“P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya.
Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan.
Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini.
Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.
“Mana Rian? Kenapa malah kamu yang ke sini? Alasan apalagi yang dia pakai hari ini untuk bolos?”
Terperanjat diriku. Pak Hanan yang berlaku sebagai owner tetapi setiap harinya selalu menyempatkan diri untuk mengontrol perusahaan—berdasarkan pengalamanku selama bekerja di sini, mencakapiku dengan nada yang ketus. Aku langsung merasa tertindas oleh kata-katanya tadi.
“P-pak, maaf. Saya benar-benar nggak tahu tentang utang dan masalah bolosnya Mas Rian,” sahutku agak gelagapan.
Pak Hanan memicingkan matanya. Dia lalu menjulurkan lehernya ke belakang. Mungkin menoleh ke arah Helena.
“Tuh, jam segini, Helena cuma sendirian di meja admin. Mana si Ferdy? Ini lama-lama perusahaanku bangkrut gara-gara karyawan gila macam Ferdy dan Rian!”
Pak Hanan berjalan menuju pintu masuk kantor. Aku langsung membututinya. Aku menyesal karena harus terjebak di sini, di saat Pak Hanan datang dan malah marah-marah kepadaku.
“Duduk dulu kamu Fika! Kebetulan sekali, saya mau bicara tentang Rian ini!” Pak Hanan mengajakku duduk di bangku besi panjang yang biasa dipakai konsumen untuk menunggu atau mengantre.
Berdegup-degup jantungku. Sebelum duduk, aku menyambar tas jinjing hitamku terlebih dahulu. Jelas saja, Pak Hanan semakin memperhatikan dengan ekspresi yang terheran-heran.
“Ngapain kamu bawa tas besar ke sini segala? Sebenarnya, tujuanmu ke sini apa?” Pak Hanan yang duduk sambil menyilangkan kakinya ke atas itu melirikku tajam.
“P-pak … begini sebenarnya,” gagapku sambil menarik napas.
“Saya ke sini mau minta tolong Helena, Pak. Rencananya, saya mau pulang kampung naik bus dan pinjam uang Helena. Saya nggak pegang duit sama sekali soalnya,” terangku menahan malu yang luar biasa.
Manik cokelat milik Pak Hanan membeliak. Pria berhidung tinggi dengan cuping ramping itu seperti terperanjat mendengar ceritaku. Helena yang tadinya duduk di kursi kerjanya pun, mendadak bangkit.
“Kamu bukannya baru pulang dari kampungmu kemarin, Fik?” Helena yang memang sering berkirim W******p denganku itu terkejut bukan main.
Aku mengangguk lemah. Helaan napas panjang lagi-lagi mengembus dari mulutku. Sesak rasanya.
“Ngapain kamu mau pulang sampai pinjam uang ke Helena segala? Mana suamimu? Apa kamu dibanting sama Rian, gara-gara dia banyak utang?” Pak Hana terus mencecarku dengan banyak pertanyaan.
Helena pun buru-buru keluar dari meja kerjanya. Dia mendatangiku, lalu duduk persis di sebelahku. Tanpa banyak bicara, tangan Helena langsung merangkul hangat.
“S-saya tengkar sama Mas Rian dan keluarganya, Pak,” jelasku sambil menahan kaca-kaca yang mulai mengembun di netra.
“Tengkar? Pasti masalah duit, ya!” Pak Hanan terdengar antusias sekaligus geram.
“M-masalah … harta warisan almarhum ayah saya yang baru meninggal dua minggu lalu,” lirihku tersengal.
Dekapan Helena langsung erat ke tubuhku. Tanpa sadar, air mataku tumpah. Sebenarnya aku ogah menangisi hal ini, tetapi semua benar-benar di luar kendaliku.
“Rian minta harta warisanmu, begitu?” tanya Helena pelan.
“Ibunya. Sama bapaknya. Mereka tiba-tiba nanya tentang jatah warisanku, Hel ….”
“Astaghfirullah! Kok, mertuamu begitu, sih?” Helena kelihatan tak habis pikir mendengar penjelasan dariku.
“Kamu ini, Len! Masa begitu aja diheranin. Orangtuanya pasti butuh duitlah buat ngelunasin utang-utangnya si Rian!” Lagi-lagi Pak Hanan mencerocos dengan nada yang penuh murka.
Aku langsung menarik diri dari pelukan Helena. Masih bertanya-tanya, sebenarnya Mas Rian ada utang berapa kepada bosnya? Selama ini, dia tidak pernah terbuka kepadaku masalah utang piutang.
Kuseka air mataku yang membasahi pipi. Kutarik napas dalam, sembari memberanikan diri untuk menatap Pak Hanan. Wajah pria yang berusia hampir 40 tahun tetapi tetap tampil necis itu kulihat agak gusar.
“Bapak, maaf sebelumnya. Mas Rian punya utang berapa, ya? Demi Allah saya nggak pernah tahu, karena dia nggak cerita ke saya.”
“Habis kalian nikah itu, dia pinjam uang secara pribadi ke saya. Totalnya tiga puluh juta rupiah! Dia nyicilnya pakai gaji yang dipotong.”
Terenyak diriku luar biasa. Apa? Tiga puluh juta?
Untuk apa uang itu? Ya Allah, mengapa Mas Rian tidak cerita sama sekali? Lantas, ke mana uang itu perginya?
“T-tiga puluh juta?” gagapku tak percaya.
“Iya. Dia bilang butuh untuk berobat ibunya. Cuma, anak-anak bilang ibunya sehat-sehat aja, tuh!” Pak Hanan sampai meremas jari jemarinya hingga terdengar bunyi gemeletuk dari ruas sendinya.
“Okelah, terserah duit itu mau dia bikin apa. Setelah tiga bulan berlalu, dia mohon kalau gajinya jangan dipotong dulu karena sedang kesulitan ekonomi. Dia nangis-nangis sampai nyium kakiku segala!”
Telunjuk Pak Hanan terhunus ke arah kakinya. Bibirnya menipis geram. Belum lagi warna kulit wajahnya yang berubah merah padam.
“Kusuruh dia lembur supaya bonus lemburannya itu buat nutupin utang. Jam istirahat kusuruh dia kerja terus dan kalau bisa pulangnya dua jam lebih telat. Kamu tahu apa?”
Aku langsung menggelengkan kepala. Karena, jujur saja aku tak melihat ada perubahan apa pun pada diri Mas Rian. Semuanya berjalan seperti biasa, kecuali kebiasaannya yang kerap bermain game sepulang bekerja hingga dini hari.
“Dia nggak pernah pulang lambat dan malah ngilang-ngilang gitu aja sebelum jam pulang. Dia pikir, karena aku ke sini cuma pas pagi doang, aku jadi nggak tahu kelakuan dia!” Gemas. Satu kata itulah yang menggambarkan sosok Pak Hanan sekarang.
“Seminggu ini, dia sudah tiga kali tidak masuk kerja. Pertama, katanya sakit kepala sampai mau meninggal,” terang Pak Hanan berapi-api.
“Kedua itu yang kemarin. Katanya mau ngejemput kamu di kampung. Nah, yang ketiga ya hari ini! Jadi, sekarang dia di mana, Fika?!”
Saat aku hendak menyahut pertanyaan Pak Hanan, tiba-tiba ponsel di saku celana jins milik pria di sebelah kiriku itu berdering kencang. Pak Hanan cepat merogoh sakunya dengan mimik kesal. Semakin merah padam wajahnya ketika menatap nama yang tertera di layar.
“Nah, ini nomor suamimu! Mau bikin alasan apalagi dia? Mau bilang kalau rumah tangganya hancur gara-gara warisan, terus izin nggak masuk lagi? Kulaporkan ke polisi saja si Rian ini biar dia membusuk di penjara!”
Napasku tercekat. Jangan bilang kalau yang tadi terjatuh di jalan itu bukan suamiku, melainkan orang lain. Berarti … aku secara tak langsung sudah mencelakai orang lain?
BAB 37Kejutan SebenarnyaEND Kupikir, Mas Hanan akan kembali mengajakku untuk ‘bergulat’ ketika tubuhku ditepuknya beberapa kali di bagian pundak. Ternyata … dia hanya membangunkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena jujur saja, aku juga tidak keberatan kalau diajak melakukan ibadah sunnah tersebut hehe. “Sayang, bangun,” ucap Mas Hanan tepat di telingaku. “Hu um,” lirihku sambil mengucek mata. Aku kira, sekarang sudah Subuh. Betapa terkejutnya aku saat kulihat jam weker di atas nakas samping ranjang kami. Baru pukul tiga pagi! Mas Hanan sudah bangkit dari tidurnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer cokelat khaki itu tampak bangkit dari ranjang. Saat berdiri di sisi tempat tidur, suamiku merenggangkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkan pundaknya ke kanan maupun ke kiri. “Mas, kita bangun sepagi ini mau ngapain?” tanyaku terheran-heran. “Mau pula
BAB 36Kamu Adalah Pakaianku Mas Hanan melepaskan pakaian yang kukenakan di atas ranjang. Tentu saja degupan jantungku makin-makin melesat kencang saja. Napasku terengah, sedangkan mataku spontan mengatup rapat sebab rasa malu yang begitu teramat sangat. Deru napas suamiku terasa mengembus di kulit wajah maupun leher. Di sela embusan napas itu, tiba-tiba terasa kembali sebuah kecupan manis yang tepat mengenai leherku. Kecupan itu kian turun dan malah berakhir di atas dadaku. Aku sontak berteriak. Kaget. Syok berat. “Sayang, jangan berteriak. Aku nggak akan kasar, kok. Kita main lembut, ya?” Mas Hanan membujukku dengan suaranya yang begitu pelan dan lembut. Kuberanikan diri untuk membuka kedua mata kembali. Lelaki itu masih berada di atas tubuhku. Kini kedua tangannya menggenggam kedua jemariku yang dia rentangkan lebar-lebar. Jemari kami saling bertautan. Kedua telapak tanganku kini tenggelam dalam tel
BAB 35Gairah di Malam Pertama Di kamar hotel tipe presidential suite yang Mas Hanan sewa, kami berdua akan melepaskan penat seusai pesta resepsi yang penuh kemewahan plus ingar bingar kebahagiaan tiada taranya. Di kamar dengan luas 200 meter persegi yang dilengkapi fasilitas super komplet nan megah itu, aku kini hanya berduaan saja bersama suamiku. Make up yang sempat menghiasi wajah pun telah dibersihkan di ruangn rias ballroom tadi. Pakaian pesta juga telah berganti menjadi gaun panjang berwarna magenta plus pasmina plisket warna putih terang. Saat pintu kamar hotel telah ditutup rapat oleh Mas Hanan, pria tampan yang sedari tadi terus menggandengku itu tiba-tiba menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Persis di depan pintu kamar yang terletak di lantai sembilan ini, suamiku mendekap sangat erat dan melayangkan kecupan di puncak kepala. Jangan tanya betapa gugupnya aku sekarang. Semua bagaikan mimpi! “Istriku sayang, gimana dengan tawara
“Pak Hanan, Fika, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Pria kurus dengan rambut ikal gantung sebahu itu datang dengan kemeja batik cokelatnya yang kedodoran. Celana jins hitam lusuh yang dia pakai itu tampak usang dan tak patut untuk dikenakan di sebuah pesta pernikahan mewah. Namun, sama sekali aku tak mempermasalahkan hal tersebut, malah timbul perasaan iba di hati tatkala melihatnya hadir dengan muka pucat serta dua mata yang berkantung hitam. Kulihat dengan ekor mataku, tangan kurusnya dengan kuku-kuku panjang tak terawat itu mengulur di hadapan suamiku. Ya, Mas Hanan telah mengucapkan ijab qabul di hadapan Paklek Karim, adik tertua almarhum Ayah yang bertindak sebagai waliku. Mas kawin yang Mas Hanan berikan untukku tak main-main, sesuai janjinya dulu yaitu sebuah rumah ruko dua lantai yang berdiri persis di depan kantor JNR. Dua lembar undangan memang kami layangkan untuk Rian dan
Makan siang kami berakhir. Ucapan penghiburan dari mulut Pak Hanan, kini mulai mengusik kepala. Segenap pikiranku jadi terhantui dan agak terganggu dengan janji manis yang dia lontarkan. Beliau tampak biasa-biasa saja setelah berjanji akan memberikan tanah maupun rumah untukku. Namun, sebaliknya dengan aku. Meskipun mencoba menepis harapan yang mulai mekar di dada, tetapi perasaan penuh asa itu malah tergantung tinggi di hati. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku tak boleh berharap pada manusia. Takut kecewa, batinku. Anggap saja beliau hanya bercanda atau basa basi belaka. Masalah takut berutang budi dan memimpikan agar beliau menjadi imam halalku pun, cepat kutepis sejauh mungkin. Ya Allah, buat aku selalu sadar diri tentang siapa diriku yang hina ini, meski Pak Hanan tadi sempat mengaku bahwa dia sudah menyukaiku sejak awal aku bekerja di JNR. Lepas makan siang, Katniss lantas mengajakku naik ke lantai dua. Dia bilang katany
Kami hampir saja melewatkan jam makan siang gara-gara insiden di halaman parkir supermarket. Saking larutnya dalam haru yang membiru, baik aku dan Pak Hanan jadi lupa waktu. Untung saja akhirnya beliau mengingatkan agar kami berdua segera pulang karena takutnya Katniss sudah menunggu di rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Hanan, aku tak banyak bicara. Hanya diam saja. Bahkan ketika Pak Hanan menyuruhku untuk mengambil empat buat cokelat di kantung plastik yang berada di dalam tumpukan buah di belakang pun, aku tak mengucapkan banyak kalimat, kecuali ‘terima kasih’. Jujur saja, bukan main malunya diriku sekarag kepada Pak Hanan. Yang pertama, isi hatiku sudah ketahuan oleh beliau. Yang kedua, perasaan tak pantas itu kembali muncul lagi. Mengapa dengan bodohnya aku nekat mengucapkan kata suka pada Pak Hanan, meskipun beliau sudah bilang duluan? Seharusnya aku sembunyikan saja semuanya, bukan? Pasti ke depannya sikap kami berdua bakalan