Freesia tersentak ketika menyadari dirinya tertidur. Ia menatap sekeliling. Gelap. Sekelilingnya gelap. Freesia menoleh ke samping, tapi tak ada orang di sana. Di mana Allen?
Jangan bilang … dia meninggalkan Freesia di sini? Tidak. Jangan bilang, ini tempat pertemuan pria itu dengan orang yang akan membeli Freesia? Apa dia benar-benar akan menjual Freesia?
Suara ketukan dari kaca jendela depan membuat Freesia menatap ke depan dan ia bisa melihat Allen yang melambaikan tangan sembari tersenyum padanya. Pria itu lantas menunjuk telepon yang menempel di telinganya.
Freesia membuka pintu mobil dan turun. Didengarnya Allen berkata,
“Ya. Karena ini situasi tak terduga, kalian lanjutkan untuk plan B-nya.”
Lalu, Allen menutup telepon dan menghampiri Freesia.
“Kenapa kau keluar? Di sini dingin dan kau hanya memakai kaus tipis,” ucap pria itu.
“Aku yang seharusnya bertanya,” balas Freesia. “Kenapa kau keluar? Kau bahkan tidak membangunkanku ketika aku tertidur. Apa aku sudah lama tertidur?”
“Sekitar lima belas menit,” jawab Allen. “Kau tampak lelah, jadi aku berhenti dan keluar untuk mengangkat telepon. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu.”
Freesia terkejut mendengar penjelasan pria itu. Mendadak ia merasa bersalah.
“Maaf, aku tadi malah berpikir jika kau akan menjualku di sini,” aku Freesia.
“Aku … apa?” Allen terbahak hingga terbungkuk-bungkuk.
“Maaf …” Freesia merengut. “Haruskah kau tertawa seperti itu?”
Allen akhirnya berhenti tertawa, tapi pria itu masih menyisakan senyum geli ketika menatap Freesia.
“Jika aku memang ingin menjualmu, aku tidak akan melakukannya dengan cara sepayah ini,” ucap pria itu. “Kau meninggalkan terlalu banyak jejak dan itu akan menyulitkanku.”
Freesia meringis.
“Ayo pergi,” ajak pria itu. “Rumahku sudah dekat.”
Freesia mengangguk dan bergegas masuk ke mobil. Sejujurnya, di luar benar-benar dingin.
“Lima menit lagi kita akan sampai di rumahku,” beritahu Allen lagi ketika pria itu juga masuk ke mobil.
“Apa di rumahmu ada bathtub?” tanya Freesia.
“Ya,” jawab Allen.
“Aku ingin langsung berendam begitu tiba, bolehkah?” pinta Freesia.
“Tentu saja,” jawab Allen santai. “Aku akan menghubungi orang di rumah untuk menyiapkannya.”
Freesia tersenyum lebar mendengarnya.
“Tapi, sedari tadi ponselmu tampak begitu tenang. Tidakkah nenekmu berusaha menghubungimu?” tanya Allen.
Freesia mengibaskan tangan. “Aku menyalakan mode silence dan memblokir semua nomor yang meneleponku,” urainya.
Allen tersenyum geli. “Kau benar-benar … luar biasa.”
“Aku tahu,” balas Freesia bangga. “I’m f***ing amazing!”
***
Allen tersenyum mendengar umpatan gadis itu. Setidaknya, dia tidak akan terlalu terkejut begitu dia tinggal di rumah Allen nanti. Semoga saja begitu.
Allen baru saja tiba di depan gerbang rumahnya ketika ponselnya kembali terdengar. Allen memasang bluetooth earphone untuk berbicara setelah mengangkat telepon dari orangnya.
“Bos, sepertinya ada sedikit masalah. Orang itu berusaha kabur dan kami sedang mengejarnya,” lapor orangnya.
Allen mendengus. “Dia masih berani kabur?”
“Maaf, Bos.”
“Bawa dia ke depanku. Aku sendiri yang akan memberinya hukuman,” Allen berbicara.
“Baik, Bos.”
Allen menutup telepon, lalu didengarnya Freesia bertanya,
“Apa kau seorang guru?”
Allen nyaris menyembur tertawa mendengar itu. Apa katanya? Guru?
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Allen.
“Karena kau akan memberi hukuman pada muridmu, kan?” jawab Freesia. “Tapi, zaman sekarang, kau harus berhati-hati dalam memberi hukuman. Jika kau memberi hukuman dengan berlebihan, kau bisa dilaporkan.”
Allen mendengus geli. “Dilaporkan?” Seolah ada yang berani melaporkannya. Ah, tapi siapa pun yang berani melaporkan Allen tak pernah bisa mempertahankan nyawanya setelahnya.
“Jadi, kau bekerja di sekolah, semacam itu?” tanya Freesia lagi. “Karena itu, kau membutuhkan pengasuh anak?”
Ah, pantas saja gadis itu berpikir seperti itu tentang Allen. Guru, huh?
“Aku belum menerangkannya padamu, tapi … kurasa nanti kau akan tahu sendiri.” Allen melempar senyum kecil pada Freesia.
“Tapi, sepertinya kau juga dari keluarga kaya,” sebut gadis itu. “Kau punya gerbang otomatis.” Freesia menunjuk ke depan.
Allen menatap ke depan dan gerbang rumahnya sudah terbuka. Allen kembali tersenyum geli dan melesatkan mobil memasuki jalan beraspal yang cukup lebar untuk dua mobil yang di kanan-kirinya hanya ada halaman berumput seluas lapangan bola. Setidaknya, itulah yang dikatakan Lily.
“Ini rumahmu?” tanya Freesia kaget.
“Ya.”
“Kau … benar-benar dari keluarga kaya?” Freesia antusias.
“Apa kau hanya berteman dengan orang-orang dari keluarga kaya?” tanya Allen.
“Nenekku yang mengatur semua pertemuanku, termasuk teman-temanku. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka secara langsung,” terang Freesia. “Ah, kecuali ketika aku sekolah di luar negeri. Aku sempat bertemu beberapa orang tanpa ikut campur nenekku di sekolah.”
“Bagaimana hidupmu selama ini?” heran Allen. “Dan kau hanya diam saja selama ini?”
“Karena itu aku ada di sini sekarang,” jawab Freesia sembari tersenyum. “Karena aku sudah tidak tahan diam saja dengan hidup yang seperti itu.”
Allen manggut-manggut. “Aku bisa mengerti sekarang.”
“Karena itu, terima kasih sudah membantuku,” ucap Freesia sembari tersenyum.
Allen berharap, gadis itu akan terus tersenyum seperti itu selama tinggal di sini. Namun, apa yang harus Allen lakukan dengan orang-orangnya yang berbaris di depan pintu rumahnya seperti itu?
***
Baru beberapa detik lalu, Freesia merasa tenang karena datang ke rumah Allen. Namun, begitu Freesia melihat pria-pria berjas hitam bertubuh kekar berjejer di depan sana, Freesia seketika waspada.
“Mereka … siapa?” tanya Freesia sembari menggenggam ponselnya erat.
“Orang-orangku,” jawab Allen. “Kau bisa menyebut mereka karyawanku.”
“Kau … punya banyak sekali karyawan,” komentar Freesia.
“Yah … begitulah …” Allen menjawab sambil lalu. “Jika kau khawatir, kau bisa menghubungi temanmu itu.”
Freesia memikirkan itu selama beberapa saat, tapi tidak. Dia ingin percaya pada Allen jika memang dia harus tinggal di sini. Hubungan yang berdasar kepercayaan akan lebih awet. Dan lagi, Freesia sudah mengirim posisinya pada temannya itu, berikut pesan untuk memanggil polisi jika dia tiba-tiba menghilang di posisi terakhirnya tanpa kabar.
Begitu mobil Allen berhenti, dua orang menghampiri mobil itu dan membukakan pintu untuk masing-masing Allen dan Freesia.
“Ayo turun,” ajak Allen sembari melepas seatbelt.
Freesia mengangguk dan melepas seatbelt, lalu turun bersamaan dengan Allen. Namun, Freesia tersentak ketika mendengar suara keras dan kompak,
“Selamat datang, Bos!”
Freesia sampai tersentak ke belakang saking kagetnya. Itu pun, ditambah dengan orang-orang yang berbaris itu membungkuk sembilan puluh derajat.
Dan apa kata mereka tadi? Bos? Apa itu cara karyawan Allen memanggil Allen? Namun kenapa … situasi ini tampak begitu familiar di mata Freesia? Rasanya seperti Freesia menonton film gangster.
Namun, untunglah itu bukan film gangster. Karena kemudian dari pintu rumah itu, muncul seorang anak perempuan yang sepertinya baru berumur tiga atau tempat tahun, berlari keluar menyambut Allen.
“Allen!”
Allen membungkuk untuk menyambut anak itu dan begitu anak itu melemparkan diri padanya, Allen mengangkat anak itu dalam gendongannya. Allen membawa anak itu mendekat pada Freesia.
“Freesia, ini Lily, putriku,” pria itu memperkenalkan gadis kecil itu. “Dia baru berumur tiga tahun beberapa bulan lalu.”
Freesia tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Anak? Ha ha. Pria ini sudah punya anak? Lalu, kenapa dia setuju untuk menjadi kekasih palsu Freesia? Mata Freesia nyalang mencari cincin di jemari pria itu, tapi nothing. Tak ada apa pun di sana.
“Dan Lily, ini Freesia. Mulai hari ini, dia akan menjadi pengasuhmu,” Allen melanjutkan perkenalan mereka.
Ya. Freesia harus fokus pada pekerjaannya. Dia tidak akan penasaran dengan urusan pribadi bosnya. Dan sekarang, Freesia bisa yakin jika setidaknya Allen bukan seorang guru. Tidak ada guru yang dipanggil Bos, kan? Mungkin, dia bos perusahaan yang butuh pengasuh untuk anaknya. Dan tentang hukuman … well, dia mungkin hanya menghukum karyawannya.
Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik sa–
“Dang! She’s hella cute, Allen!”
Dang? Hella?
Freesia mendadak mendapati dirinya ingin tertawa. Itu bukan kosakata yang seharusnya dipelajari anak berumur tiga tahun.
“Seperti yang kau tahu, dia punya masalah dengan perkembangan bahasanya. Karna kau punya ilmu basic tentang tata krama dan etika, aku akan sangat berterima kasih jika kau bisa membantuku mengajarinya tentang itu,” ucap Allen.
“You’le f***ing annoying, Allen. Tidak ada masalah dengan bahasaku,” protes Lily dengan cadel.
‘Gal, kau bahkan belum bisa mengucapkan r, tapi kau sudah begitu lancar mengumpat!’ Freesia berteriak dalam kepalanya.
“Aku yang menilai itu, Lily,” jawab Allen tegas. “Dan mulai sekarang, kau harus belajar dengan Freesia.”
“You’le such a pain ass, Allen,” kesal Lily.
Ha ha. Sepertinya, ini benar-benar film gangster. Dan anak ini, adalah anak seorang bos gangster.
Matilah Freesia.
***
Beberapa minggu kemudian …“Mama!” Lily berlari masuk ke rumah dengan membawa selembar kertas di tangannya.Freesia yang menunggu di ruang tamu seperti biasanya, meski kali ini tanpa Leon yang masih tidur, tersenyum menyambut kepulangan putrinya itu.“Bagaimana sekolahmu tadi, Kakak Lily?” tanya Freesia ketika Lily mencium pipinya.“Mama, lihat ini!” Lily mengangkat selembar kertas yang dibawanya tadi dan Freesia bisa melihat gambar di sana.Freesia ternganga takjub melihat gambar dirinya di sana. Freesia yang duduk di kursi santai di tepi kolam renang rumah Allen. Dan itu adalah gambar Freesia yang sedang tertawa. Dari semua fiture Freesia di gambar itu, ekspresi Freesia tampak begitu jelas. Kebahagiaan yang dirasakan Freesia tergambar dengan baik di sana.“Aku dan Reyn menggambar ini bersama-sama,” Lily berkata.Ah … jadi ini ekspresi yang disukai anak-anak ini dari Freesia? Freesia memeluk Lily.“Terima kasih, Sayang,” ucap Freesia sungguh-sungguh.Lily terkekeh bangga. “Reyn bilan
“You’re impressive,” Brand berkomentar sembari mengawasi Lily dan anak-anak panti asuhan Alia bermain di kolam renang dari balkon lantai dua. Ah, ada satu lagi, anak yang menjadi sumber keresahan Allen saat ini. Anak seusia Lily yang bernama Reyn.“Yeah, indeed,” timpal Val. “Aku takjub Freesia masih menerimamu sebagai suaminya.”“Huh! Kalian belum merasakan saja jika kalian punya anak perempuan,” cibir Allen. “Anak itu bahkan sudah berani menggandeng tangan Lily …”“Kudengar, Lily yang menggandeng tangannya dulu. Jangan memutarbalikkan fakta dan membuat anak orang lain menjadi kriminal,” tegur Brand.“Jika Lily menggandeng tangannya lebih dulu, bukankah seharusnya dia melepaskan tangan Lily jika dia memang seorang gentleman?” balas Allen.“Freesia benar,” tukas Val. “Kau tak masuk akal. He’s a baby, Dude! A freaking baby!” Val terdengar frustasi.“Allen, jika kau terus bersikap seperti itu, kau akan merepotkan Freesia.”Brand, Allen, dan Val menoleh ke sumber suara yang berada di pin
Sejak dia bangun tadi, Lily tampak sangat bahagia. Tidak, lebih tepatnya, sejak Allen mengatakan jika dia akan mengajak Freesia dan Leon mengantarkan Lily ke sekolah. Allen sudah memberitahukan Freesia tentang situasi Reyn dan dia ingin Freesia menemui Reyn agar anak itu tidak terlalu waspada pada orang dewasa.Mungkin karena perlakuan orang-orang panti asuhan, anak itu terlalu waspada pada orang dewasa. Karena itu, dia selalu menolak bantuan guru-guru sekolahnya. Dia pertama kali membuka diri pada Lily yang berkeras menemaninya seharian kemarin.Ketika mereka tiba di sekolah Lily, Leon tertidur. Kepala sekolah Lily yang sudah dihubungi Allen dan menyambut mereka di gerbang, mengantarkan Freesia ke ruang kesehatan agar Leon bisa tidur dengan nyenyak di sana. Freesia memercayakan Leon pada dua pengasuh dan dua pengawal sebelum dia pergi ke tempat Lily dan Reyn berada. Sementara, Allen pergi ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan masalah panti asuhan Reyn dengan pihak sekolah.Salah
Lily baru masuk ke ruang kelasnya ketika melihat salah satu teman sekelasnya didorong temannya yang lain hingga jatuh terjengkang ke belakang.“Jangan dekat-dekat! Bajumu jelek!” hardik Lucy yang mendorong teman sekelas Lily yang lainnya tadi.Lily bergegas menghampiri Reyn, anak laki-laki yang didorong Lucy hingga jatuh tadi. Reyn adalah anak yang baru masuk beberapa hari terakhir ini. Dia adalah anak dari panti asuhan. Dia masuk ke sekolah ini sebagai murid beasiswa. Lily dengar, salah satu guru kesenian di sekolahnya melihat kemampuan menggambar Reyn dan menawarkan beasiswa untuk Reyn.“Kenapa kalian jahat sekali pada Reyn?!” tegur Lily.“Lily, kau jangan dekat-dekat dengan dia! Kau tidak lihat bajunya? Jelek dan kotor. Bajumu bisa ikut kotor!” Lucy heboh.Memang yang dikatakan Lucy tidak salah tentang baju seragam Reyn yang jelek karena warnanya pudar dan kotor karena noda yang tidak hilang meski telah dicuci. Sepertinya itu seragam bekas. Namun, dia tidak harus mengatakannya deng
Beberapa bulan kemudian …Pintu kamar tidur Allen dan Freesia terbuka lebar dan Lily yang sudah memakai seragam sekolah, menghambur masuk sembari berseru,“Selamat pagi, Mama, Papa, Leon!”“Selamat pagi, Kakak Lily,” Freesia yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menyusui putranya, Leon, membalas sembari tersenyum.“Lily, jangan ganggu adikmu,” Allen mengingatkan Lily.“Papa, kapan aku mengganggu Leon?” protes Lily sembari melepas sepatu sekolahnya dan naik ke tempat tidur.Bahkan setelah dia memprotes peringatan Allen, dia langsung menciumi pipi Leon yang sedang menyusu. Akhirnya, seperti biasa, Leon mulai risih dan merengek.“Lihat itu, kau mengganggunya!” tuding Allen.“Aku hanya memberinya ciuman selamat pagi,” Lily beralasan sembari mundur.Freesia hanya tersenyum geli sembari menenangkan Leon. “Leon sepertinya masih mengantuk. Nanti setelah dia tidur, kita sarapan bersama, ya, Kakak Lily?”“Ya, Mama,” jawab Lily riang.Setelah Leon tertidur, Allen memindahkan Leon k
“Mama masih sedih?” tanya Lily dengan nada sedih.Freesia tersenyum dan menggeleng. “Maaf, Mama membuatmu khawatir,” sesalnya.Lily menggeleng. “Mama jangan sedih lagi. Kan, Mama sudah bilang sendili, aku bisa belmain ke lumah itu lagi kapan pun aku ingin. Itu belalti, Mama juga bisa pelgi ke sana kapan pun Mama ingin.”Freesia tersenyum sendu dan mengangguk. Padahal ia yang mengatakan itu pada Lily, tapi justru Freesia yang bereaksi seperti ini. Lily bahkan tak menangis ketika berpisah dengan orang-orang rumah Allen tadi. Namun, justru Freesia yang menangis. Val bahkan menertawakan Freesia hingga Lily mengomelinya dan mereka berdebat sampai detik terakhir perpisahan mereka tadi.“Lily benar, Freesia,” ucap Allen sembari merangkul Freesia. Pria itu duduk di sebelah kanan Freesia. “Aku tak tahu apa yang membuatmu sesedih itu ketika rumah itu penuh dengan aturan yang tak bisa memberi kau atau Lily kebebasan.”“Tapi, itu adalah rumahmu, Allen,” Freesia berkata. “Aku tahu, kau punya banya