Share

Empat

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2021-08-20 15:18:45

Apalagi ini? Ayu tampil sangat cantik. Dengan gamis maron senada dengan hijabnya yang baru aku lihat dan wajah glowing. Ini benar-benar istriku? Cantik sekali ia hari ini. Dada serasa cenat cenut melihatnya seperti itu. Astaga, kapan ia meminta uang untuk membeli gamis?

"Mas, sudah jam 09.00. Jadi berangkat, nggak?" tanya Ayu.

"Eh, iya. Mas ambil kunci dulu." Aku melangkah masuk dengan kikuk, sampai aku tersandung meja. Apa ini namanya jatuh cinta sama istri sendiri. Untung saja masih istri sahku. Duh, kenapa jadi seperti ini, sih. Bisa-bisanya Ayu cantik seperti itu. Jadi pangling aku.

Isi kepala penuh dengan bayangan wajah Ayu. Sampai lupa menaruh kunci mobil di mana. Astaga, Darma, gila kali ini, masa sampai lupa menaruh kunci mobil. Aku menepuk kening sendiri. 

Suara Ayu sudah terdengar tak sabar di luar. Juga suara anak-anak yang sudah kepanasan.

Untung saja ketemu kuncinya. Gegas aku menghampiri mereka di luar.

Sesekali melirik ke arah Ayu yang santai bermain ponsel di sampingku. Degub jantung ini tak berhenti berdetak membuat konsentrasi dslam menyetir seperti buyar. 

"Yu, kamu pakai gamis baru?" Aku bertanya langsung.

"Iya, lagi diskon." Ia menjawab dan kembali memainkan ponselnya. 

"Uangnya dari mana?" Kuberanikan diri bertanya.

Ayo menoleh dengan tangan masih memegang ponsel miliknya. "Dari ATM-lah."

Sungguh jawaban yang tidak aku bisa percaya. Kenapa harus melawak saja, aku tahu uang itu dari ATM. Hanya saja dari mana asalnya.

***

Mobil kuparkir di halaman rumah ibu, tetapi mereka belum juga siap. Aku turun bersama Ayu dan anak-anak. Namun, belum sampai ke dalam sudah ada beberapa ibu-ibu yang menghampiri kami.

"Wah, Mar, sudah lama nggak kesini, loh, istri kamu cantik sekali. Masih sama seperti menikah dulu, padahal, sudah punya anak dua," ujar Bu Adi tetangga sebelah rumah ibu.

Kulihat Ayu memperlihatkan deretan gigi putihnya. Sambil menggandeng Anita yang merengek saja. 

"Pantes saja, pasti deh uang gajinya habis untuk skincare istri sampai ibunya saja mengeluh nggak ada uang." 

"Hus, Bu."

Apa yang kudengar, ibu mengeluh tak punya uang. Lalu, mereka pasti berpikir aku sibuk dengan istri dan anakku sampai lupa berbakti. 

Kenapa bisa seperti itu, sih. Aku pamit masuk ke dalam menemui ibu. Ternyata Mba Laras pun sudah datang.

"Ayo, nanti telat," ucapku.

Ibu bukan menjawab, malah sibuk memandang Ayu. Netranya tak berkedip, pasti melihat gamis yang dikenakan istriku.

"Gamis kamu baru, Yu?" tanya Ibu.

"Iya, Mas Damar membelikannya khusus ke undangan ini." 

Aku menoleh seketika mendengar ucapan Ayu. Kapan aku membelikannya? Lalu, wajah ibu berpaling menatap aku.

"Kamu hanya beli untuk istrimu? Ibu tak kau belikan?" Netra ibu mulai berkaca-kaca. 

"Bukan begitu, Bu. Kan, aku pikir ibu sudah kukasih uang, nah, bisa beli dari uang itu. Kalau Ayu, kan jarang-jarang. Itu pun hadiah dari teman, Bu." Ayu menyunggingkan senyum mendengar kebohonganku. 

Pasti dia sedang mentertawakan kebodohan aku kali ini. Sejak kapan aku membelikam dia gamis. Bahkan, aku saja Di buat kebingungan oleh ulahnya. 

Minta uang saja jarang, tapi malah banyak membeli barang. Belum lagi ibu yang juga mau gamis.

"Iya sudah, Bu. Nanti aku belikan gajian," ujarku.

Ibu masih merengut sampai membuang muka tak mau menatapku. Aduh, Bu, jangan membuat masalah lagi. Aku sudah di abaikan oleh Ayu, jangan sampai Ibu juga ikut-ikutan mendiamkan aku.

"Yang ke salon juga kamu yang menyuruhnya?" tanya Mba Laras.

Aduh apa lagi ini. Aku mengusap wajah kasar jangan sampai Mba Laras mengatakan jumlah uang yang dikeluarkan oleh Ayu saat di salon itu.

"Salon apa, Ras?" 

Aduh, ibu malah bertanya. Padahal aku berharap Ayu tak menjawab, eh malah ibu yang bertanya. Rasanya aku seperti memiliki istri dua dan harus bersikap adil.

"Itu, Ayu ke salon perawatan menghabiskan uang dua juta rupiah," ujar Mba Laras.

Lagi, aku mengusap dan mengacak-acak rambut yang gak gatal. 

"Iya, Mba. Mas Damar sengaja, katanya buat aku perawatan. Masa gaji besar, istrinya kucel dan glowing. Malu sama rekan-rekannya. Benar, kan, Mas?" Ayu memaksa aku menjawab iya sepertinya.

"Eh, iya."

Permainan apa ini, aduh wajah ibu semakin masam saja. Sepertinya dia marah padaku. Kalau seperti ini urusannya jadi panjang. 

"Wah bagus kamu, Mar," ujar Mas Anton--suami Mba Laras. 

"Oh, iya. Yu, kamu masih ingat beberapa pengetahuan tentang keuangan nggak? Mas Anton butuh orang keuangan, kalau bisa kamu mau nggak ambil projek ini sampai karyawan cuti masuk." Mas Anton menawarkan Ayu pekerjaan.

"Masih, boleh. Dari rumah, kan? Nggak harus ke kantor, kan?" tanya Ayu santai.

"Iya. Jadi mau, nih?" tanya Mas Anton bersemangat.

Ada yang aneh, kok Mas Anton bisa menawarkan pekerjaan pada Ayu padahal, sudah jelas lama sekali Ayu tak bekerja. Kok bisa dengan mudahnya Mas Anton percayakan soal keuangan CV-nya pada Ayu?

"Mar, boleh nggak Ayu ngurus keuangan CV gue sementara?" tanya Mas Anton.

"Terserah saja, asal anak-anak keurus aja di rumah." Aku kembali melirik Ayu yang langsung memalingkan wajah dariku.

"Lumayan, buat nambahin uang belanja sama skincare, bener nggak, Yu?" Mas Anton kembali berbicara dan Ayu pun menyambutnya dengan senyum. Ada apa dengan mereka?

Ah, tidak mungkin mereka berselingkuh di belakangku. Sial, pikiran buruk menghantuiku lagi. 

Jadi, selama ini Ayu bisa melakukan pekerjaan keuangan? Jangan-jangan dia bekerja kembali tanpa sepengetahuanku?

***

Setelah pulang dari acara, tubuh ini terasa lelah. Begitu juga otak dan pikiranku terkuras habis memikirkan istriku yang menjadi sorotan keluarga. Teringat tadi Pak De Wowo  mengatakan hal bercanda, tapi membuat keki.

 

"Waduh, Ayunya istrimu. Sayang Pak De sudah tua. Kalau masih muda, tak tikung." Langsung semua yang ada di sana tertawa terbahak-bahak. Semua tahu memang Pak De Wowo suka bercanda. Namun, bagiku menyebalkan.

 

Sepertinya aku harus bicara langsung sama Ayu kalau aku tidak setuju dengan rencananya bekerja dengan Mas Anton.

 

"Yu, aku mau bicara."

 

"Apa?"

 

"Aku nggak bolehin Mama bekerja dengan Mas Anton. Titik!"

 

"Apa Mas, kamu melarang aku bekerja dengan Kakak iparmu?" tanya Ayu sembari menghampiriku.

 

"Iya, kan sudah aku katakan, kamu ngurus anak saja. Nggak usah kerja, nanti anak-anak  malah terbengkalai. Lagian, urusan cari nafkah biar aku saja." Aku berujar bak suami siaga.

 

Ayu menatap sinis, ia menaikan setengah alisnya. Lalu, tersenyum tipis. 

 

"Biar kamu saja yang mencari nafkah? Nggak salah denger aku? Cari nafkah buat siapa? Aku atau keluargamu?"

 

"Ya, kamu, lah." Aku menjawab cepat.

 

"Aku? Gaji kamu 15 juta sebagai IT. Lalu, kamu pikir, bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga cukup dengan satu nol dari angka 15 juta kalau di tendang?" Ayu tertawa di hadapanku. Kurang asem banget dia, pake bawa-bawa angka nol 15 juta. 

 

Asem banget deh aku!

 

"Mas nggak suka kamu terlalu dekat sama Mas Anton. Nggak enak sama Mba Laras, takut dikira macam-macam," jawabku berbohong.

 

Lagi, Ayu tertawa mendengar penuturanku.

 

"Ya, ampun, Mas. Kamu sama kakak ipar saja cemburu. Aku lupa, kalau sama Mas Arfan yang jelas kakak kandungku pun, kamu kadang suka cemburu nggak jelas. Heran aku!" Ayu menarik napas panjang, lalu ia kembali menatapku sengit.

 

Entah, aku juga tidak mengerti degan kondisi seperti ini. Benar kata Ayu, pada kakak kandung Ayu saja aku terkadang cemburu. Sulit mengendalikan diri ini.

 

"Kalau kamu melarang aku ini, itu, ya harusnya rubah dong jalan pikiran kamu. Berbakti, sih, boleh. Tapi pake logika aja, deh.  Maaf, Mas, kali ini aku butuh pekerjaan dari Mas Anton." Dengan sigap Ayu mengambil tas dan memasuki kamar.

 

Aku menepuk kening saat pintu kamar tertutup dengan kencang. Begitulah wanita, jika marah, apa saja jadi sasaran kemarahannya. 

 

Meneguk air dingin membuat kepalaku sedikit tenang. Apalagi jika ada yang lebih segar, misalkan es atau yang lain. Ah, mana mungkin, Ayu saja sedang marah. Mana mau dia membuatkan aku makanan.

 

Lebih baik aku tidur, besok ada tugas yang menunggu di kantor. Sebelum itu, aku terlebih dahulu mandi, badan sudah terasa bau dan gerah.

***

 

Jam sepertinya tidak bersahabat padaku. Kenapa harus menunjukkan pukul 06.00, sedangkan aku harus terburu-buru. Bahkan, Ayu saja tak membangunkanku. Sepertinya dia masih ngambek.

 

"Aku pulang malam nanti. Ada audit soalnya," ucapku pada Ayu. 

 

"Iya," jawabnya singkat. Lalu, kembali mengaduk sayur di panci.

 

Ayu tahu jika pagi hari aku jarang sarapan. Cukup rokok saja sudah kenyang bagiku. Sementara, siang hari baru aku menyentuh nasi.

 

"Kamu tetap kekeh bekerja dengan Mas Anton?" tanyaku lagi.

 

"Iya, selama kamu masih ngasih aku uang segitu. Emang kamu pikir aku PRT, di kasih nafkah segitu. PRT Bu Minah tetangga sebelah saja 2 juta. Kalah, dah istri sah." Ayu menyunggingkan senyum.

 

Aduh, mumet kepalaku mendengarnya. Segera kuulurkan punggung tangan agar dia menciumnya. Lalu, kuciumi anak-anak dan pamit ke kantor. Lama-lama bisa gila mendengar ocehan Ayu. Uang terus yang ada dipikirannya, tidak mengerti kalau suaminya kerja keras juga lelah.

 

Dasar wanita, lawan bicara satu dia bisa sepuluh kata jawabnya. Lagian, tumben dia bawel begitu. 

 

Aku gegas masuk ke mobil melihat jam sudah tidak bisa ditolerir. Kota Jakarta macet, tambah ruwet kalau sampai kesiangan. 

 

***

Ruang kerja sudah sudah tersaji kopi hangat.  Siapa yang iseng memberikan padaku? Aku saja belum meminta sama si Boy OB. Lah, sudah ada aja kopi.

 

"Man, kopi siapa?" tanyaku asal.

 

"Pak Darma itu dari saya. Sebagai ucapan terima kasih karena kemarin membatu pekerjaan saya yang keteteran." Lisa tersenyum padaku saat itu juga.

 

Kopi? Sayangnya aku tidak suka kopi. Lagi pula, kemarin aku hanya membantu karena dia lelet dan kerjaanku pun jadi lama. Bukan karena aku baik hati.

 

Arman kulihat senyum-senyum dari meja kerjanya. Pasti deh bocah itu bakal bikin heboh satu kantor.

 

"Terima kasih, Lis. Saya nggak doyan kopi hitam, Sayangnya." Aku menolak halus, lagi pula aku ingat perkataan Ayu kala itu.

 

"Jangan sembarangan minum kalau disediain perempuan," kata Ayu.

 

"Kenapa?" 

 

"Takut ada guna-guna. Nanti kamu kepelet, kan rugi nanti uang kamu. Mau kamu jadi bangkrut nanti?" 

 

Aku bergidik ngeri saat mengingat perkataan istriku. Ada baiknya aku menjaga diri. Setidaknya, walau kata Ayu aku merki, ya, aku harus setia. 

 

"Oh, maaf, Pak. Mau saya ganti minumnya?" tanya Lisa lagi.

 

"Nggak usah, saya bawa air sendiri." Aku kembali ke meja kerja dan duduk santai.

 

Arman mulai menyenggol lenganku. Sial, anak itu pasti mau bertanya macam-macam.

 

"Gebet, Bro. Lampu ijo itu," cecarnya.

 

Aku menautkan kedua alis, gila aja nih anak nyuruh aku main api? Ayu dingin dan cuek aja kelabakan. Apalagi aku main perempuan, bisa minta ditalak si Ayu.

 

"Buat, lo aja, Bro. Gue masih ada satu bini, itu aja nggak abis." Kusunggingkan senyum pada Arman seolah membuktikan kalau aku pria setia.

 

"Yakin, bahenol, tuh."

 

"Elah, bagusan bini gue."

 

Arman tak bicara lagi setelah aku membuka laptop. Pekerjaan hari ini harus selesai sebelum meeting sore nanti.

 

Pintu ruangan terbuka, Bu Dinda kepala HRD datang menghampiri meja Arman.

 

"Pak Arman, tolong hubungi keuangan CV Buana, namanya Ibu Ayu Ningtias. Cepat, ya. Ini nomer ponselnya." Aku terkesiap mendengar ucapan Bu Dinda. 

 

Apa Ayu itu yang dimaksud adalah istriku? Atau hanya ada kesamaan? Tapi, CV Buana itu bukannya perusahaan kecil yang dibangun Mas Arfan?

 

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
wuih bikin kaget ini kok bisa lsung dg ibu Ayu?
goodnovel comment avatar
Asep Sablon
mulai rame nih..
goodnovel comment avatar
thifan269 MAKE THE AMV
saya terima² saja kalo suami ngasih uang belanja 1,5 juta(karna udah bersihnya segitu,gak perlu mikir kuota,listrik,air,dll) tapi kalo gaji suami saya 15 juta,dan ngasihnya cuman 1,5 juta... yah ngamok lah...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Extra Part

    Ibu Andar terduduk di teras rumah. Sudah semingguan acara pernikahan Damar berlangsung. Ia merasa lega karena kini penyesalan dirinya sudah terbayarkan.Ia menyesal karena dirinya, kebahagiaan anak-anaknya hilang. Mulai dari Laras, hubungan mereka renggang saat ia ikut campur dalam rumah tangga sang anak. Kedua, rumah tangga Damar yang hancur olehnya. Ketiga, masalah Asih yang membuatnya sangat bersalah.Ia teringat lima bulan yang lalu saat ia bertengkar hebat dengan tetangga beberapa gang dari rumahnya."Ya ampun, Bu Andar lihat, deh. Ini anakmu bagaimana, sih. Masa istri barunya jadi pemeran video porno. Iki, loh," tujuk Bu Sentot sambil memperlihatkan video Erika bersama Yuda.Wajah Bu Andar memerah menahan malu juga amarah. Lalu, ia merampas ponsel milik Bu Sentot dan menghapus videonya."Ih, Bu Andar, lancang sekali, sih. Ini hape saya, nggak ada tatakrama sekali, main ambil saja. Pantas saja anak-anak ibu pada

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Enam

    Menunggu jawaban dari Ayu membuat Damar tak sabar. Ia kembali bertanya dengan dada yang begitu berdebar.Sorot mata Ayu mengisyaratkan ia ingin kembali, tetapi keraguan kembali membuncah di dada."Yu, bagaimana? Demi aku dan anak-anak?" Lagi, pertanyaan itu terus mendesak Ayu.Batinnya pun tersiksa saat Damar memutuskan untuk tetap pergi ke Surabaya. Terkadang berkirim pesan dengan mengatas namankan anak membuatnya sedikit lega melihat aktivitas sang mantan suami."Yu, mau nggak? Kalau mau, nanti aku bawa keluarga aku untuk datang kembali, dan semoga saja ibu sudah bisa lebih baik.""Mas, apa kamu yakin?""Kalau aku nggak yakin, buat apa aku datang.""Aku--aaku, mau, Mas. Dengan syarat," ucap Ayu."Full gaji di transfer gitu?" Damar menaikkan kedua alisnya."Nggak, tapi janji, kamu mau berubah, tidak seperti dulu.""Janji, sih, mudah. Kamu bantu aku mengingatkan, bagim

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima puluh lima

    Lima bulan berlalu begitu cepat. Kini, Ayu memulai semuanya dengan baik. Kabar pernikahan David pun membuat ia senang, walau tidak secara besar-besaran, pernikahan CEO itu mengundang banyak kontroversi karena anak yang di bawa Viola.Aku mengitari sebuah mall untuk membeli perlengkapan untuk kedua anaknya. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Viola.Viola mengajak untuk berbincang di sebuah tempat makan. Ia pergi sendiri karena Gista bersama Oma Meria."Terima kasih, Yu. Kamu memberikan hari bahagia untuk anakku. Berkat kamu, anakku kembali tersenyum. Setiap malam tidur bersama ayahnya." Sembari menggenggam tangan Ayu, manik mata Viola itu meneteskan air mata."Maaf, aku mengambil kebahagiaanmu," ucap Viola lagi."Nggak, kok. Aku bahagia, memang aku dan David nggak berjodoh. Untuk apa memaksakan. Memang dia ada untuk kalian, bukan aku. Aku senang bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian." Senyum tulus Ayu membuat dirinya semakin bers

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Empat

    David sengaja menunggu Ayu pulang dari kantor. Ia duduk di lobi kantor Laras. Sudah beberapa hari ia tidak bisa menghubungi Ayu."Yu, kita perlu bicara," ujar David saat melihat Ayu ke luar."Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi." Ayu terlihat sangat sengit menatap David.David terus saja memohon untuk bicara. Laras yang sedang bersamanya, memberi kode untuk berbicara saja dengan pria itu. Lebih baik untuk menyelesaikan masalah mereka."Baik, kita bicara.""Ya."Mereka memilih berbicara di sebuah tempat makan tidak jauh dari kantor. Ayu memesan cokelat hangat, sedangkan David memilih hanya memesan teh hangat saja."Yu, dengarkan aku. Saat ini, hati aku hanya untuk kamu dan nggak akan pernah mendua. Viola hanya masa lalu aku," ujar David."Tapi ada anak itu diantara kalian." Ayu menarik napas panjang.Ia juga perempuan, memiliki anak dan pasti hatinya sakit melihat David t

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Tiga

    "Aku pamit, Yu," ucap Damar saat menemui Ayu di kantor Laras.Pria itu sengaja berpamitan, untuk memberitahu jika dia akan ke Surabaya dan menetap lama di sana."Bagaimana dengan anak-anak jika bertanya tentang kamu?" tanya Ayu."Katakan saja seperti biasa. Aku sedang bekerja dan mencari uang untuk mereka. Aku janji, sebulan sekali atau ada kesempatan ke Jakarta, aku akan bertemu dengan kalian, maksud aku anak-anak." Sedikit lega karena Damar merasa lebih baik ia menjauh dari Ayu.Seperti ada yang hilang, tetapi Ayu mencoba menenangkan hatinya. Dirinya hanya merasa sedikit sedih saat Damar pergi. Bukan karena hal lainya. Hanya bingung bagaimana jika kedua anaknya bertanya tentang Papanya."Ini, uang bulanan mereka," ucap Damar.Ayu mengambilnya, ia memperhatikan wajah Damar yang terlihat berbeda dari biasanya. Ia begitu tirus dan kurus."Aku pamit.""Cie, ada yang sedih mau di t

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Dua

    Damar menaruh kembali ponsel di nakas. Ia kembali mengerjakan beberapa pekerjaan miliknya. Ia tidak mau membahas lagi tentang Erika, baginya, perselingkuhan tidak bisa di tolerir walau dengan kata maaf.Beberapa karyawan sudah berbicara dengannya. Banyak yang bersimpati dengan pria dua anak itu. Bahkan, ia pun di panggil oleh atasannya."Pak Damar, di panggil pak bos," ujar Simon."Iya, aku ke sana."Dengan langkah gontai, Damar menuju ruang bos. Mengetuk pintu dan ia segera masuk ke dalam."Ada apa, Pak?" tanya Damar."Saya sudah melihat video istri kamu, kamu oke?" Pak Mario mempertanyakan kondisi Damar."Saya oke, ya, walau sedikit perih." Damar menjawab dengan tawa."Saya mau memastikan kamu baik-baik saja.""Saya masih bisa bekerja dengan baik kok, Pak. Tenang saja," jawab Damar."Baik, begini, Pak Damar, kami ada cabang perusahaan di kota Surabaya, di sana

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Satu

    "Mas bagaimana ini?" Erika panik bukan main.Begitu juga ibunya Erika, wanita tua itu tidak mengerti bisa berada dalam situasi seperti itu. Bu Hindun panas dingin, seketika dadanya terasa sesak kian mendalam."Rik, duh dada ibu sesak ini," keluhnya."Aduh ibu, kenapa?"Geduran keras dari luar memaksa Yudi dan Erika akhirnya ke luar dari mobil. Maria dengan puas tersenyum sinis.Ia menarik Erika dan mendorong tubuh itu hingga terjatuh di tanah. Tidak terima, Erika bangkit dan ingin mendorong Maria, tetapi oleh teman Maria di tarik kembali."Jadi ini, wanita pelakor itu? Dih, nggak tahu malu merebut suami orang." Salah satu teman Maria berteriak kencang hingga mengundang banyak orang memperhatikannya."Heh, suami situ yang emang nggak suka lagi sama kamu. Sadar diri dong, dia milih aku karena aku lebih dari kamu," ujar Erika membela diri."Dih, nggak punya malu, sudah merebut, malah membangga

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh

    "Oma, Maaf, aku belum bisa mengatakan ia atau tidaknya. Ini bukan pernikahan pertamaku dan aku sudah gagal dalam pernikahan pertamaku. Aku mohon, beri aku waktu utuk berpikir." Ayu berharap sang oma mau menerima alasannya."Baik, Yu. Kalau itu keputusan kamu, Oma dan David menunggu kabar baik dari kamu," ujar Oma Meria.Davit terlihat kecewa, tetapi ia harus menerima apa yang diputuskan oleh Ayu. Mungkin tidak lama lagi ia akan memberikan kabar baik untuknya.Beberapa menit mengobrol, akhirnya David dan Oma Meria pamit pulang. Sudah terlalu malam hingga mereka lupa waktu.Ayu bisa berbapas lega, ibunya pun ikut lega dengan keputusan sang anak. Baginya, pernikahan itu tidak bisa terburu-buru. Apalagi Ayu pernah gagal."Ibu setuju sama kamu, pokoknya pikirkan yang terbaik, ya, Sayang.""Iya, Bu. Aku juga takut gagal lagi," ucap Ayu.Ayu melihat keadaan kedua anaknya, mereka sudah tertidur nyenyak.

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Empat puluh sembilan

    Kondisi Bagas sudah membaik, kemarin sudah pulang dan di jemput oleh Damar. Pria itu dengan telaten mengajak sang anak main dalam beberapa jam sebelum pulang.Berulang kali Bagas membujuk ayahnya untuk tetap tinggal. Namun, itu tidak mungkin karena Ayu dan dirinya sudah berpisah. Tidak mungkin bisa untuk bersama."Kalau kamu mau, nanti nginep di rumah papa, bagaimana?" Damar mencoba membujuk Bagas.Anak laki-laki itu mengerucutkan bibir. Ia sama sekali tidak mau melepaskan pelukan sang ayah. Rasa rindunya kian membuncah, saat ia terbangun melihat hanya sosok ibunya yang ada."Nanti Papa main lagi, Bagas sama Mama dulu, ya," bujuk sang ibu.Beruntungnya Bagas menurut dengan apa yang dikatakan sang ibu. Walaupun dengan wajah masam, anak itu tetap mengantar sang ayah sampai ke halaman rumah."Yu, pamit," ucap Damar."Iya, Mas."Setelah Damar pulang, Ayu kembali membujuk sang anak u

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status