Kelima pegawai baru itu dengan cepat menuju ruang kerja di bagian pemasaean setelah penandatanganan penerimaan pegawai baru. Raut wajah Lail terlihat kusut dan lesu, kontras dengan wajah empat pegawai baru lainnya yang memancarkan senyum ceria dan sumringah.
"Tujuh juta," gumam Lail. Sehari saja ia bisa menghabiskan satu juta lebih untuk makan dan transportasi. Akan semelarat apa hidupnya jika hanya dapat tujuh juta. Pikiran Lail terus berkecamuk sejak mengetahui nominal gajinya. Jangankan mengumpulkan uang 500 juta seperti yang dijanjikan, untuk hidup normal saja dia tidak yakin. Mereka berlima ditempatkan dalam satu team yang disebut tim B pemasaran. Saat ini mereka tengah merapikan tempat kerja mereka masing-masing sembari menunggu kedatangan ketua tim pemasaran yang nantinya akan mengarahkan mereka tentang perkerjaan mereka. "Sebelum ketua tim datang, ayo berkenalan," kata Bina memulai percakapan. "Ide yang bagus," sambung pria yang tadi sempat berbicara perihal gaji dengan Lail. Tak butuh waktu lama, Lail dengan cepat dapat membaca keempat rekan kerjanya. Bina, gadis pendek kurus dengan rambut sebahu yang selalu tersenyum riang saat berkomunikasi, dia ramah dan mudah bergaul. Selanjutnya ada Dimas, pria yang duduk di samping Lail sebelumnya, memiliki kepribadian yang mirip dengan Bina, anak muda yang berapi-api, memiliki perawakan tubuh yang tinggi. Berikutnya ada Hersa, visual wajahnya terlihat seperti pria berumur 30-an tahun, berbadan pendek dan melebar dengan perut buncit yang kentara. Dan terakhir adalah Tamara, wanita pendiam berambut hitam lurus dengan kulit putih pucat, tidak suka bersosialisasi dan lebih suka menyendiri. "Lail, bisa temani aku ke kamar mandi?" tanya Bina. Lail mengernyit heran. Lail bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa Bina harus ditemani ke kamar mandi. Apa itu hanya basa-basi atau serius? Apakah Lail harus benar-benar menemaninya? Lail tidak tahu bagaimana cara menangani hal-hal seperti itu. "Ayo," ucap Bina yang langsung menarik tangan Lail ke toilet. Lail bahkan belum menyanggupi, tapi Bina dengan sekenanya menarik Lail pergi, sekaan-akan hal itu wajar dilakukan. Lail menunggu Bina di depan wastafel, sesekali gadis itu memperbaiki posisi kacamatanya. Lail bergeser ke samping saat beberapa perempuan masuk ke dalam toilet. Toilet ini sempit sekali, batin Lail. Gadis itu terjebak di antara para perempuan yang masuk ke dalam. Lail berdiri diam, tak tahu harus bagaimana. "Kalian tahu tidak?" tanya salah satu dari empat wanita yang masuk ke dalam toilet itu. Seorang wanita yang tengah memperbaiki lipstiknya itu ikut angkat bicara, "Kenapa?" tanyanya setelah mengoleskan gincu ke bibirnya. "Tidak ada hujan tidak ada angin. Tumben sekali pegawai baru yang diterima sampai lima orang. Mereka bahkan dijadikan satu tim. Aneh sekali, sangat menyebalkan." "Infonya, berita tentang kelima pegawai baru sudah menyebar luar. Itu membuatku jengkel, untuk apa menambah-nambah pegawai segala, toh gaji kita tidak pernah bertambah." "Iya benar, aku juga merasa kesal. Ketua tim sampai membentuk tim baru hanya untuk mereka. Aku yakin salah satu dari mereka memiliki hubungan kotor dengan pak CEO." sahut yang lainnya. "Benar, aku dengar pak CEO sering sekali bermain wanita di belakang istrinya. Bahkan rumornya dia berselingkuh dengan sekretaris sendiri, menjijikkan." "Itu masih mending, apa kamu tahu rumor terbaru bilang pak CEO korupsi besar-besaran. Makanya perusahaan HAZA bisa sampai diakusisi okeh Salim Group." Keempat wanita itu terus bergosip tanpa memerdulikan Lail yang berdiri di sudut ruangan. Seakan tak terlihat, Lail benar-benar hanya diam berdiri tanpa sepatah kata. "Kita harus berterima kasih pada Salim group. Kalau bukan karenanya, mungkin perusahaan ini sudah bangkrut." Lail bergeser sedikit ke samping karena merasa tak nyaman dengan posisinya, "Astaga!" teriak salah satu dari empat wanita itu saat menyadari kehadiran Lail. Mereka berempat secara serentak menatap ke arah Lail. Mereka mengerjap kaget. Wajah mereka terlihat jelas keheranan, seakan-akan mengatakan, sejak kapan ada manusia di sana selain mereka. "Wanita udik darimana ini?" celetuk salah satu dari mereka. "Hey, jaga ucapanmu." ucap wanita yang sedari tadi sibuk merapikan lipstiknya. "Ayo, kita pergi saja." mereka berempat memutuskan pergi dari toilet. Melupakan apa yang baru saja terjadi. Terkesan tidak peduli dengan keberadaan dan ketidakberadaan Lail. Yah, ada dan tiada tidak ada bedanya. Orang-orang aneh, batin Lail. Sreg! Bina keluar dari salah satu toilet. Wajahmu terlihat murung. Tidak perlu ditanya Lail sudah tahu apa penyebabnya. Wanita polos seperti Bina pasti merasa terkejut dibicarakan seperti itu oleh empat perempuan tadi. Bisa dipastikan sekarang kelima orang pegaway baru tengah jadi perbincangan hangat di kantor HAZA. "Hey, tidak usah dipikirkan. Orang yang suka membicarakan orang lain di belakang itu namanya sampah." kata Lail menenangkan. "Tidak terpancing dengan omongan mereka. Dan berusaha menujukkan kemampuan kita adalah cara terbaik untuk melawan mereka." sambung Lail lagi. Bina langsung menggenggam kedua tangan Lail, "Kamu sangat bijaksana ya. Aku semakin yakin kamu orang yang bisa diandalkan." kata Bina dengan mata berbinar-binar yang menatap Lail penuh harap. Wah, semua orang gila ternyata, batin Lail lagi. "Iya, ayo kembali ke ruang kerja, sepertinya ketua tim sudah datang." Lail melepas tangan Bina yang menggenggamnya kuat. Ia kemudian mengajak rekan satu timnya untuk kembali ke ruangan. Ketika melewati lorong menuju ruangan mereka, Lail dan Bina terhenti saat melewati ruangan tim A pemasaran. "Hey, pegawai baru, tolong buatkan kami kopi!" perintah Nana, gadis yang terlihat arogan dan banyak maunya. Nana berdiri di samping pintu ruangan tim A, kedua tangannya terlipat di depan dada, ia menatap rendah ke arah Lail dan Bina."Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Hahaha," Lail tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu adalah orang pertama yang mengatakan aku orang kaya, padahal tampilanku begitu miskin seperti ini," kata Lail. Jika dia ingat kembali, semua karyawan HAZA Group tidak ada yang pernah bilang dia orang kaya, lebih banyak yang bilang dia kolot dan miskin. "Aku tidak pernah memandang kekayaan orang dari tampilannya." jawab Dio singkat. Aku lihat kamu mengelap tempat duduk dan meja saat datang, wajahmu terlihat kaku, apa tempat ini kotor? Tidak seperti tempatmu makan biasanya? Kamu bahkan memilih menu pasta tanpa melihat price tag nya. Tahukah kamu ini makanan paling mahal di sini? Orang miskin biasanya akan melihat harga dulu sebelum memesan, tapi orang kaya mereka akan memesan yang mereka suka tanpa memikirkan harganya. Kamu bilang pasta ini rasanya kuat? Bagi orang biasa yang makan, ini hal biasa yang sudah menyatu dengan lidah mereka. Tahukah kamu kenapa ini terasa menyengat di lidahmu? Karena lidah orang kaya lebih sensitif, orang
Dio langsung bergerak menolong Lail yang terkapar di tanah, "Apa yang kalian lakukan?!" kata Dio setengah berteriak. "Kenapa diam saja? Cepat ambilkan obat P3K!" bentak Dio lagi. Rival dan Zul segera berlari masuk mencari obat. Ogik hanya diam mematung. Dia merasa sangat bersalah hingga tidak bisa bereaksi apapun. Kecelakaan itu membuat pagi hari mereka lebih ribut dari hari biasanya. *** Lail menatap tak percaya kedua pergelangan tangannya yang dibungkus layaknya mumi oleh Galih. "Bagaimana caraku bisa hidup kalau begini?" Mata Lail mengerjap tak percaya melihat kedua tangannya yang terbungkus kain kasa. Belum lagi skill Galih yang tidak bersertifikat membuat bungkusan tangannya yang membulat mirip seperti bola bisbol. Tidak ada satupun jemari Laik yang terlihat karenanya. "Nona mata-mata, aku benar-benar minta maaf. Aku refleks jadi tidak sengaja," kata Ogik. Meski Ogik adalah lelaki yang menggebu-gebu dan sukar menahan amarahnya, tapi Dio selalu mendidiknya untuk menjad
"Mmh, kalian memang terlihat sedikit tidak sedap untuk dipandang," kata Lail ragu-ragu. Meski wajah mereka kadang terlihat baik. Lail harus tetap waspada mengingat kejadian saat dia disandera tadi. "Apa maksudnya tidak sedap dipandang?" tanya Ogik. "Maksudnya mungkin kita terlihat gagah dan menyeramkan." sahut Galih. "Benar, kami orang yang menyeramkan. Kamu harus tahu kami bukan orang sembarangan!" tekan Ogik. "Kenapa? Apa kalian seoarang preman? Mafia? Penjahat?" tanya Lail. Bug! Ogik meninju pintu yang berjarak setengah meter dari tempat Lail berdiri. Ogik sedikit mendekat ke arah Lail, "Kamu tau kami seorang penjahat, jadi jaga sikapmu baik-baik!" ancam Ogik. "Ayo kita kembali!" kata Ogik pada tiga pria lainnya. Lail mengerjap kaget atas kejadian singkat barusan. Dia menghela napas panjang kemudian segera menutup rapat pintu kamar itu. "Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini," kata Lail yang langsung merogoh ponselnya. Ia kembali mendengus kesal