Share

4 ) Pergi

Matahari telah kembali ke peraduannya, menebarkan rona keemasan di langit cerah. Menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru negeri.

Siang itu matahari bersinar dengan terik, seterik jiwa Lyshi. 

Hari ini menjadi hari yang sangat ingin Lyshi hindari, meski ia tahu tak akan bisa menghindarinya.

Tak terasa penceraian kedua orang tuanya telah terjadi, baru saja hakim memukul palu, mengumumkan putusnya hubungan sakral kedua orang tuanya. Hubungan Fandi dan Reha kini hanya sebatas angan, telah usai dan tak akan bisa kembali seperti semula.

Sedari sidang Lyshi hanya diam, ia tak sanggup melontarkan kata. Perpisahan kedua orang tuanya membuatnya amat terpukul, dadanya sesak menerima fakta penceraian itu.

Fandi menatap pundak Lyshi, putri sulungnya terus saja menunduk. "Lyshi, jangan nunduk terus. Papa minta maaf, tapi semuanya sudah terjadi, kamu harus berusaha menerima," ujarnya membelai surai kecoklatan putrinya.

Lyshi tak menanggapi. Reha rasa dia perlu turun tangan. 

"Lyshi, dengerin mama ...... kamu harus berusaha menerima, semuanya sudah terjadi, sudah tidak bisa diperbaiki lagi, karena apa? Karena semuanya sudah sia-sia." Reha menepuk pundah Lyshi berkali-kali.

Gadis itu mendongakkan kepala, menatap teduh netra Reha. "Iya. Lyshi akan berusaha menerima," ia mengucapkan kata yang membuat kedua orang tuanya menghela napas lega, tapi tak sampai di situ.

"Tapi ... izinin Lyshi ikut mama ke Bandung." Lyshi mengusap matanya, kemudian meraih tangan Reha.

Suasana di depan gedung pengadilan diliputi ketegangan.

Pendapat pro dan kontra tentu akan mewarnai kata yang baru saja Lyshi lontarkan.

Dengan senang hati wanita itu akan mengajak putri sulungnya, namun Reha tahu dia tak boleh egois, apalagi melanggar hak yang telah ditetapkan.

Hak asuh Lyshi jatuh ke tangan Fandi. Hakim telah memutuskan semuanya, dia hanya perlu menerima. Walau sebenarnya yang Reha inginkan adalah hak asuh kedua putrinya.

Reha menggeleng. "Nggak bisa, sayang. Kamu harus ikut papa kamu, sekarang dia yang berhak penuh atas Lyshi," ujar Reha memandang Lyshi penuh perhatian.

Lyshi ikut menggeleng, ia memutar kepala ke arah Fandi. "Pa, Lyshi ikut mama, boleh ya." Kedua tangannya bertumpu.

"Nggak. Kamu harus tetap sama papa," putus Fandi tanpa bantahan.

Gadis berkuncir kuda itu memandang Era dengan iri. Mengapa harus ia yang ikut papanya? Mengapa bukan Era? 

Lyshi berdiri dengan lesu. "Buat apa? Biar Lyshi disiksa sama Tante Ana? Iya pa?" 

Wanita berambut pendek itu langsung menoleh ke arah Lyshi, dia Ana. "Nggak Lyshi, Tante Ana nggak akan nyiksa Lyshi. Tante janji," pungkas Ana melengkungkan senyum.

Ia berdecit. "Apa jaminannya? Ap-" serunya terhenti.

"Ly, sudah. Tante Ana baik, papa sudah lama mengenalnya." Fandi memandang Lyshi dengan gusar. Mengapa putri sulungnya berkepala batu sekali?

Lyshi memejamkan matanya. Sudahlah, ia pasrah. Berontaknya tak akan membuahkan hasil, debatnya tak berguna untuk mengetuk hati Fandi.

Netranya menangkap langit. Matahari yang tadi bersinar terik kini bersembunyi di balik awan hitam. Langit yang semula terang dan cerah berubah menjadi murum.

"Ly."

Ia menoleh ke sumber suara, matanya memincing. "Kenapa?"

"Sudah mau hujan, mama sama Era berangkat sekarang ya." Mulut Reha berucap penuh keterpaksaan.

Telinga Lyshi berdengung mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Reha. Mereka tetap akan pergi? Batinnya bertanya. Bodoh! Seharusnya batinnya tak perlu bertanya seperti itu, karena Reha pasti akan tetap pergi, seolah itu adalah keharusan.

Ia berdehem pelan. "Hn, terserah."

Reha menggandeng Era, wanita itu berjalan mendekati Lyshi. 

Tangan yang tadinya menggandeng Era terlepas. Reha memeluk Lyshi dengan erat, seolah pelukan itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Era melihat semua itu, raganya tersihir untuk ikut memeluk kakaknya.

Mereka bertiga berpelukan. Reha harap waktu dapat berhenti sekarang juga, agar kebersamaan terus menyertai mereka, hingga tak ada lagi cela untuk memutus kebersamaan itu. 

Tangannya mendekap kedua putrinya dengan erat, dia cukup terluka menyadari Lyshi tak membalas pelukannya. Bukan masalah besar, bukanlah keseharusan untuk Lyshi membalas pelukannya.

Angin berhembus sedikit kencang. Tidak lama kemudian hujan turun dengan perlahan, belum terlalu deras. Di atas sana awan semakin menebal, saling menggulung dan menggumpal. Warna putih tak lagi mendominasi. Gelap dan mengerikan, begitulah keadaan di atas sana.

Air mata Reha turun. "Lyshi. Kamu jangan nakal ya, jangan susah makan, kalau tidur jangan sampai larut malam. Sebentar lagi Tante Ana jadi mama kamu, turutin apa kata beliau yang sekira Lyshi itu adalah hal benar. Mama sayang Lyshi," pesan Reha mencium jemari Lyshi.

Lyshi mengangguk, matanya mulai menggenang.

Kini giliran Reha menghadap Fandi. Pria itu berdiri berdekatan dengan Ana, entah itu kebetulan atau bukan. 

Reha menatap Fandi, dia masih tak menyangka pria yang dulu adalah suaminya kini bukanlah siapa-siapanya lagi.

Kebersamaan 7 tahun lalu akan terus membekas di hatinya. Mungkin kebersamaan itu bagi Fandi hanya sebatas hal semu, pikir Reha mengingat hal itu.

"Mas Fandi, tolong jaga Lyshi. Dan Reha harap Mas Fandi tidak membentak Lyshi, karena hatinya mudah rapuh." Fandi menggangguk. 

Beralih pada Ana, dia meneliti wanita itu. Tak salah Fandi memilih Ana, wanita itu sungguh anggun, cantik dan beraura dewasa. Jika dibandingkan dengannya, Reha akan kalah jauh. Ana yang dewasa dan Reha yang konyol,  perbandingan macam apa itu?

Tangannya meraih jemari Ana. "Mbak, tolong anggap Lyshi sebagai anak sendiri, ya. Tolong bimbing Lyshi, dia butuh kehangatan seorang ibu, Reha harap Mbak Ana bisa turutin permintaan Reha." 

Wanita itu tersenyum. "Nggak usah khawatir, Re." Ana menepuk pundak Reha sebagai penyakinan.

Sesi itu telah usai, petuah-petuah sudah dia sampaikan. Sekarang hati Reha mulai sedikit lega untuk meninggalkan Lyshi.

Reha sudah berada di kursi kemudi, dia masih menunggu Era, entah apa yang dilakukan oleh putri bungsunya.

Dari dalam mobil Reha terus memantau Era, menunggu apa yang akan dilakukan oleh putri bungsunya. Jika Era terlalu lama di luar sana dia akan meninggalkannya, lihat saja!

Di luar sana Era terlihat ragu, sesekali dia menatap maniak Lyshi. Berani, dia harus berani!

"K-ak?" Lyshi menoleh mendengar panggilan kaku Era, dahinya berkerut.

Era menautkan kedua jarinya. "Kak, Era berangkat dulu ya. Kakak sehat-sehat di sini ya. Oiya, ini berbie buat kakak." Era menyodorkan berbie berukuran mini.

Mata Lyshi berkelebat, garis tanya terlihat di dahinya. Ia menggeleng ragu. "Nggak mau, Lyshi nggak suka berbie."

Apa Era lupa jika kakaknya tak menyukai boneka, apalagi berbie? 

"Ambil aja, kak. Era nggak nyuruh kakak buat suka sama berbienya. Kakak simpen aja di lemari, anggap sebagai kenang-kenangan," tukas Era mendekap tubuh Lyshi.

"Kak, kalau Tante Ana jahat pukul aja pakai berbie itu. Kalau perlu nanti Era kirim Elsa Frozen, biar Tante Ana dikutuk jadi es," lirih Era di telinga Lyshi. Wajahnya yang semula datar kini melengkungkan senyum mendengar petuah bernilai humor yang Era lontarkan.

Setelah mengatakan itu Era segera menuju mobil Reha. Lyshi menatap bahu adiknya yang semakin menjauh, ada rasa tak rela yang mengganjal di hatinya. Entah bisakah ia melewati hari tanpa kehadiran Era mengingat kedekatan keduanya.

Perlahan mobil yang dikendari oleh Reha mulai menjauhi gedung pengadilan. Tubuh Lyshi mematung melihat kepergian mereka, air matanya kembali terjun. 

Kala mobil berwarna putih itu berbelok menuju jalan raya, kaki Lyshi tergerak untuk mengejar mobil itu. Kaki kecilnya berlari, ia harap dapat menggapai mobil yang mulai tak terlihat itu. 

Tapi sia-sia, mobil itu sudah hilang. Tak ada lagi arah tuk mengejar mobil putih itu. 

"M-mama, Lyshi ikut."

Gadis itu menangis sesegukan, ia terduduk pilu di atas aspal. Bulir hujan menetes dengan deras, membasahi tubuh Lyshi. Orang-orang memandangnya dengan iba, tak ada hati yang tergerak untuk membantu Lyshi.

Kilatan cahaya merah memecah awan hitam di langit. Menghasilkan dentuman suara yang begitu memekakan gendang telinga. Keadaan semakin kacau, tak hanya sekali, petir menyambar berkali-kali.

Lyshi bangkit dari duduknya, sejenak ia menatap langit, mencari raut kebohongan yang langit sembunyikan atas nasibnya hari ini.

Ia menggigit bibir bawahnya berulang kali, berharap bisa meredahkan tangis yang menyesakkan hati. "M-mama! Era! Jangan tinggalin Lyshi ..." ia meraung kecil.

"Lyshi, ayo pulang." Fandi membopong putri sulungnya. 

Lyshi berontak, ia tak mau pulang. Yang Lyshi inginkan hanya Reha dan Era, hanya itu yang ia harapkan.

Fandi tak peduli, dia tetap membopong tubuh Lyshi dan mendudukkannya di kursi mobil.

Tangan pria itu memutar kunci hendak menyalakan mobil, namun tertahan oleh tangan Lyshi.

Ia menatap nyalang ke arah belakangnya, di sana terdapat Ana dan Dika-putra kandungnya.

"Pa? Lyshi cuma mau sama papa. Suruh tante itu turun, Lyshi nggak mau satu mobil sama dia," ujarnya menekankan kata 'dia'.

Pria yang notabene adalah papa Lyshi hendak melayangkan protes, namun tertahan oleh Ana.

"Sudah, Fan. Aku bisa kok pulang sendiri, kamu pulang saja sama Lyshi. Kasihan Lyshi, dia sedang sedih, ada baiknya kamu menurut." Ana membuka pintu mobil dan keluar bersama Dika.

Fandi sebenarnya tak tega, apalagi sedang hujan deras begini. Tapi Ana tidak mempersalahkan hal  itu, jadi mengapa harus dipikirkan? Lebih baik dia menenangkan putri sulungnya.

"Pa, Lyshi nggak mau pulang," ujarnya pelan.

Dahi pria itu berkerut, sebenarnya apa yang Lyshi inginkan? Diajak pulang ke rumah tak mau, lantas kemana? Ke kuburan? 

"Lyshi mau ke lapangan komplek," imbuhnya.

Fandi mengangguk. Mungkin Lyshi ingin menenangkan pikirannya dengan bermain bola, pikir Fandi. Tapi masalahnya sedang hujan, tapi tak apa, seperti kata orang, 'hujan bisa membuat orang melupakan kesedihannya'. Dia harap kesedihan Lyshi berangsur pulih.

Pukul 4 sore mereka sampai di lapangan komplek. Hujan masih belum juga reda, seolah masih memiliki persediaan air hingga enggan menjeda barang sejenak.

Fandi menunggu Lyshi di dalam mobil, sebenarnya tadi dia hendak ikut turun namun dilarang oleh putrinya. 

Lyshi duduk menunggu dengan jaket kebesaran milik Fandi. Ia tak mempedulikan rintik hujan yang membasahi tubuhnya, tadi Fandi memberinya payung tapi ia tolak dengan alasan percuma.

Tak berselang lama Rama datang dengan payung di tangannya. Lelaki kecil itu melambaikan tangannya ke arah Lyshi. 

Semua terjadi tiba-tiba, seolah kedua anak itu sudah berjanjian untuk datang sore itu, padahal tidak.

Dahi Rama berkerut melihat tubuh Lyshi yang basah kuyup, raut khawatir tertanam di wajahnya. "Rora, kok kamu basah kuyup? Kamu kabur dari rumah?" tanya Rama bertubi-tubi.

Lyshi menggeleng. "Rama kalau ngomong suka ngawur."

Rama meringis kecil. "Habisnya kamu basah semua, aku kira kabur dari rumah. Eh? Sebentar .... kok hidung kamu bengkak, matanya juga. Kamu habis nangis, ada yang jahatin kamu? Bilang sama aku, biar aku hajar." Rama duduk menyelisik.

Yang membuat Lyshi menangis adalah Reha, apakah Rama berani menghajar Reha?

"Mama... mama sama Era pergi." Tubuh yang tadi bertumpu pada kursi kini menubruk tubuh Rama. Beruntung Rama sigap menangkap, jika tidak tubuh mereka pasti akan berakhir mengenasakan di atas rumput.

Ia memutar tubuh menghadap Rama, mata bengkak itu kembali mengeluarkan air mata. "Rama jangan kaya mereka, ya. Jangan tinggalin Rora," pintanya.

Rama menggeleng. Bukan menggeleng sebagai penyakinan bahwa dia tak akan meninggalkan Lyshi, tapi menggeleng seolah mengatakan bahwa dia juga akan pergi.

"Nggak Ra, aku juga akan pergi seperti mereka. Hari ini, sore ini ... aku akan pergi." Tangan Rama menangkup pipi gembul Lyshi. "Tapi aku janji Ra, aku janji akan kembali," ucapnya meneruskan kata.

Gadis itu menangis sesegukan, ia menggeleng kuat. "Jangan pergi,  jan~" ia menelan kembali ucapannya saat melihat Rama mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Kalung. Rama mengeluarkan kalung berliontin bola, sangat indah. Kalung itu adalah kalung perak, bandulnya berbentuk bundar dengan motif hitam putih segi lima. 

Rama memasangkan kalung itu di leher Lyshi. Tampak sangat elegan.

Mata Lyshi berbinar. "Ram, ini buat Rora?" ujarnya membolak-balikkan kalung berliontin itu.

"Iya, itu buat kamu. Kalung itu bukan sekedar kenangan, kalung itu dirancang sendiri oleh bundaku. Jadi cuma ada satu di dunia," serunya penuh kewibawaan. Percayalah, jika ada orang lain yang mendengar ucapannya, mereka tak akan percaya bahwa Rama masih berusia 6 tahun.

Ia mengerutkan kening. "Terus?"

"Artinya kalung itu harus kamu pakai terus, dan jangan sampai kamu hilangin. Karena kalung itu akan menjadi petunjuk buat aku cari kamu." Lyshi mengangguk.

Lyshi menatap Rama penuh arti. "Janji ya bakal cari Rora. Tapi Rora nggak ngasih apapun ke Rama. Nanti caranya Rora cari Rama gimana?" tanya Lyshi dengan polos.

Tangan Rama terangkat dan mengacak surai kecoklatan Lyshi dengan gemas. "Kamu nggak usah cari aku. Biar aku yang cari kamu, kamu tunggu aja. Nanti kalau aku udah balik dari Tokyo, aku langsung cari kamu."

Sekedar info, sore ini Rama akan terbang ke Tokyo. Alasan itulah yang membawa kakinya menemui Lyshi.

Gadis itu mengangkat jari kelingkingnya. "Janji bakal cari Rora, janji bakal nemuin Rora," lontar Lyshi 

Rama menganggukkan kepala, kelingkingnya membalas uluran Lyshi. "Aku janji."

Bukankah perjanjian anak kecil terkesan konyol? Memang, perjanjian anak kecil memanglah konyol. Tapi, tahukah bahwa kemungkinan anak kecil untuk mengingkari janji sangat kecil? 

Banyak hal yang Lyshi tahu hari ini, banyak kejadian beruntun yang didapatinya hari ini. Orang-orang yang disayanginya pergi pada waktu bersamaan. 

Awalnya Lyshi menyumpah-serampahi hari ini, hari yang membuatnya banyak menumpahkan air mata, hari paling terkutuk dalam hidupnya. Namun asumsi itu ia lenyapkan, seharusnya ia menganggap hari ini sebagai hari bersejarah. Ya seharusnya ia menganggapnya seperti itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Makhluk Sutra
Lyshi yang malang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status