Share

3 ) Dunia Runtuh

"Lyshi! Kamu sama Era kemana? Kenapa nggak ada dirumah!" geram orang di sebrang sana.

Lyshi menjauhkan telinga dari smartwarchnya. Si penelpon itu adalah papanya. "Iya pa, bentar lagi juga pulang kok," ujarnya dengan kesal, padahal ia sedang asik bermain dengan Rama, malah direcoki

Fandi menghela napas. "Jangan iya-iya terus. Sekarang kamu dimana? Kasih tahu lokasinya ke papa! Mama nyariin kalian," tanya Fandi dengan nada khawatir

Gadis itu menghembuskan napas berat. "Di lapangan yang kemarin," tutur Lyshi memutusakan panggilan secara sepihak.

Rama yang sedari tadi menyimak akhirnya bertanya. "Siapa, Ra?"

"Papa," ucap Lyshi dengan lesu.

Rama menganggukkan kepalanya. "Kamu ke sini nggak izin dulu?" Rama kembali bertanya. Entahlah, Lyshi rasa sekarang lelaki itu banyak bicara.

Gadis itu hanya menjawab dengan cengiran kecil.

Suasana kembali hening, hanya angin sopoi-sopoi yang berpartisipasi meramaikan suasana siang itu.

Hingga suara Rama mengintruksi Lyshi. "Ra? Itu adik kamu udah masuk mobil, kamu nggak ke sana?" tanya Rama membuyarkan lamunan Lyshi.

Dan benar saja, di sana terlihat Era yang sudah berada di dalam mobil. Dan pemandangan di depan sana membuat nyalinya menciut, Fandi berkecak pinggang dengan tatapan tajamnya.

Lyshi meringis, dalam hati ia meruntuki Era. 

"Ram, Rora duluan ya. Kapan-kapan kita ketemuan di sini lagi, oke?!"

Gadis itu berlari menuju mobil Fandi tanpa menunggu jawaban Rama.

"Siapa tadi?" Fandi bertanya pada putri sulungnya terkait Rama.

"Bukan siapa-siapa. Ayo cepetan jalan, katanya dicariin mama," final Lyshi membuang muka ke luar jendela.

Fandi terkikik geli melihat putrinya kesal.

Beberapa menit berlalu, mobil yang dikendarai oleh Fandi berhenti di depan mansion mewah, mansion itu berwarna putih elegan. 

Mereka turun dari mobilnya, kemudian melangkahkan kaki memasuki bangunan megah itu.

"Temuin mama sana. Siap-siap hatinya kena hantam," ujar Fandi menakut-nakuti kedua putrinya.

Lyshi bergedik, ia lebih takut dimarahi oleh Reha ketimbang Fandi.

Si kembar identik itu menaiki tangga dengan perlahan. Tak lama kemudian kaki mereka berhenti di depan pintu berwarna putih.

Warna hijau tosca mendominasi ruangan itu, harum bunga semerbak di kamar itu. Beberapa tanaman gantung terlihat di sudut-sudut dinding. Ruangan itu benar-benar terlihat hidup berkat kecintaan Reha terhadap alam.

"Mama!" Lyshi dan Era langsung berlari memeluk Reha yang duduk di tepi ranjang. Kondisi Reha  sudah cukup membaik, tapi tidak dengan hatinya.

Reha mengecup puncuk kepala putri kembarnya. "Kalian dari mana aja sampai keringatan begini?" ujarnya meneliti penampilan anak gadisnya, terlebih Lyshi. Pakaian anak sulungnya itu sudah dibanjiri oleh keringat, tak lupa helaian rambut yang berlomba-lomba menutupi wajah Lyshi.

Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lyshi kamu kok seperti orang gembel. Mandi sana, Era juga mandi sana. Nanti kalau sudah selesai temui mama di meja makan, ya. Kita harus ngobrol," titah Reha diangguki oleh Lyshi.

Era dan Lyshi keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar mereka untuk memenuhi perintah Reha.

Fandi yang sedari tadi berdiri di depan pintu kini mendudukkan diri di samping Reha. 

Ruang yang tadinya bising sekarang menjadi hening. Reha tak berniat membuka suaranya.

"Re?" panggil Fandi mencarikan suasana. Reha yang merasa namanya dipanggil menolehkan kepalanya.

"Kenapa?" garis tanya muncul di dahi Reha.

Fandi meringis mendengar nada dingin Reha. Dia ingin Reha yang cerewet kembali, tapi dia tak bisa berbuat banyak. Lagian yang membuat Reha berubah jadi dingin adalah dirinya.

Dia melirik Reha, "Soal tadi malam ak~" ucapnya terpotong.

"Tidak usah dibahas lagi. Jadi kapan mas mengajukkan surat ke pengadilan?" potong Reha memunggungi Fandi, dia tak kuasa melihat wajah suaminya.

Jantung Fandi berdetak kencang, rasa cemas terlukis di wajahnya. "Anak-anak gimana?" 

Reha memejamkan matanya. "Soal anak-anak Reha akan beritahu habis ini. Mereka pasti ngerti, terlebih Lyshi." 

"Aku takut anak-anak terluka. Tetap bersama menurutku adalah hal terbaik," ujar Fandi dihadiahi tatapan menusuk dari Reha.

Wanita itu memandang suaminya dengan nyalang. "Tidak usah egois!" 

Reha pikir Fandi sangat egois, dia berkata seperti itu seolah hati Reha tak terluka. 

Memang siapa yang memulai? Fandi, kan. Jika malam itu dia tak memilih Ana semuanya akan baik-baik saja. Sebenarnya sudah terpikir di benak Reha untuk membujuk Fandi, membujuk agar suaminya tetap mempertahankan rumah tangga mereka yang sudah hampir berumur tujuh tahun itu. Tapi harapannya pupus setelah tanpa sengaja melihat pesan di ponsel Fandi yang dikirim oleh Ana.

Bahkan mereka sudah merencanakan tanggal pernikahan, hati Reha tentu tambah terluka setelah mengetahui kenyataan itu.

Berpisah memanglah pilihan terbaik.

Air bening itu keluar begitu saja dari kedua netranya. Reha membekap mulutnya menahan agar tak mengeluarkan isakan. Reha menghela napas panjang guna menenangkan hatinya. Meraup wajah, menghapus air mata yang ingin kembali keluar dari kelopak matanya.

"Mas Fandi sudah memilih Ana, berarti mas harus melepaskan Reha. Jangan egois!" 

Fandi bungkam, dia tak bisa menanggapi ucapan Reha. Ya, dia memang egois.

Reha bangkit dari duduknya, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan. Fandi mengekor di belakang Reha.

Setelah menuruni beberapa anak tangga mereka sampai di ruang makan. 

Lyshi dan Era sudah terlihat di meja makan, mereka menunggu kedatangan orang tuanya dengan senyum merekah. Fandi semakin merasa bersalah.

"Mama habis nangis, ya?" tanya Era, adik Lyshi memang paling peka terhadap sekitarnya, tak seperti Lyshi.

Reha memalsukan senyum, "Engga. Tadi mata mama kena sabun waktu mandi, jadi pedih."

Era mengangguk paham.

"Mau ngobrol apa, ma? Tadi katanya mau ngobrol," tanya Lyshi membuat Reha tersadar akan tujuan awalnya.

Reha menoleh ke arah suaminya. Fandi menggelengkan kepala seolah tak sanggup menjelaskan kepada kedua putrinya. Reha menghela napas, mau tak mau harus dia yang menjelaskan.

"Lyshi, Era .... " Reha memejamkan matanya dengan rapat, "Mama sama papa akan berpisah. Mama sama papa akan bercerai."

Wanita itu menundukkan kepalanya tak sanggup melihat ekspresi putrinya.

"Hahaha ... cerai itu apa? Cerai itu bahasa Indonesianya Buah Cerry, ya?" tawa Era menggeleger. Dia tak tahu apa-apa, gadis itu tertawa dengan ringan tanpa melihat ke arah Lyshi yang sudah berderai air mata.

Sudut bibir gadis kecil itu menangis pilu. "Kenapa? Kenapa ma, pa?" Lyshi menangis histeris menggoyang-goyangkan bahu kedua orang tuanya. Era yang melihat itu terbengong-bengong.

Fandi dan Reha seolah bisu, mereka tak bisa menjawab tanya Lyshi. Hati mereka sudah terlanjur lemah mendengar isak pilu putrinya.

"Apaan sih kak? Mama sama papa itu mau beli Buah Cerry, ngapain kakak nangis? Harusnya seneng dong," Era kembali tertawa, dan itu membuat kedua orang tuanya semakin merasa bersalah.

Lyshi menatap Era dengan tajam. "Diam kamu!" gadis itu terlanjur emosi hingga tak sadar membentak adiknya.

Era terkejut mendengar bentakan Lyshi, selama ini kakaknya tak pernah semarah ini. Era menangis histeris karena tak menyangka akan dibentak oleh Lyshi. Kakaknya yang biasanya dipenuhi dengan canda tawa kini berubah menjadi iblis di mata Era.

Ruang makan itu sangat bising, suara tangis saling bersahut-sahutan.

"Ma, pa ..... kenapa? Pasti gara-gara tante sialan itu, kan! Lyshi harus bunuh orang itu!" ia menangis histeris. Gadis itu beranjak hendak menuju dapur untuk mengambil pisau, tetapi langsung ditahan oleh Reha.

Reha mendekap tubuh mungil Lyshi. Menyalurkan ketenangan, memberi pengertian tak kasat mata bahwa dendam tak perlu dikobarkan. Wanita itu menepuk pundak Lyshi berkali-kali, harap-harap bisa menjinakkan putri sulungnya yang sedang tersulut emosi.

Lyshi perlahan mulai tenang, dan kini kesempatan Reha untuk menjelaskan. "Lyshi sayang, dengerin mama. Ini bukan salah tante Ana, mama sama papa berpisah karena sebuah pilihan. Lyshi akan paham jika sudah dewasa nanti."

Tangis Era perlahan juga mulai reda melihat kakaknya yang terduduk lemah. Walau sebenarnya Era tak paham dengan apa yang mereka bahas, otaknya masih terlalu dangkal untuk memahami permasalahan orang dewasa. Yang ia tangkap dari keributan ini hanya satu, Ana-adik Elsa Frozen telah membuat mama dan papanya batal membeli Buah Cerry. Ya, itu yang dia tahu, padahal kenyataanya lebih parah dari itu.

Lyshi melepaskan diri dari dekapan Reha, ia berdiri. "Apapun alasannya Lyshi kecewa sama kalian!" sarkasnya kembali berlinang air mata. Lyshi meninggalakan ruangan itu, ruangan yang menjadi kisah tragis keluarganya.

Era yang melihat kepergian kakak kembarnya ikut beranjak, dia menatap wajah Reha dan Fandi. "Era juga kecewa sama kalian. Cuma gara-gara Ana kalian nggak jadi beli Buah Cerry, kalian pelit! Era kecewa sama kalian," dia berlari mengejar kakaknya yang sudah menaiki beberapa anak tangga.

Lagi-lagi mereka merasa bersalah, sangat! Mereka sudah membuat kedua putrinya bersedih. Apa lagi mendengar ucapan Era, anak bungsunya tak tahu apa-apa, bahkan Era salah mengartikan konteks.

Lyshi langsung meringkuk di atas kasur, ia menggigit guling kecilnya guna meredahkan isak tangis. Napasnya tersendat-sendat, udara sulit memasuki rongga hidungnya karena tak kunjung berhenti menangis.

Era tiba di kamar, dia menghampiri kakaknya yang meringkuk di atas kasur. Jemari kecilnya menepuk bahu Lyshi berkali-kali. "Kak, udah dong jangan nangis lagi. Nanti kita beli cherry sendiri aja, sama Rama juga biar rame. Nggak usah kasih tau mama sama papa," dia berkata ringan seolah tak terjadi apa-apa. Ya, dia memang belum mengetahui apa-apa.

Tangis Lyshi semakin pecah mendengar ucapan Era, ia tak tega dengan adiknya. 

Lyshi menyeka air matanya, ia tersenyum dan meraih jemari Era. "Ra, bukan itu, ini bukan persoalan Buah Cerry. Mama sama papa akan bercerai, bukan beli Buah Cerry. Lyshi harap kamu cepat ngerti."

"Terus apa?"

Ia menatap iba adiknya, "Ra, cerai itu artinya berpisah. Mama sama papa bakal berpisah, nggak bisa makan bareng lagi, ketawa bareng, jalan-jalan bareng."

Hanya itu. Kata-kata yang bisa ia jelaskan kepada Era.

"Jadi mereka nggak bisa berduaan lagi? Mereka nggak bisa main bareng kita lagi? Nggak bisa nemenin kita main lagi? Mereka ngg~" belum selesai Era berucap, belum selesai dia mengungkapkan keluh kesahnya. Lyshi sudah duluan mendekap tubuh mungilnya, kini gilirannya menenangkan Era.

Isakkan terdengar keluar dari mulutnya. Lagi dan lagi. Air mata lagi dan lagi terjun membasahi pakaian yang melekat di tubuhnya. Bajunya awut-awutan, hidungnya memerah.

Kedua gadis kecil itu menangis sembari berpelukan. Mereka menangis tergugu menghayat hati.

Biarlah senja menjadi selimut keduanya. Biarlah senja menyaksikkan kehancuran kedua gadis itu. Kehancuran yang menerpa hati, membelah insan.

Sore itu akan menjadi kenangan terkelam mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status