Lampu kristal berkilauan di ballroom hotel malam itu. Acara gala amal diselenggarakan besar-besaran, dihadiri para pengusaha, sosialita, dan pejabat penting. Alexa hadir dengan gaun hitam sederhana, elegan namun tidak mencolok. Di sampingnya, Alvaro tampak gagah dengan setelan jas.
Alexa mencoba tersenyum, meski hatinya masih penuh luka. Ia tahu malam ini penting untuk reputasi perusahaan Alvaro, jadi ia berusaha tampil sebaik mungkin. Namun, senyum itu langsung pudar saat pintu ballroom terbuka—dan Nadine masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang menyala mencuri perhatian semua mata. Alexa menegang. Tangannya refleks menggenggam lengan Alvaro lebih erat. Nadine berjalan perlahan, senyumnya manis, seolah tak ada dendam ataupun intrik. Ia berhenti tepat di depan mereka, lalu menyapa dengan suara lembut yang membuat Alexa muak. “Selamat malam, Tuan dan Nyonya Alvaro. Senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dalam suasana resmi seperti ini.” Alexa menatapnya dengan mata penuh api, tapi Nadine seakan tidak peduli. Ia malah mendekat, menyalami Alexa dengan ramah—senyum di bibirnya terlalu manis untuk disebut tulus. “Gaunmu cantik sekali, Alexa,” bisiknya lirih, hanya bisa didengar oleh Alexa. “Sayang… warnanya terlalu gelap. Kau tahu kan, Alvaro lebih suka merah?” Alexa tercekat. Kata-kata itu menusuk dalam, membuatnya ingin langsung melepaskan genggaman Nadine. Namun di depan banyak tamu, ia hanya bisa menahan diri. Alvaro tampak gelisah, menyadari ketegangan itu. “Nadine, sebaiknya kau duduk di meja tamu kehormatan. Kita bisa bicara lain waktu.” Nadine tersenyum penuh kemenangan, lalu melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan Alexa dengan dada sesak. Bagi para tamu, itu hanyalah interaksi biasa. Tapi bagi Alexa, itu terasa seperti sebuah perang senyum—jebakan halus yang membuatnya semakin terpojok. Acara gala berjalan meriah, musik klasik mengalun, gelas-gelas kristal beradu satu sama lain. Para tamu sibuk dengan obrolan bisnis dan tawa basa-basi. Alexa berusaha tetap tenang, meski pikirannya kacau setelah ucapan Nadine. Ia duduk di samping Alvaro, pura-pura menikmati jamuan. Tapi jantungnya berdetak terlalu cepat. Ponselnya bergetar di dalam clutch kecil. Alexa diam-diam mengambilnya, lalu matanya membelalak saat membaca pesan baru. > “Kau terlihat cantik malam ini, Alexa. Tapi jangan terlalu percaya diri. Gaunmu mungkin sederhana, tapi aku memakai warna yang benar-benar disukai pria itu.” Alexa menelan ludah. Itu jelas dari Nadine. Tapi bagaimana mungkin wanita itu bisa mengirim pesan di saat bersamaan, sementara ia sedang sibuk berbicara dengan sekelompok investor di seberang ruangan? Tangannya bergetar. Ia ingin menunjukkan pesan itu pada Alvaro, tapi ia takut dianggap cemburu berlebihan. Lagi pula, Nadine selalu tahu cara membuatnya tampak paranoid. “Sayang?” suara Alvaro memecah lamunannya. “Kamu baik-baik saja?” Alexa buru-buru tersenyum, menaruh kembali ponselnya. “Iya, hanya pusing sedikit.” Alvaro menatapnya penuh khawatir, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Sementara itu, dari seberang ruangan, Nadine menatap ke arah mereka dengan segelas sampanye di tangan. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Ia bahkan tidak perlu mendekati Alvaro lebih dekat—cukup membuat Alexa goyah, dan retakan dalam rumah tangga itu akan terbentuk dengan sendirinya. “Langkah kecil… tapi tepat sasaran,” bisiknya pelan. Alexa berusaha menenangkan diri. Ia meneguk air putih, mencoba mengabaikan pesan yang baru saja masuk. Namun, rasa tidak nyaman itu tak juga hilang. Di meja lain, Nadine masih sibuk bercengkerama dengan para investor. Wanita itu tertawa anggun, gesturnya penuh percaya diri. Semua mata seolah terpusat padanya. Alexa sadar, beberapa tamu bahkan mulai membandingkan—bisik-bisik kecil terdengar, menyebut nama Nadine bersamaan dengan nama Alvaro. “Cantik sekali… cocok ya kalau berdampingan dengan CEO muda itu.” “Sepertinya mereka lebih serasi daripada… istrinya.” Alexa menunduk, jantungnya berdebar keras. Setiap kata bisikan itu menampar harga dirinya. Ia merasa seperti asing di tengah keramaian. Meski mengenakan gaun terbaik yang ia punya, meski bersama Alvaro yang setia menemaninya, tetap saja kehadiran Nadine membuatnya tampak… kecil. Ponselnya kembali bergetar. Pesan lain masuk. > “Dengar sendiri, kan? Bahkan orang lain pun melihat siapa yang lebih cocok dengan Alvaro. Kau hanya penghalang, Alexa.” Kali ini Alexa hampir kehilangan kendali. Tangannya gemetar begitu kuat hingga gelas di depannya bergeser. Alvaro segera menyadari. Ia menggenggam tangan Alexa, menatapnya dalam. “Alexa, ada apa? Katakan padaku.” Air mata hampir jatuh, tapi Alexa menahannya mati-matian. Ia tersenyum tipis, berusaha kuat. “Tidak apa-apa, Alvaro. Aku… hanya butuh udara segar.” Sebelum Alvaro bisa menahannya, Alexa sudah berdiri dan berjalan cepat keluar ballroom. Nadine melihat itu dari jauh, lalu tersenyum puas sambil mengangkat gelas sampayenya. “Selangkah lagi, Alexa. Selangkah lagi menuju jurangmu.” Udara malam di teras hotel terasa lebih dingin dibanding ballroom yang penuh cahaya. Alexa berdiri sendirian, memeluk tubuhnya sendiri. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, tapi hatinya terasa suram. Ia membuka ponselnya lagi, menatap pesan terakhir dari Nadine. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau. “Kau hanya penghalang…” Kata itu bergema di kepalanya. Alexa menutup mata, berusaha menahan air mata yang menggenang. “Apakah benar aku hanya penghalang baginya? Apakah Alvaro lebih pantas bersama wanita seperti Nadine?” Langkah kaki terdengar mendekat. Alvaro muncul, napasnya sedikit terengah karena terburu-buru menyusul istrinya. “Alexa…” suaranya lembut. Ia langsung melepaskan jasnya, lalu menyampirkannya ke bahu istrinya. “Kenapa keluar sendirian? Kau kedinginan.” Alexa menunduk, tidak sanggup menatap matanya. “Aku… hanya merasa tercekik di dalam sana.” Alvaro menghela napas, lalu menggenggam tangan Alexa erat. “Aku tahu Nadine ada di sana. Aku tahu dia mencoba memprovokasimu. Tapi tolong, dengarkan aku.” Alexa menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca. “Tak ada yang lebih cocok denganku selain kau. Tidak peduli apa yang dia lakukan, tidak peduli apa yang orang katakan… kau satu-satunya yang kupilih.” Suara Alvaro tegas, penuh keyakinan. Air mata Alexa akhirnya jatuh. Ia ingin percaya, ia ingin menggenggam janji itu sekuat tenaga. Tapi rasa takut, rasa terancam, dan bayangan Nadine yang terus menghantuinya membuat hatinya masih goyah. Alvaro mengusap pipinya, menghapus air mata yang jatuh. “Jangan biarkan dia masuk ke kepalamu, Alexa. Kalau aku harus memilih seribu kali… aku tetap akan memilihmu.” Untuk sesaat, kata-kata itu seperti obat penenang. Alexa mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia masih cukup, bahwa ia masih pantas. Namun jauh di sana, di balik kaca besar ballroom, Nadine sedang menatap mereka dengan senyum penuh misteri. Senyum seorang wanita yang tidak pernah puas sebelum meraih apa yang ia inginkan. Dan Alexa tahu—ini baru permulaan. Malam itu akhirnya berakhir. Alexa dan Alvaro pulang ke rumah dengan perasaan yang campur aduk. Alexa mencoba tersenyum di mobil, meski pikirannya masih dihantui bisikan Nadine. Sesampainya di rumah, seorang kurir sudah menunggu di depan pintu. “Pengiriman untuk Nyonya Alexa,” katanya sopan sambil menyerahkan sebuah kotak besar, dibungkus rapi dengan pita merah menyala. Alexa bingung. “Aku tidak merasa memesan apa pun.” Kurir itu hanya tersenyum, lalu pergi. Alexa membawa kotak itu masuk. Alvaro sedang naik ke atas untuk mengganti pakaian, jadi ia membuka bungkusan itu sendiri. Saat pita dilepaskan dan kotak terbuka, napas Alexa tercekat. Di dalamnya terlipat sebuah gaun malam berwarna merah menyala, jauh lebih mewah daripada gaun yang dipakai Nadine tadi malam. Di atas kain sutra yang halus itu, tergeletak sebuah kartu kecil. Tangan Alexa bergetar saat membaca tulisan di atas kartu: > “Gaun ini seharusnya berada di tubuhku malam ini. Kau hanya sedang meminjam tempat yang bukan milikmu. Bersiaplah… aku akan mengambil kembali yang seharusnya menjadi milikku.” Alexa menjatuhkan kartu itu, tubuhnya lemas. Matanya melebar penuh rasa takut sekaligus marah. Gaun itu bukan sekadar hadiah—itu adalah tantangan terbuka. Sebuah pernyataan perang dari Nadine. Dan yang lebih menakutkan… hanya Alexa yang melihat pesan itu. Jika ia memberitahu Alvaro, apakah ia akan dipercaya? Atau justru dianggap paranoid lagi? Untuk pertama kalinya, Alexa merasa rumahnya sendiri tidak lagi aman.Malam itu, setelah rapat panjang, Rafa dan Alexa akhirnya pulang. Namun, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berat. Alexa berusaha tersenyum sambil menyiapkan makan malam, tapi pikirannya masih tertinggal di kantor.“Rafa…” ia membuka suara pelan. “Aku merasa Isabella bukan hanya sekadar konsultan. Ada sesuatu dalam caranya menatapmu… seperti dia ingin lebih dari sekadar kerja sama.”Rafa yang sedang melepas dasi menoleh, matanya serius. “Aku tahu kau melihatnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak pernah memberi ruang untuk hal itu. Fokusku hanya padamu… dan kita.”Alexa menunduk, sedikit lega, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa hilang.Sementara itu, di sebuah café mewah, Isabella duduk sendirian dengan segelas anggur. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Pastikan Rafa tetap dalam tekanan. Semakin dia terpojok, semakin mudah kita masuk.”Isabella tersenyum tipis. “Permainan baru saja dimulai,” gu
Sinar matahari pagi menembus jendela besar rumah Rafa. Alexa membuka matanya perlahan, masih merasakan hangatnya malam yang damai kemarin. Tawa Rania terdengar dari halaman belakang, sementara Rafa sedang menyiapkan sarapan sederhana tapi hangat.“Selamat pagi, Alexa,” sapa Rafa sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Matanya menatap lembut, penuh perhatian. “Tidur nyenyak?”Alexa tersenyum, menerima kopi itu. “Iya… aku rasa untuk pertama kalinya sejak lama, aku benar-benar merasa tenang.”Rania muncul membawa beberapa kertas gambar. “Aku menggambar semua kejadian seru kita selama beberapa bulan terakhir!” katanya antusias. Alexa tersenyum melihat hasil karyanya. Momen sederhana ini, tawa dan kegembiraan mereka, terasa jauh lebih berharga daripada semua kekayaan dunia.Namun, di balik kedamaian itu, Rafa mulai menerima kabar dari kantornya—proyek baru yang menantang menuntut perhatian segera. Alexa menatap Rafa dengan sedikit khawatir. “Apakah kau yakin kita masih bisa menikmati pag
Beberapa minggu setelah penangkapan Nadine, kehidupan Alexa, Rania, dan Rafa perlahan kembali normal. Gudang yang dulu menjadi sarang ancaman kini sepi, hanya menyisakan bekas-bekas ketegangan yang kini berubah menjadi kenangan yang memberi pelajaran. Alexa duduk di teras rumahnya, menyesap kopi hangat sambil menatap matahari terbit. Udara pagi segar, seolah menyapu semua rasa takut dan ketegangan dari malam-malam sebelumnya. Rania berjalan menghampiri dengan senyum tipis, masih terlihat lemah tapi matanya bersinar dengan rasa lega. “Aku tidak pernah menyangka bisa merasa bebas lagi,” katanya. Alexa tersenyum lembut. “Itu karena kau berani menghadapi semuanya. Dan kau tidak sendirian. Rafa, aku, kita selalu bersamamu.” Rafa muncul dari dapur membawa beberapa camilan. “Dan jangan lupa, sekarang kita bisa tidur tanpa waspada setiap malam,” canda Rafa, membuat Rania tertawa pelan. Alexa menatap kedua sahabatnya, rasa syukur mengalir di hatinya. Mereka telah melewati badai, menghadap
Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian. Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingi
Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat. Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania. Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi. “Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah. Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya. Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercay
Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basa