Apalagi ini? Ayu tampil sangat cantik. Dengan gamis maron senada dengan hijabnya yang baru aku lihat dan wajah glowing. Ini benar-benar istriku? Cantik sekali ia hari ini. Dada serasa cenat cenut melihatnya seperti itu. Astaga, kapan ia meminta uang untuk membeli gamis?
"Mas, sudah jam 09.00. Jadi berangkat, nggak?" tanya Ayu."Eh, iya. Mas ambil kunci dulu." Aku melangkah masuk dengan kikuk, sampai aku tersandung meja. Apa ini namanya jatuh cinta sama istri sendiri. Untung saja masih istri sahku. Duh, kenapa jadi seperti ini, sih. Bisa-bisanya Ayu cantik seperti itu. Jadi pangling aku.Isi kepala penuh dengan bayangan wajah Ayu. Sampai lupa menaruh kunci mobil di mana. Astaga, Darma, gila kali ini, masa sampai lupa menaruh kunci mobil. Aku menepuk kening sendiri. Suara Ayu sudah terdengar tak sabar di luar. Juga suara anak-anak yang sudah kepanasan.Untung saja ketemu kuncinya. Gegas aku menghampiri mereka di luar.Sesekali melirik ke arah Ayu yang santai bermain ponsel di sampingku. Degub jantung ini tak berhenti berdetak membuat konsentrasi dslam menyetir seperti buyar. "Yu, kamu pakai gamis baru?" Aku bertanya langsung."Iya, lagi diskon." Ia menjawab dan kembali memainkan ponselnya. "Uangnya dari mana?" Kuberanikan diri bertanya.Ayo menoleh dengan tangan masih memegang ponsel miliknya. "Dari ATM-lah."Sungguh jawaban yang tidak aku bisa percaya. Kenapa harus melawak saja, aku tahu uang itu dari ATM. Hanya saja dari mana asalnya.***Mobil kuparkir di halaman rumah ibu, tetapi mereka belum juga siap. Aku turun bersama Ayu dan anak-anak. Namun, belum sampai ke dalam sudah ada beberapa ibu-ibu yang menghampiri kami."Wah, Mar, sudah lama nggak kesini, loh, istri kamu cantik sekali. Masih sama seperti menikah dulu, padahal, sudah punya anak dua," ujar Bu Adi tetangga sebelah rumah ibu.Kulihat Ayu memperlihatkan deretan gigi putihnya. Sambil menggandeng Anita yang merengek saja. "Pantes saja, pasti deh uang gajinya habis untuk skincare istri sampai ibunya saja mengeluh nggak ada uang." "Hus, Bu."Apa yang kudengar, ibu mengeluh tak punya uang. Lalu, mereka pasti berpikir aku sibuk dengan istri dan anakku sampai lupa berbakti. Kenapa bisa seperti itu, sih. Aku pamit masuk ke dalam menemui ibu. Ternyata Mba Laras pun sudah datang."Ayo, nanti telat," ucapku.Ibu bukan menjawab, malah sibuk memandang Ayu. Netranya tak berkedip, pasti melihat gamis yang dikenakan istriku."Gamis kamu baru, Yu?" tanya Ibu."Iya, Mas Damar membelikannya khusus ke undangan ini." Aku menoleh seketika mendengar ucapan Ayu. Kapan aku membelikannya? Lalu, wajah ibu berpaling menatap aku."Kamu hanya beli untuk istrimu? Ibu tak kau belikan?" Netra ibu mulai berkaca-kaca. "Bukan begitu, Bu. Kan, aku pikir ibu sudah kukasih uang, nah, bisa beli dari uang itu. Kalau Ayu, kan jarang-jarang. Itu pun hadiah dari teman, Bu." Ayu menyunggingkan senyum mendengar kebohonganku. Pasti dia sedang mentertawakan kebodohan aku kali ini. Sejak kapan aku membelikam dia gamis. Bahkan, aku saja Di buat kebingungan oleh ulahnya. Minta uang saja jarang, tapi malah banyak membeli barang. Belum lagi ibu yang juga mau gamis."Iya sudah, Bu. Nanti aku belikan gajian," ujarku.Ibu masih merengut sampai membuang muka tak mau menatapku. Aduh, Bu, jangan membuat masalah lagi. Aku sudah di abaikan oleh Ayu, jangan sampai Ibu juga ikut-ikutan mendiamkan aku."Yang ke salon juga kamu yang menyuruhnya?" tanya Mba Laras.Aduh apa lagi ini. Aku mengusap wajah kasar jangan sampai Mba Laras mengatakan jumlah uang yang dikeluarkan oleh Ayu saat di salon itu."Salon apa, Ras?" Aduh, ibu malah bertanya. Padahal aku berharap Ayu tak menjawab, eh malah ibu yang bertanya. Rasanya aku seperti memiliki istri dua dan harus bersikap adil."Itu, Ayu ke salon perawatan menghabiskan uang dua juta rupiah," ujar Mba Laras.Lagi, aku mengusap dan mengacak-acak rambut yang gak gatal. "Iya, Mba. Mas Damar sengaja, katanya buat aku perawatan. Masa gaji besar, istrinya kucel dan glowing. Malu sama rekan-rekannya. Benar, kan, Mas?" Ayu memaksa aku menjawab iya sepertinya."Eh, iya."Permainan apa ini, aduh wajah ibu semakin masam saja. Sepertinya dia marah padaku. Kalau seperti ini urusannya jadi panjang. "Wah bagus kamu, Mar," ujar Mas Anton--suami Mba Laras. "Oh, iya. Yu, kamu masih ingat beberapa pengetahuan tentang keuangan nggak? Mas Anton butuh orang keuangan, kalau bisa kamu mau nggak ambil projek ini sampai karyawan cuti masuk." Mas Anton menawarkan Ayu pekerjaan."Masih, boleh. Dari rumah, kan? Nggak harus ke kantor, kan?" tanya Ayu santai."Iya. Jadi mau, nih?" tanya Mas Anton bersemangat.Ada yang aneh, kok Mas Anton bisa menawarkan pekerjaan pada Ayu padahal, sudah jelas lama sekali Ayu tak bekerja. Kok bisa dengan mudahnya Mas Anton percayakan soal keuangan CV-nya pada Ayu?"Mar, boleh nggak Ayu ngurus keuangan CV gue sementara?" tanya Mas Anton."Terserah saja, asal anak-anak keurus aja di rumah." Aku kembali melirik Ayu yang langsung memalingkan wajah dariku."Lumayan, buat nambahin uang belanja sama skincare, bener nggak, Yu?" Mas Anton kembali berbicara dan Ayu pun menyambutnya dengan senyum. Ada apa dengan mereka?Ah, tidak mungkin mereka berselingkuh di belakangku. Sial, pikiran buruk menghantuiku lagi. Jadi, selama ini Ayu bisa melakukan pekerjaan keuangan? Jangan-jangan dia bekerja kembali tanpa sepengetahuanku?***Ibu Andar terduduk di teras rumah. Sudah semingguan acara pernikahan Damar berlangsung. Ia merasa lega karena kini penyesalan dirinya sudah terbayarkan.Ia menyesal karena dirinya, kebahagiaan anak-anaknya hilang. Mulai dari Laras, hubungan mereka renggang saat ia ikut campur dalam rumah tangga sang anak. Kedua, rumah tangga Damar yang hancur olehnya. Ketiga, masalah Asih yang membuatnya sangat bersalah.Ia teringat lima bulan yang lalu saat ia bertengkar hebat dengan tetangga beberapa gang dari rumahnya."Ya ampun, Bu Andar lihat, deh. Ini anakmu bagaimana, sih. Masa istri barunya jadi pemeran video porno. Iki, loh," tujuk Bu Sentot sambil memperlihatkan video Erika bersama Yuda.Wajah Bu Andar memerah menahan malu juga amarah. Lalu, ia merampas ponsel milik Bu Sentot dan menghapus videonya."Ih, Bu Andar, lancang sekali, sih. Ini hape saya, nggak ada tatakrama sekali, main ambil saja. Pantas saja anak-anak ibu pada
Menunggu jawaban dari Ayu membuat Damar tak sabar. Ia kembali bertanya dengan dada yang begitu berdebar.Sorot mata Ayu mengisyaratkan ia ingin kembali, tetapi keraguan kembali membuncah di dada."Yu, bagaimana? Demi aku dan anak-anak?" Lagi, pertanyaan itu terus mendesak Ayu.Batinnya pun tersiksa saat Damar memutuskan untuk tetap pergi ke Surabaya. Terkadang berkirim pesan dengan mengatas namankan anak membuatnya sedikit lega melihat aktivitas sang mantan suami."Yu, mau nggak? Kalau mau, nanti aku bawa keluarga aku untuk datang kembali, dan semoga saja ibu sudah bisa lebih baik.""Mas, apa kamu yakin?""Kalau aku nggak yakin, buat apa aku datang.""Aku--aaku, mau, Mas. Dengan syarat," ucap Ayu."Full gaji di transfer gitu?" Damar menaikkan kedua alisnya."Nggak, tapi janji, kamu mau berubah, tidak seperti dulu.""Janji, sih, mudah. Kamu bantu aku mengingatkan, bagim
Lima bulan berlalu begitu cepat. Kini, Ayu memulai semuanya dengan baik. Kabar pernikahan David pun membuat ia senang, walau tidak secara besar-besaran, pernikahan CEO itu mengundang banyak kontroversi karena anak yang di bawa Viola.Aku mengitari sebuah mall untuk membeli perlengkapan untuk kedua anaknya. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Viola.Viola mengajak untuk berbincang di sebuah tempat makan. Ia pergi sendiri karena Gista bersama Oma Meria."Terima kasih, Yu. Kamu memberikan hari bahagia untuk anakku. Berkat kamu, anakku kembali tersenyum. Setiap malam tidur bersama ayahnya." Sembari menggenggam tangan Ayu, manik mata Viola itu meneteskan air mata."Maaf, aku mengambil kebahagiaanmu," ucap Viola lagi."Nggak, kok. Aku bahagia, memang aku dan David nggak berjodoh. Untuk apa memaksakan. Memang dia ada untuk kalian, bukan aku. Aku senang bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian." Senyum tulus Ayu membuat dirinya semakin bers
David sengaja menunggu Ayu pulang dari kantor. Ia duduk di lobi kantor Laras. Sudah beberapa hari ia tidak bisa menghubungi Ayu."Yu, kita perlu bicara," ujar David saat melihat Ayu ke luar."Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi." Ayu terlihat sangat sengit menatap David.David terus saja memohon untuk bicara. Laras yang sedang bersamanya, memberi kode untuk berbicara saja dengan pria itu. Lebih baik untuk menyelesaikan masalah mereka."Baik, kita bicara.""Ya."Mereka memilih berbicara di sebuah tempat makan tidak jauh dari kantor. Ayu memesan cokelat hangat, sedangkan David memilih hanya memesan teh hangat saja."Yu, dengarkan aku. Saat ini, hati aku hanya untuk kamu dan nggak akan pernah mendua. Viola hanya masa lalu aku," ujar David."Tapi ada anak itu diantara kalian." Ayu menarik napas panjang.Ia juga perempuan, memiliki anak dan pasti hatinya sakit melihat David t
"Aku pamit, Yu," ucap Damar saat menemui Ayu di kantor Laras.Pria itu sengaja berpamitan, untuk memberitahu jika dia akan ke Surabaya dan menetap lama di sana."Bagaimana dengan anak-anak jika bertanya tentang kamu?" tanya Ayu."Katakan saja seperti biasa. Aku sedang bekerja dan mencari uang untuk mereka. Aku janji, sebulan sekali atau ada kesempatan ke Jakarta, aku akan bertemu dengan kalian, maksud aku anak-anak." Sedikit lega karena Damar merasa lebih baik ia menjauh dari Ayu.Seperti ada yang hilang, tetapi Ayu mencoba menenangkan hatinya. Dirinya hanya merasa sedikit sedih saat Damar pergi. Bukan karena hal lainya. Hanya bingung bagaimana jika kedua anaknya bertanya tentang Papanya."Ini, uang bulanan mereka," ucap Damar.Ayu mengambilnya, ia memperhatikan wajah Damar yang terlihat berbeda dari biasanya. Ia begitu tirus dan kurus."Aku pamit.""Cie, ada yang sedih mau di t
Damar menaruh kembali ponsel di nakas. Ia kembali mengerjakan beberapa pekerjaan miliknya. Ia tidak mau membahas lagi tentang Erika, baginya, perselingkuhan tidak bisa di tolerir walau dengan kata maaf.Beberapa karyawan sudah berbicara dengannya. Banyak yang bersimpati dengan pria dua anak itu. Bahkan, ia pun di panggil oleh atasannya."Pak Damar, di panggil pak bos," ujar Simon."Iya, aku ke sana."Dengan langkah gontai, Damar menuju ruang bos. Mengetuk pintu dan ia segera masuk ke dalam."Ada apa, Pak?" tanya Damar."Saya sudah melihat video istri kamu, kamu oke?" Pak Mario mempertanyakan kondisi Damar."Saya oke, ya, walau sedikit perih." Damar menjawab dengan tawa."Saya mau memastikan kamu baik-baik saja.""Saya masih bisa bekerja dengan baik kok, Pak. Tenang saja," jawab Damar."Baik, begini, Pak Damar, kami ada cabang perusahaan di kota Surabaya, di sana
"Mas bagaimana ini?" Erika panik bukan main.Begitu juga ibunya Erika, wanita tua itu tidak mengerti bisa berada dalam situasi seperti itu. Bu Hindun panas dingin, seketika dadanya terasa sesak kian mendalam."Rik, duh dada ibu sesak ini," keluhnya."Aduh ibu, kenapa?"Geduran keras dari luar memaksa Yudi dan Erika akhirnya ke luar dari mobil. Maria dengan puas tersenyum sinis.Ia menarik Erika dan mendorong tubuh itu hingga terjatuh di tanah. Tidak terima, Erika bangkit dan ingin mendorong Maria, tetapi oleh teman Maria di tarik kembali."Jadi ini, wanita pelakor itu? Dih, nggak tahu malu merebut suami orang." Salah satu teman Maria berteriak kencang hingga mengundang banyak orang memperhatikannya."Heh, suami situ yang emang nggak suka lagi sama kamu. Sadar diri dong, dia milih aku karena aku lebih dari kamu," ujar Erika membela diri."Dih, nggak punya malu, sudah merebut, malah membangga
"Oma, Maaf, aku belum bisa mengatakan ia atau tidaknya. Ini bukan pernikahan pertamaku dan aku sudah gagal dalam pernikahan pertamaku. Aku mohon, beri aku waktu utuk berpikir." Ayu berharap sang oma mau menerima alasannya."Baik, Yu. Kalau itu keputusan kamu, Oma dan David menunggu kabar baik dari kamu," ujar Oma Meria.Davit terlihat kecewa, tetapi ia harus menerima apa yang diputuskan oleh Ayu. Mungkin tidak lama lagi ia akan memberikan kabar baik untuknya.Beberapa menit mengobrol, akhirnya David dan Oma Meria pamit pulang. Sudah terlalu malam hingga mereka lupa waktu.Ayu bisa berbapas lega, ibunya pun ikut lega dengan keputusan sang anak. Baginya, pernikahan itu tidak bisa terburu-buru. Apalagi Ayu pernah gagal."Ibu setuju sama kamu, pokoknya pikirkan yang terbaik, ya, Sayang.""Iya, Bu. Aku juga takut gagal lagi," ucap Ayu.Ayu melihat keadaan kedua anaknya, mereka sudah tertidur nyenyak.
Kondisi Bagas sudah membaik, kemarin sudah pulang dan di jemput oleh Damar. Pria itu dengan telaten mengajak sang anak main dalam beberapa jam sebelum pulang.Berulang kali Bagas membujuk ayahnya untuk tetap tinggal. Namun, itu tidak mungkin karena Ayu dan dirinya sudah berpisah. Tidak mungkin bisa untuk bersama."Kalau kamu mau, nanti nginep di rumah papa, bagaimana?" Damar mencoba membujuk Bagas.Anak laki-laki itu mengerucutkan bibir. Ia sama sekali tidak mau melepaskan pelukan sang ayah. Rasa rindunya kian membuncah, saat ia terbangun melihat hanya sosok ibunya yang ada."Nanti Papa main lagi, Bagas sama Mama dulu, ya," bujuk sang ibu.Beruntungnya Bagas menurut dengan apa yang dikatakan sang ibu. Walaupun dengan wajah masam, anak itu tetap mengantar sang ayah sampai ke halaman rumah."Yu, pamit," ucap Damar."Iya, Mas."Setelah Damar pulang, Ayu kembali membujuk sang anak u