Share

Sabtu Malam Lisa
Sabtu Malam Lisa
Author: Soma

Chapter 1: 03.10 p.m.

Sabtu, 8 November, suatu Tahun

03.10 p.m. (Pukul 15.10)

LISA

Seperti bagian lain di vila ini, lantai dan dinding koridor itu terbuat dari kayu. Cukup tebal, tapi masih tak cukup untuk menangkal hawa pegunungan. Banyak berkelok. Panjangnya mungkin mencapai hingga puluhan langkah. Lebarnya lebih lebar sedikit dari bentangan kedua lengan orang dewasa. Bagian atas telanjang tanpa langit-langit, langsung menampakkan rangka atap dan susunan genting yang samar-samar saja terlihat. Di kerangka bangunan yang melintang di atas lorong itu bergantung lampu-lampu dengan pijar kekuningan, lengkap dengan piringan logam yang melingkup pangkalnya. Di atas sana, rumah laba-laba bertaut kesana-kemari, coraknya sudah kehitaman dan sesekali bergelayut serupa satin malaikat maut. Di kiri dan kanan lorong tergantung banyak lukisan yang dibingkai dalam persegi panjang berbagai ukuran; mulai dari yang mungil seukuran buku tulis sampai yang besar seukuran setengah daun pintu. Letak lukisan-lukisan itu ada yang membujur, ada yang melintang; jarak antara satu lukisan dengan lainnya punya tolak ukur yang acak. Lukisan-lukisan itu tampak dingin, beku dalam aliran waktu yang terhenti, mungkin karena hanya disoroti cahaya kekuningan dari lampu yang bergantung jauh di atas. Muram. Barangkali, kegunaan koridor itu adalah semacam galeri, tapi bagi kebanyakan orang, koridor itu tentulah bukan tempat yang menyenangkan pandangan.

“Aku suka lukisan. Aku sendiri juga melukis.” Gadis berkacamata itu akhirnya menemukan bahan pembicaraan lain setelah lama berpikir dan tak ditemukannya celah untuk memuji koridor remang itu. 

“Saya tidak bertanya,” jawab lelaki berambut ikal di sebelahnya.

“Oh, maaf. Aku cuma berpendapat.”

“Oh, maaf. Kalau begitu, saya tidak minta pendapat.”

Gadis itu mengatup kedua kelopak matanya. Gemas.

“Bagaimana kalau aku yang minta pendapatmu?”

“Tak ada komentar.”

“Kalau begitu, minta namamu?”

Lelaki berambut ikal itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah gadis itu dan bergeming selama beberapa detik. Matanya memicing. Sambil tangan kanannya merodok, bilangnya, “Kris.”

Gadis itu mengangkat tangan kanannya juga, hendak menyatukan telapaknya dengan telapak tangan lelaki berambut ikal yang akhirnya menatap dirinya juga saat bercakap. Sayangnya, gadis itu kecele. Lengan lelaki itu terus menjulur sampai ujung-ujung jemarinya menyentuh bingkai lukisan yang ada di belakang gadis berkacamata. Alangkah kebetulan, bingkai itu memuat lukisan paruh badan seorang gadis cilik yang sedang menahan tawa dengan kedua tangannya. 

Ada mayat seekor laba-laba yang gepeng dan mengering di atas bingkai lukisan itu. Jemari Kris yang kurus dan panjang menggiling mayat binatang malang itu, menjadikannya persis kotoran hidung, hanya saja ia tak dibuang atau diratakan di kolong meja, melainkan dimasukkan ke dalam saku jas hitam yang sudah tampak lusuh dan bau apak.

“Aku Lisa.” Kata si gadis, sambil tangan kanannya yang sudah terlanjur terangkat bergerak ke belakang kepala, melepas ikatan rambut sekaligus menyibak rambutnya yang tak begitu saja tergerai seperti iklan sampo di televisi. Rambut itu panjangnya sebahu, hitam kusam.

“Saya sudah tahu,” balas pemuda itu tak tertarik.

Lisa geming. Kakinya memaku sesaat di lantai yang dingin. Ia tak memejamkan mata lagi sebagaimana biasa kalau ia sedang kesal. Matanya melotot, mengikuti sosok Kris yang lanjut melangkah seakan tak pernah bersikap tak sopan pada seorang tamu yang seharusnya dimuliakan. Usaha Lisa membangun sebuah percakapan akhirnya seperti angin kentut—yang sebaiknya memang tidak perlu dilakukan di depan lawan bicara, kecuali kau memang ingin memancing perkara. Ia hanya sedang berusaha akrab; bagaimanapun, ia akan menghabiskan setidaknya 3 hari ke depan di vila ini.

Sejak pertama kali jumpa, Kris memang selalu menanggapi Lisa dengan raut wajah yang begitu-begitu saja. Dingin dan sinis, tapi pada saat yang bersamaan, memelas. Matanya yang sayu selalu menatap tajam ke kejauhan, tapi tak sekalipun menatap lawan bicaranya kecuali beberapa detik lalu. Langkahnya lebar dan cepat. Tiap satu langkah Kris harus dibalas dua kali langkah agar Lisa bisa menyamai kecepatan pemuda itu berjalan. Menyebalkan. Lisa setengah tidak terima kalau ia, yang seorang tamu, disambut orang macam itu beberapa belas menit yang lalu. Sungguh pelayanan yang membuatnya amat tak terkesan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status