Share

Rahasia dalam Bayangan

Author: laliza mpoet
last update Huling Na-update: 2025-09-05 12:29:54

Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.

“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”

Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?

Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.

Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.

“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.

Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?

Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basah setelah hujan sore tadi. Suara mobil yang lewat terdengar biasa, tapi di telinga Alexa terasa seperti detak jantung yang tidak diinginkan.

Ia tahu satu hal: malam ini, ia tidak bisa hanya menunggu. Ia harus bertindak.

Dan satu keputusan muncul di pikirannya—Alexa harus pergi ke apartemen Rania. Segera.

Dingin malam menyelimuti kota saat Alexa melangkah menuju apartemen Rania. Hatinya dipenuhi kekhawatiran yang tak tertahankan. Setiap langkah di trotoar terasa seperti gema detak jantungnya sendiri.

Setibanya di depan gedung, ia berhenti sejenak, menatap pintu masuk yang sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, bayangan panjang menempel di dinding. Alexa menelan ludah, lalu menekan tombol lift dengan tangan gemetar.

Sesampainya di lantai apartemen Rania, ia berjalan perlahan menyusuri koridor. Nomor pintu yang familiar tampak sama, tapi ada sesuatu yang berbeda. Pintu Rania sedikit terbuka.

Alexa mendorong pintu itu pelan. Aroma keringat dan kopi basi masih tersisa, tapi ruangan itu tampak kosong. Meja makan berantakan, kursi terbalik, dan beberapa lembar kertas berserakan di lantai. Semuanya seperti ditinggalkan tergesa-gesa.

Ia melangkah masuk, mata menelusuri setiap sudut. Di meja samping jendela, sebuah catatan kecil terselip di antara buku-buku. Alexa meraihnya dengan hati-hati.

Tulisan Rania tergesa-gesa:

> “Lex… jika kau menemukan ini, berarti aku sudah berada dalam bahaya. Nadine… dia tidak akan berhenti. Jangan percaya siapa pun. Bukti ada di lemari kecil di bawah meja, tapi hati-hati…”

Alexa merasakan napasnya tercekat. Nadine. Nama itu muncul lagi. Bukti. Ia harus menemukannya. Tapi rasa takut semakin menekan.

Ruangan yang kosong itu kini terasa menakutkan, seperti Nadine sedang mengintai dari balik bayangan. Alexa tahu, setiap langkahnya harus sangat hati-hati.

Alexa menunduk, membuka lemari kecil yang disebut Rania di catatannya. Jantungnya berdetak kencang, napasnya tak beraturan.

Di dalamnya, ia menemukan beberapa dokumen, foto-foto, dan amplop bertuliskan nama-nama tertentu. Salah satunya adalah foto Nadine bersama seseorang yang tampaknya bersekongkol dengannya. Bukti itu jelas menunjukkan bahwa Nadine bukan hanya manipulatif, tapi juga berbahaya.

Alexa menatap satu per satu dokumen itu dengan mata membesar. Ia mulai menyusun potongan teka-teki yang terserak: transaksi keuangan mencurigakan, pesan-pesan ancaman, dan beberapa catatan tentang orang-orang yang pernah didekati Nadine. Semuanya terhubung.

“Rania… kamu benar. Nadine lebih dari sekadar licik…” gumam Alexa, gemetar.

Namun saat ia menatap keluar jendela, bayangan gelap di trotoar membuatnya menahan napas. Ada sesuatu… atau seseorang yang mengamati dari kejauhan.

Alexa menyadari satu hal yang menakutkan: semakin ia tahu banyak, semakin besar bahaya yang mengintainya. Nadine pasti tahu bahwa Rania masih berhubungan dengan Alexa, dan kini ia berada di jalur mereka.

Dengan dokumen-dokumen itu di tangan, Alexa tahu satu hal: ia harus hati-hati, karena setiap langkahnya bisa menjadi sasaran. Dan malam itu, rahasia dalam bayangan mulai terasa lebih menekan dari sebelumnya.

Alexa keluar dari apartemen Rania dengan hati-hati, memegang dokumen-dokumen yang kini menjadi bukti penting. Udara malam terasa menusuk kulitnya, tetapi rasa takut yang lebih besar membekap hatinya.

Langkahnya cepat, menuruni tangga darurat. Ia ingin segera sampai di mobilnya, jauh dari bayangan-bayangan gelap yang tampak mengikuti dari jendela gedung.

Begitu melangkah ke trotoar, Alexa merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ada suara langkah lain, mengikuti iramanya. Ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Jalanan sepi, hanya lampu jalan yang berpendar.

Namun saat ia melangkah lagi, bayangan itu bergerak bersamaan. Alexa mempercepat langkahnya, jantung berdegup kencang.

Tidak mungkin… aku dibuntuti? pikirnya.

Ia menoleh sekali lagi dan melihat sosok samar, setengah tersembunyi di balik bayangan gedung. Nadine? Atau orang lain yang bersekongkol dengannya? Alexa tidak bisa memastikan.

Dengan napas tersengal, ia mempercepat langkah menuju mobil. Begitu masuk, ia menutup pintu dengan keras, memeriksa spion. Bayangan itu menghilang seketika, meninggalkan rasa dingin di tubuhnya.

Alexa menyalakan mesin dan menarik napas panjang. Malam itu, satu hal jelas di benaknya: Nadine semakin dekat, dan ancaman yang mereka bawa bukan hanya permainan. Ini nyata.

Dan Alexa sadar, untuk menyelamatkan Rania, ia harus lebih cerdik dan berani dari sebelumnya.

Setibanya di rumah, Alexa menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang mengawasinya. Ia meletakkan dokumen-dokumen Rania di atas meja, menatapnya sejenak, dan menarik napas panjang.

“Baik… sekarang aku harus merencanakan langkah selanjutnya,” gumamnya, menahan rasa panik.

Ia mulai menyusun strategi: menghubungi beberapa orang yang bisa dipercaya, menyembunyikan bukti agar Nadine tidak bisa mengaksesnya, dan mencari petunjuk tambahan tentang keberadaan Rania. Setiap langkah harus hati-hati, tanpa meninggalkan jejak.

Alexa tahu, Nadine tidak akan berhenti begitu saja. Ancaman itu nyata, dan waktu tidak berpihak padanya. Tapi satu hal yang jelas: ia tidak akan menyerah.

Matanya menatap dokumen terakhir. Bukti itu adalah kunci untuk menyelamatkan Rania dan mengungkap kebenaran. Dengan tekad membara, Alexa menutup lampu kamar, merasakan malam yang panjang dan penuh bahaya.

Satu hal pasti: pertarungan dengan bayangan Nadine baru saja dimulai.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Bayangan yang Mengusik

    Malam itu, setelah rapat panjang, Rafa dan Alexa akhirnya pulang. Namun, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berat. Alexa berusaha tersenyum sambil menyiapkan makan malam, tapi pikirannya masih tertinggal di kantor.“Rafa…” ia membuka suara pelan. “Aku merasa Isabella bukan hanya sekadar konsultan. Ada sesuatu dalam caranya menatapmu… seperti dia ingin lebih dari sekadar kerja sama.”Rafa yang sedang melepas dasi menoleh, matanya serius. “Aku tahu kau melihatnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak pernah memberi ruang untuk hal itu. Fokusku hanya padamu… dan kita.”Alexa menunduk, sedikit lega, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa hilang.Sementara itu, di sebuah café mewah, Isabella duduk sendirian dengan segelas anggur. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Pastikan Rafa tetap dalam tekanan. Semakin dia terpojok, semakin mudah kita masuk.”Isabella tersenyum tipis. “Permainan baru saja dimulai,” gu

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Kehidupan Baru

    Sinar matahari pagi menembus jendela besar rumah Rafa. Alexa membuka matanya perlahan, masih merasakan hangatnya malam yang damai kemarin. Tawa Rania terdengar dari halaman belakang, sementara Rafa sedang menyiapkan sarapan sederhana tapi hangat.“Selamat pagi, Alexa,” sapa Rafa sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Matanya menatap lembut, penuh perhatian. “Tidur nyenyak?”Alexa tersenyum, menerima kopi itu. “Iya… aku rasa untuk pertama kalinya sejak lama, aku benar-benar merasa tenang.”Rania muncul membawa beberapa kertas gambar. “Aku menggambar semua kejadian seru kita selama beberapa bulan terakhir!” katanya antusias. Alexa tersenyum melihat hasil karyanya. Momen sederhana ini, tawa dan kegembiraan mereka, terasa jauh lebih berharga daripada semua kekayaan dunia.Namun, di balik kedamaian itu, Rafa mulai menerima kabar dari kantornya—proyek baru yang menantang menuntut perhatian segera. Alexa menatap Rafa dengan sedikit khawatir. “Apakah kau yakin kita masih bisa menikmati pag

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Ketenangan dan Awal Baru

    Beberapa minggu setelah penangkapan Nadine, kehidupan Alexa, Rania, dan Rafa perlahan kembali normal. Gudang yang dulu menjadi sarang ancaman kini sepi, hanya menyisakan bekas-bekas ketegangan yang kini berubah menjadi kenangan yang memberi pelajaran. Alexa duduk di teras rumahnya, menyesap kopi hangat sambil menatap matahari terbit. Udara pagi segar, seolah menyapu semua rasa takut dan ketegangan dari malam-malam sebelumnya. Rania berjalan menghampiri dengan senyum tipis, masih terlihat lemah tapi matanya bersinar dengan rasa lega. “Aku tidak pernah menyangka bisa merasa bebas lagi,” katanya. Alexa tersenyum lembut. “Itu karena kau berani menghadapi semuanya. Dan kau tidak sendirian. Rafa, aku, kita selalu bersamamu.” Rafa muncul dari dapur membawa beberapa camilan. “Dan jangan lupa, sekarang kita bisa tidur tanpa waspada setiap malam,” canda Rafa, membuat Rania tertawa pelan. Alexa menatap kedua sahabatnya, rasa syukur mengalir di hatinya. Mereka telah melewati badai, menghadap

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Konfrontasi Terakhir

    Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian. Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingi

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Jejak yang Terlacak

    Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat. Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania. Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi. “Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah. Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya. Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercay

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Rahasia dalam Bayangan

    Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status