Share

bab.2 Kedatangan Dinda

“Wah, Dijah mangklingi ya kalau didandani seperti ini,” ucap salah satu saudara yang mengintipku dari balik pintu. Tanpa menoleh ke arahnya pun aku sudah tahu kalau itu bulek. 

Aku tersenyum, menatap wajahku dalam pantulan cermin rias. Seorang wanita berjilbab dengan riasan full itu benar-benar berbeda dengan wajahku. Pipinya terlihat lebih tirus, hidungnya terlihat lebih mancung, serta wajahnya yang kini berseri. Sejujurnya wajah berseri itu bukan nampak dari polesan yang tersapu ke wajahnya, melainkan betapa bahagianya aku yang akan dipersunting dengan lelaki yang memang aku idamkan. Aku benar-benar tak menyangka jika Ammar adalah jodohku. Mungkinkah ini suatu keajaiban dari sebuah doa? Nama yang kupanjatkan dalam setiap sujudku.

Sebuah senyum tercipta, membayangkan kehidupanku ke depannya yang akan sangat indah. Merasakan sebuah pacaran setelah nikah, layaknya sebuah pernikahan di novel roman yang pernah aku baca. Saling malu-malu dan akhirnya saling mau-mau.

“Assalamualaikum,” ucapan salam itu terdengar, berikut dengan tubuh semampai yang kini mengenakan tas dan jaket berbahan jeans. Jilbab warna merah muda yang dikenakannya sedikit berantakan, hingga ujung benda persegi empat itu sudah tak terbentuk dan menutupi sebagian dari wajah cantik adikku. 

“waalaikumsalam, Dinda,” ucapku yang kini langsung bangkit dan merengkuh tubuhnya. Kupeluk ia berikut dengan ransel yang masih menempel di punggungnya. 

“Kenapa baru datang, Dek? sebentar lagi mbak sudah mau ijab,” ucapku yang kini melepas pelukan. 

Dinda menunduk, terlihat murung di balik kerudung yang dikenakannya. Wajah dengan kulit putih bersih itu kini terlihat redup, berikut dengan kantung mata yang membengkak, layaknya habis nangis berhari-hari. 

“Dek, kamu kenapa?” tanyaku kepada gadis kecil yang baru saja pulang dari kuliahnya. Sebenarnya aku memberitahu Dinda tentang hari pernikahanku seusai  keluarga Ammar datang.  Aku juga meminta ia yang akan menjadi pager ayuku ketika resepsi dilaksanakan. Sayang, tugas kuliah Dinda menumpuk. Bahkan ia baru bisa datang tepat di hari pernikahan sepeti ini, di waktu yang sangat mepet dengan ijab. 

“Dek, jawab pertanyaan Mbak.”

Alih-alih Dinda menjawab pertanyaanku, justru yang ada ia menangis sejadinya. Awalnya lirih, lalu mulai terdengar isak tangis itu, hingga semua berakhir dengan tangisnya yang tersedu-sedu. Benar-benar membuatku keheranan dan memunculkan pertanyaan besar.

“Dek, kamu kenapa nangis? Jawab pertanyaan mbak,” tanyaku yang terus mengulang kalimat yang sama. 

“Mbak Dijah nikah. Dinda gak punya teman berantem lagi. Selain itu pasti mbak tinggal dirumah Mas Ammar, tentu waktu kita berkumpul akan sangat kurang.”

“Ya elah, Dek. mbak kira ada apa. Untung Mbakmu gak punya riwayat penyakit jantung lemah. Bisa sekarat nanti, gak jadi nikah,” ucapku sambil melengkungkan bibir. 

“Mbak khawatir ya dengan Dinda? Emang mbak kira dinda kenapa?”

“Mbak pikir kamu habis dirampok gitu. Kan perjalananmu kesini cukup panjang.”

“Biasanya juga diajak berantem. Tumbenan dikhawatirin. Emang sayang sama Dinda?”

“Lah, harus ditanyakan? Ya pasti sayanglah, adekku yang cantik,” ucapku sambil mencubit hidung mancung miliknya. Hidung yang berbanding terbalik dengan milikku, pesek.

“Kalau sayang sama Dinda, boleh tidak kita bertukar nasib? Dinda yang nikah dengan Mas Ammar?”

Aku terdiam, bahkan untuk menelan salivapun sangat kesusahan. Mendadak kerongkongan ini mengering begitu saja.

“Mbak Dijah serius sekali. Lagian, siapa juga yang mau nikah muda? Sama mas ammar lagi? Kan Dinda sudah pernah cerita kalau dinda itu sudah punya pacar,” ucapnya yang kini meringis menampakkan jejeran gigi seri yang putih dan rapi. 

Aku tersenyum, prank dari dinda, benar-benar membuatku terhanyut. Bahkan rasa ngiluku itu masih terasa meskipun aku tahu semua sekedar candaan saja. 

“Mbak Dijah, Dinda ke kamar dulu ya. mau ganti baju. Masa mbak nya nikah, pakai pakaian preman kayak gini,” ucapnya sambil menatap tubuhnya yang terbalut oleh celana jeans dan jaket berbahan sama. 

Aku tersenyum, “Jangan lama-lama, dandannya juga jangan cantik-cantik. Nanti pengantin wanitanya kalah,” godaku. 

Perlahan tubuh Dinda hilang dari pandangan, bersamaan dengan kandung kemihku yang kembali terisi penuh. Entahlah, ini pipis keberapa kali semenjak bangun tadi. Rasa grogi, benar-benar membuat organ itu terus terisi.

“Mbak, Dijah ijin lagi ya?” ucapku sambil meringis menatap tukang rias. Ia hanya menggelengkan kepala dan membiarkanku berlalu begitu saja.

“Sudahlah, Mas Ammar. Dinda sudah berbesar hati dengan semuanya.” Nama mas Ammar benar-benar terdengar begitu jelas ketika aku melewati kamar Dinda. Kudekatkan tubuh ini mendekati pintu, dimana kayu berbentuk persegi panjang usang itu sedikit membuka, tak tertutup dengan sempurna.

“Kita bisa jelaskan semua kepada orang tua kita, Din. Yang ingin aku nikahi itu kamu. Kamu yang aku lamar, bukan Mbak mu,”  terdengar suara lelaki dengan penegasan.

Rasa penasaran itu semakin membuncah dalam hatiku. Terlebih dua suara itu begitu kukenal, berikut dengan nama-nama yang terucap. 

“Jelaskan? Maksudmu kamu mau menghina mbakku?”

“Aku tidak berniat sepeti itu. Aku hanya ingin ...”

“Sudahlah Mas Ammar. Aku mohon.”

“Din, kita bisa bicarakan ini baik-baik dengan keluarga kita.”

“Tidak. Itu semua akan menyakiti hati Mbak Dijah. Sama saja kamu mencoreng wajahnya di depan khalayak umum. Dinda sudah menerima pernikahan kalian, dan aku harap Mas Ammar pun begitu. Bisa menerima kehadiran Mbak dijah di kehidupan Mas.”

Aku menutup mulutku yang menganga ketika kulihat 2 orang lawan jenis itu sedang beradu mulut tentang pernikahan ini. Bahkan, aku baru tersadar jika selama ini yang diinginkan Ammar adalah Dinda. Bukannya aku. 

“Pacar Dinda itu Ammar?” tanyaku lirih dengan perasaan yang bercampur aduk. Beberapa Kali Dinda memang menceritakan tentang lelaki yang dicintainya, meskipun ia terus merahasiakan nama lelaki itu.

Hati ini bagai terhunus belati mendapati kenyataan yang menyakitkan. Perih. Pedih. Semua bercampur jadi satu. Inikah alasan dari wajah muram Dinda? Bahkan sekilas menatap wajahnya akan tampak residu tangisan yang tergores di wajah seputih susu itu. 

“Dijah, kamu disini?” tanya emak sambil gelengan kepala. “Sudah tahu mau nikah, malah keluyuran. Ayo ditungguin pak penghulu dari tadi.” Aku digandeng emak begitu saja, membawanya keluar menuju tempat akad. 

Disana sudah ramai oleh beberapa keluarga inti, juga dari keluaga Ammar. Kedua orang tuanya juga saudara-saudaranya. Wajah mereka terlihat kaku, seakan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Ini juga pengantin prianya belum tiba. Pipis dari tadi gak balik-balik,” ucap emak sambil menatap sekeliling. 

“Mak, Dijah mau bilang sesuatu,” ucapku yang kini memegang punggung tangan emak yang dipenuhi beberapa keriput.  Aku ingin menjelaskan kepada beliau tentang salah lamaran yang dilakukan oleh keluarga Ammar. Aku tahu mungkin ini berat, terlebih lagi aku juga menautkan rasa dengan pria yang sama dengan adikku. 

“Nanti, ngomongnya habis nikah. Diem saja disitu.” Emak langsung melenggang pergi begitu saja, tanpa mendengarkan penjelasanku sedikitpun. 

Hingga dimenit kemudian, muncullah Ammar yang tengah berdiri di sebelah emak, menatap ke arahku. Mungkinkah ia akan membatalkan dan menjelaskan semuanya?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Eti Juniarti Eti
Dijah terlalu ... udah jelas itu pacar adiknya . kan bisa dibatalkan
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
klo dri awal salah knp Ammar gk jelasin pas lamaran. kan masih bisa tuh dibatalin.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status