“Wah, Dijah mangklingi ya kalau didandani seperti ini,” ucap salah satu saudara yang mengintipku dari balik pintu. Tanpa menoleh ke arahnya pun aku sudah tahu kalau itu bulek.
Aku tersenyum, menatap wajahku dalam pantulan cermin rias. Seorang wanita berjilbab dengan riasan full itu benar-benar berbeda dengan wajahku. Pipinya terlihat lebih tirus, hidungnya terlihat lebih mancung, serta wajahnya yang kini berseri. Sejujurnya wajah berseri itu bukan nampak dari polesan yang tersapu ke wajahnya, melainkan betapa bahagianya aku yang akan dipersunting dengan lelaki yang memang aku idamkan. Aku benar-benar tak menyangka jika Ammar adalah jodohku. Mungkinkah ini suatu keajaiban dari sebuah doa? Nama yang kupanjatkan dalam setiap sujudku.Sebuah senyum tercipta, membayangkan kehidupanku ke depannya yang akan sangat indah. Merasakan sebuah pacaran setelah nikah, layaknya sebuah pernikahan di novel roman yang pernah aku baca. Saling malu-malu dan akhirnya saling mau-mau.“Assalamualaikum,” ucapan salam itu terdengar, berikut dengan tubuh semampai yang kini mengenakan tas dan jaket berbahan jeans. Jilbab warna merah muda yang dikenakannya sedikit berantakan, hingga ujung benda persegi empat itu sudah tak terbentuk dan menutupi sebagian dari wajah cantik adikku. “waalaikumsalam, Dinda,” ucapku yang kini langsung bangkit dan merengkuh tubuhnya. Kupeluk ia berikut dengan ransel yang masih menempel di punggungnya. “Kenapa baru datang, Dek? sebentar lagi mbak sudah mau ijab,” ucapku yang kini melepas pelukan. Dinda menunduk, terlihat murung di balik kerudung yang dikenakannya. Wajah dengan kulit putih bersih itu kini terlihat redup, berikut dengan kantung mata yang membengkak, layaknya habis nangis berhari-hari. “Dek, kamu kenapa?” tanyaku kepada gadis kecil yang baru saja pulang dari kuliahnya. Sebenarnya aku memberitahu Dinda tentang hari pernikahanku seusai keluarga Ammar datang. Aku juga meminta ia yang akan menjadi pager ayuku ketika resepsi dilaksanakan. Sayang, tugas kuliah Dinda menumpuk. Bahkan ia baru bisa datang tepat di hari pernikahan sepeti ini, di waktu yang sangat mepet dengan ijab. “Dek, jawab pertanyaan Mbak.”Alih-alih Dinda menjawab pertanyaanku, justru yang ada ia menangis sejadinya. Awalnya lirih, lalu mulai terdengar isak tangis itu, hingga semua berakhir dengan tangisnya yang tersedu-sedu. Benar-benar membuatku keheranan dan memunculkan pertanyaan besar.“Dek, kamu kenapa nangis? Jawab pertanyaan mbak,” tanyaku yang terus mengulang kalimat yang sama. “Mbak Dijah nikah. Dinda gak punya teman berantem lagi. Selain itu pasti mbak tinggal dirumah Mas Ammar, tentu waktu kita berkumpul akan sangat kurang.”“Ya elah, Dek. mbak kira ada apa. Untung Mbakmu gak punya riwayat penyakit jantung lemah. Bisa sekarat nanti, gak jadi nikah,” ucapku sambil melengkungkan bibir. “Mbak khawatir ya dengan Dinda? Emang mbak kira dinda kenapa?”“Mbak pikir kamu habis dirampok gitu. Kan perjalananmu kesini cukup panjang.”“Biasanya juga diajak berantem. Tumbenan dikhawatirin. Emang sayang sama Dinda?”“Lah, harus ditanyakan? Ya pasti sayanglah, adekku yang cantik,” ucapku sambil mencubit hidung mancung miliknya. Hidung yang berbanding terbalik dengan milikku, pesek.“Kalau sayang sama Dinda, boleh tidak kita bertukar nasib? Dinda yang nikah dengan Mas Ammar?”Aku terdiam, bahkan untuk menelan salivapun sangat kesusahan. Mendadak kerongkongan ini mengering begitu saja.“Mbak Dijah serius sekali. Lagian, siapa juga yang mau nikah muda? Sama mas ammar lagi? Kan Dinda sudah pernah cerita kalau dinda itu sudah punya pacar,” ucapnya yang kini meringis menampakkan jejeran gigi seri yang putih dan rapi. Aku tersenyum, prank dari dinda, benar-benar membuatku terhanyut. Bahkan rasa ngiluku itu masih terasa meskipun aku tahu semua sekedar candaan saja. “Mbak Dijah, Dinda ke kamar dulu ya. mau ganti baju. Masa mbak nya nikah, pakai pakaian preman kayak gini,” ucapnya sambil menatap tubuhnya yang terbalut oleh celana jeans dan jaket berbahan sama. Aku tersenyum, “Jangan lama-lama, dandannya juga jangan cantik-cantik. Nanti pengantin wanitanya kalah,” godaku. Perlahan tubuh Dinda hilang dari pandangan, bersamaan dengan kandung kemihku yang kembali terisi penuh. Entahlah, ini pipis keberapa kali semenjak bangun tadi. Rasa grogi, benar-benar membuat organ itu terus terisi.“Mbak, Dijah ijin lagi ya?” ucapku sambil meringis menatap tukang rias. Ia hanya menggelengkan kepala dan membiarkanku berlalu begitu saja.“Sudahlah, Mas Ammar. Dinda sudah berbesar hati dengan semuanya.” Nama mas Ammar benar-benar terdengar begitu jelas ketika aku melewati kamar Dinda. Kudekatkan tubuh ini mendekati pintu, dimana kayu berbentuk persegi panjang usang itu sedikit membuka, tak tertutup dengan sempurna.“Kita bisa jelaskan semua kepada orang tua kita, Din. Yang ingin aku nikahi itu kamu. Kamu yang aku lamar, bukan Mbak mu,” terdengar suara lelaki dengan penegasan.Rasa penasaran itu semakin membuncah dalam hatiku. Terlebih dua suara itu begitu kukenal, berikut dengan nama-nama yang terucap. “Jelaskan? Maksudmu kamu mau menghina mbakku?”“Aku tidak berniat sepeti itu. Aku hanya ingin ...”“Sudahlah Mas Ammar. Aku mohon.”“Din, kita bisa bicarakan ini baik-baik dengan keluarga kita.”“Tidak. Itu semua akan menyakiti hati Mbak Dijah. Sama saja kamu mencoreng wajahnya di depan khalayak umum. Dinda sudah menerima pernikahan kalian, dan aku harap Mas Ammar pun begitu. Bisa menerima kehadiran Mbak dijah di kehidupan Mas.”Aku menutup mulutku yang menganga ketika kulihat 2 orang lawan jenis itu sedang beradu mulut tentang pernikahan ini. Bahkan, aku baru tersadar jika selama ini yang diinginkan Ammar adalah Dinda. Bukannya aku. “Pacar Dinda itu Ammar?” tanyaku lirih dengan perasaan yang bercampur aduk. Beberapa Kali Dinda memang menceritakan tentang lelaki yang dicintainya, meskipun ia terus merahasiakan nama lelaki itu.Hati ini bagai terhunus belati mendapati kenyataan yang menyakitkan. Perih. Pedih. Semua bercampur jadi satu. Inikah alasan dari wajah muram Dinda? Bahkan sekilas menatap wajahnya akan tampak residu tangisan yang tergores di wajah seputih susu itu. “Dijah, kamu disini?” tanya emak sambil gelengan kepala. “Sudah tahu mau nikah, malah keluyuran. Ayo ditungguin pak penghulu dari tadi.” Aku digandeng emak begitu saja, membawanya keluar menuju tempat akad. Disana sudah ramai oleh beberapa keluarga inti, juga dari keluaga Ammar. Kedua orang tuanya juga saudara-saudaranya. Wajah mereka terlihat kaku, seakan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.“Ini juga pengantin prianya belum tiba. Pipis dari tadi gak balik-balik,” ucap emak sambil menatap sekeliling. “Mak, Dijah mau bilang sesuatu,” ucapku yang kini memegang punggung tangan emak yang dipenuhi beberapa keriput. Aku ingin menjelaskan kepada beliau tentang salah lamaran yang dilakukan oleh keluarga Ammar. Aku tahu mungkin ini berat, terlebih lagi aku juga menautkan rasa dengan pria yang sama dengan adikku. “Nanti, ngomongnya habis nikah. Diem saja disitu.” Emak langsung melenggang pergi begitu saja, tanpa mendengarkan penjelasanku sedikitpun. Hingga dimenit kemudian, muncullah Ammar yang tengah berdiri di sebelah emak, menatap ke arahku. Mungkinkah ia akan membatalkan dan menjelaskan semuanya?“Sah?”“Sah, sah, sah.” Kalimat itu saling bersaut satu sama lain, menggema di seluruh ruangan tamu seusai kalimat ijab terdengar dari bibir Ammar.Mata emak berbinar, dengan senyum yang tak hentinya mengembang. Berikut dengan Dinda yang dipaksakan untuk tersenyum. Sebuah kamuflase itu terlihat jelas di mataku. Ya, kini ia duduk di sebelah emak, turut menyaksikan lelaki yang disayangnya mengucapkan kalimat ijab untuk kakak kandungnya. Prosesi terus berjalan, dimana aku dan Ammar diminta sungkem dengan orang tua yang telah melahirkan kita. Bahu lelaki itu ditepuk oleh bapaknya, berikut dengan suara yang dibisikkan di dekat telinganya. “Bagaimanapun, sekarang kamu adalah seorang suami. Bahagiakan istrimu,” ucapnya lirih yang masih terdengar olehku. Ibu Ammar pun turut mengelus pundakku, juga memberikan sebuah doa pengantar pernikahan kami. “semoga bahagia, Nduk. Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah.”Aku tersenyum kecil, berharap pernikahan yang tak didasari oleh cinta ini
“Mas Ammar, apa yang kamu lakukan?” tanyaku ketika ia melewatiku dan mengambil bantal beserta selimut. Ia membentangkan di sebelah dipan kasur beralaskan keramik putih dengan warna yang usang dimakan usia. “Aku tidur disini. Kamu tidur saja di atas,” ucapnya. Tubuhku mendadak lemas. Acara pesta pernikahan belum usai. Tamu dan keluarga besar dari ibu juga belum pulang. Namun, aku mendapatkan hal yang memilukan hati. Di atas kertas putih tercatat namanya untukku. Ia sah untuk kusentuh. Dia milikku. Begitupun sebaliknya. Namun, pada kenyataannya semua hanya sebatas bayang-bayang. Di hati Mas Ammar tetap ada nama Dinda yang seolah semakin kuat mencengkram hatinya. Bahkan karena rasa itu, ia memilih untuk mengalah dan memberikan raganya untukku. Satu persatu air mata runtuh, hingga dengan cepat aku menghapus dengan kedua tanganku. Bagaimanapun aku harus kuat. Aku tak ingin terlihat lemah. Terlebih lagi, emak begitu bahagia dengan pernikahanku. Aku tak tega jika harus mengubah senyum y
“Ini lo, Jah. Adikmu Dinda mau balik lagi ke kota. Padahal di rumah saja belum genap sehari to? Coba bujuk adikmu barang kali nurut,” ucap emak ketika suapan di mulutnya usai ditelan. Aku menoleh ke arah Dinda, dimana ia meringis ke arahku dengan canggung. “Dinda tuh ada tugas, Mbak. Kan ada semacam penelitian gitu, jadi gak bisa berlama-lama di rumah. Kasihan teman-teman Dinda yang satu kelompok,” ucap wanita cantik dengan jilbab warna merah muda di kepalanya.“Sedang melakukan penelitian apa, Din?” tanya Ammar yang kini menyaut. “Pengaruh lingkungan dalam pendidikan masa belia, Mas.”“Wah, sepertinya menyenangkan. Ambil datanya di desa mana?”Mereka berdua saling menyaut, membicarakan hal yang belum mampu kupahami, tentang kuliah, kkn, dan rencana skripsi. Aku hanya sebatas mendengar, karena tak memiliki pengalaman seperti itu. “Makannya dihabiskan dulu, nanti dilanjut ceritanya,” ucap emak yang sepertinya juga merasa tak nyaman dengan perbincangan mereka. Terlebih, dari tadi aku
“Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?”“Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku?“Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.”“I-iya, Mas.”Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya.“Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda.Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali.Tak selang lam
“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. “Emak ….”Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. “Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. “Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. “Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan w
Ini adalah hari ngunduh mantu, hari yang seharusnya aku tersenyum senang, karena diambil oleh keluarga besar Ammar. Namun, diposisi sekarang, keluargaku tengah berduka. Tepat tiga hari emak meninggalkan kami dari dunia ini. Masih teringat jelas bagimana kenangan di setiap inci rumah ini, yang selalu menjadikan tangis kala mengingatnya. Mak yang bawel dan suka menjewer telingaku meskipun di usiaku sudah sedewasa ini. Aku rindu.“Mbak Dijah, kok melamun,” ucap dinda yang terlihat tersenyum dengan gamis yang dikenakannya. Ya, dia satu-satunya keluarga intiku yang mengantar aku pindah. Juga ada bude dan paklek saudara dari emak yang turut menemani acara sederhana ini. Tak ada perayaan yang semestinya, hanya sebatas mengantar, dijamu oleh keluarga Ammar, dan mereka pulang. Ya, sebatas itu.“Assalamualaikum,” ucap saudara besarku yang kini berada di depan pintu Ammar. “waalaikumsalam,” suara ramah dari dalam rumah tersebut. Hanya keluraga inti saja, kedua orang tua serta kakak-kakak mas
Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y
“Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal