Share

Salah Melamar
Salah Melamar
Penulis: Fida Yaumil Fitri

bab.1 Lamaran

“Dijah, kamu segera siap-siap ya. Nanti malam ada yang melamarmu,” ucap emak sambil memamerkan senyum di wajah keriputnya. Binar matanya indah, menyiratkan betapa bahagianya saat ini. 

 

“Me-la-mar, Mak?” tanyaku tak percaya. 

 

“Iya. Sudah hentikan bacaanmu. Kamu segera mandi, ini sudah jam 5 sore juga. Anak perawan kok males mandi,” ucap Emak dengan kecepatan kilat sambil menarik paksa buku yang kupegang. Sebuah novel roman yang baru saja kubeli beberapa saat lalu.

 

Aku Dijah, anak pertama dari seorang janda tua sederhana. Bapakku sudah meninggal beberapa tahun lalu, dan aku hanya tinggal berdua bersama Emakku yang super bawel. Meskipun begitu, aku sangat menyayanginya. Sebenarnya aku masih punya saudara, Namanya Dinda, dia adikku satu-satunya, yang mau tak mau menjadi teman berantemku. Sayang, saat ini ia sedang kuliah di kota, mengejar mimpinya. Sedangkan aku? Aku lebih memilih tinggal bersama ibu, karena tak tega meninggalkan ia. Terlebih lagi aku tak ingin membebani emak dengan biaya kuliah yang mencapai puuhan juta. Hingga tinggallah Dijah, yang hanya sebatas tamatan sekolah menengah atas. 

 

“Dijah! Kenapa masih di kamar? Cepat segera mandi,” teriak emak dengan tinggi nada yang semakin keatas.

 

Kalau ucapannya sudah bervolume diatas standar, mau tidak mau aku harus nurut. Dari pada daun telinga ini menjadi korban atas keganasannya, atau bisa jadi sapu dan kemoceng akan melayang ke setiap bagian tubuhku.

 

Dijah, nama yang sangat kuno bukan? Aku dilahirkan pada tahun 90 an, tapi namaku seperti pada era kemerdekaan. Nama yang selalu menjadi sasaran empuk buat teman-temanku untuk membullyku. Meskipun sebenarnya nama pemberian dari almarhum bapak ini, adalah nama yang indah. Lengkapnya Khadijah. Nama yang cantik bukan? Bapak pernah berharap, aku memiliki kelembutan hati seperti istri seorang nabi. Tapi, sayangnya, di umurku yang terbilang sudah cukup dari kata matang belum juga ada lelaki yang hendak mempersuntingku. 

Bukan tanpa alasan. Aku adalah wanita biasa, hidupku juga sangat biasa. Aku tak cantik, juga tak cerdas, aku juga tak memiliki keahlian apapun, terlebih aku bukanlah perempuan berada. Entahlah, mungkin saat pembagian rejeki, aku hanya dapat bagian sedikit saja. Lain halnya dengan adikku Dinda. Meskipun kami dilahirkan dari rahim yang sama, nyatanya rejekinya berbeda. Dia terlahir sebagai wanita cantik, hidungnya mancung, tubuhnya semampai dengan kulit tubuh yang putih dan bersih. Bibirnya kecil, namun selalu berwarna kemerahan, berikut dengan alis warna hitam meskipun tanpa tersentuh oleh eye brow. Jika kami sedang berdiri bersama, tentu akan terlihat perbedaan mencolok diantara kami, terlebih lagi tinggiku sudah tersaing oleh tubuh sempurnanya. 

 

“Dijah, masih belum keluar kamar juga?” tanya emak dengan nada yang semakin meninggi, dengan cepat aku membuka pintu kamar dan menampakkan diri. 

 

“Emak, tadi Dijah ambil handuk dulu,” ucapku sambil memerkan benda bertekstur halus yang melingkari leherku.

 

Emak tersenyum.

 

“Sebenarnya siapa yang mau melamar dijah, Mak?” tanyaku ragu. 

Sebenarnya siapapun yang datang, aku tak mungkin menolak. Karena bagaimanapun, aku yakin kalau pilihan emak adalah jodoh yang terbaik, itulah yang aku percayai. Lebih memilih pasrah dengan jodoh yang akan ditakdirkan tuhan kepadaku. 

 

“Nak Ammar.”

 

“Ammar?” tanyaku yang diikuti dengan menelan saliva dengan kasar. 

 

“Jangan bilang kamu menolak. Kamu sudah janji kan, menyerahkan urusan jodoh kepada Emak.’

 

“Nggih, Mak,” ucapku yang segera berlalu ke kamar mandi dengan menahan senyum di hatiku.

 

“Ammar?” ucapku tak percaya sambil menatap wajahku di cermin kamar mandi. 

Ya, di ruangan yang tak besar ini aku memang meletakkan pecahan kaca yang memiliki sisi tak beraturan ke dinding. Aku mempunyai kebiasaan menatap wajahku sebelum dan sesudah mandi. Alasannya sih supaya tahu bagaimana perubahan wajahku dari jelek menjadi cantik, tapi nyatanya tak ada yang berubah. Entah aku mandi ataupun tidak, rasanya tak ada bedanya, karena itulah aku jadi wanita yang malas mandi. 

 

Ammar, dia adalah salah satu pemuda idaman di kampung ini. Lebih tepatnya idamanku. Dia anak dari seorang imam masjid tempat ini. Lain dari kakak-kakaknya yang selalu terlihat rapi dan agamis. Ammar memiliki penampilan yang beda. Jika kedua kakaknya lebih sering memakai sarung dan baju koko, Ammar lebih suka dengan celana levis dan atasan kaos. Jika kedua kakaknya suka ikut berjamaah di saf depan bersama bapak mereka, lain halnya dengan Ammar yang selalu datang terlambat dan berada di saf sholat paling belakang. Ia terlihat lebih urakan dari saudaranya yang lain, tapi tetap saja wajah tampannya itu menghipnotis kaum hawa.

 

‘Amar melamarku?’ batinku yang masih tak percaya. Beberapa kali kuusap kasar wajahku sendiri, memastikan jika semua bukanlah mimpi. 

 

***

Detikan jam terus berjalan, bersamaan dengan hatiku yang dag dig dug tak karuan. Menghadirkan sandi rumput yang entah bagaimana cara membacanya. 

 

Apalagi ketika kulihat rombongan dengan 2 mobil terparkir. Jantungku seakan hendak copot dari tempatnya. Emak memintaku untuk berdiam di kamar, menatap rombongan itu masuk dari balik jendela. Sedangkan wanita keramat yang telah melahirkanku, menjamu tamunya dengan wajah sumringah. 

 

“Khadijah,” teriak bulekku bersamaan dengan ketukan pintu. 

 

Kalau sudah seperti ini, mau tidak mau aku harus keluar menampakkan batang hidungku yang terkesan pas-pasan. Kulihat kembali wajahku di cermin, berikut dengan pakaian yang menyelimutiku saat ini. Aku berdiri di depan kaca besar yang menempel di pintu almari, mengenakan kebaya warna biru dengan make up seadanya. Tidak lupa kututupi mahkotaku dengan warna senada. 

 

“Eh, lupa,” ucapku bermonolog sambil mengambil parfum murahan yang berada di atas meja, kusemprotkan benda tersebut, hingga wangi itu menguar ke seluruh ruangan.

 

“Tarik nafas, hembuskan. Tatik nafas, hembuskan,” ucapku sendiri sambil melakukan perintah dari bibir. Seperti inilah caraku menenangkan diri dari rasa tegang.

Perlahan kupegang gagang pintu, dan memutarnya. Kugeser benda kayu itu, hingga terdengar suara berderit ketika pintu kayu berbenturan dengan lantai. Kini, semua mata menatap kearahku, karena pintu kamar langsung berhadapan ke ruang tamu.

 

Kedua orang tua Ammar duduk di sofa panjang, dengan ketiga anaknya yang saling berdampingan dengan pasangan masing-masing. Tak terlihat Amar layaknya sebuah pesta lamaran di tiktok ataupun f******k. Karena di desa ini, masih sangat mengikuti budaya lokal. Dimana sang lelaki yang melamar, tak akan turut serta untuk datang. Apalagi sampai bertukar cincin layaknya selebriti. Bahasa jawanya, orang tua akan nembung kepada pihak perempuan, meminta ijin jika anak perempuannya akan diunduh mantu. Setelahnya, sang wanita ditanyai oleh pihak lelaki, apakah bersedia dinikahi oleh anaknya yang bernama fulan. Ketika aku menjawab iya, semuaa prosesi usai. Ya, sangat sederhana.

 

Setelah melakukan prosesi lamaran usai. Baik keluarga Ammar dan keluarga besarku saling musyawarah tentang hari pernikahan. Sekilas akupun mendengar, jika hari pernikahanku tinggal hitungan hari. Hingga di hari H, aku mendapati kenyataan jika yang hendak dilamar oleh Ammar adalah Dinda, adikku. 

 

 

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Innallah Ma'ana
iya benar itulah adat tradisi jawa
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
klo orang Jawa gk boleh melangkahi kakaknya. makanya lamaran Ammar diterima buat Dijah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status