Share

Tangisan

Penulis: Bun say
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-14 19:49:18

Bab 6 Tangisan 

Tangisku kembali pecah seiring perasaanku yang terkoyak oleh ucapan-ucapan ibu yang menyakitkan. Dan sudah bisa dipastikan bagaimana pertengkaran akan menyambutku bersama dengan Mas Akbar saat pria itu pulang bekerja.

Allah … aku hanya ingin hidupku tenang dan damai bersama dengan suamiku, seperti yang belakangan ini kami lalui. Bahkan kami tidak pernah memulai pertengkaran dengan urat yang berujung dengan kata-kata yang menyakitkan.

 Kami terima dan kami jalani semuanya dengan ikhlas. Bahkan ketika kami hanya mampu membeli sebungkus mie untuk dimakan berdua. Mas Akbar juga adalah tipe pria yang baik dan sangat memanjakanku. Tak heran jika kami sangat jarang sekali bertengkar, kecuali untuk hal-hal yang tidak kumengerti, biasanya kami berusaha menyelesaikannya baik baik tanpa kekerasan. Meskipun  ada sedikit kekurangannya, pria itu gampang sekali tersulut emosi dan dipengaruhi oleh orang lain, terutama ibunya. Sudah kubayangkan apa yang akan terjadi nanti ketika suamiku pulang. Dia akan lebih mempercayai perkataan ibunya daripada aku yang notabene istrinya, yang belum lama hidup dengannya.

Pukul sebelas siang. Setelah puas menumpahkan tangisku di atas sajadah, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Walau bagaimanapun bencinya aku kepada wanita itu atas kelakuannya, namun dia tetaplah ibu mertuaku, Ibu dari suamiku yang telah melahirkannya ke dunia, hingga berjodoh denganku. Tanpa ibu mertua, suamiku tidak akan ada di dunia ini.

Rumah dalam keadaan sepi. Namun pintu kamar ibu mertua tertutup sempurna. Kuharap wanita itu ada di sana untuk menenangkan pikiran dan menahan emosinya.

Apa yang terjadi kedepannya, terjadilah. Yang jelas jangan sampai perut wanita itu keroncongan. 

Aku menetralkan pikiranku di atas tangisanku. Betapa bodohnya aku yang masih mau bersikap baik dan memikirkan perutnya, setelah wanita itu menghantamkan tangan dan kebenciannya padaku.

Allah … aku tahu engkau tidak tidur. Kuatkan aku, serta lembutkan hati dan pikiran orang-orang itu.

Kembali ke warung, aku mengambil sebungkus nugget dan ikan yang tinggal setengah kilo. Hampir semua sayur-sayuran tinggal tersisa sedikit, kecuali sawi putih  yang berjajar di atas etalase.

Hari ini aku tidak memasak sayur, kuganti dengan lalapan dan sambal saja.

Kurang dari satu jam kemudian, hidangan itu berhasil kusiapkan di atas meja. Barangkali ibu sudah lapar.

 Menarik nafas panjang, kuketuk pintu kamar ibu mertua agar wanita itu segera makan. Jangan sampai perut kosong menjadikannya alasan untuk mengadu kepada suamiku. Bisa semakin parah jika sampai hal ini terjadi. Bukankah perkataan Ibu selalu dilebih-lebihkan.

 

"Bu, makan dulu!" Sedikit berteriak aku berdiri di balik pintu, namun hingga beberapa saat wanita itu tidak juga membukanya.

Aku memutuskan kembali ke dalam kamar. Setidaknya aku sudah menawarinya makan, maka kewajibanku sudah selesai. Dia mau makan syukur, nggak pun terserah.

Suara pintu berderit diikuti langkah kasar menandakan jika wanita itu keluar dari dalam kamar.  Bunyi suara dari arah ruang makan kini mendominasi. Sepertinya wanita itu masih kesal dan melampiaskannya pada tudung saji dan juga piring.

Seharian ini aku menghabiskan waktuku di kamar. Beberapa pesan masuk tetap kuabaikan. Ada lebih dari dua belas  panggilan telepon dari suami dan kakak iparku. Sudah kuduga, keduanya pasti akan mencecarku dengan berbagai kata-kata yang pedas.

 Kubiarkan benda itu teronggok di tempatnya. Kupikir Nanti sore saja aku periksa, sekalian setelah Mas Akbar pulang kerja.

*****

Deru suara motor berhenti di halaman. Menandakan jika Mas Akbar baru pulang. 

 Aku baru selesai mengerjakan shalat ashar jam setengah lima sore.

Terdengarlah suara Ibu mertua samar-samar masuk ke telingaku. Ah, wanita itu, entah kenapa sering sekali melebih-lebihkan ucapannya. Siapa yang salah, siapa yang memulai, dan siapa yang mengadu duluan.

"Dina, kita harus bicara!"

 Mas Akbar masuk setelah menutup pintunya dengan kasar. Pria itu melempar jaket dan masih berdiri di sana, ketika aku menoleh dengan mata yang sembab.

"Tidak perlu pakai urat, Mas. Aku sudah lelah bertengkar dengan ibumu,"  ujarku enggan menatap wajahnya yang sudah memerah. Aku tahu pria itu marah besar. Namun sebagai seorang suami, seharusnya dia bisa mendamaikan kami.

"Apa yang sudah kamu lakukan pada Ibu?  Sampai hati kamu melukainya dan memperlakukan ibuku dengan buruk!! Apa sebenarnya maumu, hah?!" 

"Sebagai seorang suami, seharusnya kamu berdiri di tengah-tengah dan bertugas untuk mendamaikan kami. Cari duduk perkaranya di sebelah mana, dan tanyai kami satu persatu, hingga kamu bisa menyimpulkan sesuatu." Aku bicara setenang mungkin, meski jujur saja diperlakukan dengan bentakan kasar seperti ini membuat hatiku tersayat sayat.

"Dina, dia adalah ibuku dan—"

"Dan aku adalah istrimu! Aku tahu dia adalah wanita yang sudah melahirkanmu ke dunia ini. Sementara aku hanya istri yang baru kamu nikahi selama dua tahun. Aku tahu pertengkaran kami salah! Tapi, Mas, bersikap bijaklah!!"

"Kamu mau aku bagaimana, hah?! Kau memperlakukan ibuku seolah-olah dia adalah orang lain. Kau memperlakukannya dengan sangat buruk, bahkan kau sengaja masak berlama-lama dan tidak menghormatinya. Kau membiarkan ibuku kelaparan, kau mengabaikannya dengan seharian berdiam diri di dalam kamar!! Bahkan kau bergosip kepada para tetangga akan sikap dan kelakuan ibuku yang diluar kewajaran!!  Apakah itu sudah menandakan jika kau adalah menantu yang baik, hah?! Jawab!!" Pria itu memukul pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring.

"Drama apalagi yang sudah ibumu katakan?  Apa kau tidak mendengar pembelaanku dari balik telepon tadi? Itu kenyataan yang sebenarnya. Ibumu membolak-balikkan fakta. Bahkan dia sendiri yang mengatakan bagaimana ibumu tidak menyukaiku dan—"

Ucapanku terhenti ketika pria itu menatap nyalang dengan matanya yang sudah memerah. Tangannya terangkat di udara dan hendak menamparku.

Allah … sakit rasanya ketika seorang suami yang seharusnya memberikan pelukan dan perlindungan, malah berani mengencangkan uratnya, hanya karena mendengar pembicaraan dari satu pihak.

Aku duduk di ujung tidur, menormalkan amarahku yang sudah memuncak di atas kepala. Kesabaran ini sudah hilang sejak tadi bertengkar dengan ibu.

"Oke, aku salah Mas. Namun tidak seharusnya kamu memperlakukan aku seperti ini. Sakit ….!"  Air mataku kembali manganak sungai. Kulepaskan mukena yang masih menempel di badanku. Biar Mas Akbar melihat  dengan jelas bagaimana pipiku memerah akibat ulah ibunya.

"Tampar di sini, Mas! Lakukan sesuka hatimu, seperti yang selama ini ibumu lakukan. Menyiksa lahir batinku atas perlakuannya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Ending

    Bab 32"Jangan bercanda, Mika! Bagaimana mungkin kau menyuruh seseorang untuk menikahi Savika. Padahal jelas kau tahu kalau anak yang ada di dalam kandungannya adalah benihku!" Broto langsung menggeram mendengar pernyataan istrinya, yang hari itu sudah menikahkan Savika dengan Ilham. Lebih parahnya lagi, Dina ikut mendukungnya. "Harusnya kamu bersyukur karena aku tidak melaporkan kalian ke polisi atas dugaan perzinahan, Mas!!""Tapi, 'kan ….!" Broto mengacak-acak rambutnya karena kesal. Padahal dia sudah merencanakan pernikahan dengan wanita itu beberapa hari lagi, tentunya tanpa sepengetahuan Mika. Siapa sangka wanita itu bergerak lebih cepat dan memutus harapannya untuk menyunting wanita selingkuhannya."Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi, Mika. Aku akan pastikan mereka bercerai dan Savika kembali padaku!!" Mika yang tidak takut, hanya melipat tangannya di dada dengan pandangan sinis."Kenapa kau tidak menerima kenyataan, Mas? Wanita itu sudah menikah dengan orang lain, me

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Hijrah

    Bab 31 Hijrah 'Ku tatap pesan dari pria itu yang menggunakan nomor ponsel kakak iparku. Aneh. Kali ini tidak ada kesedihan ataupun hal yang mengganjal dalam pikiranku. Mungkin karena hatiku yang terlanjur kecewa dan kesal karena dia tidak pernah memikirkan perasaanku, makanya kepergian Mas Akbar kembali ke Jepang justru membuat hatiku sedikit tenang.Aku berharap setelah dia kembali nanti, hatiku sudah siap untuk memberi maaf padanya.Hari-hari kulewati dengan perasaan tenang. Ibu mertua juga tak lagi kudengar kabarnya. Waktu Ayah berkunjung ke mari, ayah janji akan mengunjungi mereka dan memberi nasihat kepada orang tua Mas Akbar.Hingga di hari siang itu, Mbak Mika datang ke rumah."Masya Allah … Alhamdulillah. Mbak Mika hijaban sekarang?" Kupandangi wanita yang tampak anggun menggunakan gamis panjang serta hijab menutup dadanya itu. Mbak Mika, sejak kapan wanita itu berubah dengan menutup auratnya. Benar-benar hidayah yang indah."Dina, boleh Mbak masuk?" "Tentu saja, Mbak." Kup

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Sebuah Pilihan

    Bab 30 Sebuah Pilihan Aroma masakan yang kubuat menguar di seluruh ruangan. Kali ini aku memasak ayam kecap, sayur sop dan tempe mendoan. Meski aku sedang marah dan malas bertutur kata pada Mas Akbar, tapi perutnya 'tak boleh kelaparan. Makanya setelah berdebat kuputuskan pergi ke dapur dan meracik masakan.Kuketuk pintu kamar depan untuk membangunkan pria itu. Mas Akbar tahu diri. Dia tak lagi menggangguku dan memilih istirahat di kamar lain. Rencananya setelah beres makan aku akan mengajaknya bicara serius."Tumben kamu masak, Din?!" Aku memutar bola mata malas, menatap sebal ke arahnya."Bukankah aku memang sudah biasa melakukannya, ya? Ada atau tidak ada Mas dan Ibu. Eumh, atau jangan-jangan ibu mertua mengatakan hal yang bukan bukan lagi tentangku. Ck, padahal aku sudah memberinya peringatan!!" Rupanya pengaruh fitnah Ibu mertua begitu besar. Dari hal yang ringan sampai hal yang serius, dia selalu melebih-lebihkan dan berkata bohong kepada orang-orang di sekitarnya."Dina, Ken

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Pesan Ayah

    Bab 29 Pesan Ayah Aku menjalani hariku seperti biasa sekarang. Aku tidak mau pikiranku berakibat buruk kepada anakku nantinya. Biarlah urusan Mas Akbar aku selesaikan setelah kami bertemu nanti. Sedangkan untuk urusan dengan ibu mertua, aku merasa jika semuanya sudah selesai.Tak lupa kuceritakan semuanya kepada ayah. Pria itu harus mengetahui semua yang terjadi pada hidupku, agar Ayah kembali memikirkan kebaikannya kepada besannya tersebut. Bagaimana orang-orang yang dia tolong dan penuhi kebutuhannya selama ini malah tega-teganya menyakiti putrinya sendiri, bahkan tak menganggapku sebagai menantunya."Kau harus tenang, Dina. Sabar. Ayah bersamamu dan ayah akan selalu mendoakan agar kamu selalu bahagia di sana. Jangan terlalu dipikirkan apa yang terjadi, semua adalah bagian dari ujian rumah tanggamu." "Pesan ayah akan kuingat baik-baik. Makasih, ya.""Insya Allah minggu depan kami sekeluarga akan datang untuk berkunjung."Aku tersenyum lagi dan menutup sambungan telepon. Hanya b

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Mengalah Setelah Lelah

    Bab 28 Mengalah setelah Lelah"Saya masih percaya dengan hati dan pikiran suami saya, Bu. Tapi karena Ibu ngotot terus-terusan meminta saya untuk menjauhi suami dan berpisah, maka baiklah.""Bagus itu, makin cepat makin baik!" Aminah menatap sinis."Baik, Bu. Ada beberapa hal yang ingin saya berikan kepada Ibu. Semoga ini bermanfaat, ya," ujar Dina sambil menekan tombol off pada rekaman ponselnya. Tentu saja Aminah yang sedikit gaptek tidak tahu apa yang dilakukan oleh menantu tersebut.Dina lalu mengambil beberapa berkas dari dalam tas yang kemudian disimpan di atas meja. Melihat gambar yang ada di halaman depannya, wajah Aminah berubah gusar. Dia melirik ke arah suaminya yang biasa saja melihat logo bergambar Ka'bah itu, meski membuat otaknya berpikir keras."Apa ini, Dina? Apa yang hendak kamu berikan kepada kami? Jangan katakan jika ini adalah surat utang atau semacamnya," tukas wanita itu meski sedikit ragu. Dina mengulas senyum."Tadinya ini sebagai bukti kasih sayang say

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Mengunjungi Mereka

    Bab 27 Mengunjungi Mereka "Ya ampun, Dina. Kamu jauh-jauh dari kota cuma buat nemuin kami. Kamu sama siapa datang ke sini?!" Bahar tergopoh-gopoh menyambut menantunya. Wanita itu ditemani oleh Ilham di belakangnya yang tampak membawa dus oleh-oleh dan koper."Iya, Pak. Kebetulan ada yang ingin saya obrolkan dengan Ibu," ujar wanita itu langsung pada intinya. Aminah yang mendengar suara menantunya dari arah depan buru-buru mengenakan kerudung dan pergi ke luar.Wanita itu memasang wajah ketus dan mengumpat dalam hati. Dia tak menyangka baru beberapa hari pulang dari rumah Dina, wanita itu sudah datang saja bertandang ke rumahnya."Mau ngapain kamu ke sini? Jika tujuanmu hanya untuk mengklarifikasi keadaanmu yang sekarang mengandung benih yang tak jelas siapa bapaknya, mending sekarang kamu pulang saja. Kamu tidak diterima di rumah ini. Terlebih saat si Akbar pergi ke luar negeri untuk mencari rezeki, kamu malah memasukkan pria lain ke dalam rumahmu!!" hardik Aminah dengan lantan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status