LOGINKeesokan harinya, kantor ALCORP terasa seperti medan perang yang diselimuti kabut. Aku duduk di mejaku, mencoba menatap layar komputer, tapi fokusku buyar. Dokumen perjanjian pra-nikah yang semalam kuterima tersimpan rapi di dalam tas, tapi rasanya seperti bara panas yang siap meledak kapan saja. Setiap dering telepon, setiap langkah kaki yang berhenti terlalu dekat, membuat jantungku berdebar tak karuan. Apakah ini saatnya semuanya terbongkar? Apakah aku benar-benar siap?
Ketukan pelan di cubicle membuatku tersentak. Bukan Alvaro. Siska, kepala HR, berdiri dengan senyum profesional yang terasa dipaksakan. Senyum yang lebih seperti tameng daripada sambutan. "Alexa, ada waktu sebentar? Ada hal yang perlu kita bicarakan di ruang saya," katanya. Darahku langsung terasa dingin. Mereka sudah tahu. Nadine pasti sudah mulai menggerakkan bidaknya. Dengan kaki yang terasa lemah, aku mengikutinya ke ruangannya yang steril, terlalu rapi, nyaris tanpa jejak pribadi. Siska duduk, melipat tangan di meja. "Alexa, pertama-tama, performamu di yayasan luar biasa. Tuan Alvaro sangat terkesan dengan kerja kerasmu." Aku hanya mengangguk, menunggu kelanjutannya. Dan seperti yang kuduga, kalimat berikutnya jatuh seperti palu. "Tapi... di perusahaan sebesar ALCORP, reputasi adalah segalanya. Kadang, sayangnya, persepsi bisa sama pentingnya dengan kenyataan." Kalimat itu seperti jebakan. Seolah dia memberi kesempatan untukku mengaku. "Apa maksud Ibu Siska?" tanyaku hati-hati, menjaga suaraku tetap stabil. "Ini bukan tuduhan," katanya, meski intonasinya justru seperti itu. "Tapi ada bisik-bisik tentang kedekatanmu dengan Tuan Alvaro. Pertemuan berdua, perhatian khusus. Ada yang menilai kenaikanmu terlalu cepat, seolah tidak hanya karena merit." Panas menjalari wajahku. Malu, marah, tersinggung—semuanya campur aduk. Mereka merendahkan kerja kerasku dengan gosip murahan. "Semua kesempatan yang saya dapatkan adalah hasil kerja keras," jawabku, suaraku lebih keras dari niat awal. "Presentasi, proposal, semua ada rekamannya. Silakan dicek." Siska tersenyum tipis, seperti orang yang sudah menyiapkan jawaban. "Tentu saja. Tapi tetap saja, untuk menghindari persepsi buruk dan melindungi posisimu juga, kami merasa sebaiknya kau dipindahkan. Mungkin ke divisi marketing. Di sana kau bisa berkembang tanpa beban isu." Aku tercekat. Itu bukan tawaran, itu hukuman. Cara halus untuk menjauhkan aku dari Alvaro dan proyek yang kubangun dari nol. Air mata hampir pecah, tapi kutahan. Aku tidak akan memperlihatkan kelemahan di depannya. "Saya butuh waktu untuk mempertimbangkannya," kataku singkat, berdiri dengan dingin. "Tentu. Pikirkan baik-baik, Alexa. Ini demi kebaikan semua pihak." Senyum tipisnya mengiringi kepergianku. Begitu pintu tertutup, langkahku berubah cepat, hampir seperti berlari menuju tangga darurat. Aku jatuh terduduk di anak tangga, menarik napas pendek-pendek. Rasanya seperti dinding kantor itu sendiri menutupku rapat, menjepitku. Belum lima menit, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Alvaro. Alvaro: Ke ruanganku. Sekarang. Bukan “bisa mampir?” seperti biasanya. Ada nada perintah. Darurat. Aku menyeka mata yang sedikit memerah lalu bergegas ke kantornya. Dia berdiri di depan jendela besar, bahunya tegang, tatapannya gelap. Begitu menoleh, aku tahu: dia marah. "Siska," katanya hanya satu kata, tapi penuh racun. "Jadi kau sudah tahu," bisikku. "Dia melangkahiku. Langsung ke direksi. Mereka ‘menyarankan’ agar aku menjaga jarak darimu demi reputasi perusahaan." Rahangnya mengeras, suaranya dingin. Aku menunduk, rasa malu menyelip. "Mereka bahkan menawarkan memindahkanku ke marketing." Alvaro mengeluarkan sumpah serapah rendah. "Tidak akan terjadi. Tidak selama aku masih CEO." Tatapannya menembusku. "Apa yang kau inginkan, Alexa? Katakan. Jika kau ingin keluar, aku bisa carikan tempat yang lebih aman. Tapi jika kau ingin bertahan... kita lawan. Bersama." Aku menatapnya. Pilihannya jelas: lari lagi, atau berdiri kali ini. Jantungku berdebar keras, tapi kata-kata keluar dengan mantap. "Aku lelah lari, Alvaro. Aku ingin bertahan. Kali ini aku ingin melawan." Wajahnya melunak, senyum tipis penuh kebanggaan muncul. "Kalau begitu, kita ubah strategi." Dia menutup tirai kaca dengan remote, menciptakan privasi. "Pertama, kau tidak pindah. Kau aset yayasan, dan semua orang tahu. Kedua, kita lawan gosip dengan bukti. Kita adakan konferensi pers. Kau yang memimpin. Kita tunjukkan prestasimu, angka-angka, testimoni. Kita buat namamu lekat dengan yayasan sampai gosip itu tenggelam sendiri." Aku terdiam. Ide itu berani, bahkan nekat. Tapi aku merasakan kembali sesuatu yang lama hilang: kekuatan. "Dan tentang... kita?" tanyaku pelan. Dia menarik napas, menatapku dalam. "Kita lebih hati-hati. Tidak ada pertemuan pribadi di luar. Semua komunikasi profesional tercatat. Tapi itu tidak mengubah perasaanku. Itu hanya berarti kita harus menunggu." Sebelum aku sempat menjawab, telepon di mejanya berdering. Dia mengangkatnya, wajahnya berubah masam. "Apa?... Saya sedang rapat—" Pintu mendadak terbuka kasar. Rendy berdiri di ambang, wajah kusut, matanya merah. Asisten Alvaro mengejar di belakang, panik. "Aku harus bicara dengan Alexa," katanya keras. Alvaro langsung tegak. "Kau tidak bisa seenaknya masuk, Wirawan. Keluar." "Ini antara aku dan istriku!" Rendy membalas dengan suara parau. "Dia bukan istrimu lagi!" Alvaro menahan. "Aku tahu!" teriaknya, suaranya pecah. Semua kemarahan runtuh jadi keputusasaan. Dia menatapku, mata penuh luka. "Lex, tolong... Nadine gila. Dia punya rencana. Untukmu. Untuk kita. Kau tidak aman." Alvaro bergerak di antara kami, tatapannya tajam. "Jangan ancam dia." "Bukan ancaman, peringatan!" Rendy bergetar. "Dia tahu tentang dokumen itu. Dia tidak akan biarkan kau menuntut hakmu. Dia akan menjatuhkanmu dulu." Aku berdiri, menatapnya. Pria yang dulu kucintai, yang menghancurkanku, kini hancur sendiri oleh pilihan buruknya. Rasa iba menghantam, tapi cinta itu sudah mati. "Kenapa kau memberitahuku?" tanyaku pelan. "Karena aku menyesal," suaranya pecah, air mata jatuh. "Aku mencintaimu, Lex. Selalu. Aku hanya tersesat." Keheningan panjang. Alvaro menoleh padaku, memberi ruang untuk jawabanku. Aku menarik napas, suara tegas meski hatiku bergetar. "Terima kasih atas peringatanmu. Tapi kau tidak bisa menebus kesalahan dengan cara ini. Kalau kau ingin menebusnya, hadapi Nadine. Laporkan kalau dia melakukan yang ilegal. Jangan harap aku lagi. Aku sudah selesai menyelamatkanmu." Kata-kataku memukulnya keras. Rendy mundur, wajahnya hancur. Tanpa kata lagi, dia berbalik pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah terhuyung. Keheningan tebal menyelimuti. Alvaro mendekat. "Kau baik-baik saja?" suaranya lembut. Aku mengangguk, meski air mata jatuh juga. "Aku hanya... sedih. Untuk semua yang hancur." Dia tidak memeluk, hanya berdiri di dekatku, menjadi tiang kokoh yang kutopang. "Peringatannya mungkin benar," katanya serius. "Nadine akan bermain kotor. Kita harus siap." Aku menatapnya, suara kecilku penuh keyakinan. "Tapi aku tidak sendirian lagi, kan?" Senyum tipisnya menghangatkan ruangan. "Tidak. Kau tidak sendirian." Dia kembali ke mejanya, nada suaranya mantap. "Sekarang, mari kita siapkan konferensi persmu. Kita punya reputasi untuk dibangun... dan perang untuk dimenangkan." Aku menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa siap. Aku bukan lagi korban yang terjebak dalam ketakutan. Aku adalah prajurit yang akhirnya berani melangkah maju.Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang
Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c
Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.
Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern
Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men
Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer







