Rheyner menenggak kaleng coke-nya hingga tandas. Hal itu langsung mendapat decakan dari si Kembar, Damar dan Rama. Malam ini mereka sedang berkumpul di rumah—kamar—Rheyner, rutinitas setiap malam minggu. Akhir-akhir ini Rheyner terlihat lebih srampangan.
Pintu balkon sudah dibuka sedari tadi. Pandangan Rheyner kerap kali mengarah keluar, ke seberang kamarnya. Hal tersebut tidak luput dari pengamatan si Kembar. Padahal pintu dan jendela balkon di seberang tertutup rapat.
“Bro, lo ngapa, dah?” tanya Rama tidak tahan.
“Gue?” Rheyner pura-pura tidak mengerti.
Heyho, terima kasih untuk yang baca sampai di sini.
Hari ini adalah hari pertandingan terakhir Rheyner sebelum ‘pensiun’ dari jabatannya sebagai kapten tim basket SMA Bakti Bangsa. Rheyner keluar dari kamar dengan seragam basket kebanggan sekolahnya. Ketika akan menuruni tangga, mata hitamnya bertemu dengan sepasang mata bersorot lembut. Nadira Almira. Kedua sudut Rheyner terangkat. Ia mempercepat langkahnya menghampiri Nadira. “Vitamin kamu habis, ‘kan?” Nadira menyodorkan satu botol kaca berisi pil suplemen makanan. “Makasih.” Rheyner menerima dan mengacak rambut halus Nadira. “Harus menang, ya,” kata Nadira sembari menuruni tangga di rumah Rheyner. “Lo dateng, dong, biar gue semangat menangin pertandingan.” “Iya, ntar aku sama—”
Josaphat memarkirkan mobilnya asal di parkiran SMA Bakti Bangsa. Ia berlari kecil menuju bangunan utama Sbasa. Ia tidak tahu harus mencari ke mana sebenarnya. Ini pertama kalinya Josaphat masuk ke Sbasa. Di ujung koridor Josaphat melihat Rama, kembaran Damar—temannya. Ia tidak tahu bagaimana bisa Rama berada di sana. “Ram?” Josaphat menghampiri Rama. Rama menoleh dengan wajah kalut dan tangan memegang ponsel. “Hei, Jo! Lo udah ada clue ke mana Dira pergi?” Josaphat menggeleng. “Nggak sama sekali. Terakhir dia bilang mau nonton Rheyner tanding. Setelah itu dia nggak ada hubungin gue. Gue juga lagi sibuk latihan band.” “Tadi waktu Panji hubungin gue dan bilang kalau Dira hilang, gue
Sherin menatap Rheyner yang terlihat muram. Ini sudah hari kedua ia melihat penampakan Rheyner yang seperti itu. Sejak penculikan yang dialami Nadira tiga hari lalu, pacarnya itu berubah. Rheyner jadi pendiam dan bawah matanya terlihat menghitam. Dua tahun sekelas dengan Rheyner baru kali ini Sherin melihat Rheyner yang pendiam. Kemarin Sherin pun dibuat shock oleh Rheyner. Dua kali ia melihat Rheyner murka. Hari ketika Nadira menghilang dan kemarin ketika Rheyner kembali berhadapan dengan pelaku penculikan Nadira. Ketika menemukan Anita cs di gudang, Rheyner pasti memukul mereka kalau saja Sherin dan teman-teman Rheyner tidak datang. Lalu kemarin saat Anita cs, Rheyner, Sherin, dan Putri dipanggil ke ruang kepala sekolah. Sherin bertanya dalam hati apakah Rheyner aka
Nadira melingkarkan tangannya ke lengan Josaphat dengan ragu. Wajahnya terasa panas. Seakan mengerti perasaan Nadira, Josaphat mengeratkan belitan tangan Nadira pada lengannya. Malam ini Josaphat merayakan ulang tahun yang kedelapan belas. Ia tidak merayakan besar-besaran, hanya mengundang beberapa teman dekat di salah satu kafe milik pamannya.Nadira tampak cantik dengan dress kasual berwarna putih yang panjangnya 5 senti di bawah lutut. Terlihat sangat anggun. Sementara Josaphat hanya mengenakan kaus berkerah berwarna biru gelap dan celana jeans hitam. Namun, keduanya terlihat serasi.Josaphat menarikkan kursi untuk Nadira duduk yang kontan saja mendapat suitan dari teman-temannya.“Cielah … udah berasa nonton film
Bima memasuki kamar Rheyner setelah mengetuk sekali. Bima dapat melihat Rheyner sedang duduk di meja belajar. Bukunya terlihat berantakan.“Nih, disuruh minum susu sama Mama.” Bima meletakkan segelas susu di atas meja yang terlihat lowong. Rheyner hanya melirik sekilas.Bima mundur dan merebahkan tubuh di ranjang. “Mas, ‘kan udah habis ujian semester kok masih belajar.”“Ya biar pintar, lah. Pakai nanya lagi.” Rheyner menjawab tak acuh. Rheyner bahkan tidak benar-benar menghiraukan keberadaan Bima.“Mas, Mbak Dira kok jarang ke sini ya?”“Hm.”“Udah jarang main b
Rheyner berjalan memasuki kantin. Teman-temannya mengabari bahwa mereka berada di kantin. Beginilah suasana class meeting. Kantin akan menjadi tempat paling ramai dan kelas akan menjadi ruang yang sepi tanpa penghuni. Panji melambaikan tangan ketika melihat Rheyner mencari keberadaannya. Rheyner langsung menghampiri saat melihat Panji. Di meja itu ternyata ada Sherin dan Ina. “Lo pada berangkat jam berapa?” tanya Rheyner yang heran melihat teman-temannya sudah di sekolah. “Kayak jam masuk sekolah dong,” jawab Arfa. “Gayaan banget, sih. Biasanya kalau class meeting juga milih tidur di rumah,” cibi
Rheyner masih bergelung nyaman di balik selimut. Jam digital di nakas padahal sudah menunjukkan pukul 07.30. Selepas salat Subuh di masjid ia kembali terlelap hingga kini. Gedoran pintu tak membuat Rheyner merasa terganggu. Pintu kamar akhirnya dibuka dengan kasar. “Mas, mbok bangun. Itu adik-adikmu udah berangkat sekolah dari tadi, lho. Kamu nggak berangkat juga?” Shinta berkacak pinggang di samping ranjang Rheyner. “Mas!” Rheyner masih belum menyahut. “RHEYNER ADITYA!” Shinta berteriak dibarengi dengan tangannya yang menabok lengan Rheyner. “Rheyner nggak sekolah, Ma,” gumam Rheyner masih dengan mata terpejam.
Rheyner menghentikan motornya di sebuah mal yang mereka lewati sebelum sampai di rumah. Rheyner dan Nadira berniat untuk makan malam. Jam makan malam di rumah sudah lewat sehingga mereka memutuskan untuk makan di luar saja setelah memberi kabar orang rumah.Nadira mengalungkan lengannya pada lengan Rheyner ketika mereka berjalan menuju tempat makan yang berada di lantai tiga. Sesekali Nadira tertawa geli dengan ucapan yang Rheyner bisikkan. Rheyner mengomentari setiap orang yang mereka lewati. Nadira mencubit lengan Rheyner jika pemuda itu sudah mulai keterlaluan.Rheyner dan Nadira masuk ke restoran Jepang yang ada di mal itu. Duduk berhadapan dan sibuk memilih menu. Setelah pelayan pergi, Rheyner membuka obrolan.“Nad, gue sama anak-anak Valensi mau bisnis kecil-kecilan. Menurut lo gimana?” Valensi ada