Share

Bab 7

Author: Eudora
"Sudah benar-benar dipikirkan?" Herlina memegang surat pengunduran diri Nindy, masih merasa sayang jika dia pergi.

Nindy tersenyum sambil mengangguk. "Iya, aku satu-satunya anak perempuan, sementara kondisi orang tuaku juga kurang baik. Jadi, aku tetap memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan mengembangkan diri di sana."

"Lalu bagaimana dengan Pak Peter? Bagaimana dengan pekerjaannya?" Herlina tahu tentang hubungan Nindy. Empat tahun pacaran jarak jauh di universitas, setelah lulus Nindy menikah jauh di Kota Rubia. Bisa dibilang pasangan muda ini dulu hubungannya sangat kuat.

Terutama karena Peter adalah profesor termuda di Universitas Jaya, masa depannya cerah. Dia jelas tidak mungkin berhenti dari pekerjaannya.

"Aku akan bercerai."

"Cerai?"

Melihat ekspresi terkejut Herlina, Nindy hanya tersenyum tipis. "Iya, prosesnya sedang berjalan."

Kepribadian Nindy tenang dan dewasa, serta terlihat ramah, tetapi dia punya pendirian sendiri. Jika sudah memutuskan sesuatu, dia tidak akan menoleh ke belakang lagi.

"Baiklah, kalau begitu aku doakan masa depanmu cemerlang." Herlina tidak berusaha membujuk lagi, lalu menandatangani surat pengunduran diri itu.

Selama seharian penuh, Nindy sibuk menyelesaikan proses serah-terima pekerjaan. Malam harinya, perjanjian perceraian dikirim cepat ke kantornya. Setelah membaca semua pasal dengan teliti, Nindy langsung menandatangani tanpa ragu.

Malam itu, Herlina mengajak semua orang makan bersama untuk memberi perpisahan kepada Nindy.

Setelah makan, ada yang mengusulkan pergi ke karaoke. Nindy tidak menolak dan ikut bergabung juga.

Dulu, karena Peter tidak suka, Nindy jarang sekali ikut acara kumpul dengan rekan kerja. Dia selalu menghormati semua keinginan Peter, tapi pada akhirnya berakhir dengan begitu menyedihkan.

Seolah pas sekali dengan suasana, perpisahan itu berakhir dengan sebuah lagu "Perceraian Lara" yang dinyanyikan salah satu rekan.

Ketika Nindy pulang ke rumah, waktu sudah lewat tengah malam. Begitu membuka pintu, dia melihat Peter duduk di sofa sedang merokok.

Mendengar suara Nindy pulang, Peter buru-buru mematikan rokok dan berdiri, lalu menunjukkan wajah penuh penyesalan. "Maaf, aku nggak tahan dan akhirnya merokok di rumah."

"Nggak apa-apa." Nindy yang bahkan sudah tidak menginginkan rumah ini, tentu tidak akan peduli lagi apakah Peter merokok di ruang tamu atau tidak.

Setelah berganti sepatu, Nindy berjalan menuju kamar mandi. Namun, Peter mengadangnya. Malam itu, dia bersikeras ingin bicara baik-baik dengan Nindy.

"Nindy, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu." Nindy merasa lelah dam tidak punya tenaga lagi untuk bertengkar. Dia berdiri di tempat dan menatap Peter dengan tenang. "Iya, bilang saja."

Peter sempat mengira, sikapnya pagi tadi akan membuat Nindy marah dan tidak mau peduli padanya. Ditambah Nindy pulang larut malam, dia mengira Nindy sedang mengambek. Namun ternyata, Nindy begitu tenang.

Meski dalam hatinya masih ada rasa gelisah, tapi perkara ini tidak bisa ditunda lagi. "Bi Bonita sudah dikeluarkan surat peringatan kondisi kritis, dokter bilang bisa pergi kapan saja. Dia ... dia punya satu permintaan terakhir, dia berharap ...."

Peter merasa dirinya tidak salah, tapi kalimat berikutnya dia benar-benar tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Bagaimana dia bisa mengatakan pada istrinya bahwa dia harus menikahi wanita lain?

"Dia berharap kamu menjaga Sofie seumur hidup, ingin melihat kalian menikah?"

Kata-kata yang diucapkan Sofie tadi siang masih membekas di ingatan Nindy. Saat itu dia memilih diam, berharap Peter sendiri yang mengatakannya. Namun ternyata, Peter tahu sendiri kalau kalimat itu memang menyakitkan.

"Kamu sudah tahu?" Peter agak terkejut. Namun sejak kata-kata itu keluar, dia hanya bisa mencoba menjelaskan dengan tenang.

"Nindy, waktu kecil orang tuaku sibuk sekali. Pernah suatu kali aku sakit dan Bi Bonita yang menggendongku ke rumah sakit di malam hujan deras. Dia menjagaku tiga hari tiga malam tanpa tidur. Dia berjasa besar padaku, aku nggak tega melihatnya meninggal dengan penyesalan. Jadi, bisakah kamu ...."

Belum selesai Peter bicara, Nindy sudah memotong, "Kamu nggak perlu lanjutkan, aku setuju."

Selesai berkata, Nindy bahkan tersenyum sedikit. Senyum itu membuat awan gelap di hati Peter seketika berkurang.

Dengan gembira, dia langsung meraih Nindy ke dalam pelukannya. "Aku tahu, kamu pasti akan mengerti aku. Nindy-ku memang yang paling dewasa."

"Oh iya Nindy, aku dan Sofie hanya akan menikah secara formalitas, cukup lewat sebuah upacara saja. Aku nggak akan mengundang banyak teman. Tapi kalau ada orang yang bergosip, aku berharap kamu bisa membantuku menjelaskan."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 28

    Roman teringat pada musim panas yang terik itu saat Nindy memberinya sebutir permen dan selembar plester."Jadi, kita sebenarnya sudah saling kenal sejak lama.""Benar." Roman mengangguk. "Sudah sejak lama. Hanya saja aku kurang beruntung. Sekali saja terlewat, hampir saja seumur hidup terlewat juga.""Maksudmu apa?" Air mata Nindy jatuh tanpa henti. Dia mengira hatinya yang sudah mati, tetapi ternyata sekali lagi mulai berdegup."Nanti aku ceritakan pelan-pelan. Eh? Kok kamu nangis lagi? Jangan nangis. Kalau kamu nangis begini, lukaku ikut sakit." Roman mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Nindy.Nindy menepis tangannya. "Kamu 'kan lagi pakai selang pereda nyeri, sakit apanya? Jangan bohong.""Benaran sakit, aku sakit hati.""Sudahlah, kamu mau minum air nggak?""Kapan kamu kasih aku status resmi?""Aku tanya, kamu mau minum nggak?""Mau. Asal yang menuang pacar sendiri, racun pun aku minum.""Siapa pacarmu? Aku belum setuju.""Sudah setuju, waktu kamu ngomong sambil tidur.""K

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 27

    Saat ayah dan ibu Nindy sampai di rumah sakit, yang mereka lihat adalah Nindy yang tubuhnya penuh darah. Pasangan itu memeriksa beberapa kali, memastikan Nindy tak terluka, baru merasa lega.Namun, wajah orang tua Roman yang datang segera setelahnya terlihat sangat buruk. Meskipun demikian, ibu Roman tetap melangkah ke sisi Nindy, menggenggam erat tangan Nindy. "Kamu pasti ketakutan ya? Jangan khawatir. Roman kuat, cuma luka kecil, nggak apa-apa.""Maaf, Bibi. Dia terluka karena menyelamatkanku. Maaf ...." Emosi Nindy kembali tak terkendali, dia seperti anak yang telah berbuat salah dan tidak berani menatap ibu Roman.Orang-orang di sekitar melihat keadaan Nindy, tahu apa pun yang mereka katakan saat ini tak akan ada gunanya.Waktu berjalan menit demi menit, hingga akhirnya lampu di ruang operasi padam. Saat dokter keluar, Nindy adalah orang pertama yang berlari menghampiri. "Dokter, gimana keadaan Roman?""Nggak apa-apa, nggak kena bagian vital. Lukanya sudah dijahit, sebentar lagi bi

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 26

    Karena surat keterangan gangguan jiwa Sofie sah, Nindy sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa padanya.Di depan kantor polisi, Peter ingin mengatakan sesuatu kepada Nindy. Namun, Roman berdiri di antara mereka berdua, sama sekali tidak memberi Peter kesempatan."Nindy, aku perlu bicara berdua saja denganmu.""Dia nggak mau bicara denganmu."Roman sudah menahan diri cukup lama. Ada beberapa hal yang hari ini harus dia katakan langsung kepada Peter."Peter, sebenarnya kamu mau apa? Kamu dan Nindy sudah cerai, aku minta kamu jangan ganggu hidupnya lagi. Dan satu lagi, jaga baik-baik orangmu. Surat keterangan gangguan jiwa itu bukanlah kartu bebas hukuman di mataku."Mendengar ini, rasa ingin menang Peter pun terpancing. Dia tersenyum sinis dan menatap Roman."Kenapa memangnya kalau kami cerai? Aku dan Nindy bersama delapan tahun. Semua pengalaman pertamanya adalah milikku. Kamu punya apa?""Pak Roman, kamu pikir aku nggak mengenalmu? Aku sudah lama mengenalmu, tapi aku nggak pernah mengan

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 25

    Roman benar-benar mengajak Nindy makan malam. Selesai makan, Nindy mengusulkan untuk jalan-jalan di kawasan pertokoan.Dengan segelas teh susu hangat di tangan, Nindy dan Roman berjalan berdampingan di tengah kerumunan orang."Sayang sekali ya, hari ini nggak turun salju. Oh ya, Roman, tahun-tahun sebelumnya pernah turun salju nggak?"Nindy sudah bertahun-tahun tidak merayakan Natal di kampung halamannya. Salju yang dia ingat hanyalah saat masih SMA.Roman sempat tertegun, lalu menggeleng pelan dengan sedikit canggung. "Aku nggak tahu.""Nggak tahu? Kamu nggak tinggal di sini?""Nggak, aku di ibu kota.""Di ibu kota? Untuk kerja?" Nindy hanya bertanya karena penasaran.Saat percakapan sampai di situ, Roman berhenti melangkah. Dia menunduk menatap wajah Nindy yang pipinya memerah karena udara dingin. "Untuk melihatmu.""Tahun lalu waktu Natal, kamu bersama dia di kampus, merayakan bersama mahasiswa asing yang dia bimbing. Dua tahun lalu, dia sepertinya nggak ada di rumah. Kamu ke minima

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 24

    Nindy sama sekali tidak pernah menyangka dirinya akan mengalami situasi canggung seperti ini. Dia tidak ingin membuat siapa pun malu, tetapi karena sudah terlanjur, dia hanya bisa meneruskan aktingnya."Roman, kamu pulang dulu saja. Profesor Peter mungkin ada urusan sama aku.""Oke, nanti malam aku jemput kamu pulang kerja." Sambil berkata, Roman mengangkat tangannya menyentuh pipi Nindy. Gerakannya terlihat sangat terbiasa. Tingkat keintiman ini terlihat seperti mereka sudah berpacaran sejak lama.Setelah berpamitan dengan Peter sebentar, Roman pun masuk mobil dan pergi.Menunggu mobil Roman melaju cukup jauh, barulah Nindy menatap Peter dengan wajah dingin. "Kamu mau apa lagi? Nggak bisa sama-sama melangkah maju? Kenapa harus datang mengusik hidupku lagi?""Nindy, aku sudah mengundurkan diri. Aku memutuskan untuk bekerja di Kota Saka." Peter tidak tersinggung oleh sikap Nindy, malah tersenyum sambil melangkah maju.Nindy melemparkan bunga di tangannya dengan kesal, bahkan tak mau mel

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 23

    Nindy mencoba mencari jawaban di kepalanya berulang kali, tetapi tetap tidak bisa mengingat kapan dirinya pernah bertemu Roman.Selain itu, Roman mengakui dirinya diam-diam menyukainya. Itu berarti mereka pernah bertemu sebelumnya.Roman mendengar pertanyaan itu, lalu terkekeh-kekeh. "Mm, pernah.""Di mana? Kapan?" Nindy mendesak."Aku rasa abu muda bagus, kelihatannya elegan. Kamu setuju?"Jelas sekali Roman tidak berniat melanjutkan jawabannya atas pertanyaan Nindy. Karena dia tidak mau bilang, Nindy juga hanya bisa mengurungkan niatnya."Mm, nanti aku kirim gambar rancangan yang sudah direvisi ke ponselmu." Tepat saat itu, ponsel Nindy berdering. Panggilan dari bibi keduanya. Meskipun malas, Nindy tak mungkin mengabaikan begitu saja.Begitu tersambung, di seberang langsung tak sabar menanyakan perkembangan. "Nindy, sudah ketemu orangnya belum? Gimana? Aku kasih tahu ya, Roman itu anaknya baik banget. Orangnya berkarakter, ganteng, bisa cari uang. Kalau kamu nikah sama dia, tinggal t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status