Share

8. Rahasia Besar Mas Rian

“P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya.

              Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan.

              Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini.

               Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.

              “Mana Rian? Kenapa malah kamu yang ke sini? Alasan apalagi yang dia pakai hari ini untuk bolos?”

              Terperanjat diriku. Pak Hanan yang berlaku sebagai owner tetapi setiap harinya selalu menyempatkan diri untuk mengontrol perusahaan—berdasarkan pengalamanku selama bekerja di sini, mencakapiku dengan nada yang ketus. Aku langsung merasa tertindas oleh kata-katanya tadi.

              “P-pak, maaf. Saya benar-benar nggak tahu tentang utang dan masalah bolosnya Mas Rian,” sahutku agak gelagapan.

              Pak Hanan memicingkan matanya. Dia lalu menjulurkan lehernya ke belakang. Mungkin menoleh ke arah Helena.

              “Tuh, jam segini, Helena cuma sendirian di meja admin. Mana si Ferdy? Ini lama-lama perusahaanku bangkrut gara-gara karyawan gila macam Ferdy dan Rian!”

              Pak Hanan berjalan menuju pintu masuk kantor. Aku langsung membututinya. Aku menyesal karena harus terjebak di sini, di saat Pak Hanan datang dan malah marah-marah kepadaku.

              “Duduk dulu kamu Fika! Kebetulan sekali, saya mau bicara tentang Rian ini!” Pak Hanan mengajakku duduk di bangku besi panjang yang biasa dipakai konsumen untuk menunggu atau mengantre.

              Berdegup-degup jantungku. Sebelum duduk, aku menyambar tas jinjing hitamku terlebih dahulu. Jelas saja, Pak Hanan semakin memperhatikan dengan ekspresi yang terheran-heran.

              “Ngapain kamu bawa tas besar ke sini segala? Sebenarnya, tujuanmu ke sini apa?” Pak Hanan yang duduk sambil menyilangkan kakinya ke atas itu melirikku tajam.

              “P-pak … begini sebenarnya,” gagapku sambil menarik napas.

              “Saya ke sini mau minta tolong Helena, Pak. Rencananya, saya mau pulang kampung naik bus dan pinjam uang Helena. Saya nggak pegang duit sama sekali soalnya,” terangku menahan malu yang luar biasa.

              Manik cokelat milik Pak Hanan membeliak. Pria berhidung tinggi dengan cuping ramping itu seperti terperanjat mendengar ceritaku. Helena yang tadinya duduk di kursi kerjanya pun, mendadak bangkit.

“Kamu bukannya baru pulang dari kampungmu kemarin, Fik?” Helena yang memang sering berkirim W******p denganku itu terkejut bukan main.

              Aku mengangguk lemah. Helaan napas panjang lagi-lagi mengembus dari mulutku. Sesak rasanya.

              “Ngapain kamu mau pulang sampai pinjam uang ke Helena segala? Mana suamimu? Apa kamu dibanting sama Rian, gara-gara dia banyak utang?” Pak Hana terus mencecarku dengan banyak pertanyaan.

              Helena pun buru-buru keluar dari meja kerjanya. Dia mendatangiku, lalu duduk persis di sebelahku. Tanpa banyak bicara, tangan Helena langsung merangkul hangat.

              “S-saya tengkar sama Mas Rian dan keluarganya, Pak,” jelasku sambil menahan kaca-kaca yang mulai mengembun di netra.

              “Tengkar? Pasti masalah duit, ya!” Pak Hanan terdengar antusias sekaligus geram.

              “M-masalah … harta warisan almarhum ayah saya yang baru meninggal dua minggu lalu,” lirihku tersengal.

              Dekapan Helena langsung erat ke tubuhku. Tanpa sadar, air mataku tumpah. Sebenarnya aku ogah menangisi hal ini, tetapi semua benar-benar di luar kendaliku.

              “Rian minta harta warisanmu, begitu?” tanya Helena pelan.

              “Ibunya. Sama bapaknya. Mereka tiba-tiba nanya tentang jatah warisanku, Hel ….”

              “Astaghfirullah! Kok, mertuamu begitu, sih?” Helena kelihatan tak habis pikir mendengar penjelasan dariku.

              “Kamu ini, Len! Masa begitu aja diheranin. Orangtuanya pasti butuh duitlah buat ngelunasin utang-utangnya si Rian!” Lagi-lagi Pak Hanan mencerocos dengan nada yang penuh murka.

              Aku langsung menarik diri dari pelukan Helena. Masih bertanya-tanya, sebenarnya Mas Rian ada utang berapa kepada bosnya? Selama ini, dia tidak pernah terbuka kepadaku masalah utang piutang.

              Kuseka air mataku yang membasahi pipi. Kutarik napas dalam, sembari memberanikan diri untuk menatap Pak Hanan. Wajah pria yang berusia hampir 40 tahun tetapi tetap tampil necis itu kulihat agak gusar.

              “Bapak, maaf sebelumnya. Mas Rian punya utang berapa, ya? Demi Allah saya nggak pernah tahu, karena dia nggak cerita ke saya.”

              “Habis kalian nikah itu, dia pinjam uang secara pribadi ke saya. Totalnya tiga puluh juta rupiah! Dia nyicilnya pakai gaji yang dipotong.”

              Terenyak diriku luar biasa. Apa? Tiga puluh juta?

              Untuk apa uang itu? Ya Allah, mengapa Mas Rian tidak cerita sama sekali? Lantas, ke mana uang itu perginya?

              “T-tiga puluh juta?” gagapku tak percaya.

              “Iya. Dia bilang butuh untuk berobat ibunya. Cuma, anak-anak bilang ibunya sehat-sehat aja, tuh!” Pak Hanan sampai meremas jari jemarinya hingga terdengar bunyi gemeletuk dari ruas sendinya.

              “Okelah, terserah duit itu mau dia bikin apa. Setelah tiga bulan berlalu, dia mohon kalau gajinya jangan dipotong dulu karena sedang kesulitan ekonomi. Dia nangis-nangis sampai nyium kakiku segala!”

              Telunjuk Pak Hanan terhunus ke arah kakinya. Bibirnya menipis geram. Belum lagi warna kulit wajahnya yang berubah merah padam.

              “Kusuruh dia lembur supaya bonus lemburannya itu buat nutupin utang. Jam istirahat kusuruh dia kerja terus dan kalau bisa pulangnya dua jam lebih telat. Kamu tahu apa?”

              Aku langsung menggelengkan kepala. Karena, jujur saja aku tak melihat ada perubahan apa pun pada diri Mas Rian. Semuanya berjalan seperti biasa, kecuali kebiasaannya yang kerap bermain game sepulang bekerja hingga dini hari.

              “Dia nggak pernah pulang lambat dan malah ngilang-ngilang gitu aja sebelum jam pulang. Dia pikir, karena aku ke sini cuma pas pagi doang, aku jadi nggak tahu kelakuan dia!” Gemas. Satu kata itulah yang menggambarkan sosok Pak Hanan sekarang.

              “Seminggu ini, dia sudah tiga kali tidak masuk kerja. Pertama, katanya sakit kepala sampai mau meninggal,” terang Pak Hanan berapi-api.

              “Kedua itu yang kemarin. Katanya mau ngejemput kamu di kampung. Nah, yang ketiga ya hari ini! Jadi, sekarang dia di mana, Fika?!”

              Saat aku hendak menyahut pertanyaan Pak Hanan, tiba-tiba ponsel di saku celana jins milik pria di sebelah kiriku itu berdering kencang. Pak Hanan cepat merogoh sakunya dengan mimik kesal. Semakin merah padam wajahnya ketika menatap nama yang tertera di layar.

              “Nah, ini nomor suamimu! Mau bikin alasan apalagi dia? Mau bilang kalau rumah tangganya hancur gara-gara warisan, terus izin nggak masuk lagi? Kulaporkan ke polisi saja si Rian ini biar dia membusuk di penjara!”

              Napasku tercekat. Jangan bilang kalau yang tadi terjatuh di jalan itu bukan suamiku, melainkan orang lain. Berarti … aku secara tak langsung sudah mencelakai orang lain?

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lealony Patricia
Ceritanya sangat menarik
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status