Malam itu Alexa tidak bisa tidur. Kotak berisi gaun merah masih tergeletak di sudut kamar, seperti hantu yang terus menatapnya.
Setiap kali ia memejamkan mata, tulisan di kartu itu muncul kembali dalam benaknya. “Aku akan mengambil kembali yang seharusnya menjadi milikku.” Alexa menggenggam selimut lebih erat. Napasnya berat. Ia ingin memberitahu Alvaro tentang ancaman itu, tapi bagian dari dirinya takut. Alvaro mungkin hanya akan berkata itu ulah seseorang yang iseng, atau lebih buruk lagi… mengira Alexa terlalu sensitif terhadap kehadiran Nadine. Tidak. Ia butuh seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi. Tangannya meraih ponsel di meja samping. Jemarinya ragu, sebelum akhirnya ia mengetik sebuah pesan. > Alexa: “Rania, kau sibuk? Aku butuh bicara. Ini tentang Nadine.” Hanya butuh beberapa detik sampai layar ponselnya menyala kembali. > Rania: “Astaga, aku juga mau bicara sama kamu. Ada hal penting. Kita harus ketemu.” Alexa menahan napas. Ada sesuatu dalam nada pesan itu yang membuatnya merinding. Rania biasanya selalu menambahkan emoji, bercanda, atau setidaknya menenangkan. Tapi kali ini… dingin. Singkat. Seperti sedang dikejar waktu. Alexa menatap layar lama, jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya sejak perang senyum Nadine dimulai, ia merasa benar-benar tidak sendirian. Namun ia belum tahu—malam itu hanyalah awal dari kehilangan yang lebih menakutkan. Pagi berikutnya, Alexa baru saja selesai menyiapkan kopi ketika ponselnya berdering keras. Nama Rania muncul di layar. “Rania? Tumben pagi-pagi begini,” gumam Alexa sambil mengangkat. Namun suara yang terdengar bukan suara ceria sahabatnya seperti biasa. Nafas Rania terengah-engah, panik. “Lex… aku… aku merasa ada yang mengikutiku sejak kemarin.” Alexa langsung menegakkan tubuhnya. “Apa maksudmu? Siapa yang mengikutimu?” “Aku nggak tahu,” suara Rania bergetar. “Tapi setiap kali aku keluar rumah, selalu ada mobil hitam parkir di seberang jalan. Malam tadi, aku dengar langkah kaki di depan pintu apartemenku. Aku takut, Lex. Aku benar-benar takut.” Alexa memegang dadanya, panik ikut menyergap. “Rania, kau harus lapor polisi! Jangan biarkan dirimu sendirian. Aku akan—” “Tidak!” potong Rania cepat. “Kalau aku ke polisi tanpa bukti jelas, mereka tidak akan peduli. Dan aku yakin ini ada hubungannya dengan Nadine. Aku sudah gali banyak tentang dia. Ada yang tidak beres, Lex. Kau harus tahu ini.” Alexa terdiam, napasnya tercekat. Nadine. Nama itu terus muncul di setiap masalah yang mereka alami. “Rania, tolong… jangan lakukan apa pun sendiri. Kita ketemu saja. Ceritakan semuanya padaku. Aku akan datang.” Hening sesaat, lalu suara Rania kembali terdengar lirih, seperti bisikan: “Ya… kita harus ketemu. Malam ini. Aku akan bawa sesuatu yang penting. Tapi janji, Lex… kalau aku tidak datang… kau harus hati-hati.” Sambungan tiba-tiba terputus. Alexa menatap layar ponselnya yang gelap, jantungnya berdegup tak karuan. Kata-kata Rania menggema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang. Malam ini. Sesuatu yang penting. Dan ancaman tak kasat mata yang semakin dekat. Hari itu berjalan begitu lambat bagi Alexa. Setiap detik terasa menegangkan, setiap bunyi ponsel membuatnya melompat. Ia tidak bisa berhenti memikirkan suara Rania yang panik tadi pagi. Sepulang dari kantor, Alexa duduk di ruang tamu dengan resah. Ponselnya akhirnya bergetar—pesan dari Rania. > Rania: “Lex, aku sudah siap. Kita ketemu di kafe biasa, jam 8 malam. Aku bawa buktinya.” Alexa menggenggam ponselnya erat, dadanya bergemuruh. Bukti. Kata itu membuatnya semakin penasaran sekaligus takut. Apa sebenarnya yang sudah Rania temukan tentang Nadine? Ia segera membalas. > Alexa: “Baik, aku akan datang. Hati-hati di jalan.” Sore menjelang malam, Alexa berdandan sederhana, mengenakan jaket panjang. Ia tidak memberitahu Alvaro, hanya meninggalkan pesan singkat bahwa ia akan menemui Rania sebentar. Dalam perjalanan menuju kafe, pikirannya penuh tanya. Jika Rania benar-benar menemukan bukti, maka semua kebohongan Nadine bisa terbongkar. Tapi… bukankah itu juga berarti Nadine akan semakin berbahaya? Ketika mobilnya berhenti di depan kafe kecil tempat mereka biasa bertemu, Alexa menarik napas panjang. Lampu-lampu hangat menyinari dari dalam, menenangkan sedikit kegelisahannya. Jam di tangannya menunjukkan pukul 19.55. Lima menit lagi Rania akan tiba. Alexa duduk di pojok kafe, menunggu dengan gelisah. Setiap kali pintu berdering, ia menoleh dengan harapan melihat sahabatnya masuk. Tapi menit demi menit berlalu, kursi di depannya tetap kosong. Jam sudah menunjukkan pukul 20.15. Alexa menatap kursi kosong di depannya dengan hati yang makin gelisah. Rania selalu tepat waktu. Bahkan biasanya ia datang lebih dulu. Alexa mencoba menenangkan diri. Mungkin terjebak macet. Mungkin ada urusan sebentar. Namun ketika ia mencoba menghubungi, nada sambung terdengar dua kali… lalu terputus. Alexa menunggu, lalu mencoba lagi. Kali ini, ponsel Rania sudah tidak aktif. Jantungnya berdetak kencang. Tangannya berkeringat dingin. Tidak mungkin. Rania tidak pernah seperti ini. Tidak mungkin ia memutus kontak tanpa alasan. Kopi di depannya sudah dingin. Satu jam berlalu, lalu dua jam. Alexa tetap duduk, menatap pintu kafe dengan harapan sia-sia. Setiap orang yang masuk membuatnya menoleh cepat, hanya untuk kembali kecewa. Akhirnya, kafe mulai sepi. Pelayan membereskan meja, tanda mereka akan segera tutup. Alexa berdiri perlahan, matanya berkaca-kaca. Di luar, udara malam menusuk tulang. Jalanan sudah lebih lengang. Alexa berdiri di trotoar, mencoba menelepon Rania sekali lagi. Hasilnya tetap sama: nomor tidak aktif. Ia menggenggam ponselnya erat, perasaan aneh menguasai seluruh tubuhnya. Seperti ada lubang besar yang terbuka di dadanya. Rania… di mana kamu? Alexa tidak tahu harus ke mana. Yang ia tahu hanyalah satu hal: sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan entah kenapa, hatinya berbisik… nama itu lagi. Nadine. Malam semakin larut. Alexa pulang dengan langkah gontai, perasaan kacau. Setiap suara motor lewat membuatnya menoleh, berharap itu Rania. Tapi kenyataan tetap sama: sahabatnya tidak pernah datang. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk kamar dan menjatuhkan diri di atas ranjang. Ponselnya diletakkan di samping, tapi matanya terus terpaku padanya. Tolong, Rania… beri kabar. Hening. Sampai tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk. Alexa langsung meraihnya dengan napas terengah. Dari Rania. Tangannya gemetar saat membuka. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat darahnya membeku. > Rania: “Lex, kalau sesuatu terjadi padaku… jangan percaya siapa pun. Ingat, semua ini ada hubungannya dengan Nadine.” Alexa menatap layar ponsel dengan mata membesar, tubuhnya membeku. Pesan itu terkirim tepat pukul 20.05—saat ia masih duduk menunggu di kafe. “Rania…” bisiknya, suara pecah. Air mata jatuh, bercampur dengan rasa takut yang semakin nyata. Ini bukan lagi sekadar permainan cemburu, bukan sekadar perang psikologis. Nadine sudah melangkah lebih jauh—menyingkirkan siapa pun yang tahu kebenaran. Dan sekarang, Alexa sendirian memegang beban rahasia itu.Malam itu, setelah rapat panjang, Rafa dan Alexa akhirnya pulang. Namun, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berat. Alexa berusaha tersenyum sambil menyiapkan makan malam, tapi pikirannya masih tertinggal di kantor.“Rafa…” ia membuka suara pelan. “Aku merasa Isabella bukan hanya sekadar konsultan. Ada sesuatu dalam caranya menatapmu… seperti dia ingin lebih dari sekadar kerja sama.”Rafa yang sedang melepas dasi menoleh, matanya serius. “Aku tahu kau melihatnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak pernah memberi ruang untuk hal itu. Fokusku hanya padamu… dan kita.”Alexa menunduk, sedikit lega, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa hilang.Sementara itu, di sebuah café mewah, Isabella duduk sendirian dengan segelas anggur. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Pastikan Rafa tetap dalam tekanan. Semakin dia terpojok, semakin mudah kita masuk.”Isabella tersenyum tipis. “Permainan baru saja dimulai,” gu
Sinar matahari pagi menembus jendela besar rumah Rafa. Alexa membuka matanya perlahan, masih merasakan hangatnya malam yang damai kemarin. Tawa Rania terdengar dari halaman belakang, sementara Rafa sedang menyiapkan sarapan sederhana tapi hangat.“Selamat pagi, Alexa,” sapa Rafa sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Matanya menatap lembut, penuh perhatian. “Tidur nyenyak?”Alexa tersenyum, menerima kopi itu. “Iya… aku rasa untuk pertama kalinya sejak lama, aku benar-benar merasa tenang.”Rania muncul membawa beberapa kertas gambar. “Aku menggambar semua kejadian seru kita selama beberapa bulan terakhir!” katanya antusias. Alexa tersenyum melihat hasil karyanya. Momen sederhana ini, tawa dan kegembiraan mereka, terasa jauh lebih berharga daripada semua kekayaan dunia.Namun, di balik kedamaian itu, Rafa mulai menerima kabar dari kantornya—proyek baru yang menantang menuntut perhatian segera. Alexa menatap Rafa dengan sedikit khawatir. “Apakah kau yakin kita masih bisa menikmati pag
Beberapa minggu setelah penangkapan Nadine, kehidupan Alexa, Rania, dan Rafa perlahan kembali normal. Gudang yang dulu menjadi sarang ancaman kini sepi, hanya menyisakan bekas-bekas ketegangan yang kini berubah menjadi kenangan yang memberi pelajaran. Alexa duduk di teras rumahnya, menyesap kopi hangat sambil menatap matahari terbit. Udara pagi segar, seolah menyapu semua rasa takut dan ketegangan dari malam-malam sebelumnya. Rania berjalan menghampiri dengan senyum tipis, masih terlihat lemah tapi matanya bersinar dengan rasa lega. “Aku tidak pernah menyangka bisa merasa bebas lagi,” katanya. Alexa tersenyum lembut. “Itu karena kau berani menghadapi semuanya. Dan kau tidak sendirian. Rafa, aku, kita selalu bersamamu.” Rafa muncul dari dapur membawa beberapa camilan. “Dan jangan lupa, sekarang kita bisa tidur tanpa waspada setiap malam,” canda Rafa, membuat Rania tertawa pelan. Alexa menatap kedua sahabatnya, rasa syukur mengalir di hatinya. Mereka telah melewati badai, menghadap
Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian. Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingi
Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat. Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania. Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi. “Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah. Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya. Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercay
Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basa