Share

4 – The Boss

Freesia tersentak ketika menyadari dirinya tertidur. Ia menatap sekeliling. Gelap. Sekelilingnya gelap. Freesia menoleh ke samping, tapi tak ada orang di sana. Di mana Allen?

Jangan bilang … dia meninggalkan Freesia di sini? Tidak. Jangan bilang, ini tempat pertemuan pria itu dengan orang yang akan membeli Freesia? Apa dia benar-benar akan menjual Freesia?

Suara ketukan dari kaca jendela depan membuat Freesia menatap ke depan dan ia bisa melihat Allen yang melambaikan tangan sembari tersenyum padanya. Pria itu lantas menunjuk telepon yang menempel di telinganya.

Freesia membuka pintu mobil dan turun. Didengarnya Allen berkata,

“Ya. Karena ini situasi tak terduga, kalian lanjutkan untuk plan B-nya.”

Lalu, Allen  menutup telepon dan menghampiri Freesia.

“Kenapa kau keluar? Di sini dingin dan kau hanya memakai kaus tipis,” ucap pria itu.

“Aku yang seharusnya bertanya,” balas Freesia. “Kenapa kau keluar? Kau bahkan tidak membangunkanku ketika aku tertidur. Apa aku sudah lama tertidur?”

“Sekitar lima belas menit,” jawab Allen. “Kau tampak lelah, jadi aku berhenti dan keluar untuk mengangkat telepon. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu.”

Freesia terkejut mendengar penjelasan pria itu. Mendadak ia merasa bersalah.

“Maaf, aku tadi malah berpikir jika kau akan menjualku di sini,” aku Freesia.

“Aku … apa?” Allen terbahak hingga terbungkuk-bungkuk.

“Maaf …” Freesia merengut. “Haruskah kau tertawa seperti itu?”

Allen akhirnya berhenti tertawa, tapi pria itu masih menyisakan senyum geli ketika menatap Freesia.

“Jika aku memang ingin menjualmu, aku tidak akan melakukannya dengan cara sepayah ini,” ucap pria itu. “Kau meninggalkan terlalu banyak jejak dan itu akan menyulitkanku.”

Freesia meringis.

“Ayo pergi,” ajak pria itu. “Rumahku sudah dekat.”

Freesia mengangguk dan bergegas masuk ke mobil. Sejujurnya, di luar benar-benar dingin.

“Lima menit lagi kita akan sampai di rumahku,” beritahu Allen lagi ketika pria itu juga masuk ke mobil.

“Apa di rumahmu ada bathtub?” tanya Freesia.

“Ya,” jawab Allen.

“Aku ingin langsung berendam begitu tiba, bolehkah?” pinta Freesia.

“Tentu saja,” jawab Allen santai. “Aku akan menghubungi orang di rumah untuk menyiapkannya.”

Freesia tersenyum lebar mendengarnya.

“Tapi, sedari tadi ponselmu tampak begitu tenang. Tidakkah nenekmu berusaha menghubungimu?” tanya Allen.

Freesia mengibaskan tangan. “Aku menyalakan mode silence dan memblokir semua nomor yang meneleponku,” urainya.

Allen tersenyum geli. “Kau benar-benar … luar biasa.”

“Aku tahu,” balas Freesia bangga. “I’m f***ing amazing!

***

 Allen tersenyum mendengar umpatan gadis itu. Setidaknya, dia tidak akan terlalu terkejut begitu dia tinggal di rumah Allen nanti. Semoga saja begitu.

Allen baru saja tiba di depan gerbang rumahnya ketika ponselnya kembali terdengar. Allen memasang bluetooth earphone untuk berbicara setelah mengangkat telepon dari orangnya.

Bos, sepertinya ada sedikit masalah. Orang itu berusaha kabur dan kami sedang mengejarnya,” lapor orangnya.

Allen mendengus. “Dia masih berani kabur?”

Maaf, Bos.

“Bawa dia ke depanku. Aku sendiri yang akan memberinya hukuman,” Allen berbicara.

Baik, Bos.

Allen menutup telepon, lalu didengarnya Freesia bertanya,

“Apa kau seorang guru?”

Allen nyaris menyembur tertawa mendengar itu. Apa katanya? Guru?

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Allen.

“Karena kau akan memberi hukuman pada muridmu, kan?” jawab Freesia. “Tapi, zaman sekarang, kau harus berhati-hati dalam memberi hukuman. Jika kau memberi hukuman dengan berlebihan, kau bisa dilaporkan.”

Allen mendengus geli. “Dilaporkan?” Seolah ada yang berani melaporkannya. Ah, tapi siapa pun yang berani melaporkan Allen tak pernah bisa mempertahankan nyawanya setelahnya.

“Jadi, kau bekerja di sekolah, semacam itu?” tanya Freesia lagi. “Karena itu, kau membutuhkan pengasuh anak?”

Ah, pantas saja gadis itu berpikir seperti itu tentang Allen. Guru, huh?

“Aku belum menerangkannya padamu, tapi … kurasa nanti kau akan tahu sendiri.” Allen melempar senyum kecil pada Freesia.

“Tapi, sepertinya kau juga dari keluarga kaya,” sebut gadis itu. “Kau punya gerbang otomatis.” Freesia menunjuk ke depan.

Allen menatap ke depan dan gerbang rumahnya sudah terbuka. Allen kembali tersenyum geli dan melesatkan mobil memasuki jalan beraspal yang cukup lebar untuk dua mobil yang di kanan-kirinya hanya ada halaman berumput seluas lapangan bola. Setidaknya, itulah yang dikatakan Lily.

“Ini rumahmu?” tanya Freesia kaget.

“Ya.”

“Kau … benar-benar dari keluarga kaya?” Freesia antusias.

“Apa kau hanya berteman dengan orang-orang dari keluarga kaya?” tanya Allen.

“Nenekku yang mengatur semua pertemuanku, termasuk teman-temanku. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka secara langsung,” terang Freesia. “Ah, kecuali ketika aku sekolah di luar negeri. Aku sempat bertemu beberapa orang tanpa ikut campur nenekku di sekolah.”

“Bagaimana hidupmu selama ini?” heran Allen. “Dan kau hanya diam saja selama ini?”

“Karena itu aku ada di sini sekarang,” jawab Freesia sembari tersenyum. “Karena aku sudah tidak tahan diam saja dengan hidup yang seperti itu.”

Allen manggut-manggut. “Aku bisa mengerti sekarang.”

“Karena itu, terima kasih sudah membantuku,” ucap Freesia sembari tersenyum.

Allen berharap, gadis itu akan terus tersenyum seperti itu selama tinggal di sini. Namun, apa yang harus Allen lakukan dengan orang-orangnya yang berbaris di depan pintu rumahnya seperti itu?

***

Baru beberapa detik lalu, Freesia merasa tenang karena datang ke rumah Allen. Namun, begitu Freesia melihat pria-pria berjas hitam bertubuh kekar berjejer di depan sana, Freesia seketika waspada.

“Mereka … siapa?” tanya Freesia sembari menggenggam ponselnya erat.

“Orang-orangku,” jawab Allen. “Kau bisa menyebut mereka karyawanku.”

“Kau … punya banyak sekali karyawan,” komentar Freesia.

“Yah … begitulah …” Allen menjawab sambil lalu. “Jika kau khawatir, kau bisa menghubungi temanmu itu.”

Freesia memikirkan itu selama beberapa saat, tapi tidak. Dia ingin percaya pada Allen jika memang dia harus tinggal di sini. Hubungan yang berdasar kepercayaan akan lebih awet. Dan lagi, Freesia sudah mengirim posisinya pada temannya itu, berikut pesan untuk memanggil polisi jika dia tiba-tiba menghilang di posisi terakhirnya tanpa kabar.

Begitu mobil Allen berhenti, dua orang menghampiri mobil itu dan membukakan pintu untuk masing-masing Allen dan Freesia.

“Ayo turun,” ajak Allen sembari melepas seatbelt.

Freesia mengangguk dan melepas seatbelt, lalu turun bersamaan dengan Allen. Namun, Freesia tersentak ketika mendengar suara keras dan kompak,

“Selamat datang, Bos!”

Freesia sampai tersentak ke belakang saking kagetnya. Itu pun, ditambah dengan orang-orang yang berbaris itu membungkuk sembilan puluh derajat.  

Dan apa kata mereka tadi? Bos? Apa itu cara karyawan Allen memanggil Allen? Namun kenapa … situasi ini tampak begitu familiar di mata Freesia? Rasanya seperti Freesia menonton film gangster.

Namun, untunglah itu bukan film gangster. Karena kemudian dari pintu rumah itu, muncul seorang anak perempuan yang sepertinya baru berumur tiga atau tempat tahun, berlari keluar menyambut Allen.

“Allen!”

Allen membungkuk untuk menyambut anak itu dan begitu anak itu melemparkan diri padanya, Allen mengangkat anak itu dalam gendongannya. Allen membawa anak itu mendekat pada Freesia.

“Freesia, ini Lily, putriku,” pria itu memperkenalkan gadis kecil itu. “Dia baru berumur tiga tahun beberapa bulan lalu.”

Freesia tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Anak? Ha ha. Pria ini sudah punya anak? Lalu, kenapa dia setuju untuk menjadi kekasih palsu Freesia? Mata Freesia nyalang mencari cincin di jemari pria itu, tapi nothing. Tak ada apa pun di sana.

“Dan Lily, ini Freesia. Mulai hari ini, dia akan menjadi pengasuhmu,” Allen melanjutkan perkenalan mereka.

Ya. Freesia harus fokus pada pekerjaannya. Dia tidak akan penasaran dengan urusan pribadi bosnya. Dan sekarang, Freesia bisa yakin jika setidaknya Allen bukan seorang guru. Tidak ada guru yang dipanggil Bos, kan? Mungkin, dia bos perusahaan yang butuh pengasuh untuk anaknya. Dan tentang hukuman … well, dia mungkin hanya menghukum karyawannya.

Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik sa–

Dang! She’s hella cute, Allen!”

Dang? Hella?

Freesia mendadak mendapati dirinya ingin tertawa. Itu bukan kosakata yang seharusnya dipelajari anak berumur tiga tahun.

“Seperti yang kau tahu, dia punya masalah dengan perkembangan bahasanya. Karna kau punya ilmu basic tentang tata krama dan etika, aku akan sangat berterima kasih jika kau bisa membantuku mengajarinya tentang itu,” ucap Allen. 

You’le f***ing annoying, Allen. Tidak ada masalah dengan bahasaku,” protes Lily dengan cadel.

Gal, kau bahkan belum bisa mengucapkan r, tapi kau sudah begitu lancar mengumpat!’ Freesia berteriak dalam kepalanya.

“Aku yang menilai itu, Lily,” jawab Allen tegas. “Dan mulai sekarang, kau harus belajar dengan Freesia.”

“You’le such a pain ass, Allen,” kesal Lily.

Ha ha. Sepertinya, ini benar-benar film gangster. Dan anak ini, adalah anak seorang bos gangster.

Matilah Freesia.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status