Share

2. Aku Tak Bodoh

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-13 00:45:23

BAB 2

Aku Tak Bodoh

              “Menipu? Menipu bagaimana sih, maksudnya, Bu?”

              Aku bertanya kepada Ibu sambil beristighfar dalam hati. Mas Rian yang semula terbatuk-batuk itu pun tiba-tiba saja mencengkeram lenganku. Ketika kutoleh, wajah Mas Rian sudah merah padam.

              “Kenapa kamu nggak pernah cerita sebelumnya, Fi?”

              Pertanyaan Mas Rian bagai pecut yang mencambuk hatiku. Suami yang kukenal selama ini tak begini harusnya. Mana sosok Mas Rian yang kerap perhatian dan selalu sayang padaku itu?

              “Lho, cerita? Tentang rumah dan tanah yang ditinggali almarhum ayahku? Kenapa aku harus cerita masalah kepemilikan rumah itu segala, Mas?”

              Mas Rian mendecak kesal. Cengkeraman tangannya pun dia lepas dari lenganku. Terdengar helaan napas yang masygul dan berat.

              “Fika, seharusnya sejak awal kamu ceritakan kepada kami kalau ayahmu ternyata tidak punya apa-apa!” Ibu mertuaku yang selama ini tak banyak bicara, tiba-tiba saja memuntahkan amarah dan omelan panjangnya.

              Mata beliau membelalak. Tak ada lagi raut cantik di wajahnya yang selalu diolesi krim pemutih harga ratusan ribu tersebut. tangannya mengepal, lalu tiba-tiba menggebrak meja makan.

              “Rian, istrimu ini anak orang miskin ternyata!”

              Astaghfirullah! Jantungku langsung teremas-remas oleh kalimat hinaan Ibu. Serendah itukah aku di mata Ibu?

              “Kamu itu nggak pernah dengarin omongan Ibu, Yan! Dulu, Ibu kan, sudah bilang, kalau Ibu nggak setuju kamu nikah sama orang yang biasa-biasa aja!” pekik Ibu kalap.

              “Kamu bilang, kalau Fika ini beda. Meskipun di kota hidup merantau dan bekerja sebagai admin, katamu di kampungnya dia punya tanah yang luas dan rumah tua yang besar. Ternyata, rumah itu bukan rumah pribadi orangtuanya!” Ibu makin menjerit histeris seperti orang kesetanan.

              “Lho, lho! Ini kenapa pagi-pagi sudah ribut?!”

              Suara Bapak menyeruak. Kami bertiga langsung menoleh ke arah belakang. Bapak mertuaku yang memiliki tubuh gempal dan tinggi itu pun berjalan tergopoh menuju meja makan.

              “Pak, Fika tidak dapat warisan sepeser pun! Tanah dan rumah yang di kampung itu bukan miliknya!” Ibu bangkit dari kursi makan. Dia menuding-nuding mukaku dengan tampang yang murka.

              “Astaga! Jadi, gimana kelanjutan rencana kita untuk renovasi rumah, Bu? Masa lebaran tahun depan rumah kita masih jelek seperti ini?”

              Bapak mertuaku yang bertampang seram tapi tak pernah marah itu, ternyata sebelas dua belas kelakuannya dengan Ibu. Hatiku sakit. Perih sekali rasanya, ketika aku dihajar habis-habisan oleh mulut racun milik kedua mertuaku.

              “Sudah, Pak, Bu. Kalau memang Fika nggak punya warisan, nanti Rian yang bakalan usaha keras buat cari uang bakal renovasi rumah kita.”

              Akhirnya, Mas Rian membelaku. Setelah sekian lama dia membiarkan aku dicaci dan dihina dina, ternyata dia masih sadar juga bahwa tugasnya sebagai suami adalah membela marwah sang istri. Namun, sayang … perasaanku kadung mati untuknya.

              “Usaha keras apalagi, Yan? Kerjaanmu cuma kurir! Gajimu cuma selisih dua ratus ribu dari UMR. Kamu pikir, duitmu cukup buat renovasi rumah dan DP mobil? Nggak akan!” maki Ibu masih berdiri dengan dada yang membusung.

              “Ya, cara satu-satunya adalah Fika harus kerja lagi kaya dulu!” Bapak mertuaku dengan kumis tebal melintang dan tangan belangnya itu berjalan mendekat ke arah Ibu.

              Tatapan Bapak begitu menghardik. Menghakimi diriku, lewat delikan tajam yang nyalang. Aku yang tak pernah tersulut emosi, kini berguncang juga kesabaranku.

              “Ya, aku akan kerja, Pak.” Kujawab ucapan Bapak dengan hati yang terus bergejolak.

              Kubalas tatapan tajam Bapak, tanpa satu pun kedipan takut. Aku ini manusia, Pak. Bukan hewan yang mudah kalian injak-injak.

              “Bagus! Ya, sudah. Kamu tunggu apalagi? Carilah pekerjaan yang bisa memberimu uang. Jangan bisanya cuma numpang hidup di rumah mertua saja!” Bapak berkacak pinggang sombong. Lelaki bersarung hijau dengan muka sembab khas orang bangun tidur itu masih saja memandangiku galak.

              Aku tersenyum kecil. Kepala ini mengangguk beberapa kali. Lalu, tubuhku bangkit dari kursi makan dan memandangi nasi goreng buatan Ibu yang terhidang di atas meja.

              “Makasih ya, Pak, Bu, sudah memberikan tumpangan kepadaku selama ini,” ucapku datar sambil tangan ini meraih wadah berisi nasi goreng yang asapnya masih mengebul.

              “Jujur saja, Fika! Aku kecewa saat tahu bahwa kamu itu tidak punya apa-apa, bahkan warisan serupiah pun tidak ada! Baiknya kamu kerja, jangan hanya jadi benalu saja di rumah ini!” bentak Ibu tanpa sedikit pun belas kasihan.

              Wadah nasi goreng itu sudah di tanganku. Gemetar sekali jari jemariku. Perasaan dongkol yang luar biasa mulai mencekik kerongkongan.

              “Ngapain kamu, Fika?!” tanya Mas Rian heran.

              Wadah itu masih di tanganku. Aku yang berdiri di sebelah kursi Mas Rian, dengan serta merta melempar seluruh isi nasi goreng itu ke muka suamiku. Seketika, jeritan ibu dan bapak mertuaku menyeruak memenuhi ruangan.

“Makan ini, Mas! Nikmati masakan terakhirku di rumah ini. Mulai sekarang, jangan anggap aku istrimu lagi!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Retno w
bgs gitu donk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   37. Kejutan Sebenarnya

    BAB 37Kejutan SebenarnyaEND Kupikir, Mas Hanan akan kembali mengajakku untuk ‘bergulat’ ketika tubuhku ditepuknya beberapa kali di bagian pundak. Ternyata … dia hanya membangunkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena jujur saja, aku juga tidak keberatan kalau diajak melakukan ibadah sunnah tersebut hehe. “Sayang, bangun,” ucap Mas Hanan tepat di telingaku. “Hu um,” lirihku sambil mengucek mata. Aku kira, sekarang sudah Subuh. Betapa terkejutnya aku saat kulihat jam weker di atas nakas samping ranjang kami. Baru pukul tiga pagi! Mas Hanan sudah bangkit dari tidurnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer cokelat khaki itu tampak bangkit dari ranjang. Saat berdiri di sisi tempat tidur, suamiku merenggangkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkan pundaknya ke kanan maupun ke kiri. “Mas, kita bangun sepagi ini mau ngapain?” tanyaku terheran-heran. “Mau pula

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   36. Kamu Adalah Pakaianku

    BAB 36Kamu Adalah Pakaianku Mas Hanan melepaskan pakaian yang kukenakan di atas ranjang. Tentu saja degupan jantungku makin-makin melesat kencang saja. Napasku terengah, sedangkan mataku spontan mengatup rapat sebab rasa malu yang begitu teramat sangat. Deru napas suamiku terasa mengembus di kulit wajah maupun leher. Di sela embusan napas itu, tiba-tiba terasa kembali sebuah kecupan manis yang tepat mengenai leherku. Kecupan itu kian turun dan malah berakhir di atas dadaku. Aku sontak berteriak. Kaget. Syok berat. “Sayang, jangan berteriak. Aku nggak akan kasar, kok. Kita main lembut, ya?” Mas Hanan membujukku dengan suaranya yang begitu pelan dan lembut. Kuberanikan diri untuk membuka kedua mata kembali. Lelaki itu masih berada di atas tubuhku. Kini kedua tangannya menggenggam kedua jemariku yang dia rentangkan lebar-lebar. Jemari kami saling bertautan. Kedua telapak tanganku kini tenggelam dalam tel

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   35. Gairah di Malam Pertama

    BAB 35Gairah di Malam Pertama Di kamar hotel tipe presidential suite yang Mas Hanan sewa, kami berdua akan melepaskan penat seusai pesta resepsi yang penuh kemewahan plus ingar bingar kebahagiaan tiada taranya. Di kamar dengan luas 200 meter persegi yang dilengkapi fasilitas super komplet nan megah itu, aku kini hanya berduaan saja bersama suamiku. Make up yang sempat menghiasi wajah pun telah dibersihkan di ruangn rias ballroom tadi. Pakaian pesta juga telah berganti menjadi gaun panjang berwarna magenta plus pasmina plisket warna putih terang. Saat pintu kamar hotel telah ditutup rapat oleh Mas Hanan, pria tampan yang sedari tadi terus menggandengku itu tiba-tiba menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Persis di depan pintu kamar yang terletak di lantai sembilan ini, suamiku mendekap sangat erat dan melayangkan kecupan di puncak kepala. Jangan tanya betapa gugupnya aku sekarang. Semua bagaikan mimpi! “Istriku sayang, gimana dengan tawara

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   34. Bahagia Tanpanya

    “Pak Hanan, Fika, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Pria kurus dengan rambut ikal gantung sebahu itu datang dengan kemeja batik cokelatnya yang kedodoran. Celana jins hitam lusuh yang dia pakai itu tampak usang dan tak patut untuk dikenakan di sebuah pesta pernikahan mewah. Namun, sama sekali aku tak mempermasalahkan hal tersebut, malah timbul perasaan iba di hati tatkala melihatnya hadir dengan muka pucat serta dua mata yang berkantung hitam. Kulihat dengan ekor mataku, tangan kurusnya dengan kuku-kuku panjang tak terawat itu mengulur di hadapan suamiku. Ya, Mas Hanan telah mengucapkan ijab qabul di hadapan Paklek Karim, adik tertua almarhum Ayah yang bertindak sebagai waliku. Mas kawin yang Mas Hanan berikan untukku tak main-main, sesuai janjinya dulu yaitu sebuah rumah ruko dua lantai yang berdiri persis di depan kantor JNR. Dua lembar undangan memang kami layangkan untuk Rian dan

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   33. Setujumu Bahagiaku

    Makan siang kami berakhir. Ucapan penghiburan dari mulut Pak Hanan, kini mulai mengusik kepala. Segenap pikiranku jadi terhantui dan agak terganggu dengan janji manis yang dia lontarkan. Beliau tampak biasa-biasa saja setelah berjanji akan memberikan tanah maupun rumah untukku. Namun, sebaliknya dengan aku. Meskipun mencoba menepis harapan yang mulai mekar di dada, tetapi perasaan penuh asa itu malah tergantung tinggi di hati. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku tak boleh berharap pada manusia. Takut kecewa, batinku. Anggap saja beliau hanya bercanda atau basa basi belaka. Masalah takut berutang budi dan memimpikan agar beliau menjadi imam halalku pun, cepat kutepis sejauh mungkin. Ya Allah, buat aku selalu sadar diri tentang siapa diriku yang hina ini, meski Pak Hanan tadi sempat mengaku bahwa dia sudah menyukaiku sejak awal aku bekerja di JNR. Lepas makan siang, Katniss lantas mengajakku naik ke lantai dua. Dia bilang katany

  • Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku   32. Imam Halal

    Kami hampir saja melewatkan jam makan siang gara-gara insiden di halaman parkir supermarket. Saking larutnya dalam haru yang membiru, baik aku dan Pak Hanan jadi lupa waktu. Untung saja akhirnya beliau mengingatkan agar kami berdua segera pulang karena takutnya Katniss sudah menunggu di rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Hanan, aku tak banyak bicara. Hanya diam saja. Bahkan ketika Pak Hanan menyuruhku untuk mengambil empat buat cokelat di kantung plastik yang berada di dalam tumpukan buah di belakang pun, aku tak mengucapkan banyak kalimat, kecuali ‘terima kasih’. Jujur saja, bukan main malunya diriku sekarag kepada Pak Hanan. Yang pertama, isi hatiku sudah ketahuan oleh beliau. Yang kedua, perasaan tak pantas itu kembali muncul lagi. Mengapa dengan bodohnya aku nekat mengucapkan kata suka pada Pak Hanan, meskipun beliau sudah bilang duluan? Seharusnya aku sembunyikan saja semuanya, bukan? Pasti ke depannya sikap kami berdua bakalan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status