LOGINPagi itu, kantor ALCORP terasa lain. Biasanya udara dari AC sentral selalu dingin, bersih, membuat orang betah bekerja. Tapi entah kenapa sekarang rasanya seperti penuh listrik statis—tegang, rawan meletik kapan saja. Setiap langkahku menuju meja kerja terasa hati-hati, seperti berjalan di atas es tipis: indah tapi bisa pecah sewaktu-waktu.
Malam sebelumnya terus berputar di kepalaku. Sentuhan Alvaro, tatapannya, kata-katanya. Bagaimana dia berdiri di depanku, melindungi, seolah hanya aku yang ada di ruangan itu. Aku mencoba menenggelamkan diri dalam laporan keuangan yayasan di layar komputer, tapi angka-angka itu justru menari, kabur, berganti wajahnya. "Selamat pagi, Alexa." Aku hampir menjatuhkan gelas kopi. Dia berdiri di depan cubicle-ku, setelan jas abu-abu rapi tanpa satu pun lipatan, wajahnya dingin seperti biasanya di kantor. Hanya saja… matanya berbeda. Ada sesuatu di sana—hangat, tersembunyi, dan aku bisa melihatnya karena kini aku mencarinya. "Pagi, Bos," jawabku terbata, suara serak karena kurang tidur. "Bisa ke ruanganku sebentar? Ada beberapa poin dari presentasi semalam yang perlu dibicarakan," ucapnya, nada suaranya lurus, murni bisnis. "Sekarang?" tanyaku. "Ya, sekarang." Tanganku sedikit gemetar saat membereskan berkas, lalu mengikutinya. Jalannya tegap, mantap, tanpa menoleh, tapi aku bisa merasakan kesadarannya akan kehadiranku. Seperti ada magnet tak kasat mata yang menghubungkan kami. Begitu pintu kantornya tertutup, bunyi klik kunci itu terdengar lebih keras dari seharusnya. Kami berdua sendirian, dikelilingi kaca tinggi dengan pemandangan kota, tapi suasananya terasa sempit. Dia tidak langsung duduk di balik meja. Sebaliknya, ia berdiri di depan jendela, membelakangiku. "Tentang tadi malam..." suaranya rendah, kehilangan nada otoritatifnya. Aku buru-buru memotong, takut mendengar kata yang paling kutakuti. "Aku mengerti. Itu... di luar profesionalitas. Kita tidak perlu membahasnya. Aku baik-baik saja." Dia berbalik, wajahnya mengernyit. "Tapi aku tidak baik-baik saja, Alexa." Hatiku menciut. Inilah saatnya, pikirku. Penolakan. Tapi yang keluar dari bibirnya justru berbeda. "Aku tidak baik-baik saja karena melihatmu diserang begitu. Aku tidak baik-baik saja karena harus berpura-pura tenang, padahal yang ingin kulakukan hanyalah menarikmu keluar dari sana. Dan aku jauh dari baik-baik saja sekarang… karena aku harus berpura-pura bahwa perasaanku padamu bisa dipadamkan hanya dengan kode etik perusahaan." Dia tidak menyentuhku, hanya mengucapkan kalimat itu dengan tatapan jujur. Anehnya, justru kerentanannya itulah yang membuatku gemetar. "Alvaro, aku..." Aku terhenti, bingung. "Aku hancur. Dan kau… bosku. Ini rumit." "Aku tahu," katanya, tenang tapi serius. "Aku tidak akan pernah memaksamu. Aku tidak akan melakukan apapun yang bisa membuatmu kehilangan posisimu di sini. Karirmu adalah prioritas. Tapi aku ingin jujur. Jika suatu hari nanti kau siap, aku ingin kita menjelajahi… ini." Ia menggerakkan tangannya, menunjuk jarak di antara kami. "Sebagai Alvaro dan Alexa. Bukan bos dan bawahan." Itu bukan ancaman, bukan tuntutan. Hanya tawaran yang dibungkus rasa hormat. Aku bisa merasakan mataku panas, hampir menangis. Dia memberiku ruang, waktu, kendali—hal yang bahkan jarang kuberikan pada diriku sendiri. "Baiklah," bisikku, hampir tak terdengar. "Tapi… untuk sekarang…" "...kita profesional," sambungnya, tersenyum kecil. Aku ikut tersenyum, lemah tapi nyata. Dia mengangguk lega. "Kalau begitu, mari kita kembali ke angka-angka membosankan ini… sebelum aku tergoda melakukan hal yang sama sekali tidak profesional, seperti memberitahumu betapa menawannya kau dengan blazer biru itu." Aku terkekeh. Tegangan yang menjerat kami sejak tadi sedikit melonggar. Tapi siang harinya, semuanya berubah. Aku sedang makan salad sendirian di kantin, mencoba menghindari tatapan ingin tahu rekan-rekan. Seorang kurir datang membawa amplop cokelat tebal. "Alexa Wirawan?" tanyanya. Aku mengangguk, menandatangani. Tidak ada nama pengirim. Jantungku langsung berpacu. Nadine. Pasti dia. Tangan gemetar, aku membuka amplop itu. Lalu napasku terhenti. Dokumen hukum. Surat bank. Dan di tengahnya, selembar perjanjian pranikahku dengan Rendy. Aku membalik lembar demi lembar, hingga mataku menemukan klausul kecil yang dulu hampir kulupakan: saham mayoritas dan kepemilikan intelektual PT. Wirawan Development tetap menjadi aset bersama. PT. Wirawan Development. Perusahaan yang kubangun bersama Rendy. Aku mengurus administrasi awalnya, desain logonya, bahkan menyiapkan makanan untuk calon investor. Modal awalnya sebagian dari tabunganku. Dan sejak perceraian, aku membiarkan diriku percaya bahwa semuanya hanya miliknya. Tapi di sini, hitam di atas putih, tertulis: separuh dari semua itu adalah hakku. Sebuah kertas kecil jatuh dari tumpukan. Tulisannya jelas, tajam, familiar. "Dia menyembunyikan ini darimu. Mungkin kau lupa. Tapi aku tidak. Gunakan ini. Hancurkan mereka. – A" Alvaro. Tanganku gemetar. Dunia seakan bergeser. Ini bukan lagi sekadar perlindungan atau ketertarikan. Ini… perang. Dan Alvaro baru saja menaruh senjata di tanganku. Aku tidak bisa bernapas di ruang kantin. Aku bergegas ke tangga darurat, merosot di lantai dingin, memeluk dokumen itu. Pintu terbuka. Aku tidak perlu melihat untuk tahu siapa yang datang. "Kurir tadi… aku melihatnya menyerahkan sesuatu padamu," ucap Alvaro pelan. Matanya langsung jatuh pada dokumen di tanganku. Ia tahu. "Kau," suaraku bergetar. "Kau yang mengirim ini. Dari mana kau dapatkannya? Kenapa?" Dia duduk di anak tangga di depanku, menjaga jarak. "Karena itu hakmu, Lex. Dan karena mereka tidak akan berhenti menyakitimu kalau kau terus membiarkan mereka melihatmu sebagai korban." Matanya menatap tajam, tapi bukan marah. Keyakinan. "Aku punya sumber daya. Aku menugaskan orang untuk menelusuri. Dokumen ini ada di pengadilan. Tapi pengacaramu—yang dibayar Rendy—‘lupa’ menyebutkannya padamu." Aku menutup wajah dengan telapak tangan. "Ini bukan caraku, Alvaro. Aku tidak ingin perang. Aku hanya ingin tenang, move on." "Terkadang untuk bisa benar-benar move on, kita harus menutup pintu lama dengan benar," jawabnya lembut. "Ini bukan balas dendam. Ini tentang keadilan. Tentang kau mengambil kembali apa yang jadi hakmu. Nadine tidak akan pernah membiarkanmu hidup damai, Alexa. Dia akan terus menekanmu selama dia merasa lebih tinggi darimu." Air mataku jatuh, bukan hanya karena marah, tapi karena takut. "Aku takut." "Aku tahu." Suaranya nyaris bisikan. Dia mengulurkan tangannya, tidak memaksa, hanya menawarkan. "Kalau kau ingin membakar dokumen itu sekarang, aku akan menyalakan koreknya untukmu. Tapi kalau kau ingin memperjuangkan hakmu, aku akan ada di sisimu. Setiap langkahnya." Aku menatapnya. Tidak ada ambisi egois di matanya, hanya keyakinan. Keyakinan padaku. Aku menarik napas panjang. Menatap dokumen itu lagi. PT. Wirawan Development. Perusahaan yang lahir dari keringatku juga. "Aku tidak ingin semuanya," kataku pelan tapi tegas. "Aku hanya ingin yang adil. Aku ingin pengakuan." Senyum Alvaro muncul, hangat sekaligus bangga. "Kalau begitu, itu yang akan kita dapatkan." Aku akhirnya meraih tangannya. Hangat, kuat, membuatku merasa lebih berani. Kami duduk di tangga itu, tangan saling menggenggam. Bukan bos dan bawahan, bukan kekasih, tapi sekutu. Untuk saat ini, itu cukup. Di sisi lain kota, Rendy pulang ke rumah mewah yang semakin terasa dingin. Pertemuannya dengan Alexa semalam menghantamnya keras. Nadine menunggunya, wajahnya bagai badai. "Jadi, mantanmu sudah jadi bintang pesta, ya? Dengan gaun dan bos kaya barunya," sinisnya. "Diam, Nadine," gerutu Rendy. Tapi Nadine tak berhenti menusuk. Hingga akhirnya Rendy berteriak, "AKU MASIH MENCINTAINYA!" Keheningan turun. Nadine menyipitkan mata, lalu tersenyum dingin. "Bagus. Akhirnya kau jujur." Dia mendekat, suaranya racun yang manis. "Perusahaanmu goyah, proyekmu macet. ALCORP ingin masuk ke properti. Bayangkan skandal: seorang eksekutif wanita naik karena hubungan gelap dengan bosnya, lalu mencoba merebut perusahaan mantan suaminya. Dia jatuh, reputasinya hancur. Dan saat itu, siapa yang mengulurkan tangan? Kau." Rendy menatapnya ngeri. "Kau ingin menghancurkannya?" "Aku ingin menyelamatkanmu," jawab Nadine dingin. "Dan mungkin… membuatnya kembali padamu." Dalam kelemahan dan cemburu, Rendy mengangguk. Perang baru saja dimulai.Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang
Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c
Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.
Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern
Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men
Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer







