Share

Saat Istri Memilih Pergi
Saat Istri Memilih Pergi
Penulis: Purwa ningsih

Kenyataan yang menyaitkan

"Mas, aku masih ngomong!" teriak Arum, saat Damar lagi-lagi tak menanggapi.

Arum menoleh malas, lalu mengambil air minum dan meminumnya. Seperti biasa, jika Arum emosi tangannya bergetar hebat, maka Arum dalam posisi siap mendengarkan apa pun isi hati suaminya yang sudah mulai tak sejalan dengan pikirannya.

Damar hanya menarik nafas panjang tanpa menggubris ucapan Arum istrinya.

"Sudah hampir tiga bulan kau selalu pulang larut. Tak bisakah sedikit saja Mas mengerti posisiku disini sebagi istrimu?" suara Arum bergetar menahan amarah yang naik satu tingkat.

"Aku capek, Rum. Setiap hari pertanyaan yang sama," jawab Damar sambil masuk ke kamar mandi dan membantingnya.

Arum melirik jam yang melingkari di atas ranjangnya, kemudian menggeleng pelan sebab waktu masih menunjukkan pukul sebelas malam. Damar suaminya baru pulang. Sebenarnya Arum tak pernah ingin memperpanjang masalah dengan ikut-ikutan meluapkan kekesalan sejak tadi, ia mengetahui Damar berjalan dengan wanita itu.

Sebuah vidio dikirim oleh sahabatnya, Damar bercerengkama mesra dengan wanita itu. Saat ini bahkan Arum belum mengatakan apapun, tapi Damar sudah menumpahkan semua kata-kata yang membuat Arum sakit hati. Haruskah ia bertahan di pernikahannya yang diambang kehancuran.

Arum menoleh pada jam yang menggantung di dinding. Sudah jam setengah dua belas malam, tapi Damar masih fokus pada ponselnya. Arum menghela napas, meski perhatian dan kasih sayang Damar telah berubah, tapi sikap cuek ini tetap saja membuat hati Arum teriris-iris sakit. Tak terasa kedua matanya pun mulai memanas.

"Mas ...."

Damar menoleh sekilas.

Belum juga Arum meneruskan ucapannya,ponsel di atas nakas berdering. Sempat Arum melihat senyum di wajahnya setelah Damar selesai mandi.

"Ya, Hani."

" ...."

"Oh, iya kah?"

" ...."

"Ya, aku temenin kamu, sampai kamu tertidur ya."

Arum hanya bisa menangis, melihat perubahan suaminya yang begitu drastis tak menghiraukannya lagi, bahkan terang-terangan bicara mesra lewat ponselnya. Arum memejamkan mata perlahan, merasai sakit yang menyelusup di dalam dada mendengar perhatian suaminya untuk teman wanitanya itu. Tanpa menoleh lagi. Damar, lalu keluar dari kamar.

*

Arum menghela napas, sesekali jemarinya mengusap basah di sudut mata. Udara malam yang begitu dingin bahkan tak lagi dipedulikannya sama sekali. Suaminya entah kemana lagi. Ia mendengkus lirih karena merasa begitu konyol, menyendiri di balkon kamar dengan diselimuti keheningan pada tengah malam yang tampak begitu menyiksa dadanya.

Apakah pernikahannya akan berakhir sejak datangnya wanita itu di dalam hubungannya. Tanaman yang selama ini dirawat namun berubah menjadi layu. Bahkan sekarang ia sudah berani terang-terangan, menerima telepon dari wanita itu.

Wanita itu duduk di sofa tertidur, Damar masuk dan begitu kasihan menatap wanita yang masih dalam hatinya begitu terluka karena ulahnya. Ia mengusap rambut istrinya dengan pelan hingga kelopak mata Arum kembali terbuka saat merasakan belaian halus di pucuk kepalanya. Wanita itu memalingkan wajah menatap malam berselimut kegelapan. Menatap wajah suaminya yang penuh dengan kemunafikan.

"Rum ... aku minta maaf."

Arum tersenyum dengan kegundahan merelungi seluruh tubuhnya. Wanita itu hanya diam tak bergeming sedikitpun.

"Rum ...."

"Aku lelah, Mas," ucap Arum diriingi serak pada suaranya dan berusaha bangkit menuju ranjang tidurnya.

Arum berusaha menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit dadanya. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibir Arum seakan kelu. Arum terdiam berusaha menarik nafasnya dengan pelan dan berusaha memejamkan matanya yang begitu perih.

Pada pagi hari, udara menyatu dengan embun yang dingin. Wanita itu bergegas bangun dan menikmati udara yang ia hirup di pagi hari terasa sejuk dan segar. Matanya memerah karena bengkak oleh hujan di wajahnya semalam.

Terlepas dari itu, wanita itu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah melalui udara. Dengan adanya udara ia bisa bernafas, meski rasa sakit memenuhi dadanya.

"Rum ... bikin in teh hangat," panggil sang kakak ipar pada Arum.

Diam

Hening

"Jawab aku!" bentaknya lagi.

"Baiklah, Mbak."

Wanita itu tersenyum sinis menatap Arum. "Cepat."

Kata seseorang, jika kakak ipar itu adalah wanita yang akan mencintai adiknya dengan tulus, namun nyatanya. Selama ini Arum begitu tersiksa karena ulah wanita itu marah-marah tidak jelas. Arum menatap pepohonan yang bergerak tertiup angin dari balik jendela dapur, dan membuatkan teh hangat untuk kakaknya. Dan kembali menuju sofa memberikan satu gelas teh hangat untuk kakak iparnya.

Namun tak sengaja gelas berisi teh itu tumpah dibaju Harlin sang kakak ipar.

"What ... apa ini Arum keterlaluan kau, padahal ini baju baru lo." Bentak Herlin padanya.

"Maaf, Mbak, aku tidak sengaja," elak Arum.

"Enggak sengaja katamu, dasar b*d*h."

Lama kemudian terdengar hentakan kaki yang beradu dengan lantai. Irama hentakan itu begitu cepat, seperti langkah kaki berjalan menuju mereka berdua yang sedang adu mulut. Langkah itu semakin dekat tubuhnya muncul semakin mendekat. Membuat Arum begitu mengenali suara langkah kaki itu.

"Damar, lihatlah istrimu ini, bajuku jadi kotor kan."

"Apa ini? Rum bisa dijelaskan kelakuan kamu ini?" Tunjuk Damar seolah menuduh Arum.

Wanita itu hanya menunduk, hanya sekilas, lantas mendongak menatap suaminya lagi dan menatapnya menatap tajam. Perlakuan Herlin dan keluarga ini sudah membuat Arum benar-benar berada dalam titik terlemah.

"Kenapa diam saja, Rum hah? Sekarang aku tanya, apa ini?" bentak Damar lagi.

Damar menatap wanita itu tajam, dengan tatapan yang entah apa artinya. Setelah itu. Kalimat yang ditakutkan bagi kaum hawa keluar dari bibir mungil itu.

"Ceraikan aku!" ucap Arum lepas begitu saja, seolah dunia berhenti ia tak mengerti oleh ucapannya sendiri. membuat Damar tersentak kaget.

"Oh sudah berani dia, Damar."

Dengan kelelahan pikiran juga tubuh yang sangat bergetar, kemarahan Damar begitu memuncak hingga tak sadar membuatnya terpancing oleh hasutan sang kakak membuatnya terpancing.

"Kau kira aku tidak lelah, hidup denganmu?"

Damar tersenyum sinis. "Baiklah. Kau aku talak detik ini juga bahkan talak tiga."

Dalam hati wanita itu menjerit, sekuat apa usahanya akhirnya pernikahannya hancur juga. Mendengar kalimat singkat dari suaminya, lutut wanita itu menjadi lemas. Gelas yang dari tadi ia pegang merosot jatuh ke lantai, menjadi serpihan kaca kecil yang berserakan. Sama seperti hatinya kini, hancur berkeping-keping, berserak.

Wanita itu berusaha untuk duduk dan menenangkan getaran dalam tubuhnya. Ia hanya terdiam seribu bahasa. tanpa menjawab.

"Kita lihat saja Damar, apa wanita ini mampu bertahan tanpa hartamu." Sang kakak berusaha membuat Damar emosi satu tingkat.

Damar meremas rambutnya dengan kasar. Apa kesalahan Arum sefatal ini, hingga ia benar-benar tega menalak istri yang selama ini ia perjuangkan. Sedikit sesal dalam hatinya namun ia berusaha untuk tak menunjukkan pada Arum. Namun Damar sadar ucapannya kali ini akan membuatnya menderita suatu saat nanti. Sekali lagi ucapannya karena kerasnya ego karena hasutan dari sang kakak. Yang selama ini tak menyukai Arum.

****

Yang selama ini wanita itu takutkan ternyata terucap juga. Arum berjalan tanpa menjawab pertanyaan Damar. Ia masuk ke kamar dan mengemasi beberapa helai pakaian dalam travel bag. Tanpa menoleh, ia bergegas menuruni anak tangga dengan hujan yang sejak tadi tak berhenti tumpah dari wajahnya.

"Jangan bertindak bodoh, Rum," ucap Damar penuh tekanan.

"Apa lagi yang bisa dipertahankan, Mas? Bukankah pernikahan kita semuanya sudah hancur," ucap Arum sambil masukkan bajunya.

Damar terdiam.

"Sudah kukatakan dari awal, bukan kemewahan yang kuinginkan dari pernikahan kita. Aku butuh kamu mas ... nyatanya kau bersama kekasihmu itu." Suara Arum bergetar menahan gelolak sesak di dalam dadanya. "Tak bisakah sedikit saja menganggapku ada selain sebagai pelayanmu di tempat tidur mas?"

Kemarahan Arum umpama bom waktu yang akhirnya meledak. Selama ini dia diam berusaha menyelamatkan pernikahannya. Namun pada akhirnya tumbang juga.

Sesaat Arum mendengar napasnya berembus berat. "Maaf," ucapnya pelan seakan memberi pengertian.

"Sudah ... kau juga sudah memberikan aku takak tiga, itu artinya kita sudah benar-benar berakhir bukan."

Hati wanita itu berdesir nyeri. Kerongkongannya serasa dicekat. Rasa sesak di dadanya membuncah. Mengatakan semua ini selama ini bahkan Arum tak pernah membantah perkataan suaminya.

"Tapi Rum .... "

"Sudahlah Damar biarkan wanita ini pergi. Kau bisa kan menikah dengan Hani wanita yang kau cintai selama ini." Hasutan Herlin lagi padanya.

"Mbak, Hani!"

"Alah sudahlah, toh wanita ini tak bisa memberikanmu keturunan 'kan?"

Deg, bagai diterpa benda beberapa ton ucapan Herlin begitu membuat Arum tertampar.

"Aku pergi, jaga diri baik-baik, Mas, jangan lupa minum obat untuk lambungmu. Assalamu'alaikum."

Arum pergi meninggalkan segudang luka di rumah yang selama ini, banyak kenangan yang begitu berarti. Siang ini begitu panjang, angin kencang seakan menambah pedih rasa hati. Beribu tanya dan juga berperang melawan logika di benak Arum, ucapan talak suaminya tadi jelas bukan parkataan biasa. Apa ini? Dalam hati kecil Arum menolak jika dirinya menolak perceraian di dalam pernikahannya.

Arum berjalan menyelelusuri trotoar berpaving, di temani burung berkicau diatas pohon besar. kian tersudut dan bingung apa langkah yang harus tempuh? Semakin tak terkendali saat berusaha mengendalikan emosi, sesak di relung hatinya. Wanita itu terdiam berasa di halte, tenggorokannya seakan tercekat kering.

Keringat dingin menyergap tubuhnya dari segala penjuru, membuat Arum menggigil tanpa sebab. Degup jantungnya lebih cepat serasa habis lari puluhan meter, Arum tidak menyangka jika hatinya akan sesakit ini. Kejadian ini membuatnya benar-benar begitu kalut. Sungguh ia bisa gila rasanya memikirkan ini semua. Bus kota berhenti ia lalu masuk entah kemana lagi ia harus berteduh sementara ia begitu kalut.

Wanita itu hanya memandang keluar jendela bus yang membawanya entah kemana, perjalanan cintanya akhirnya berakhir seperti ini. Saat itu hujan membasahi bumi, wanita cantik itu berjalan di atas aspal yang masih basah oleh air hujan. Wanita itu terus melangkahkan kakinya di atas aspal sambil sedikit melompat tatkala air yang menggenang di pinggir jalan.

"Hai ... sudah lama menunggu?" tanya Damar pada Arum dengan hati yang menggebu dan berbunga.

Wanita cantik itu tersenyum. "Baru saja."

"Kau cantik sekali hari ini, Rum?" tanyanya lagi membuat Arum begitu malu.

Arum tersenyum tanpa membalas bualan Damar kala itu.

"Rum ... aku punya sesuatu untukmu coba ulaurkan tanganmu."

"Apa sih malu, Mas, dilihat orang banyak ini," tolak Arum tidak memberikan tangannya karena di halte banyak sekali orang.

"Plis, Rum kali ini saja." Mohon Damar pada kekasih hatinya.

Damar duduk di hadapan Arum. "Aku mencintaimu Rum ... maukah kau menikah denganku?" tanya Damar dengan sejuta harapan agar lamarannya diterima.

"Ayolah, berdiri malu, Mas," wajah Arum sudah mulai memerah menahan malu.

"Terima ... terima, ayo terima mbak, kasihan tuh cowoknya." Kata orang-orang yang ada di halte itu.

Arum mengangguk membuat Damar begitu senang dan menggendong tubuh Arum. Disertai tepuk tangan bahagia orang-orang yang berada disitu.

"Mbak sudah sampai terminal ini." Sang kondektur memberi tahu wanita itu, membuatnya terkejut.

"Baik, Pak."

Hati wanita itu tersentak. Ia begitu linglung, ia terhempas. Dia yang begitu mencintainya selama ini, mempunyai beban yang selama ini tidak pernah terpikir oleh wanita itu, suaminya punya skandal dengan wanita lain. Tidak pernah terlintas sekalipun kalau dia yang begitu penyayang mempunyai jiwa penghianat.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Riski ansha Ansha
terhibur mengisi waktu luang
goodnovel comment avatar
Olin
Seru bgt ceritanya
goodnovel comment avatar
GHema Kurnia Tobig
lumayan untuk mengisi waktu luang mambaca novel ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status