MasukKampus hari itu seperti pasar malam. Ramai, riuh, penuh orang lalu-lalang dengan selebaran di tangan. Bedanya, bukan ada yang jualan cilok atau bakso bakar, tapi selebaran visi-misi calon ketua klub. Semua mahasiswa kelihatan heboh, seolah hari ini bakal menentukan nasib dunia.
Di pojok gedung B, Kairo duduk tegak dengan wajah serius ala calon pejabat. Di depannya ada banner sederhana bertuliskan: "Kairo Arsenio – Calon Ketua Klub Hewan Kesayangan. Visi: Hewan sehat, hati hangat. Misi: Lebih banyak vaksin, lebih sedikit drama." Orang-orang lewat dan mengangguk-angguk, karena memang visinya masuk akal, nggak lebay, dan Kairo terlihat profesional. Bahkan kucing liar yang nyelonong pun kayaknya setuju. Sementara itu, di ruangan sebelah, suasana jauh lebih... ehm... meriah. Arga berdiri di atas panggung mini, pakai kemeja casual tapi tetap berkarisma. Slide presentasinya penuh foto-foto hewan eksotik. Ada ular dengan efek kilat dramatis, bunglon warna-warni kayak lampu disko, dan kura-kura raksasa yang diberi caption "lebih sabar dari dosen killer." "Teman-teman!" suara Arga menggema penuh percaya diri. "Klub hewan eksotik ini bukan cuma tentang hobi, tapi tentang keberanian melawan rasa takut. Kalau ada yang takut sama ular, sini! Kita kenalan bareng-bareng! Kalau ada yang takut sama iguana, jangan khawatir, kita bikin jadi sahabat!" Tepuk tangan langsung menggema. Beberapa mahasiswa cowok bahkan bersiul, sementara cewek-cewek sibuk merekam pakai HP, entah karena terpesona sama Arga atau karena hewan-hewan eksotiknya. ——— Arga dan Kairo sedang adem-ademnya duduk di bangku taman kampus, masing-masing sibuk dengan komik. Kairo baca komik serius genre medis, gambar organ tubuh semua, sedangkan Arga malah baca komik petualangan dengan naga dan alien. Cocok sih, sesuai karakter masing-masing. Tiba-tiba suara familiar bikin keduanya nengok. "Dek! Ngapain ke kampus kakak?!" seru Kairo kaget, sampai komiknya hampir jatuh. Mulutnya mangap kayak orang liat setan siang bolong. "Aku cuma lihat-lihat kampus impian aja, kak. Tadi abis bimbel, eh mobil bannya kempes kena paku," jelas Yuki dengan nada polos. Kairo langsung refleks berdiri. "Loh dek! Kakak kan udah bilang jangan nyetir mobil sendiri. Itu bahaya tahu nggak?!" Nada suaranya udah kayak emak-emak ngomelin anak remaja. "Ya terus gimana dong, kak? Masa aku harus ganggu kuliah kakak? Naik taksi online juga kakak nggak kasih izin. Aku disuruh apa coba? Terbang?" balas Yuki sambil melotot gemas. Arga yang dari tadi diem malah ketawa, sampai nutup mulut biar nggak kedengeran terlalu jelas. "Hahaha, kalian berdua ini mirip air dan minyak.” "Arga! Jangan asal ngomong lo!" seru Kairo, tapi kupingnya merah sendiri. Yuki cekikikan. "Iya tuh kak, aku air kan karena aku selalu tenang." "Dek!" Kairo langsung pasang wajah galak, tapi Yuki makin ngakak. Arga geleng-geleng kepala sambil nyeruput minuman kaleng yang tadi dia beli. "Gue makin ngerti kenapa rumah lo rame, Kai. Lo ada adik yang kerjanya bikin suasana kayak drama komedi tiap hari. Asli, gue betah nongkrong di rumah lo daripada di rumah gue sendiri." Kairo cuma bisa mendengus, sementara Yuki malah melirik Arga sambil senyum tipis. Dalam hati, dia mikir: wah... kak Arga kayaknya enjoy banget tiap ada aku, nih. Baru saja suasana agak tenang—meskipun Kairo masih ngedumel kayak bapak kos galak—muncul seorang cowok tinggi dengan rambut acak-acakan. Dave, teman kelas Kairo dan Arga, melangkah ke arah mereka dengan wajah nyari-nyari. Tapi begitu matanya menangkap Yuki yang duduk manis di tengah, fokusnya langsung melenceng jauh. "Eh, bentar-bentar..." Dave menunjuk ke arah Yuki, alisnya naik-turun curiga. "Di antara kalian, siapa yang jadi pacarnya gadis muda ini?" Kairo yang lagi minum langsung hampir keselek. "Hah?! Yaelah, kagak ada! Ini adek gue, Dave!" katanya setengah teriak, sampai beberapa mahasiswa di taman pada nengok penasaran. "Oalahhh... adeknya toh." Dave langsung nyengir, sok akrab. "Hai dek." "Hai kak," jawab Yuki, ramah banget sambil melambai. Senyum manisnya bikin Dave makin salah fokus. Kairo melotot tajam ke arah temannya itu, ekspresinya kayak bilang awas lo macem-macem sama adek gue. Dave buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Eh iya Kai, lo dipanggil sama Pak Antonio. Katanya ada yang mau dibicarain penting." Kairo mendesah berat, lalu berbalik ke arah Yuki. "Dek, tungguin kakak aja di sini. Jangan kemana-mana. Mobil biar kakak yang urus nanti di bengkel. Ngerti?" "Siap, Pak Polisi Lalu Lintas," jawab Yuki sambil hormat pura-pura. Arga ngakak sampai nutup muka dengan komik. "Hahaha, gila Kai... lo kaku banget kalau udah ngomong sama adek lo. Kayak lagi briefing pasukan khusus." Suara "kruuukkk~" dari perut Yuki bikin Arga refleks noleh. Ekspresinya kayak lagi denger ada hewan eksotik baru di mini zoo-nya. "Ayo ke kantin, aku temenin," ajak Arga dengan nada tenang. Yuki langsung nutupin perutnya pakai tas, wajahnya merah merona. "Hahaha maaf ya kak, suara perut aku tuh gak tau malu banget." Arga cuma ketawa kecil sambil geleng-geleng. Adik sahabat gue ini bener-bener walking comedy show. Sesampainya di kantin, Arga langsung memesankan nasi goreng untuk Yuki. Begitu piring datang, aromanya bikin Yuki senyum lebar kayak abis menang undian. "Kakak gak makan?" tanya Yuki sambil nyendokin nasi goreng pertama dengan mata berbinar. "Sudah makan tadi," jawab Arga singkat. Yuki mengangguk sambil pura-pura kalem, padahal dia lagi berpikir keras gimana caranya makan anggun di depan pria pujaan. Tapi semua usaha hancur ketika suapan pertama malah bikin dia kepedesan. "Uhuk! Uhuk! Pedes amat yaampunn!" Yuki langsung kipas-kipas mulut pakai tangan karena ia tidak sengaja memakan cabai dalam potongan besar. Arga cepat-cepat mendorong gelas air ke arahnya. "Pelan-pelan dek, jangan kayak lagi lomba makan krupuk." "Emang lidah aku tuh gak cocok sama level pedes kantin kampus elite, kak," jawab Yuki setelah minum. "Level aku tuh lebih ke... pedes micin Indomie doang." Arga ngakak sambil nyender ke kursi. "Kamu ini bener-bener deh. Tapi makan yang banyak ya, biar sehat." Ucapan sederhana itu bikin Yuki refleks nunduk, senyumnya nggak bisa ditahan. Pipinya merah, tapi tangannya tetep lanjut nyendokin nasi goreng. Di dalam hati, Yuki teriak kenceng: Aaaaa kak Arga perhatian banget! Tolong ini hatiku udah level nasi goreng extra pedes! ——— Hari makin sore, langit udah berubah warna kayak gradient ala filter I*******m. Yuki mulai menguap berkali-kali, matanya merem-melek kayak laptop low-bat. Arga yang duduk di depannya langsung kasihan. Ia pun merogoh ponsel, menekan nomor Kairo. "Bro, lo kelamaan banget sih? Adik lo udah kayak ayam sayur, bentar lagi tidur di meja kantin nih," ujar Arga. Dari seberang, suara Kairo kedengaran ketus. "Pak Antonio belum izinin gue pulang sebelum semua nilai ke-input. Lo tau kan dia tuh kayak Thanos, sampai semua nilai lengkap, gue gak boleh pulang." Arga nyengir. "Terus Yuki gimana? Masa gue biarin dia tidur di kursi kantin?" Ada hening sebentar, lalu suara Kairo terdengar lagi, kali ini lebih berat dan penuh ancaman. "Ya udah, lo anterin dia pulang. Tapi ingat ya, jangan macem-macem sama adek gue! Gue punya insting tajam, kalau lo ngelakuin aneh-aneh, besok gue siapin jarum suntik ukuran jumbo buat lo!" Arga langsung refleks menjauhkan ponsel dari telinga. "Astaga, santai kali Kai. Gue bukan predator, ini gue mau jadi ojek baik hati." "Terserah! Pokoknya amanin Yuki. Jangan bikin gue nyesel nitipin dia sama lo," ancam Kairo sebelum menutup telepon dengan suara klik tegas. Arga melirik Yuki yang udah setengah rebah di meja, pipinya ketempelan bekas tangan karena tidur sebentar. Ia menghela napas dan bergumam pelan. "Punya adek cewek emang ribet banget, ya. Untung gue cuma jadi supir pinjaman, bukan kakak kandung." Yuki membuka matanya sedikit, lalu nyengir. "Kak Arga... aku denger kakak ngomong sesuatu ya?" Arga buru-buru geleng-geleng. "Enggak. Udah, ayo pulang sebelum kamu beneran tidur di sini."Rintik hujan turun deras menimpa halaman kampus, menimbulkan suara khas seperti gemericik berjuta jarum kecil di atas atap gedung. Mahasiswa berlarian mencari tempat berteduh, beberapa pasrah basah kuyup.Yuki berdiri di depan lobi, menatap langit yang tampak suram. Untungnya, gadis itu sudah terbiasa membawa payung lipat ke mana pun, pelajaran dari sering dimarahi Kairo karena "main hujan kayak bocah TK."Ia baru hendak melangkah ke arah parkiran ketika matanya menangkap sosok tinggi berjas hitam, berdiri santai tanpa payung, tampak siap-siap menerobos hujan.Arga.Yuki mengerutkan kening. Ya ampun, ini orang gak punya insting bertahan hidup apa gimana? pikirnya.Dengan langkah cepat, Yuki mendekat dan membuka payung di atas kepala pria itu."Kak... jangan kehujanan, nanti sakit," katanya sambil sedikit menundukkan payung agar cukup menutupi bahu Arga yang lebar.Arga menoleh dan tersenyum kecil, wajahnya sedikit basah terkena percikan air."Loh! Untung ada kamu, dek," ucapnya sambil
Suasana kantin siang itu ramai seperti biasa. Suara gesekan kursi, dentingan sendok, dan aroma mie ayam memenuhi udara. Di tengah hiruk-pikuk itu, Luna duduk manis di hadapan Arga yang sedang sibuk menyantap mie ayamnya dengan khidmat, seolah semangkuk mie itu adalah persoalan paling serius di dunia.Luna menoleh kanan-kiri, memastikan Kairo tidak sedang berkeliaran. Setelah yakin aman, ia mencondongkan tubuh ke arah Arga."Ga... lo inget kan apa yang gue bilang waktu itu? Soal gue suka Kairo?" bisiknya pelan.Arga mengangkat alis, lalu menyuap mie sebelum menjawab santai, "Iya, inget. Dan tenang aja, dia gak punya pacar, Lun."Luna langsung menghela napas lega, wajahnya berbinar seperti baru dapat kabar diskon besar-besaran."Huft, syukurlah... berarti gue masih punya harapan," katanya sambil menepuk dada lega.Tepat saat itu, suara langkah kecil terdengar mendekat. Yuki datang dengan ekspresi sedikit manyun dan langsung mengerutkan dahi saat melihat Arga duduk berdua dengan Luna."O
Luna berusaha keras terlihat profesional saat berbicara dengan Kairo. Ia membawa map tebal berisi proposal kerja sama, lengkap dengan tabel biaya dan rencana promosi, tapi dari tadi matanya lebih sering fokus pada hal lain, garis rahang Kairo yang tegas, caranya menunduk ketika membaca dokumen, dan nada suara rendah yang entah kenapa terasa... menenangkan."Kalau kita ambil sponsor dari mereka, harus disesuaikan dulu sama program adopsi satwa," ucap Kairo, menunjuk lembaran kertas di tangannya."Oh, iya, iya..." jawab Luna cepat, walau jelas sekali ia tidak benar-benar paham barusan.Kairo melirik sekilas. "Kamu beneran dengerin, kan?""Iya, iya, aku denger kok!" Luna menegakkan badan, berusaha terlihat fokus. Tapi detik berikutnya, pandangannya kembali jatuh ke wajah Kairo. Ya ampun, dari jarak segini kulitnya mulus banget. Ini cowok apa skincare berjalan sih? batinnya panik.Kairo menutup mapnya dan bersandar di kursi. "Jadi, kesimpulannya, aku setuju kerja sama itu asal sistem pela
Pagi itu meja makan terasa lebih dingin daripada kulkas. Tidak ada obrolan hangat seperti biasa, tidak juga pertengkaran kecil yang biasanya bikin rumah jadi ramai.Kairo sibuk menatap nasinya, Yuki sibuk mengaduk-aduk sereal tanpa niat makan, sementara Mama Sarah hanya bisa mendesah lemah sambil memandang dua anaknya itu bergantian."Dua-duanya ini keras kepala," gumam Mama Sarah pelan, tapi cukup keras untuk membuat sendok Yuki berhenti di udara.Setelah sarapan yang lebih mirip sesi hening nasional itu selesai, Kairo langsung keluar rumah menuju mobilnya. Yuki menghela napas panjang sebelum menyusul. Ia sudah tahu, pagi ini bakal panjang.Begitu pintu mobil tertutup, suasana kembali senyap. Hanya suara mesin dan AC yang bekerja keras menembus ketegangan di antara mereka. Yuki melirik kakaknya, lalu memberanikan diri membuka percakapan."Kak..." panggilnya pelan.Kairo melirik sekilas. "Apa?!" bentaknya cepat, dengan nada seperti sirine patroli.Yuki meringis. "Jangan larang Kak Arg
Hari ini adalah kali pertama Yuki mendapat tugas kerja kelompok. Dan entah kebetulan atau nasib, dia sekelompok dengan Justin, si cowok yang sudah kena "label waspada" dari Kairo."Kerja kelompok di mana ya?" tanya Zara pagi itu sambil menenteng buku catatan."Di coffee shop depan kampus aja. Kata Justin tempatnya adem dan ada colokan," jawab Yuki berusaha biasa saja, padahal dalam hatinya sudah mulai gelisah.Sebelum berangkat, Yuki berdiri di depan cermin sambil menatap ponselnya. Jempolnya ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik pesan izin.📱: Kak, hari ini aku kerja kelompok sama teman-teman di coffee shop depan kampus. Jangan nyusul ya. Aku janji gak macem-macem.Pesan terkirim. Satu menit, dua menit... tak ada balasan."Yah... pasti lagi praktikum," gumamnya dengan lega tapi juga was-was.Ia pun mengambil tas, mengecek ulang dompet, buku, dan laptopnya, lalu berangkat dengan langkah ringan."Finally... hari tanpa pengawasan Satpam Kakak!" ujarnya pelan sambil tertawa kecil.Di coff
Ruang tamu rumah keluarga Kairo malam itu sudah seperti zona perang.Buku-buku tebal bertumpuk di lantai, stabilo berwarna-warni berserakan di mana-mana, dan Yuki duduk di tengah kekacauan itu dengan rambut dikuncir asal, wajah tegang, dan ekspresi seperti baru menghadapi soal ujian akhir."Kenapa sih harus punya tulang metacarpal lima biji?! Kenapa gak satu aja, biar gampang dihafalin?" gumamnya frustasi sambil menatap buku anatomi yang sudah penuh coretan.Ia menatap lagi satu halaman, mencoba mengingat diagram tulang radius dan ulna, tapi otaknya seperti sudah menolak kerja sama.Tiba-tiba terdengar suara bel dan aroma keju memenuhi udara."Oh hai adik!" suara ceria itu datang bersamaan dengan sosok Arga yang menenteng dua kotak pizza besar.Yuki langsung bangkit berdiri dengan wajah berseri, seolah-olah semua penderitaan anatomi sirna dalam sekejap."Hai kak! Bawa pizza... wow!!! Kamu malaikat penyelamat malam ini!" serunya sambil hampir merebut kotak itu dari tangan Arga."Pelan-







