"Aku minta maaf Rum, karena pergi menjauh darimu. Tapi bukan maksud aku menyakitimu."Elang merasakan jika tangan Arum begitu dingin. Ia terus menggosok dengan tangannya agar tubuh Arum kembali mengahangat. Namun, tangan Elang gemetar. Matanya berkaca-kaca. Rasa haru menyelimuti hatinya yang kian terkikis oleh rindu."Kenapa kamu tega mas, sama Arum?" tanyanya sambil terisak. "Maaf Rum.""Kasih tahu alasan Ibu, Eh Bibi Fatma menitipkan aku ke Ibu Ningsih mas." Arum berusaha bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di ranjang. Elang mengelap pipi Arum yang basah, sungguh perhatian Elang dari dulu selalu membuat hati Arum melambung tinggi ke angkasa, seolah dialah wanita yang paling bahagia saat berada di dekat kakaknya ini. "Bibi Arum melakukan yang terbaik Rum, beliau inginkan kau selamat dari keluarga papamu kala itu.""Oh.""Percayalah tidak ada seorang Ibu yang tega terhadap putrinya. Bukankah Bibi selalu baik padamu dari kecil." Elang mengusap rambut Arum dan menenagkannya. A
Fajar kuning sudah nampak di ufuk timur, Arum masih dalam posisi kepala sedikit berat, ia beringsut dan mengendap-endap. Ia berusaha keluar dari rumah besar itu. Berharap ingin pergi dari rumah ini secepatnya. "Kenapa ngendap-ngendap di situ, Rum?" tanya Elang, membuat Arum malu dan berhenti. Arum hanya mengangguk. "Arum mau pulang," jawab Arum tanpa menoleh ke belakang. "Apa kau tidak nyaman, berada di sini?"Elang menepuk pelan bahu Arum. "Ya, aku tahu ini semua enggak mudah untukmu, Rum. Posisi kamu sulit aku mengerti itu.""Arum masih belum siap, menghadapi ini semua.""Semua terserah padamu, Rum. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Jangan pernah berbuat bodoh lagi."Kalimat itu membuat Arum terdiam. Karena ia khilaf, ia sampai mau melompat dari jembatan. Beberapa lama mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Arum dengan hati yang gundah dan Elang dengan hati yang tertekan. "Emm, hari ini Arum harus kerja pagi," jawab Arum cemas. "Sudah, nanti aku antar ya." Ucapn
Arum berjalan mendekati Levin dan Bibi Fatma yang masih duduk di ruang tunggu. Bibi Fatma tersenyum. "Bagaimana, Rum?" tanya Bibi cemas. "Emm, ditunda bulan depan, Bi," ucap Arum sedih. Sang bibi tahu jika Arum begitu terluka, suaminya memang benar-benar tak tahu malu."Ikuti prosedurnya, sabarlah, Rum.""Tapi, Bi ....""Sudah biar diurus sama, Pak pengacara ya."Sesaat Arum menatap mata teduh Bibinya yang ternyata adalah Ibu kandungnya, begitu baik. Dalam keadaan apapun sang Bibi tidak pernah mengedepankan egonya ia berfikir begitu tenang dan juga santai. Selalu ada buat Arum, ia merasa berdosa jika marah kepada orang yang telah berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya. "Iya, Bi."Arum terdiam, apa ia harus kecewa? Haruskah ia berontak, tidak. Dengan pelan Arum memeluk tubuh Bibinya dengan haru. Sang Bibi mengelus rambutanya. Beliau menangis tak mampu mengutarakan kebenarannya kepada Arum. Karena Bibi Fatma tahu jika Arum masih terluka. "Arum.... " panggil Damar. Arum m
Senja sudah mulai menguning, pertanda hari sudah mulai petang. Arum mencoba membuat pisang goreng keju cokelat, dibantu Bibi Fatma, tangan Arum mengaduk pisang dalam pengorengan. Sesaat Levin datang, Arum tengah serius menuangkan adonan ke dalam penggorengan. setelah matang dia angkat dan ditaruh ke sebuah piring. Keadaan Arum sudah membaik, begitu pula dengan tangan kirinya yang kini sudah bisa digunakan walaupun masih agak kaku karena selama ini terbalut perban. "Rum, sibuk." Suara panggilan Levin tidak membuat Arum berhenti mengoles pisang dengan keju juga susu cokelat. "Rum," panggil Levin, lagi."Apa, Pak?" Arum menatap Levin dan tersenyum."Sudah dulu, nanti capek.""Iya, nanti. Tanggung, tinggal satu gorengan lagi." Levin menarik napas dengan kasar, ia tidak mau Arum sakit lagi, Arum dikagetkan oleh sebuah tangan besar di tangannya. "Istirahat dulu," sapa Levin berada di belakangnya. "Sebentar lagi pak? Ini cicipin dulu enak ga? " tanya Arum, sambil berbalik dan kini berh
Senyum mengembang dari Levin ke arah Arum juga sang Bibi, Arum dan sang Bibi hanya saling pandang. Kali ini mereka sudah dibohongi oleh Levin, Levin menyuruh pramusaji membawakan makanan untuk Arum juga Bibi Fatma. Tak seperti yang lain para tamu undangan mengambil sendiri. Ini khusus untuk Arum dan juga Bibi Fatma. Arum dan sang Bibi menikmati hidangan yang mungkin tak asing bagi Bibi Fatma namun, sangat asing dilidah Arum. Dengan pelan ia menikmati setiap sendok yang ia masukkan dalam mulutnya, begitu mengoda lidah. Malam semakin larut tiba saatnya pengumuman penyerahan perusahaan. Arum dan sang Bibi mendampingi Levin di bawah karena Levin yang meminta. "Baiklah kita sambut pemilik perusahan Cahaya groub Bapak Dibyo prambudi.Beliau adalah Presiden Direktur perusahaan."Suara gemuruh tepuk tangan terdengar dari sudut ruangan hotel. "Terima kasih sudah hadir memenuhi undangan kami, akhir-akhir ini Perusahaan kita berkembang pesat sejak tiga tahun terakhir ini. Baru-baru ini aku me
Pria paruh baya itu mengangguk. "Iya dialah Mama kamu Levin."Deg ... seolah Arum begitu terkejut, inikah jawabannya, Levin adalah kakak kandungnya."Apa ... maksud, Papa?" tanya Levin tak percaya."Iya, Nak beliau mama kamu yang kita cari selama ini," jawab pak Dibyo. Levin mendekat mengulurkan tangan yang gemetar, ia langsung memeluk Bibi Fatma dengan sangat erat. "Mama...."Sambut wanita itu tersenyum hangat. "Kau sudah besar, Nak, maafkan mama tidak bisa menjagamu.""Jadi, Arum itu, Ma...." Kalimat Levin terputus. Bibi Fatma menangis, ia tak sanggup untuk bicara jujur. Ia takut jika luka Arum semakin dalam lagi jika mengetahui jati dirinya. "Dia, adik kamu, Levin." Pak Dibyo terlihat tulus dan mengahmpiri Arum lalu memeluknya. "Tidak, Pa...." Elak Levin. "Iya, Lev. Papa tahu jika mama kamu pergi dulu dalam keadaan mengandung.""Apa ... tidak aku mencintainya, Pa!" Teriak Levin. Sungguh, Levin tak bisa berkata-kata lagi. Semua kalimat yang sudah tersusun rapi, lenyap seketika
Cahaya matahari, menerobos masuk melalui celah-celah dinding jendela yang begitu mewah dari atas kamar hotel. Arum sudah terbangun. Ia berjalan ke arah balkon hotel , kakaknya Levin tertidur disova berselimutkan jas yang ia pakai semalam. Ketika Arum memanggil dan menggoyangkan tubuh Levin, ia merubah posisi tidur menghadap tembok dan menarik jas sampai leher."Mas, Levin!" Panggilan itu nyaris pelan, membuat Levin begitu terluka. Membayangkan jika nanti ia selalu dibangunkan Arum. Saat menjadi istrinya, namun sekarang hanya akan menjadi bayangan belaka. "Mas! Mas Levin! Sudah siang!" lirih Arumi seraya menarik jasnya dengan pelan. "Malas, lah, hari minggu juga, Rum." Levin tanpa membuka mata."Jadi, Mas mau disini saja?" "Ya, aku mau tidur seharian, dan aku tak peduli."Arum tahu hatinya sedang terluka, namun seiring berjalannya waktu pasti ia akan mengerti dan luluh. "Ya ampun, Mas ayolah!" ajak Arum gemas kemudian menarik paksa lengan kakaknya. Arum beeusaha membangunkan Lev
Arum membiarkan semilir angin membelai lembut wajahnya. Desirannya sungguh merdu terdengar, ditambah deburan ombak yang memecah pantai. Perpaduan keduanya bak alulan musik yang menentramkan jiwa. Menghadirkan simpang yang begitu syahdu. Senja mulai menguning suasana pantai terlihat begitu indah ketika sunset terlihat dari tepian pantai. melihat laut terbentang luas juga udara yang begitu menyejukkan hati, kebersamaan Arum dan keluarganya adalah momen yang sangat indah, Levin mengabadikan kebersamaan dengan foto bersama. Arum masih duduk memandang sunset, rasa nyaman dan hangat kembali hadir. Arum merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ia beranjak berdiri dan berjalan melewati pasir, ia berjalan tanpa alas kaki, Arum menenteng flatshoes dipinggir pantai. Sementara Levin memperhatikan dari jauh dan masih merasakan detak jantung yang naik turun tak beraturan. Perempuan berwajah cantik itu masih diam, menatap jauh lautan yang tak bertepi. Lelehan air mata sesekali meluncur di pipi mulus