Share

Tangisan

Bab 6 Tangisan 

Tangisku kembali pecah seiring perasaanku yang terkoyak oleh ucapan-ucapan ibu yang menyakitkan. Dan sudah bisa dipastikan bagaimana pertengkaran akan menyambutku bersama dengan Mas Akbar saat pria itu pulang bekerja.

Allah … aku hanya ingin hidupku tenang dan damai bersama dengan suamiku, seperti yang belakangan ini kami lalui. Bahkan kami tidak pernah memulai pertengkaran dengan urat yang berujung dengan kata-kata yang menyakitkan.

 Kami terima dan kami jalani semuanya dengan ikhlas. Bahkan ketika kami hanya mampu membeli sebungkus mie untuk dimakan berdua. Mas Akbar juga adalah tipe pria yang baik dan sangat memanjakanku. Tak heran jika kami sangat jarang sekali bertengkar, kecuali untuk hal-hal yang tidak kumengerti, biasanya kami berusaha menyelesaikannya baik baik tanpa kekerasan. Meskipun  ada sedikit kekurangannya, pria itu gampang sekali tersulut emosi dan dipengaruhi oleh orang lain, terutama ibunya. Sudah kubayangkan apa yang akan terjadi nanti ketika suamiku pulang. Dia akan lebih mempercayai perkataan ibunya daripada aku yang notabene istrinya, yang belum lama hidup dengannya.

Pukul sebelas siang. Setelah puas menumpahkan tangisku di atas sajadah, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Walau bagaimanapun bencinya aku kepada wanita itu atas kelakuannya, namun dia tetaplah ibu mertuaku, Ibu dari suamiku yang telah melahirkannya ke dunia, hingga berjodoh denganku. Tanpa ibu mertua, suamiku tidak akan ada di dunia ini.

Rumah dalam keadaan sepi. Namun pintu kamar ibu mertua tertutup sempurna. Kuharap wanita itu ada di sana untuk menenangkan pikiran dan menahan emosinya.

Apa yang terjadi kedepannya, terjadilah. Yang jelas jangan sampai perut wanita itu keroncongan. 

Aku menetralkan pikiranku di atas tangisanku. Betapa bodohnya aku yang masih mau bersikap baik dan memikirkan perutnya, setelah wanita itu menghantamkan tangan dan kebenciannya padaku.

Allah … aku tahu engkau tidak tidur. Kuatkan aku, serta lembutkan hati dan pikiran orang-orang itu.

Kembali ke warung, aku mengambil sebungkus nugget dan ikan yang tinggal setengah kilo. Hampir semua sayur-sayuran tinggal tersisa sedikit, kecuali sawi putih  yang berjajar di atas etalase.

Hari ini aku tidak memasak sayur, kuganti dengan lalapan dan sambal saja.

Kurang dari satu jam kemudian, hidangan itu berhasil kusiapkan di atas meja. Barangkali ibu sudah lapar.

 Menarik nafas panjang, kuketuk pintu kamar ibu mertua agar wanita itu segera makan. Jangan sampai perut kosong menjadikannya alasan untuk mengadu kepada suamiku. Bisa semakin parah jika sampai hal ini terjadi. Bukankah perkataan Ibu selalu dilebih-lebihkan.

 

"Bu, makan dulu!" Sedikit berteriak aku berdiri di balik pintu, namun hingga beberapa saat wanita itu tidak juga membukanya.

Aku memutuskan kembali ke dalam kamar. Setidaknya aku sudah menawarinya makan, maka kewajibanku sudah selesai. Dia mau makan syukur, nggak pun terserah.

Suara pintu berderit diikuti langkah kasar menandakan jika wanita itu keluar dari dalam kamar.  Bunyi suara dari arah ruang makan kini mendominasi. Sepertinya wanita itu masih kesal dan melampiaskannya pada tudung saji dan juga piring.

Seharian ini aku menghabiskan waktuku di kamar. Beberapa pesan masuk tetap kuabaikan. Ada lebih dari dua belas  panggilan telepon dari suami dan kakak iparku. Sudah kuduga, keduanya pasti akan mencecarku dengan berbagai kata-kata yang pedas.

 Kubiarkan benda itu teronggok di tempatnya. Kupikir Nanti sore saja aku periksa, sekalian setelah Mas Akbar pulang kerja.

*****

Deru suara motor berhenti di halaman. Menandakan jika Mas Akbar baru pulang. 

 Aku baru selesai mengerjakan shalat ashar jam setengah lima sore.

Terdengarlah suara Ibu mertua samar-samar masuk ke telingaku. Ah, wanita itu, entah kenapa sering sekali melebih-lebihkan ucapannya. Siapa yang salah, siapa yang memulai, dan siapa yang mengadu duluan.

"Dina, kita harus bicara!"

 Mas Akbar masuk setelah menutup pintunya dengan kasar. Pria itu melempar jaket dan masih berdiri di sana, ketika aku menoleh dengan mata yang sembab.

"Tidak perlu pakai urat, Mas. Aku sudah lelah bertengkar dengan ibumu,"  ujarku enggan menatap wajahnya yang sudah memerah. Aku tahu pria itu marah besar. Namun sebagai seorang suami, seharusnya dia bisa mendamaikan kami.

"Apa yang sudah kamu lakukan pada Ibu?  Sampai hati kamu melukainya dan memperlakukan ibuku dengan buruk!! Apa sebenarnya maumu, hah?!" 

"Sebagai seorang suami, seharusnya kamu berdiri di tengah-tengah dan bertugas untuk mendamaikan kami. Cari duduk perkaranya di sebelah mana, dan tanyai kami satu persatu, hingga kamu bisa menyimpulkan sesuatu." Aku bicara setenang mungkin, meski jujur saja diperlakukan dengan bentakan kasar seperti ini membuat hatiku tersayat sayat.

"Dina, dia adalah ibuku dan—"

"Dan aku adalah istrimu! Aku tahu dia adalah wanita yang sudah melahirkanmu ke dunia ini. Sementara aku hanya istri yang baru kamu nikahi selama dua tahun. Aku tahu pertengkaran kami salah! Tapi, Mas, bersikap bijaklah!!"

"Kamu mau aku bagaimana, hah?! Kau memperlakukan ibuku seolah-olah dia adalah orang lain. Kau memperlakukannya dengan sangat buruk, bahkan kau sengaja masak berlama-lama dan tidak menghormatinya. Kau membiarkan ibuku kelaparan, kau mengabaikannya dengan seharian berdiam diri di dalam kamar!! Bahkan kau bergosip kepada para tetangga akan sikap dan kelakuan ibuku yang diluar kewajaran!!  Apakah itu sudah menandakan jika kau adalah menantu yang baik, hah?! Jawab!!" Pria itu memukul pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring.

"Drama apalagi yang sudah ibumu katakan?  Apa kau tidak mendengar pembelaanku dari balik telepon tadi? Itu kenyataan yang sebenarnya. Ibumu membolak-balikkan fakta. Bahkan dia sendiri yang mengatakan bagaimana ibumu tidak menyukaiku dan—"

Ucapanku terhenti ketika pria itu menatap nyalang dengan matanya yang sudah memerah. Tangannya terangkat di udara dan hendak menamparku.

Allah … sakit rasanya ketika seorang suami yang seharusnya memberikan pelukan dan perlindungan, malah berani mengencangkan uratnya, hanya karena mendengar pembicaraan dari satu pihak.

Aku duduk di ujung tidur, menormalkan amarahku yang sudah memuncak di atas kepala. Kesabaran ini sudah hilang sejak tadi bertengkar dengan ibu.

"Oke, aku salah Mas. Namun tidak seharusnya kamu memperlakukan aku seperti ini. Sakit ….!"  Air mataku kembali manganak sungai. Kulepaskan mukena yang masih menempel di badanku. Biar Mas Akbar melihat  dengan jelas bagaimana pipiku memerah akibat ulah ibunya.

"Tampar di sini, Mas! Lakukan sesuka hatimu, seperti yang selama ini ibumu lakukan. Menyiksa lahir batinku atas perlakuannya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status