Kedamaian yang datang setelah dokumen-dokumen sejarah Sri Wirawan dibuka terasa berbeda dari sebelumnya. Bukan sekadar sepi tanpa konflik, tapi sebuah ketenangan yang dijaga dengan penuh kesadaran. Seolah semua orang tahu betapa rapuhnya harmoni ini, sehingga mereka memilih merawatnya dengan hati-hati.
Kampus Sri Wirawan pun berubah wajah. Ia bukan lagi hanya tempat belajar, tapi lambang rekonsiliasi. Di sana, masa lalu tidak ditutup-tutupi, melainkan dihadapi, dipelajari, lalu dijadikan dasar untuk membangun masa depan yang lebih jernih.Alvaro menemukan rumah barunya di sini. Ia meninggalkan hiruk-pikuk ALCORP dan menukar ruang rapat dengan ruang diskusi, menukar angka-angka laporan dengan buku sejarah dan puisi. Aku melihat bagaimana beban yang dulu menghantuinya perlahan surut, berganti semangat baru—semangat yang polos, hampir seperti anak kecil yang sedang menemukan dunia untuk pertama kalinya. Dia bahkan mulai belajar bahasa Belanda dan Jawa kuno, bertekad mKedamaian setelah semua kebenaran tentang ayah mereka terbongkar terasa seperti hembusan udara segar setelah badai panjang. Untuk pertama kalinya, tidak ada lagi rahasia yang menghantui kami. Setiap keping sejarah keluarga akhirnya menemukan tempatnya, membentuk gambaran yang mungkin tidak sempurna, tapi utuh dan jujur.Rumah Singgah Sri tumbuh dengan cepat. Diana, dengan semangat barunya, menaruh seluruh hatinya ke dalam proyek itu. Pengalaman melawan kanker memberinya sudut pandang yang tak tergantikan—bahwa pasien bukan hanya butuh obat, tapi juga tempat aman, telinga yang mendengar, dan pelukan yang tulus. Rumah singgah itu perlahan berubah menjadi lebih dari sekadar tempat tinggal sementara; ia menjadi rumah kedua, sebuah keluarga kecil bagi mereka yang sedang bertarung dengan penyakit.Alvaro juga banyak berubah. ALCORP masih berjalan, tapi dia tak lagi terjebak di pusaran ambisi seperti dulu. Kini dia mendelegasikan lebih banyak tugas dan memilih fokus pada
Perjuangan melawan kanker Diana meninggalkan jejak yang dalam pada kami semua. Ia mengajarkan betapa rapuhnya hidup dan betapa kuatnya cinta saat diuji. Setelah berbulan-bulan perawatan keras, kabar itu akhirnya datang: kondisinya stabil. Dokter menyebutnya remisi—kata sederhana yang langsung membuat kami menangis lega. Diana masih lemah, tubuhnya rapuh, tapi nyalanya kembali.“Kesempatan kedua ini nggak akan kusia-siakan,” katanya suatu pagi di teras rumah sakit. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tajam, penuh tekad. “Aku ingin melakukan sesuatu yang berarti. Bukan demi warisan, tapi untuk masa depan.”Idenya lahir dari pengalamannya sendiri. Selama menjalani kemoterapi, Diana melihat betapa mahalnya biaya pengobatan kanker, juga betapa sedikit dukungan psikologis yang tersedia untuk pasien dan keluarga mereka. Bersama Lintang—yang kini terasa lebih seperti saudara kandung ketimbang saudara tiri—ia merancang Rumah Singgah Sri, sebuah tempat bagi pasien kanker dari
Kedamaian yang datang setelah dokumen-dokumen sejarah Sri Wirawan dibuka terasa berbeda dari sebelumnya. Bukan sekadar sepi tanpa konflik, tapi sebuah ketenangan yang dijaga dengan penuh kesadaran. Seolah semua orang tahu betapa rapuhnya harmoni ini, sehingga mereka memilih merawatnya dengan hati-hati.Kampus Sri Wirawan pun berubah wajah. Ia bukan lagi hanya tempat belajar, tapi lambang rekonsiliasi. Di sana, masa lalu tidak ditutup-tutupi, melainkan dihadapi, dipelajari, lalu dijadikan dasar untuk membangun masa depan yang lebih jernih.Alvaro menemukan rumah barunya di sini. Ia meninggalkan hiruk-pikuk ALCORP dan menukar ruang rapat dengan ruang diskusi, menukar angka-angka laporan dengan buku sejarah dan puisi. Aku melihat bagaimana beban yang dulu menghantuinya perlahan surut, berganti semangat baru—semangat yang polos, hampir seperti anak kecil yang sedang menemukan dunia untuk pertama kalinya. Dia bahkan mulai belajar bahasa Belanda dan Jawa kuno, bertekad m
Kampus Sri Wirawan sudah berjalan penuh enam bulan terakhir. Tempat yang dulunya hanyalah reruntuhan pabrik penuh debu kini berdiri sebagai pusat pendidikan dan budaya. Setiap kali aku berjalan di lorong-lorongnya, mendengar percakapan yang bercampur bahasa Indonesia dan Belanda, melihat mahasiswa dari berbagai latar belakang saling berdiskusi, hatiku selalu diliputi rasa hangat. Seakan semua luka dan perjalanan panjang keluarga kami menemukan maknanya di sini.Alvaro juga berubah. Dia masih menjalankan ALCORP, tapi banyak tanggung jawab kini ia serahkan pada timnya. Fokus barunya ada di kampus ini. Aku melihatnya lebih tenang, lebih sering tersenyum, dan yang terpenting—lebih hadir untuk keluarga. Kadang aku merasa pria yang dulu begitu keras dan penuh beban akhirnya belajar bernapas lega.Surya, yang kini sudah tujuh tahun, seolah jadi maskot kecil kampus. Dengan polosnya ia memperkenalkan diri sebagai "duta" dan sering mengajak teman-temannya berkeliling, menunj
Pembangunan Kampus Sri Wirawan menjadi pusat hidup kami selama berbulan-bulan. Bekas pabrik tekstil yang tua dan berdebu, saksi bisu masa lalu yang penuh luka, perlahan berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Setiap bata yang dipasang, setiap dinding yang tegak berdiri, seolah membawa pesan baru: bahwa sejarah tidak harus terus mengikat, ia bisa diubah menjadi harapan.Alvaro menekankan satu hal pada para arsitek: “Bangun tempat ini sebagai titik temu masa lalu dan masa depan. Jangan biarkan keduanya saling bertarung.”Sering kali aku tersenyum melihat Surya ikut “mengawasi” para pekerja dengan truk mainannya. Dia berlarian di antara tumpukan pasir, matanya penuh rasa ingin tahu, seolah yakin dirinya bagian dari proyek besar ini. Melihatnya tumbuh tanpa beban seperti kami dulu—atau setidaknya dengan beban yang jauh lebih ringan—membuat hatiku lega.Namun, kami sudah terlalu sering belajar: kedamaian tidak pernah datang tanpa gangguan.Ga
Liburan ke Disneyland adalah hadiah yang kami semua butuhkan. Tiga minggu penuh tanpa telepon, tanpa email, hanya aku, Alvaro, dan Surya. Rasanya seperti keluar dari dunia penuh badai dan masuk ke dunia di mana waktu hanya diisi dengan tawa dan cahaya.Melihat mata Surya bersinar saat bertemu Mickey Mouse, mendengar tawanya pecah saat naik roller coaster anak-anak, dan menyaksikan Alvaro—yang biasanya keras dan serius—berubah jadi seperti bocah kecil yang tak sabar antre wahana… itu semua seperti menyembuhkan bagian jiwa yang selama ini penuh luka.Kami pulang dengan kulit kecokelatan terbakar matahari California, hati yang lebih ringan, dan energi baru. Bahkan kembali ke rutinitas sehari-hari pun terasa lebih mudah. Aku sempat berpikir: mungkin kali ini, ketenangan akan bertahan sedikit lebih lama.Tapi seperti yang sudah kami alami berkali-kali, ketenangan selalu rapuh.Seminggu setelah kami pulang, sebuah paket datang. Kotak kayu tua, dibungkus kertas yang sudah menguning. Tidak ad