Share

#6 Panggung dan Palu Godam

Author: laliza mpoet
last update Last Updated: 2025-09-05 12:29:54

Dua minggu terakhir terasa seperti badai yang terorganisir. Setiap jam terjaga kuhabiskan untuk mempersiapkan konferensi pers: menenggelamkan diri dalam data, menyusun narasi, dan berlatih hingga suaraku tidak akan bergetar sekalipun bumi berguncang.

Alvaro menjadi mentor tanpa kompromi. Dia tidak hanya mengajariku menyampaikan fakta, tapi juga cara bercerita—membuat orang merasakan dampak dari setiap rupiah yang disumbangkan.

Kami menjaga jarak di kantor. Semua komunikasi resmi lewat email atau diskusi dengan pintu kantor terbuka. Tapi malam hari, melalui pesan singkat yang aman, dia tetap menjadi penopangku.

Alvaro, 23.17: Jangan khawatir soal slide 5. Data pertumbuhan itu kuat. Fokus saja pada cerita Ibu Sari. Itu yang akan mereka ingat.

Aku, 23.19: Aku merasa akan muntah di atas sepatu sendiri.

Alvaro, 23.20: Lakukan saja. Aku akan membersihkannya. Tidur. Besok kau akan luar biasa.

Pesan-pesan kecil itu seperti oksigen bagiku. Dia percaya padaku bahkan saat aku sendiri meragukan diriku.

Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Dari balik panggung, aku bisa mendengar gemuruh suara jurnalis, investor, dan pengamat industri. Ruangan penuh, tegang, berdenyut. Aku mengenakan setelan taupe yang membuatku merasa seperti versi diriku yang lebih tajam dan lebih kuat. Meski begitu, telapak tanganku tetap berkeringat dingin.

Sebuah kehadiran terasa di sampingku. Aku tidak perlu menoleh.

“Bernapas,” bisik Alvaro. Ia berdiri cukup jauh untuk menjaga formalitas, tapi suaranya terdengar dekat, menusuk. “Mereka ada di sini untuk mendengarmu, bukan untuk menilai aku. Ini panggungmu.”

Aku memejamkan mata, menarik napas panjang. “Aku tidak bisa melakukan ini.”

“Kau bisa. Karena kau sudah melakukannya. Sekarang kau hanya perlu menceritakan apa yang sudah kau capai. Itu saja.” Dia berhenti sejenak. “Dan ingat, aku ada di barisan belakang. Kalau panik, cari aku. Aku akan mengangguk. Dan kau akan ingat bahwa kau adalah orang paling tahu di ruangan ini.”

Pembawa acara sudah menyebutkan namaku. Jantungku seperti hendak pecah.

“Alexa,” desis terakhirnya, suara rendah penuh keyakinan. “Ayo rebut panggung ini.”

Nada nakal itu, entah bagaimana, memberiku keberanian. Aku mengusap tanganku ke rok, lalu melangkah ke panggung.

Sorotan lampu menyilaukan. Ratusan pasang mata menatapku. Panik hampir menguasai. Lalu mataku menyapu barisan belakang. Dan di sana dia berdiri, tegak, melipat tangan, memberi anggukan kecil. Sebuah isyarat sederhana: Aku di sini. Kau aman.

Aku mulai bicara. Ajaib, suaraku tidak gemetar. Kata-kata mengalir, bukan hanya tentang angka dan strategi, tapi tentang manusia di baliknya. Tentang Ibu Sari yang menangis haru saat anaknya diterima di fakultas kedokteran. Tentang kelompok penjahit yang kini bisa mengekspor produk. Aku membuat mereka tertawa, terdiam, dan akhirnya—berdiri memberi tepuk tangan meriah.

Sesi tanya jawab lancar, sampai seorang jurnalis berkacamata tajam mengangkat tangan.

“Nona Wirawan, presentasi Anda mengesankan. Tapi bagaimana tanggapan Anda soal desas-desus bahwa posisi strategis dan akses Anda ke funding lebih berkaitan dengan hubungan pribadi dengan CEO ALCORP, Tuan Alvaro, ketimbang kompetensi?”

Udara di ruangan berubah. Semua mata menunggu jawabanku. Dari sudut pandang, aku melihat Alvaro menegakkan badan, siap turun tangan.

Ini momen yang kutakutkan. Tapi juga momen yang kupersiapkan.

Aku tersenyum tipis, dingin, penuh kendali. “Terima kasih, Pak, sudah menanyakan hal itu. Sayangnya, dalam industri ini, pencapaian perempuan seringkali dipertanyakan dengan narasi yang merendahkan, bukan dengan menilai hasil kerjanya.”

Ruangan senyap.

“Jadi, jawabannya: ya, saya memang punya hubungan dekat dengan Tuan Alvaro.” Ruangan bergemuruh, tapi aku lanjut sebelum kekacauan meledak. “Hubungan profesional. Beliau adalah mentor saya. Beliau mendukung proposal yayasan karena melihat potensinya, bukan karena hal lain. Hubungan itu dibangun atas rasa hormat dan tujuan yang sama: memberdayakan mereka yang kurang beruntung.”

Aku menatap jurnalis itu lurus. “Dan soal kompetensi? Angka yang barusan saya paparkan bicara lebih lantang daripada gosip. Kalau masih meragukan, saya siap untuk debat terbuka tentang metrik pengukuran dampak sosial—kapan saja.”

Tawa dan tepuk tangan mengguncang ruangan. Sang jurnalis menunduk malu.

Aku melirik Alvaro. Ia kini duduk, menatapku dengan ekspresi yang belum pernah kulihat: kagum, bangga, dan... sesuatu yang lebih liar, lebih pribadi.

Konferensi pers berakhir gemilang. Aku dikerumuni orang-orang yang ingin bicara, memberikan kartu nama, mengucapkan selamat. Butuh tiga puluh menit sampai aku bisa kabur.

Aku mencari Alvaro, tapi dia lenyap.

Akhirnya aku bernafas di balkon kecil. Udara Jakarta terasa segar untuk pertama kalinya hari itu.

“Jadi ini dia wanita yang baru saja menutup potensi skandal dengan kecerdikan dan kelas.”

Aku menoleh. Alvaro berdiri di pintu balkon, membawa dua gelas champagne.

“Kau menghilang,” kataku, menerima gelas. Tanganku masih gemetar, es di dalam berderak.

“Aku harus. Kalau tidak, aku akan melakukan sesuatu yang sangat tidak profesional di depan semua orang.”

“Seperti apa?” aku menantang.

“Seperti ini.”

Dia melangkah mendekat. Tidak menyentuhku, tapi jarak kami tinggal beberapa inci. Aku bisa melihat denyut nadi di lehernya, bisa merasakan listrik di udara.

“Alexa,” bisiknya. Namaku terdengar seperti doa. “Kau tadi... aku tidak punya kata-kata. Aku melihat kupu-kupu keluar dari kepompong, terbang menghadapi badai. Itu hal paling indah yang pernah kulihat.”

Mataku panas. Pujian dari orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan darinya.

“Kau yang mengajariku terbang,” bisikku.

Dia menggeleng. “Aku hanya memberi angin. Sayapnya milikmu.” Tangannya terangkat, hampir menyentuh pipiku, tapi berhenti di tengah, mengepalkan jemari, menurunkannya. “Bukan di sini. Bukan sekarang.”

Dinding yang kami bangun runtuh. Kami tidak menyentuh, tapi semuanya berubah.

“Besok,” kataku lirih. “Besok kita akan profesional lagi.”

Dia mengangguk, meski matanya berkata lain. “Besok,” suaranya seperti janji.

Kami bersulang. “Untuk kemenanganmu.”

“Untuk kemitraan kita.”

Di bawah langit malam, tanpa sentuhan sekalipun, garis telah terlewati.

Keesokan paginya, headline media penuh dengan namaku: Alexa Wirawan: Membungkam Kritikus dengan Prestasi. Wajah Baru Filantropi Indonesia.

Tapi di blog gosip ternama, sebuah artikel menjijikkan muncul: Mentor atau Sugar Daddy? Foto-foto dari sudut mencurigakan—dia membisikkan sesuatu di telingaku, kami tertawa bersama—dipajang dengan sumber anonim yang menyudutkan.

Serangan terkoordinasi. Dan berhasil.

Saat masuk kantor, tatapan berubah. Bukan lagi kagum, melainkan sinis. Bisik-bisik mengikuti langkahku.

Siska dari HR datang dengan ekspresi puas. “Setelah... ini,” ia meletakkan print out artikel ke mejaku, “keputusan memindahkanmu ke divisi lain tidak bisa ditawar. Untuk stabilitas perusahaan.”

Aku menatapnya, tenang. Kemarahan dingin menggantikan rasa takut.

“Tidak.” Suaraku datar, berwibawa. “Kalau dipaksa, saya akan menuntut perusahaan atas pencemaran nama baik. Saya juga akan publikasikan semua data kinerja yayasan, dan bandingkan dengan divisi lain—untuk melihat siapa yang sebenarnya pantas dipertanyakan.”

Wajahnya pucat. “Kau tidak bisa—”

“Saya bisa. Dan saya akan. Sekarang, kalau tidak ada hal lain, saya bekerja.”

Aku menoleh ke layar, mengabaikannya. Siska pergi dengan wajah merah padam.

Kemenangan kecil. Tapi perang baru dimulai.

Ponselku bergetar.

Aku: Serangan sudah datang. Blog gosip.

Alvaro: Aku tahu. Tim hukum sudah bergerak. Sumbernya sedang dilacak. Percayalah.

Aku menarik napas lega. Dia tidak panik. Dia bertindak.

Lalu pesan kedua masuk. Nomor tak dikenal.

Pertunjukanmu bagus kemarin. Tapi panggung secantik apa pun bisa dibakar habis. Berhenti sebelum kau ikut hangus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #44 Bahasa Hujan dan Lagu yang Belum Selesai

    Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #43 Jejak Kaki di Pasir dan Luka yang Belum Kering

    Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #42 Jejak-jejak Keberanian di Lantai Rumah Sakit

    Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #41 Simfoni yang Baru

    Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #40 Jejak-jejak yang Terlupakan

    Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #39 Simfoni yang Baru

    Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status