Pov Alia"Ha ha ha ... BH kamu ketinggalan, Al?" Bang Rizal bangun dari tempat tidur sambil terpingkal-pingkal. Dia mentertawakan nasib sial yang menimpaku, istrinya. Sungguh menyebalkan. "Ketawa aja terus sampai kencing di celana baru tahu rasa!"Aku menyilangkan kedua tangan di dada, kutatap tajam Bang Rizal. Perlahan dia berjalan mendekatiku. Tangan kirinya segera menarik tubuhku hingga kepalaku menempel di dada bidang miliknya. "Abang lebih suka kamu tak memakai dalaman, lebih leluasa," ucapnya kemudian mengedipkan mata ke arahku. "Abang mesum terus pikirannya!" Kudorong tubuhnya hingga menjauh dariku. Lagi suamiku tertawa lalu mengedipkan mata menggoda ke arahku. Baru juga sampai tapi pikiranku sudah travelling ke mana-mana. "Mandi dulu sana, nanti kita beli setelah shalat. Waktunya tidak cukup kalau kita beli dalaman dulu.""Masa pakai daleman yang udah kotor, Bang," ucapku merajuk. "Gak usah pakai dulu, pakai baju longgar dan hijab besar."Aku mengangguk pasrah, kuambil
Pov AliaPonsel Bang Rizal berbunyi, segera ku ambil benda pipih yang ada di atas meja. Seketika dada ini bergemuruh melihat nama Kartika tertera di layar ponsel. Mau apa lagi wanita itu? Aku melirik ke kamar mandi. Memastikan Bang Rizal masih di sana sebelum kuberikan pelajaran pada wanita yang tidak memiliki urat malu itu. Kartika memang sahabat Bang Rizal, tapi bagiku dia parasit yang harus dibasmi. Bukan, bukan aku tak menghargai sahabat suamiku. Namun aku tak ingin ada wanita lain yang merebut apa yang menjadi milikku saat ini. Setelah memastikan semua aman, segera kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. "Sudah kubilang jangan pernah dekati suamiku, apa kamu tidak mengerti? Kamu itu hanya sahabat dan selamanya akan tetap seperti itu.""Ta ....""Tidak usah mencari pembenaran atas sebuah kesalahan. Kamu tau, apa sebutan yang pantas bagi wanita seperti kamu. Kamu wanita yang tidak memiliki ....""Telepon dari siapa, Al?" Aku tersentak, suara Bang Rizal bagai halilintar.
Sinar mentari menerobos masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Hangat sinarnya menyilaukan mata ini. Perlahan kugerakkan mata ini. "Astagfirullah ... bangun, Bang. Sudah jam sembilan!" Aku menggoncang tubuh Bang Rizal sedikit keras. Suamiku menggeliat lalu kembali memejamkan mata. Astaga, Bang Rizal benar-benar menguji kesabaran. "Bang sudah jam sembilan, kita ketinggalan shalat subuh, Bang!" Rasa sesal semakin besar memenuhi rongga dada. Meninggalkan shalat adalah suatu dosa besar. Meski Allah tahu aku tak sengaja melakukannya. Namun aku tak sanggup membayangkan murka Tuhan kepadaku. Berkali-kali kuguncangkan tubuh Bang Rizal, tepati lelaki itu justru menarik selimut kembali. Suara dengkuran terdengar. "Bang, bangun! Sholat subuh dulu!" Kugoncangkan lagi tubuhnya. Tapi tetap saja ia tak bergerak. Sungguh menyebalkan! Tanpa menunggu Bang Rizal bangun, aku segera beranjak dari ranjang. Sedikit berlari kuambil pakaian lalu menuju kamar mandi. Dalam hati terus berdoa se
Pov AliaAku mengatur napas. Pertanyaan wanita itu tak ubahnya sindiran karena aku menikah dengan kakak angkatku sendiri. Mengepalkan tangan di samping, kutahan emosi yang tiba-tiba memenuhi rongga dada. "Seperti tak ada orang lain saja. Memang stok lelaki di dunia ini sudah habis?" sindirnya. Dadaku kian bergemuruh. Rasanya mulut wanita itu harus diberi pelajaran agar tahu mana yang baik dan tidak. "Sayang, kamu di sini?" Aku bernapas lega Bang Rizal datang tepat waktu. Setidaknya aku bisa menghindari wanita itu. Tak kenal, tapi kelakuannya membuat emosiku naik. Apa seperti ini gambaran netizen? "Kami permisi, Mbak tukang ghibah!" ucapku lalu menggandeng tangan Bang Rizal pergi dari hadapannya. Sempat kulihat wajah wanita itu memerah menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Baru juga dikatain tukang ghibah sudah kepanasan saja. "Kenapa senyum?" tanyaku saat melihat Bang Rizal tersenyum seraya menggelengkan kepala. "Dasar anak kecil."Anak kecil? Ini istri kamu, lho, bukan a
Pov Alia“Kenapa kamu bersama Marcel,Al?” tanya Bang Rizal ketika aku sampai di hadapannya. Perlahan kuhembuskan napas yang terasa sesak. Pertanyaan Bang Rizal adalah sebuah kecurigaan yang ia tujukan padaku.“Mereka tadi bermesraan di dalam toilet,Zal. Lihat aja baju mereka sampai basah seperti itu,” ucap Kartika lalu tersenyum sinis ke arahku.Aku diam,biarlah Bang Rizal percaya kepada siapa,aku atau dia? Dari sini dapat kulihat seberapa dekat ia dengan wanita tak punya urat malu itu. Kalau dia mengenalku,pasti ia percaya aku tak akan melakukan hal hina seperti yang Kartika tuduhkan.“Apa benar seperti itu,Al?” Menggelengkan kepalaku pelan, menatap Bang Rizal penuh kekecewaan kemudian kulangkahkan kaki meninggalkan sepasang sahabat itu. Pertanyaan suamiku menunjukkan jika ia tak mempercayai aku. Lalu untuk apa kujelaskan?“Alia,tunggu! Abang belum selesai bicara!” Aku terus melangkah,tak kuhiraukan suara Bang Rizal yang terus memanggil namaku. Rasa kesal kian memenuhi rongga dada
Pov Alia"Apa maksud kamu, Bisma? Apa hubungan kamu dan Syasya?""Ck! Jangan pura-pura tidak tahu, Alia. Bukankah mantan adik iparmu sudah cerita semuanya?" Bisma melangkah mendekat, refleks aku mundur. "Aku tidak mengerti, kita baru saja kenal. Apa lagi Syasya. Jangan mengada-ada kamu, Bisma!"Aku kembali mundur satu langkah. Sial, kaki ini menyentuh dinding. Toilet berada di ujung ruangan. Sekeliling tempat ini sepi, Allah... Bantu aku lepas dari lelaki gila ini. "Katakan di mana wanita itu? Jangan coba-coba menyembunyikannya dariku!" Bisma mencengkeram lengan kiri hingga aku meringis kesakitan. "Aw... Sakit, aku akan katakan pada Bang Rizal. Kupastikan dia membatalkan kontrak kerja sama dengan kamu. Lelaki tidak tahu malu!" "Kamu!" Tangan lelaki itu melayang ke udara. "Tolong! Tolong!" Lebih baik berteriak meminta pertolongan, aku tidak akan sanggup menghadapi lelaki ini. Entah dari mana Bang Rizal menemukan teman seperti Bisma dan Kartika. Teman yang menusuk dari belakang.
Pov Alia"Iya, kamu pasti hamil, Al? Kapan terakhir datang bulan?" tanya Marcel sudah seperti dokter. Aku terdiam memikirkan pertanyaannya. Kapan aku terakhir haid? Ah, aku saja lupa, bagaimana bisa menjawab? Semenjak selalu kecewa ketika telat datang bulan, semenjak itu pula aku tak pernah mengingat kapan terakhir datang bulan. Aku takut terlalu berharap lalu akhirnya kecewa. Lelah, putus asa dan mulai menyerah, itu yang sempat kurasa. Hingga akhirnya aku memilih pasrah, mengikuti alur yang Tuhan tuliskan. "Aku lupa, aku bahkan tak pernah mau mengingat itu. Takut kecewa."Aku segera merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Sepertinya aku harus kembali ke hotel. Takut Bisma kembali berulah dan merepotkan aku lagi. Dengan cepat jemariku menari di atas layar, memesan sebuah taksi melalui aplikasi online. "Aku antar sampai halaman hotel, Al. Wajah kamu pucat. Aku takut kamu muntah atau pingsan di jalan." Marcel menantapku lekat. "Aku sudah pesan taksi online.""Yakin?""Yakinlah, lebih
“Memangnya ada tampang penipu di wajah aku,Bang?” ucapku kesal.Sebagai mantan kakak dan suami harusnya dia tahu jika ucapanku itu benar. Mana mungkin aku berbohong bahkan memfitnah orang. Entah apa yang ada di kepala Bang Rizal hingga ia begitu percaya dengan parasit berkedok sahabat.“Bukan begitu,Alia. Setahuku Bisma tidak dekat dengan wanita mana pun,apa lagi Syasya. Kalau pun dekat dengan Syasya harusnya aku tahu,dong.”Aku menghembuskan napas kasar, ternyata susah meyakinkan orang tanpa bukti meski itu suamiku sendiri. Sepertinya aku harus mencari bukti agar memperkuat ucapanku. Ah, masalah Mas Alvan selesai tapi kini tumbuh masalah baru yang jauh lebih rumit. Dulu Bang Rizal membantuku tapi kali ini aku harus berusaha sendiri.“Abang yakin Bisma atau pun Kartika bisa dipercaya? Keluarga saja bisa menusuk dari belakang,apa lagi orang lain yang tidak memiliki ikatan apa pun. Harusnya masalahku dengan Mas Alvan bisa dijadikan pelajaran jika tak selamanya orang bisa dipercaya terma