ВойтиPerjalanan menuju rumah terasa panjang, meski sebenarnya cuma 20 menit. Yuki duduk di kursi penumpang SUV hitam Arga dengan gaya seperti detektif gadungan. Matanya celingak-celinguk, memeriksa setiap sudut mobil.
Interior mobil rapi banget. Dashboard mengkilap, botol minum tertata, dan aroma wangi khas mobil baru. Tapi yang bikin Yuki paling lega adalah... tidak ada tanda-tanda perempuan lain pernah duduk di sini. Nggak ada hair clip nyangkut, nggak ada parfum cewek norak, bahkan tisu basah pink juga nihil. "Syukurlah... mobil steril dari jejak wanita," gumam Yuki pelan sambil menatap selimut dan bantal di jok belakang. Paling-paling dipakai Arga kalau ngantuk pas nyetir. Wah, wholesome banget. Begitu sampai rumah, Sarah sudah berdiri di depan pintu, persis kayak satpam kompleks yang rajin shift malam. "Loh... kakak mana?" tanya Sarah begitu melihat Yuki turun. "Kakak masih di kampus, Ma," jawab Yuki sambil mencium punggung tangan ibunya dengan manis. Sarah lalu menoleh ke Arga yang baru saja keluar dari mobil. "Nak Arga, ayo masuk dulu. Tante masak makan malam," ajaknya ramah. "Ah... gak usah, Tan—" "Udah jangan malu-malu. Sini, ikut tante." Tanpa banyak bicara, Sarah langsung menggandeng tangan Arga. Yuki yang lihat itu langsung ngedumel dalam hati, wah, Ma... segesit ini kalau ngajak cowok ganteng masuk ya, giliran aku bawa Zara main ke rumah, alasannya 'lagi sibuk'. Tak berselang lama, suara mesin mobil terdengar di garasi. Kairo pulang dengan wajah kusut karena tugas seabrek. Tapi begitu masuk rumah dan melihat Arga sudah duduk manis di meja makan bareng adik dan mamanya, ekspresi Kairo seketika berubah jadi... apa-apaan ini?! Keempat orang itu akhirnya duduk bersama. Sarah dengan sigap menumpuk piring Arga penuh lauk pauk—ayam kecap, sayur sop, tempe goreng, bahkan sambal buatan sendiri. "Makan yang banyak ya, Nak. Tante jago masak loh, walaupun lebih sering di meja operasi," ucap Sarah sambil tersenyum. Arga terkekeh, menahan kikuk. "Pasti, Tan. Kairo udah sering cerita betapa enaknya masakan tante dibandingkan masakan kantin yang... yah, kadang hambar." Sarah senyum sumringah. Yuki di sampingnya langsung mencatat dalam hati, good move, Kak Arga. Udah dapet poin plus dari Mama. Tinggal tunggu giliran dapet hati aku. Walaupun aku yang tergila-gila sama kakak... Kairo yang duduk di seberang, cuma bisa menghela napas panjang. Udah deh, ini beneran bukan dinner keluarga lagi, tapi waktu yang menguntungkan Yuki untuk mendekati Arga. Setelah makanan di meja tandas, Sarah beranjak ke dapur sebentar lalu kembali membawa semangka segar yang warnanya merah merona. Ia tata rapi di piring, lalu menyodorkannya ke meja. "Sering-seringlah makan di sini, Nak. Tante senang kalau rumah jadi ramai. Biasanya yang bikin ribut cuma Kairo sama Yuki doang. Mereka berdua kalau ketemu kaya air sama minyak," ucap Sarah sambil menghela napas, tapi jelas-jelas matanya berbinar penuh kasih. Arga tersenyum. "Oke, Tan. Lain kali saya nggak bakal nolak kalau diajak makan lagi." Sarah mengangguk puas. Tapi momen hangat itu langsung buyar begitu Kairo membuka mulut. "Ma, si adek nih bandel banget." "Apaan sih, Kak? Tuh kan... kebiasaan ngadu!" rengek Yuki sambil manyun. "Udah dibilang jangan coba-coba bawa mobil sendiri, ngeyel banget!" seru Kairo dengan nada kesal. "Ya habisnya nggak ada siapa pun di rumah, Kak! Aku kan butuh keluar juga," balas Yuki cepat. "Jual aja tuh Mini Cooper, Ma. Adek belum becus bawa mobil. Bannya udah kena paku di jalan, terus panik, terus nelpon aku," jelas Kairo panjang lebar sambil melirik Arga, seolah mau mempermalukan Yuki. "Jangan, ih! Kak!!! Itu mobil kesukaan aku!" Yuki langsung menjerit, memeluk bantal kursi di sebelahnya seolah-olah itu Mini Coopernya. Arga menahan tawa, pura-pura serius memandang semangka di piringnya. Astaga, ini rumah apa stand-up comedy? Sarah cuma menggeleng pasrah lalu menoleh ke Arga. "Lihat sendiri kan, Nak Arga? Beginilah rumah ini. Ributnya udah kayak pasar malam. Dua bersaudara ini kalau udah mulai, nggak ada ujungnya." Arga terkekeh kecil. "Justru seru, Tan. Saya malah iri... rumah saya biasanya sepi." Kalimat itu bikin Yuki spontan menoleh, matanya membesar sebentar. Ada sesuatu di balik kata-kata Arga yang bikin jantungnya berdetak lebih cepat. Kairo, tentu saja, langsung menyambar, "Nggak usah iri, Ga. Ambil aja Yuki kalau mau ribut tiap hari." "Eh!" Yuki langsung melempar potongan semangka ke arah kakaknya. Sayangnya meleset dan hampir jatuh ke pangkuan Arga. Arga buru-buru menangkap semangka itu sambil terkekeh, "Wah, bonus dessert, nih?" Sarah menepuk dahinya sambil terkekeh. "Astaga, Yuki... anak gadis kok barbar banget." "Makanya Ma, jual aja tuh mobil. Kalau nggak, nanti ada berita viral: pengendara Mini Cooper lempar-lempar semangka di jalan raya," celetuk Kairo. Arga menunduk, berusaha keras menahan tawanya supaya nggak pecah di meja makan itu. "Ma, sebentar lagi kan ujian. Mama bisa temenin aku ke tempat ujian nggak?" tanya Yuki dengan penuh harap, matanya berbinar seolah kalau mamanya bilang "iya" dunia langsung indah. Sarah tersenyum lembut, tapi kemudian helaan napas panjang lolos dari bibirnya. "Hari Senin ya, sayang? Hm... mama sudah ada jadwal operasi di hari itu." Ia melirik Kairo. "Gimana kalau kakak yang nemenin ya? Kakak ada kuliah apa di hari Senin?" Kairo mengangkat bahu santai. "Kakak bisa antar, cuma nggak bisa nungguin. Lagian adek kan ujiannya lama. Kakak tinggal dulu, nanti pulang kakak jemput." Yuki manyun. "Yaudah gitu aja deh," gumamnya, pasrah. Sarah meraih tangan Yuki, menggenggamnya hangat. "Adek nggak apa-apa kan kalau mama nggak bisa nemenin? Mama maunya sih ada di sana." Yuki sempat cemberut lagi, tapi cepat-cepat menyingkirkan ekspresi itu. Ia tahu betul betapa sibuknya mamanya, dan kerja keras itu semua demi keluarga ini. Ia nggak mau menambah beban pikiran. "Gapapa, Ma. Mama kerja yang semangat. Temani adek di hari lain aja." Yuki memeluk lengan mamanya dari samping, suaranya manja. Sarah tersenyum, mengusap kepala putrinya. "Pinter anak mama. Janji ya, kalau deg-degan nanti tarik napas, jangan panik." Kairo langsung nyeletuk, "Atau telepon aku. Walau ujian juga, siapa tahu panitia bisa ngasih hot spot buat curhat." "Apaan sih, Kak!" Yuki mencubit lengannya keras-keras sampai Kairo meringis. Arga yang sedari tadi diam ikut menimpali sambil menahan tawa. "Kalau kepepet, bisa juga telepon aku. Tapi... jangan suruh aku jawab soal ujian, ya. Bisa-bisa malah nggak lulus." Yuki spontan menoleh ke arahnya, matanya membulat, lalu cepat-cepat pura-pura fokus mengunyah semangka. Sementara Kairo langsung melotot ke Arga. "Lo kalau bercanda hati-hati, Ga. Itu adek gue." Arga hanya mengangkat kedua tangannya, ekspresi polos. "Santai, bro. Gue cuma nawarin bantuan darurat kok." Sarah terkekeh kecil melihat interaksi mereka bertiga. Dalam hati, ia merasa lega: Yuki punya banyak orang yang peduli padanya.Rintik hujan turun deras menimpa halaman kampus, menimbulkan suara khas seperti gemericik berjuta jarum kecil di atas atap gedung. Mahasiswa berlarian mencari tempat berteduh, beberapa pasrah basah kuyup.Yuki berdiri di depan lobi, menatap langit yang tampak suram. Untungnya, gadis itu sudah terbiasa membawa payung lipat ke mana pun, pelajaran dari sering dimarahi Kairo karena "main hujan kayak bocah TK."Ia baru hendak melangkah ke arah parkiran ketika matanya menangkap sosok tinggi berjas hitam, berdiri santai tanpa payung, tampak siap-siap menerobos hujan.Arga.Yuki mengerutkan kening. Ya ampun, ini orang gak punya insting bertahan hidup apa gimana? pikirnya.Dengan langkah cepat, Yuki mendekat dan membuka payung di atas kepala pria itu."Kak... jangan kehujanan, nanti sakit," katanya sambil sedikit menundukkan payung agar cukup menutupi bahu Arga yang lebar.Arga menoleh dan tersenyum kecil, wajahnya sedikit basah terkena percikan air."Loh! Untung ada kamu, dek," ucapnya sambil
Suasana kantin siang itu ramai seperti biasa. Suara gesekan kursi, dentingan sendok, dan aroma mie ayam memenuhi udara. Di tengah hiruk-pikuk itu, Luna duduk manis di hadapan Arga yang sedang sibuk menyantap mie ayamnya dengan khidmat, seolah semangkuk mie itu adalah persoalan paling serius di dunia.Luna menoleh kanan-kiri, memastikan Kairo tidak sedang berkeliaran. Setelah yakin aman, ia mencondongkan tubuh ke arah Arga."Ga... lo inget kan apa yang gue bilang waktu itu? Soal gue suka Kairo?" bisiknya pelan.Arga mengangkat alis, lalu menyuap mie sebelum menjawab santai, "Iya, inget. Dan tenang aja, dia gak punya pacar, Lun."Luna langsung menghela napas lega, wajahnya berbinar seperti baru dapat kabar diskon besar-besaran."Huft, syukurlah... berarti gue masih punya harapan," katanya sambil menepuk dada lega.Tepat saat itu, suara langkah kecil terdengar mendekat. Yuki datang dengan ekspresi sedikit manyun dan langsung mengerutkan dahi saat melihat Arga duduk berdua dengan Luna."O
Luna berusaha keras terlihat profesional saat berbicara dengan Kairo. Ia membawa map tebal berisi proposal kerja sama, lengkap dengan tabel biaya dan rencana promosi, tapi dari tadi matanya lebih sering fokus pada hal lain, garis rahang Kairo yang tegas, caranya menunduk ketika membaca dokumen, dan nada suara rendah yang entah kenapa terasa... menenangkan."Kalau kita ambil sponsor dari mereka, harus disesuaikan dulu sama program adopsi satwa," ucap Kairo, menunjuk lembaran kertas di tangannya."Oh, iya, iya..." jawab Luna cepat, walau jelas sekali ia tidak benar-benar paham barusan.Kairo melirik sekilas. "Kamu beneran dengerin, kan?""Iya, iya, aku denger kok!" Luna menegakkan badan, berusaha terlihat fokus. Tapi detik berikutnya, pandangannya kembali jatuh ke wajah Kairo. Ya ampun, dari jarak segini kulitnya mulus banget. Ini cowok apa skincare berjalan sih? batinnya panik.Kairo menutup mapnya dan bersandar di kursi. "Jadi, kesimpulannya, aku setuju kerja sama itu asal sistem pela
Pagi itu meja makan terasa lebih dingin daripada kulkas. Tidak ada obrolan hangat seperti biasa, tidak juga pertengkaran kecil yang biasanya bikin rumah jadi ramai.Kairo sibuk menatap nasinya, Yuki sibuk mengaduk-aduk sereal tanpa niat makan, sementara Mama Sarah hanya bisa mendesah lemah sambil memandang dua anaknya itu bergantian."Dua-duanya ini keras kepala," gumam Mama Sarah pelan, tapi cukup keras untuk membuat sendok Yuki berhenti di udara.Setelah sarapan yang lebih mirip sesi hening nasional itu selesai, Kairo langsung keluar rumah menuju mobilnya. Yuki menghela napas panjang sebelum menyusul. Ia sudah tahu, pagi ini bakal panjang.Begitu pintu mobil tertutup, suasana kembali senyap. Hanya suara mesin dan AC yang bekerja keras menembus ketegangan di antara mereka. Yuki melirik kakaknya, lalu memberanikan diri membuka percakapan."Kak..." panggilnya pelan.Kairo melirik sekilas. "Apa?!" bentaknya cepat, dengan nada seperti sirine patroli.Yuki meringis. "Jangan larang Kak Arg
Hari ini adalah kali pertama Yuki mendapat tugas kerja kelompok. Dan entah kebetulan atau nasib, dia sekelompok dengan Justin, si cowok yang sudah kena "label waspada" dari Kairo."Kerja kelompok di mana ya?" tanya Zara pagi itu sambil menenteng buku catatan."Di coffee shop depan kampus aja. Kata Justin tempatnya adem dan ada colokan," jawab Yuki berusaha biasa saja, padahal dalam hatinya sudah mulai gelisah.Sebelum berangkat, Yuki berdiri di depan cermin sambil menatap ponselnya. Jempolnya ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik pesan izin.📱: Kak, hari ini aku kerja kelompok sama teman-teman di coffee shop depan kampus. Jangan nyusul ya. Aku janji gak macem-macem.Pesan terkirim. Satu menit, dua menit... tak ada balasan."Yah... pasti lagi praktikum," gumamnya dengan lega tapi juga was-was.Ia pun mengambil tas, mengecek ulang dompet, buku, dan laptopnya, lalu berangkat dengan langkah ringan."Finally... hari tanpa pengawasan Satpam Kakak!" ujarnya pelan sambil tertawa kecil.Di coff
Ruang tamu rumah keluarga Kairo malam itu sudah seperti zona perang.Buku-buku tebal bertumpuk di lantai, stabilo berwarna-warni berserakan di mana-mana, dan Yuki duduk di tengah kekacauan itu dengan rambut dikuncir asal, wajah tegang, dan ekspresi seperti baru menghadapi soal ujian akhir."Kenapa sih harus punya tulang metacarpal lima biji?! Kenapa gak satu aja, biar gampang dihafalin?" gumamnya frustasi sambil menatap buku anatomi yang sudah penuh coretan.Ia menatap lagi satu halaman, mencoba mengingat diagram tulang radius dan ulna, tapi otaknya seperti sudah menolak kerja sama.Tiba-tiba terdengar suara bel dan aroma keju memenuhi udara."Oh hai adik!" suara ceria itu datang bersamaan dengan sosok Arga yang menenteng dua kotak pizza besar.Yuki langsung bangkit berdiri dengan wajah berseri, seolah-olah semua penderitaan anatomi sirna dalam sekejap."Hai kak! Bawa pizza... wow!!! Kamu malaikat penyelamat malam ini!" serunya sambil hampir merebut kotak itu dari tangan Arga."Pelan-







