Share

Bab.7 Hujan

last update Last Updated: 2023-06-12 21:08:42

“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. 

“Emak ….”

Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. 

“Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.

Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. 

“Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”

Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. 

“Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan wanita yang telah melahirkanku. Baru saja kemarin kulihat wajahnya tersenyum sumringah meihatku dipelaminan, kini wajahnya sayu dengan pandangan yang redup. 

“Emak, ini Dijah, “ ucapku yang kini mencium punggung tangan emak, dengan tangis yang tak berhenti reda. Dalam hati terus berdoa, agar wanita di depanku ini segera diangkat penyakitnya. Aku belum sanggup kehilangan dia. Aku bahkan belum pernah membahagiakan emak ataupun membuatnya bangga.

“Dijah,” ucapnya lirih.

Aku mengangguk. 

Emak tersenyum, dan kini menggenggam tanganku. Hingga tiba-tiba emak mengucapkan kalimat yang layaknya sebuah wasiat sebelum benar-benar meninggalkan kami di dunia ini. 

“Pernikahan itu ibadah, Nduk. Berbuah pahala. Ingat, aib rumah tangga jangan sampai terendus siapapun. Jadilah istri yang soleha, nurut kepada suamimu.” Aku tersenyum saat itu, hingga akhirya emak menitipkan Dinda. 

Sungguh, ini adalah hal yang berat, ketika melihat emak menutup matanya masih dalam pangkuanku. Tatapannya, senyumnya terbingkai jelas dimataku. Bahkan setetes air mata juga turut luruh melihatku yang tak hentinya menangis. 

“Emakk …”

Salah satu petugas dari puskesmas mengecek nadinya. Hingga akhirnya kalimat istirja keluar dari bibir wanita berseragam itu.

 

“Innalillahi wainnailaihi rojiun.”

 

“Emak ....”

 

Dinda kembali pulang, setelah mendengar berita duka itu. Ia dijemput Mas Ammar karena aku takut terjadi apa-apa dengan adikku. Ya, melakukan perjalanan hampir dua jam lamanya dalam keadaan hati yang berduka, sangatlah berbahaya. Masih ingat jelas dikepala, bahwa emak menitipkan Dinda kepadaku. 

“Emak ...” teriak Dinda yang kini langsung mendekat tubuh yang terlentang dan tertutup kain jarik bermotif coklat ini. Disingkapnya ujung benda tersebut, hingga wajah emak yang sudah seputih susu itu tampak, dengan dua buah kapas bulat yang ditutupkan di kedua lubang hidungnya.

 

“Emak, maafin Dinda,” ucapnya parau. 

 

Aku memeluk adikku, dan membenamkannya dalam pelukanku. Tangisnya pecah, ia terus terisak sambil menyebut nama emak.

“Maafin dinda, Mak. Harusnya dinda di rumah nemanin emak, gak langsung berangkat,” ucap wanita cantik itu yang terlihat menyesal.

 

Kubelai  jibab instan yang dipakainya, seraya terus membujuk Dinda untuk sabar. Mencoba menguatkan diri, meskipun hati ini juga tak tahan dengan rasa penyesalan. Jika aku tak menikah dengan Ammar, mungkin Dinda gak akan berangkat secepat ini. Emak juga gak dikungkung rasa rindu, dan mereka bisa bersama dengan senyum yang melebar. Andai ...

‘Semua salahmu, Dijah. Kamu penyebab dari semua musibah ini. Kamu merenggut kebahagiaan Dinda adikmu. Kamu juga menjadi sebuah sebab dari meninggalnya emakmu,’ batinku yang terus merutuki diri sendiri. 

 

“Mbak Dijah, emak kenapa? Kemarin aku masih lihat emak baik saja, dan kini ... emak...” Ia menunjuk wanita yang tubuhnya telah terbujur kaku di depannya. 

 

“Dek, doakan emak. Sekarang ini yang dibutuhkan emak adalah sebuah doa, bukan tangisan.”

Dinda menyenderkan kepalanya dibahuku, hingga bacaan doa dimulai untuk mengantar kepergian wanita yang begitu kuhormati. Sesekali kulihat adikku itu sesenggkan, lalu menarik nafasnya yang terdengar sangat berat. 

“Sabar ya, Dek. Ini sudah garis Tuhan,” ucapku sambil menepuk pipinya dengan lembut.

 

Aku, Dinda, dan Mas ammar mengantar emak ke peristirahatan terakhir. Turut menyaksikan dari awal beliau dimasukkan ke liang lahat, sampai di tutup kembali oleh tanah yang kini menggunung. Aku turut menaburkan bunga di atasnya, sedangkan dari tadi Dinda terus menangis tak ada hentinya.

Hatiku terus teriris, menatap wajah dinda yang tampak belum ikhlas. 

“Dek, sudah. Kita pulang dulu yuk! Kita berdoa untuk emak di rumah,” ucapku setelah semua rombongan telah berlalu.

 

Angin sepoi terus menyapa, bersamaan dengan langit yang mulai tertutup oleh awan hitam. Sepertinya tak lama lagi rintik hujan  akan turun.

 

“Mbak Dijah enak. Selama ini terus tinggal sama emak. Sedangkan dinda?” tanyanya yang sedikit berteriak. Ia terus menangis di depan pusara emak sambil memeluk batu bertuliskan nama wanita yang telah melahirkan kami.

 

Cahaya terang menyala, bersamaan dengan suara petir yang menyambar. Tak lama kemudian turunlah air dari langit.

“Dek, ayo pergi. Hujan sudah turun,” ucapku yang kini berlari kecil mencari pohon untuk berteduh. Tak ada langkah yang mengikuti. Hingga aku menoleh ke belakang, kulihat pemandangan yang memilukan hati. Dinda masih berada di posisinya, dengan memeluk nisan emak bersamaan linangan air mata. Sedangkan di belakangnya, tampak Mas Ammar yang membawa sebuah payung di tujukan di atas tubuh dinda. Membiarkan rintikan air hujan jatuh dan membasahi tubuhnya sendiri. Beginikah yang namanya sebuah cinta? Dimana semua saling melengkapi.

 

Aku tersenyum, lalu berbalik badan dan berjalan pulang. Tak peduli seperti apa derasnya air yang mengucur ke bumi. Aku terus melangkah. Aku bahkan tak mampu lagi membedakan mana air mata, dan mana air hujan yang membuatku basah . semua menjadi satu. 

 

**

“Mbak, kamu sudah pulang?” tanya Dinda yang kini melewati pintu rumah. Bajunya tak basah sedikitpun, hanya terdapat percikan tanah di celana bagian bawah yang dikenakannya.

 

“Iya. Maaf Mbak pulang dulu tanpa pamit.”

 

Dinda masuk ke kamar, berikut dengan Mas Ammar yang kini masuk dengan baju yang basah. Tubuhnya telrihat menggigil menahan digin, dengan ujung-ujung jari yang tampak keriput.

 

“Mandi dulu sana, Mas. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu.”

 

Kuambil panci yang memang sengaja kuisi air dengan penuh, dan kubiarkan terus berada di atas kompor. Ya, aku tahu Mas ammar pasti akan pulang dalam keadaan basah.

 

“Terima kasih,” ucapnya yang langsung berlalu melewatiku. 

 

**

Jika awal aku menikah, karena ingin melihat ibu bahagia. Lalu yang trjadi sekarang, apakah itu tanda untuk aku mengakhiri semuanya? Ada dinda yang masih menyimpan rasa kepada Mas ammar, juga dengan lelakiku itu yang menyimpan rasa yang sama. Haruskah aku mundur?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nini
kisah yg rumit ..
goodnovel comment avatar
Nini
sedihhh ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Salah Melamar   Tamat

    Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.45

    “Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.44

    Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.43

    “Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.42

    Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.41

    “Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status