap ibu selalu jutek dan menyebalkan gini?! Apa salahku pada Ibu, atau apa alasan ibu tak menyukaiku?!" 

Brakk!! 

Wanita itu meletakkan toples kaca dengan kasar. Hingga bunyinya membuatku terkejut.

"Kamu mau tahu kenapa  alasannya?!" Aku mengangguk dengan cepat. 

"Karena kamu benar-benar membuat hidup anakku seperti di penjara. Akbar tidak seperti dulu. Kalau bukan karena si Akbar nggak nangis-nangis pengen direstui waktu itu, mana mau aku punya menantu kayak kamu!!" 

Aku tersenyum sinis. Wajah Ibu yang semula kesal  berubah serius.

"Kenapa kamu tertawa?!" Apa dia belum sadar kalau aku menertawakan ucapannya.

"Padahal jodoh itu adalah rahasia Allah, 'kan? Sama seperti halnya mati dan rezeki, tidak ada yang tahu. Jika ibu membenciku karena aku berjodoh dengan suamiku, berarti Ibu juga membenci takdir Allah dong. Tapi kenapa Bu, katakan alasannya?!"

"Kamu perlu tahu, jika sampai detik ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai menantuku. Selain itu, aku juga tidak suka padamu!! Kau tak usah mencoba bersikap baik hanya untuk mengambil hatiku, karena sampai kapanpun aku tak akan pernah menerimamu!!"

Memejamkan mata sekilas, aku menarik nafas panjang. Membuang sesak yang bercokol dalam dada. 

"Baik jika itu keinginan Ibu. Tapi ingat,  jangan salahkan jika sikapku pada Ibu juga berubah. Sikapku kepada Ibu kedepannya, tergantung bagaimana Ibu bersikap padaku!" 

"Kurang ajar! Wanita sial*n!! Kau membuat darah tinggiku naik. Awas kau!! Akan kupastikan Akbar menceraikanmu!!"

"Oh ya?!"

Plakkk!!

"Nggak usah main tangan, Bu. Aku juga punya hati!!" bentakku kasar saat tangan Ibu mendarat di pipi.

"Kau pantas mendapatkannya!!"

Tangan itu melayang di pipi untuk kedua kalinya. Menyisakan rasa perih.

Ibu berdiri sambil berkacak pinggang. Matanya melotot dengan dada naik turun. Aku pun melakukan hal yang sama. Berdiri untuk menantangnya.

"Inikah sosok Ibu yang asli?! Mertua yang seharusnya bersikap baik pada menantunya, tapi malah  Ibu bertindak sebaliknya? Maaf jika aku tidak sopan atau bersikap kurang ajar pada Ibu, namun sebaiknya Ibu sadar diri. Suka atau tidak, aku dan Mas Akbar hidup bahagia. Jadi aku tak perduli dengan sikap dan penerimaan Ibu padaku!!"

Aku hendak pergi sebelum akhirnya aku berbalik.

"Dan satu lagi, tahan tangan Ibu agar jangan sampai melukai orang lain!! Jika tidak, bukan hanya aku yang tidak ridho, namun apa Ibu nggak takut jika sampai Mbak Mika mendapat hal yang serupa sebagai karma atas tindakan Ibu ini??!"

"Kau mengancamku?  Perempuan nggak tahu diri!!"

Ibu berjalan cepat dan menoyor kepalaku. Saat itu, seorang wanita yang memesan belanjaan dariku berdiri di teras dengan wajah terkejut. Wanita itu segera mengambil belanjaan di dekat pintu, sebelum akhirnya pergi begitu saja. Mungkin merasa aneh dengan pertengkaran kami, entahlah.

"Tunggu Dina, Ibu belum selesai bicara!! Dasar wanita kurang ajar, berani-beraninya kamu ngelawanku!! Sudah punya apa kamu selama menikah dengan si Akbar, hah?!  Yang kamu lakukan cuma merepotkannya saja!!"

Aku membanting pintu dengan kasar hingga menggema, bahkan kaca jendela sedikit bergetar. Dibalik pintu aku menangis sejadi-jadinya. 

Ternyata apa yang kusangkakan selama ini benar-benar terjadi. Wanita itu benar-benar belum bisa menerimaku sebagai menantunya.

Tapi,  kenapa?

 Apa karena aku miskin? 

Apa karena aku hanya lulusan SMA?  Sementara Aku hanya dibesarkan oleh seorang ayah.

 Ya Tuhan, meski pernyataan itu sangat menyakitkan sekali. Aku tak  menyangka jika Ibu mertua pada akhirnya mengutarakan hal yang selama ini dipendamnya.

 

Dan bodohnya aku, bukan dari Mas Akbar atau dari Mbak Mika, aku mendengarnya langsung dari mulut Ibu mertuaku sendiri. Seburuk itukah aku di matanya.

**

Gedoran pintu tetap kuabaikan. Meskipun Ibu terus-terusan berteriak aku masih enggan berhadapan dengannya. Rasanya aku masih belum bisa meredam emosiku untuk tak mendebatnya.

Dosa jika terus melawannya, tapi aku juga tak mau diam saja.

"Dina! Cepat keluar dan ngomong langsung sama si Akbar. Biar dia tahu perempuan seperti apa yang sudah dia nikahi. Bersikap kurang ajar pada mertua, bahkan berani membentak Ibu mertuanya sendiri!!"

Apa maksud perkataan Ibu?

 Dengan mata yang masih basah kuhapus sisa-sisa air mata dengan ujung kerudung. Lekas kubuka pintu dan menghadang langkah Ibu yang hendak menerobos ke dalam kamar. Ada benda persegi panjang berada di tangannya. Mungkin Ibu sebelumnya  sudah mengadu pada Mas Akbar.

"Ngomong apa, Bu? Apa yang harus kujelaskan dengan Mas Akbar, jika nyatanya selama ini  ternyata Ibu membenci dan memperlakukanku dengan tidak baik. Bahkan Ibu berani meludahiku, menampar dan membuang muka, serta melayangkan omongan-omongan yang tajam. Aku sakit, Bu!! Aku juga manusia biasa.  Aku belum pernah diperlakukan seperti ini oleh siapapun. Bahkan ayahku membesarkanku dengan sopan santun yang tinggi, didikan ilmu agama yang kuat. Tapi maaf, jika Ibu malah berkata kasar padaku, hanya karena aku bertanya kenapa Ibu selalu bersikap buruk, lalu apa salahnya, hah?!" 

"Diam kamu!! Jangan berani-beraninya kamu membalikkan fakta. Apa yang kamu katakan tadi dan katakan sekarang  itu berbeda!!" 

"Apanya yang berbeda?!  Ibu yang bilang bahwa Ibu tidak suka padaku!!  Ibu membenciku dan tidak akan pernah menerimaku, iya kan?!"

Amarah sudah sampai di ubun-ubun. Bergolak dengan amarah yang mengalir dalam setiap tetesan darah.

"Menantu sialan!! Tunggu si Akbar pulang biar dia langsung menceraikanmu!!" Klik. Ibu langsung menekan tombol off. Mungkin dia sedang menelpon Mas Akbar agar pria itu mendengarkannya di ujung telepon. Entahlah. Suaranya yang samar tidak bisa aku dengar dengan jelas. Apalagi telingaku berdengung karena ucapan-ucapan Ibu yang menyakitkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status