Share

Rasa yang entah

Damar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia membanting setir mobilnya, sungguh ia tak berniat menghianati sang istri dengan perselingkuhannya, mobil terparkir di halaman kantor. Lelaki itu menggeser kursinya mendekati meja, ada beberapa file yang harus dikerjakan hari ini, saat Ia sibuk dengan pekerjaannya.

Tok ... tok ... tok

"Masuk."

"Maaf pak satu jam lagi ada jadwal meeting dengan perwakilan PT Cahaya dari luar kota,"  sang asisten mengingatkannya. 

"Baik, siapkan berkas-berkasnya." Perintah Damar pada wanita bertubuh sinyal itu. 

"Baik, Pak, permisi."

"Ya silahkan."

Meeting berjalan dengan baik, Damar melajukan mobilnya menuju rumah idamanya yang dibelinya untuk hadiah untuk Hani wanita simpanannya selama ini. Mobil terparkir di garasi depan rumah, sang kekasih menyambutnya dengan senyum penuh kehangatan.

"Mas, aku merindukanmu," ucap Hani bergelayut manja di lengan Damar. 

"Mas juga kangen, hari ini kau kusut sekali."

"Aku pikir, Mas ga akan kesini."

Damar hanya tersenyum kecut menatap Hani, ada yang aneh dalam dirinya. Namun entah apa itu ... sepertinya ada yang hilang dari diri Damar. 

"Sebentar aku bikinin kopi ya?" 

"Boleh," pandangan Damar kosong menatap kearah cendela. 

Hani berjalan menuju dapur, dibuatkan satu cangkir kopi nikmat untuk sang kekasih hati. 

Sementara Damar yang baru sehari di tinggal Arum rindu yang begitu dalam, membuat Damar tak berkonsentrasi. Jantung lelaki itu tak berhenti berdetak membayangkan apa yang terjadi pada Arum. Kemana perginya ia sekarang? 

Bayangan bayangan itu membuat hati Damar begitu terluka. 

Arum berlari sambil melihat temannya memanggil, tak sengaja saling bertabrakan di kantin kampus. Kaos oblong Damar basah karena minuman dingin yang wanita itu bawa tumpah di sana, membuat otot dadanya terlihat. Sementara, Arum jatuh tersungkur di lantai.

"Ma ... maaf, aku tidak fokus tadi," ucap Arum yang merintih kesakitan sambil mengurut pergelangan kaki yang sepertinya terluka. 

"Gak apa-apa." Damar menepuk-nepuk kausnya yang basah. 

"Ah, maaf ya."

 "Iya. Kamu baik-baik aja?" Kemudian Damar berjongkok di hadapannya.

"Ini sepertinya kesleo deh," tutur Arum kala itu. 

"Bisa berdiri?" Matanya melirik kaki wanita itu. 

Wanita itu mengulurkan tangan yang detik kemudian langsung diraih oleh Damar. 

Jantung Damar kala itu berdetak tak karuan tatkala merengkuh gadis itu membantunya berdiri serta menuntunnya berjalan menuju kursi. Damar tahu dari dulu ia mencintai gadis itu namun sepertinya gadis itu sulit untuk ditakhulkan karena disekelilingnya banyak lelaki yang menjaganya.

Pernah berdebar saat gadis itu menunggu jemputan kakaknya. Damar berusaha mendekatinya dan menakutkan jika ketahuan kakaknya yang terkenal super galak itu. Kali ini debaran itu datang lagi, tapi rasanya berbeda ... membahagiakan. Damar berdiri di sampingnya hanya sekedar menawarkan tumpangan dengan motor buntut Damar. 

Pria itu sedari tadi mengikutinya diam-diam. Hanya untuk memastikan gadis ini baik-baik saja. 

"Masih di sini?" 

Gadis itu tersenyum sangat cantik. "Iya."

"Mau diantarkan, tapi maaf hanya dengan motor Buntut ini." Damar takut dan menunduk.

"Kamu pulang saja, nanti kakakku akan marah jika kau mengantarkanku."

"Baiklah aku duluan ya?"

Gadis itu hanya mengangguk dengan senyuman yang begitu indah. 

Damar pergi meninggalkan gadis cantik itu sendiri. Jujur saja, gadis itu yang membuat dada Damar bergetar hebat untuk pertama kalinya. Hal yang paling menyedihkan adalah ... karena semangat Damar itu ikut lenyap bersamanya. Membuatnya menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar rindu biasa, tapi ... cinta.

Dada Damar begitu sesak, membayangkan kenangannya bersama Arum. ia pergi tanpa pamit Hani, hatinya sedang dilanda gelisah. 

****

"Kopinya sudah siap sayang." Hani datang namun Damar sudah tak berada di tempatnya. 

"Mas ... sialan dia pergi," ucap Hani penuh amarah membanting gelas berisikan kopi yang baru dibuatkannya. 

Gerimis mengguyur kota. Lelaki itu mengemudikan mobilnya dan berhenti di pinggiran jalan, ada sawah para petani membentang luas sengaja Damar mampir ke sini. Melihat burung blekok yang hinggap dipematang padi mencari makan. Damar merasa jika keputusannya salah, sempat bertahan beberapa dengan mantan kekasihnya Hani, mendengar keluh kesah cerita tentang wanita yang begitu manis dan lucu yang sekian lama baru bertemu lagi. Sampai akhirnya tanpa sadar, ada yang terluka oleh sikapnya yaitu istrinya.

Damar merasa jika saat ini hatinya benar-benar hancur, di dalam dadanya begitu sesak dimana keberadaan Arum. Kenapa memutuskan untuk menalaknya dan menyuruhnya pergi, tanpa menoleh saat Arum berjalan membawa travel bagnya pergi meninggalkanya disitu hati Damar begitu hancur, bibirnya kelu dan tercekat saat mau memanggil kembali Arum malam itu. 

Perasaannya dengan Hani akhir-akhir ini akhirnya membuat hubungan mereka tak lagi semanis dulu. Hanya karena kecewa, melihat Arum bertemu dengan Dio lelaki sahabatnya kala itu. Membuatnya melimpahkan kekesalannya dan menghukum Arum dengan Damar memilih mendekati Hani lagi, dan fatalnya lagi mengakhiri pernikahannya dengan kata talak. 

"Herlin!" Terdengar suara Ibu. 

"Ya, Bu." 

"Kok sepi, kemana Arum?"

"Siapa?"

"Arum." Wanita paruh baya itu menjelaskan lagi. 

"Tenang lah Bu, ia sudah pergi dan dia bukan lagi menantu Ibu."

"Maksudnya.... "

"Ya, mas Damar sudah menalaknya. Talak tiga lagi."

"Apa! Bagus Damar, tak perlu Ibu bekerja kertas untuk mengusir wanita kampung itu, " ucap wanita paruh baya itu senang. 

Damar menguping dibalik pintu, melihat kedua wanita itu tertawa puas, saat Arum tidak lagi menguasai rumah ini. Ternyata selama ini Arum tak benar-benar bahagia di rumah ini. Damar memijit pelipisnya berharap kesalahannya termaafkan. 

Hampir sebulan berlalu saat Arum meninggalkan raga yang kehilangan jiwanya, sendirian. Arum tak pernah mengabari atau menunjukkan tanda-tanda akan pulang pada hati yang merindukannya diam-diam. Namun, sekali lagi Damar bertahan pada kerasnya ego.

*

"Rum, bagaimana keadaannya apa masih pusing?" tanya Bibi yang merawat Arum. 

"Alhamdulillah jauh lebih baik, Bi. Maaf jadi merepotkan," ucap Arum sambil menunduk. 

Bibi Fatma tersenyum. "Tidak apa-apa, Rum.Jadi Bibi punya teman, di rumah sebesar ini Bibi hanya sendiri."

"Bibi tahu bagaimana keadaan, Mas Elang?" tanya penasaran Arum tentang kakaknya. 

"Kau senang, kakakmu Elang sekarang sudah berubah Rum, jadi jangan takut lagi ya."

"Apa ada sesuatu yang Rum tidak tahu Bi? cerita saja, Insyaalloh aku bisa menjaganya. Lagian aku belum bertemu dengan mas Elang selama Rum menikah."

"Cerita apa Rum, yang Bibi tahu. Masmu itu telah menikah mungkin, dan mu gkin juga sudah meninggalkan kota ini."

"Apa, Bibi yakin?"

"Iya, Rum," jawab wanita paruh baya itu sambil memeluk keponakannya. 

Arum tertawa ringan. "Apa Bibi, tak ingin menikah lagi?"

Wanita itu menggeser duduknya, kemudian menepuk tangan Arum. "Bibi bahagia Rum, sendiri."

Arum menggeleng pelan. "Tidak seperti aku ya Bi, hanya seorang istri yang tak diharapkan!"

"Sudahlah, Rum, kau ini tidak pantas untuk disakiti, " bisik Bibi pada Arum. 

Arum tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan menatap mata sayup itu lalu memeluknya dengan erat. 

Sejenak Arum merasa jika perasaannya sedikit membaik, semoga saja hari-harinya akan membuat lukanya sedikit terobati. Arum membantu Bibinya beres-beres

Arum melangkah ke arah dapur, duduk di kursi. Meneruskan memotong sayuran, juga lauk untuk dimasak. 

Sekuat hati wanita itu tahan jangan sampai air matanya luruh kali ini. Sudah cukup ia menjadi perempuan cengeng karena meratapi nasib yang sempat ia anggap hancur beberapa waktu lalu. Nyatanya di dunia ini ia masih ada orang baik yang menolongnya. 

Dengan cekatan Arum siapkan sayur dan lauk untuk di masak. Beberapa hari Bibi telah merawat Arum yang begitu lemah juga demam. 

"Rum, sudah matang Bibi rindu masakanmu," panggil sang Bibi sambil meletakkan mangkok kosong untuk di isi sayur yang sudah matang. 

"Iya. Biarkan di situ saja, sebentar lagi matang, Bi," jawabnya tanpa menoleh lagi. Arum menyibukkan diri mengaduk sayur di atas kompor.

*

Damar mulai stalking di sosial media Arum, Mencari-cari namun Arum sudah tak aktif beberapa bulan lalu. Terakhir ia foto bersama sahabatnya Lestari, berulang kali ia menelepon nomornya namun hanya suara operator yang menjawabnya. Sesaat ia memandang foto dirinya dan Arum saat berlibur di pantai. Ia tersenyum bahagia sambil menenteng flatshoes ditangannya. 

Kali ini pria itu tidak menemukan Arum di rumahnya yang dulu sudah kosong, kata para tetangga jika rumahnya sudah dijual dan sudah tak tahu lagi kabarnya. Kemana lagi ia harus mencari, Khawatir sebetulnya tentang keadaan Arum, tapi mau gimana pun ini sudah menjadi keputusannya, ia harus bangkit tanpa Arum lagi. 

Damar merebahkan tubuhnya di kursi, berusaha mengatur nafas agar sedikit tenang. Tangannya, menggapai sesuatu di sampingnya. Dengan tangan bergetar, dia mengetik sesuatu di layar ponselnya. 

[Sayang ... maaf, pulanglah.] 

Centang itu masih sama dari satu bulan lalu tetap centang satu, tidak ada notifikasi, pesan masuk. Ponsel Damar sunyi. Sesunyi hatinya kini. Kemanakah akan Damar letakan rasa resahnya, Pada rindu yang selalu mengalun di kalbu, atau pada cinta yang begitu menggoda. 

Pria itu berjalan ke arah dapur dan meminum air mineral, beberapa hari perutnya tanpa isi, ia membuka tudung saji dan tidak ada makanan satu pun. Padahal saat Arum berada di rumah ini, ia selalu menyajikan masakan yang lezat setiap harinya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Riski ansha Ansha
ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status