Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y
“Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal
Aku kembali masuk ke dalam kamar setelah melihat kendaraan yang dinaiki oleh mas Ammar berlalu. Kembali mendekat ke perpustakaan kecil itu, dan mendekat ke jejeran buku yang dikoleksinya. Aku masih penasaran dengan nama penulis yang sama persis dengan nama Mas Ammar. Kucari buku tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada. Mungkinkah ia mengambilnya? Aku tersenyum sendiri. Bukankah Mas Ammar tidak suka aku mendekat ke perpustakaan miliknya, untuk apa aku mengulang kesalahan yang sama?Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja. Bersebelahan tepat dengan laptop. Aku mendekat dan mengintip nama yang tertulis. “Dinda “ . mungkinkah ini alasan Mas Ammar tak bercerita kepadaku mau kemana? Aku membiarkan dering ponsel itu berlalu begitu saja, tak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, sebuah panggilan atas nama Dinda kembali terdengar. “Assalamualaikum,” ucapku ragu yang kini mendekatkan ponsel Mas Ammar ke telingaku. Ini tindakan lancang, tapi aku
“Ayo siap-siap,” ucap Mas ammar usai mandi. Ia sedang memilah pakaian yang menggantung di almarinya.“Siap-siap? Kemana?” tanyaku bingung. “Khadijah, Bukannya kamu bilang mau ikut kalau aku ke tempat Dinda?” tanyanya.Aku mengangguk.“Ya sudah sana mandi dan siap-siap! Kenapa malah mematung disitu?”“Eh, iya.”Aku bergegas mengambil pakaian di almari dan membawanya masuk ke kamar mandi. Ya, selama ini aku masih nyaman seperti itu, karena malu berganti pakaian dalam kamar, sedangkan disana juga ada Mas Ammar. Keran kuputar, hingga terdengar suara gemericik dari air tersebut yang masuk ke dalam gentong berbahan keramik. Lalu dari tempat tersebut kubasuh tubuhku dengan gayung. Aku lebih menyukai mandi seperti itu, meskipun di sini terdapat shower yang siap digunakan.“Dijah, cepetan dikit!” teriak Mas Ammar dari luar pintu.Kupercepat mandiku, dan segera kupakai pakaian yang menggantung tak jauh dariku. Setelahnya, aku akan menyisir rambut di depan cermin di dekat kasur. “Maaf ya, Mas
“Mbak Dijah ....” teriak Dinda sambil melambaikan tangannya. Sontak seluruh anak-anak yang sedang dididiknya itupun menoleh ke arah kami.Terdengar bisikan-bisikan antara anak-anak dan para tenaga pendidik itu, yang aku tak ketahui jelas apa yang diucapkan. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara bel sebagai tanda pelajaran telah usai. Anak-anak mulai berhamburan , mereka mengambil jajan ke arah gurunya, lalu berjalan ke pintu samping. Sedangkan adikku, kini mulai mendekat ke arahku dengan senyum yang tergambar jelas. “Mbak Dijah ikut kesini?” tanyanya.Ia menjabat tanganku dan mencium punggung tanganku, lalu kubalas dengan memeluk tubuhnya yang memiliki tinggi lebih dariku. Mas ammar pamit sebentar, sepertinya sengaja memberikan ruang untuk aku dan Dinda mengobrol, sedangkan sebelum pergi ia sedikit berbisik di telingaku. “Jangan bahas apapun tentang kita.”Aku tak paham maksudnya, niat awalku bertemu dengan Dinda karena ingin berbicara panjang kali lebar tentang hubungan mereka
“Dijah, apa yang kamu lakukan?” tanya Mas Ammar kaget. Ia melihat tas dan isinya yang berantakan. “E … ini, Dijah mau rapikan …”“Tidak usah, biar aku saja.”Ia setengah belari mendekat ke arahku, hingga handuk kecil yang menutup tubuh bagian bawahnya melorot. Reflek aku berteriak sambil menutup mataku dengan kedua tangan. Meskipun kami menikah sudah seminggu lebih, tapi aku tak pernah melihat ia polos sempurna, begitupun sebaliknya. “Eh, maaf,” ucapnya yang kini mengambil handuknya di lantai. “Aku tuh sudah pakai bagian dalamnya,” imbuhnya lagi. Aku membuka mata setelah selang beberapa menit, menunggu tubuhnya kembali tertutup.Wajahnya begitu memerah, dan ia langsung berlari setelah mengambil pakaian yang sudah kusiapkan. Benar-benar membuatku tertawa. Ini adalah hal terkonyol yang terjadi. “Mas, ganti pakaiannya sudah belum?” tanyaku yang menunggunya di depan pintu kamar mandi. Hampir lima belas menit lamanya ia belum keluar juga. “Aku mau mandi, Mas,” ucapku lagi sambil menge
“Aku ... e ....”“Bagaimana aku bisa tidak mencintaimu, Jah? Sedangkan sejauh ini namaku selalu kau sebut dalam doamu. Kau serahkan hatimu dengan sang maha pembolak balik hati manusia.”“Mas ammar ....”“Hm, apalagi?” tanyanya.“Jangan marah-marah.”“Bagaimana aku tidak marah sedangkan kamu membuatku kesal.”“Dijah minta maaf, Mas.”“Tidak gratis.”“Maksudnya?”“Ya bayar.”“Bayar pakai apa? selama ini Mas Ammar gak pernah beri Dijah uang belanja.”Lelaki itu menatapku untuk sesaat, lalu mengambil dompet dari saku celananya. Dibukanya benda tersebut, hingga menampilkan beberapa lembaran uang seratus ribuan. Namun, yang diambilnya bukanlah uang yang itu, ia mengambil bagian yang terselip, dimana lembaran uang itu kini berbentuk gulungan layaknya rokok, yang sudah pipih. “Ini jatahmu dari beberapa hari kemarin. Maaf baru memberikannya hari ini. toh kita makan juga masih numpang sama ibu kan?”Aku terdiam. Ini semua rasanya seperti mimpi bagiku.“Dijah, mau uangnya gak? Aku kembalikan la
Sampai fajar menyongsong, pelupuk mataku belum mampu tertutup. Aku masih asyik bergerilya menatap setiap inci wajah lelaki di sebelahku yang tengah mendengkur. Bersamaan dengan irama jantungku yang berirama tak karuan. Tak ada sedikitpun waktu terlewat untuk terus menikmati paras tampannya.Hingga sayup-sayup azan terdengar, mata ini justru memberat. Aku dikagetkan dengan sentuhan di tanganku secara berulang.“MasAmmar,” ucapku yang kini menatap muka lelakiku. Wajahnya sudah cerah laksana matahari terbit, dan meninggalkan jejak hangat. Apalagi ketika lengkungan senyum itu diterbitkan, membuat hati ini semakin lumer karenanya.“Dijah, sudah subuh. Ayo bangun.”Suara azan saling saut menyaut, memaksa tubuh ini untuk bangkit, tak berlarut dengan kantuk. Biasanya aku yang terbangun terlebih dulu. Namun, bersama Mas Ammar justru membuatku terlena hingga mengakhirkan rakaatku.‘Ya Allah ya robbi, jangan lebihkan rasa cintaku kepada makhlukmu melebihi rasa cintaku terhadapMu,’ batinku.“Tumb