BAB 2
Aku Tak Bodoh
“Menipu? Menipu bagaimana sih, maksudnya, Bu?”
Aku bertanya kepada Ibu sambil beristighfar dalam hati. Mas Rian yang semula terbatuk-batuk itu pun tiba-tiba saja mencengkeram lenganku. Ketika kutoleh, wajah Mas Rian sudah merah padam.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita sebelumnya, Fi?”
Pertanyaan Mas Rian bagai pecut yang mencambuk hatiku. Suami yang kukenal selama ini tak begini harusnya. Mana sosok Mas Rian yang kerap perhatian dan selalu sayang padaku itu?
“Lho, cerita? Tentang rumah dan tanah yang ditinggali almarhum ayahku? Kenapa aku harus cerita masalah kepemilikan rumah itu segala, Mas?”
Mas Rian mendecak kesal. Cengkeraman tangannya pun dia lepas dari lenganku. Terdengar helaan napas yang masygul dan berat.
“Fika, seharusnya sejak awal kamu ceritakan kepada kami kalau ayahmu ternyata tidak punya apa-apa!” Ibu mertuaku yang selama ini tak banyak bicara, tiba-tiba saja memuntahkan amarah dan omelan panjangnya.
Mata beliau membelalak. Tak ada lagi raut cantik di wajahnya yang selalu diolesi krim pemutih harga ratusan ribu tersebut. tangannya mengepal, lalu tiba-tiba menggebrak meja makan.
“Rian, istrimu ini anak orang miskin ternyata!”
Astaghfirullah! Jantungku langsung teremas-remas oleh kalimat hinaan Ibu. Serendah itukah aku di mata Ibu?
“Kamu itu nggak pernah dengarin omongan Ibu, Yan! Dulu, Ibu kan, sudah bilang, kalau Ibu nggak setuju kamu nikah sama orang yang biasa-biasa aja!” pekik Ibu kalap.
“Kamu bilang, kalau Fika ini beda. Meskipun di kota hidup merantau dan bekerja sebagai admin, katamu di kampungnya dia punya tanah yang luas dan rumah tua yang besar. Ternyata, rumah itu bukan rumah pribadi orangtuanya!” Ibu makin menjerit histeris seperti orang kesetanan.
“Lho, lho! Ini kenapa pagi-pagi sudah ribut?!”
Suara Bapak menyeruak. Kami bertiga langsung menoleh ke arah belakang. Bapak mertuaku yang memiliki tubuh gempal dan tinggi itu pun berjalan tergopoh menuju meja makan.
“Pak, Fika tidak dapat warisan sepeser pun! Tanah dan rumah yang di kampung itu bukan miliknya!” Ibu bangkit dari kursi makan. Dia menuding-nuding mukaku dengan tampang yang murka.
“Astaga! Jadi, gimana kelanjutan rencana kita untuk renovasi rumah, Bu? Masa lebaran tahun depan rumah kita masih jelek seperti ini?”
Bapak mertuaku yang bertampang seram tapi tak pernah marah itu, ternyata sebelas dua belas kelakuannya dengan Ibu. Hatiku sakit. Perih sekali rasanya, ketika aku dihajar habis-habisan oleh mulut racun milik kedua mertuaku.
“Sudah, Pak, Bu. Kalau memang Fika nggak punya warisan, nanti Rian yang bakalan usaha keras buat cari uang bakal renovasi rumah kita.”
Akhirnya, Mas Rian membelaku. Setelah sekian lama dia membiarkan aku dicaci dan dihina dina, ternyata dia masih sadar juga bahwa tugasnya sebagai suami adalah membela marwah sang istri. Namun, sayang … perasaanku kadung mati untuknya.
“Usaha keras apalagi, Yan? Kerjaanmu cuma kurir! Gajimu cuma selisih dua ratus ribu dari UMR. Kamu pikir, duitmu cukup buat renovasi rumah dan DP mobil? Nggak akan!” maki Ibu masih berdiri dengan dada yang membusung.
“Ya, cara satu-satunya adalah Fika harus kerja lagi kaya dulu!” Bapak mertuaku dengan kumis tebal melintang dan tangan belangnya itu berjalan mendekat ke arah Ibu.
Tatapan Bapak begitu menghardik. Menghakimi diriku, lewat delikan tajam yang nyalang. Aku yang tak pernah tersulut emosi, kini berguncang juga kesabaranku.
“Ya, aku akan kerja, Pak.” Kujawab ucapan Bapak dengan hati yang terus bergejolak.
Kubalas tatapan tajam Bapak, tanpa satu pun kedipan takut. Aku ini manusia, Pak. Bukan hewan yang mudah kalian injak-injak.
“Bagus! Ya, sudah. Kamu tunggu apalagi? Carilah pekerjaan yang bisa memberimu uang. Jangan bisanya cuma numpang hidup di rumah mertua saja!” Bapak berkacak pinggang sombong. Lelaki bersarung hijau dengan muka sembab khas orang bangun tidur itu masih saja memandangiku galak.
Aku tersenyum kecil. Kepala ini mengangguk beberapa kali. Lalu, tubuhku bangkit dari kursi makan dan memandangi nasi goreng buatan Ibu yang terhidang di atas meja.
“Makasih ya, Pak, Bu, sudah memberikan tumpangan kepadaku selama ini,” ucapku datar sambil tangan ini meraih wadah berisi nasi goreng yang asapnya masih mengebul.
“Jujur saja, Fika! Aku kecewa saat tahu bahwa kamu itu tidak punya apa-apa, bahkan warisan serupiah pun tidak ada! Baiknya kamu kerja, jangan hanya jadi benalu saja di rumah ini!” bentak Ibu tanpa sedikit pun belas kasihan.
Wadah nasi goreng itu sudah di tanganku. Gemetar sekali jari jemariku. Perasaan dongkol yang luar biasa mulai mencekik kerongkongan.
“Ngapain kamu, Fika?!” tanya Mas Rian heran.
Wadah itu masih di tanganku. Aku yang berdiri di sebelah kursi Mas Rian, dengan serta merta melempar seluruh isi nasi goreng itu ke muka suamiku. Seketika, jeritan ibu dan bapak mertuaku menyeruak memenuhi ruangan.
“Makan ini, Mas! Nikmati masakan terakhirku di rumah ini. Mulai sekarang, jangan anggap aku istrimu lagi!”
BAB 3Bukan Perempuan Bodoh “Kurang ajar kamu, Fika! Dasar perempuan miskin! Nggak tahu diri!” Ibu berteriak nyaring. Wanita yang mengikat rambut hitamnya ke belakang itu mengejar ke arah tempatku berdiri. Tangan Ibu sudah terangkat tinggi. Mertuaku yang berkulit kuning langsat dan berwajah mirip dengan Mas Rian itu pun hendak menampar pipiku. Sayang, tangannya ditahan oleh Mas Rian yang tubuhnya telah penuh tumpahan nasi goreng. “Bu, cukup! Rian mohon, hentikan pertengkaran ini!” Suamiku berteriak di hadapa ibunya. Aku bergeser. Berusaha untuk keluar dari kepungan Mas Rian dan Ibu yang masih sibuk berkelahi. Namun, ruang yang mereka berikan begitu sempit hingga rasanya aku terjepit di antara tubuh keduanya. “Istrimu kurang ajar, Yan! Kamu itu lagian bodoh banget jadi laki-laki! Sudah disiram pakai nasi goreng begitu, masih aja kamu belain!” Ibu tampak sangat emosi. Tubuh ramping Ibu yang memang selalu
BAB 4Selamat Tinggal! Mas Rian tak terima akan sikapku. Tangan pria yang menyembulkan urat-urat berwarna kehijauan itu pun mencengkeram lenganku erat. Tentu saja langsung kutepis kasar. “Lepas!” sergahku berang. “Nggak! Aku nggak mau ngelepas kamu!” bentaknya balik. Mata suamiku yang kerap menatap sendu, kini berubah garang. Manik hitamnya membeliak besar. Seakan aku ini musuh lamanya. “Kalau ternyata aku hanya dinikahi karena kalian mengincar harta warisan, itu nggak bakalan kalian dapat, Mas! Jadi, lepaskan aku sekarang dan biarkan aku pulang ke kampung halamanku!” Aku berteriak nyaring. Tak peduli akan sesakit apa tenggorokanku. Yang penting, beban di dada plong. Mas Rian mendengus. Mimik wajahnya jelas menerangkan betapa geramnya dia kepadaku. Jangan sampai dia main tangan seperti ibunya tadi, pikirku. Kalau sampai dia memainkan tangannya ke tubuhku, jangan salahkan aku
BAB 5Sakit Jiwa “Tega kamu, Fika.” Suara Mas Rian gemetar. Tanpa dinyana, lelaki 24 tahun itu menitikkan air matanya. Meluncur begitu saja kristal bening itu ke pipinya yang mulus. Aku tersenyum. Bukan karena bahagia melihatnya menangis. Namun, ini adalah sebuah senyum yang sama penuh lukanya. “Jangan playing victim, Mas. Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun,” desisku eneg. Mas Rian tak menyahut lagi. Buru-buru dia seka air mata di pipinya. Lelaki berkaus merah itu lalu menepis-nepis sisa nasi yang masih menyangkut di pakaian kerjanya. “Makasih sudah memfitnahku playing victim, Fi. Aku tahu kalau aku yang salah. Sedangkan kamu itu manusia suci yang tidak pernah punya salah, apalagi dosa.” Ucapan aneh yang Mas Rian katakan tadi hanyalah sebuah upaya untuk menekanku. Sarkasme dari bibir manismu itu tidak akan membuatku merasa bersalah. Sedikit pun aku tak berniat untuk memaafkan, terlebi
BAB 6Dikejar Setan Aku berlari sekuat tenaga dengan napas yang terengah-engah. Tak kupedulikan lagi tatapan heran orang-orang di sekitar lingkungan rumah mertuaku. Jalanan komplek yang cukup ramai pun, nekat kuterabas dengan sandal jepit yang tapaknya telah menipis. Sekitar lima puluh meter di depan sana, kulihat ada sesosok tukang ojeg berjaket hijau. Pria yang tengah menepi di bahu jalan itu, tampak tengah fokus memperhatikan ponsel di tangan kanannya. Aku berteriak, demi membuat bapak-bapak ojeg online itu menoleh. “Pak! Bapak! Saya mau naik!” pekikku heboh. “Mbak, kenapa lari-larian begitu?” Seseorang di sebelah kananku menegur.Kutoleh, ternyata ibu-ibu yang sering senam pagi Minggu dengan ibu mertuaku. Beliau yang mengendara motor matik dan memelankan laju kendaraannya itu, memperhatikan wajahku bingung. Seingatku, nama beliau adalah Bu Tari.Aku tak peduli. Kupelengosi muka ibu-ibu yang mengenakan daster hitam dan jilbab
“Neng, itu kenapa? Mas yang tadi jatoh?” Bapak ojeg bertanya denganku. Dari nada suara beliau, terdengar sangat resah dan cemas. Kami setali tiga uang. Sama-sama tak tenang, sebab bunyi gedubrak serta pekik jerit di belakang sana. “Nggak tahu, Pak! Nggak lihat. Pak, ayo buruan kabur aja!” pintaku mendesak bapak ojeg. “I-iya, Neng,” gagap bapak ojeg di tengah desauan angin dan hiruk pikuk jalanan yang mulai macet. Untung saja, tak ada yang mencegat kami. Aku pun tidak mampu untuk menoleh ke belakang. Mataku kini terpejam saking takutnya. “Neng, ini kita ke mana?” “Ke kantor JNR yang di jalan Senopati, Pak! Depan supermarket Hari Ini!” Kantor yang kumaksudkan adalah tempat bekerjanya Mas Rian. Pernah menjadi tempat bekerjaku juga. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa aku malah pergi ke sana. Aku ingin menemui Helena. Dia adalah satu-satunya sahabat karibku di kota ini. Kami be
“P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya. Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan. Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini. Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.
“Pak, tolong jangan bilang-bilang kalau saya di sini!” mohonku sambil mencengkeram lengan berbulu milik Pak Hanan. Mata Pak Hanan memicing sadis. Pria itu lalu mendelik dan memajukan dagunya ke depan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya cukup ketus. Refleks, aku melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Suara dering ponsel milik Pak Hanan masih memekik keras di antara kami. Semakin was-was saja hatiku gara-gara dering nyaring tersebut. Pak Hanan lalu mengangkat telepon dari suamiku. Degupan jantungku langsung keras bertalu. Aku berdoa, semoga Mas Rian tidak apa-apa dan yang terjatuh tadi juga bukan orang lain. “Halo, Rian! Ngapain kamu nelepon saya? Bukannya segera masuk kantor, malah nelepon-nelepon nggak jelas begini!” geram Pak Hanan sampai bola matanya melotot besar. Kugenggam tangan Helena erat-erat. Kami berdua kini saling berpandangan. Sejurus kemudian, keluarlah sosok Dewangga dan Firman dari bilik yang berada
“Pak, tapi saya nggak menikmati uang itu sama sekali!” Tanpa dapat dikontrol lagi, aku menjerit histeris di depan Pak Hanan. Lelaki yang memiliki tubuh dengan rambut-rambut yang cukup lebat itu tampak terkesiap. Helena yang masih standby di samping kananku pun langsung merangkul erat-erat. “Demi Allah, jangankan makan duit tiga puluh juta itu, Pak! Ngeliatnya aja saya nggak pernah!” tegasku dengan suara yang melengking. Dua klien yang sedang duduk di depan meja komputer itu pun lagi-lagi menoleh. Muka mereka terlihat tak nyaman. Aku sudah tidak memikirkan lagi akan tatapan aneh itu, yang penting masalah ini segera kelar. “Maksud saya ke sini adalah minta pertolongan Helena, Pak. Saya cuma mau pulang. Bukan mau mempertanggung jawabkan sebuah kesalahan yang bukan saya pelakunya!” tukasku terengah-engah. Kali ini, teleponku yang menginterupsi percakapan. Deringnya terdengar nyaring dari saku piyama lusuhku. Cepat kusek