Secara tak terduga, Susi tersenyum, menatapku dengan jenaka. "Sudah Susi duga, Mbak," ujarnya masih dengan senyuman di bibirnya. "Berarti Susi pintar dong. Mbak? Bisa menebak hati orang.""Iya deh, pintar. Berarti kamu bisa menebak juga dong, isi hati Syarif?""Hm...," Susi diam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. "Menurut penerawangan Susi nih, Mas Riprip juga naksir Mbak Ryana, Iho."Aku tertegun. Syarif juga mencintaiku? Betapa bahagianya jika itu benar. Kurasakan sebuah desiran halus menjalar di rongga dadaku."Kamu tahu dari mana?" tetap kucoba bersikap tenang."Dari sikapnya. Tapi dia gak mau ngaku waktu Susi tanya.""HAH? Berarti kamu pernah ngomong soal itu sama dia?""Pernah, Mbak. Kelihatan banget kalo dia naksir Mbak Ryana. Tapi dia bilang sih, cuma kagum aja.""Berarti belum seratus persen pasti, dong?""Susah sih Mbak, menebak hati orang.""Jadi aku harus gimana? Kamu punya ide?""Coba Mbak Ryana ngomong langsung ke dia.""Menyatakan cinta padanya? Wah, aku tak akan mela
POV: SYARIFKuterima sepucuk surat itu dari tangan Susi. Sepupuku yang centil itu datang di malam hari, sepulang kantor, masih dengan pakaian lusuh dan bau badannya yang menyengat karena ia belum mandi."Surat apa, nih?""Dari Mbak Ryana.""Tentang apa?""Baca aja sendiri!"Bergetar tanganku saat menyobek amplop dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Surat apakah gerangan? Tumben Ryana mengirim surat? Emangnya tak bisa lewat WA atau email atau inbox Facebook? Zaman canggih begini kok masih surat-suratan!Kutatap Susi, kuamati seluruh tubuhnya."Kamu belum mandi, ya?""Belum. Soalnya tadi langsung ke sini.""Sana, mandi dulu.""Nanti aja kalau udah pulang ke rumah.""Mandi di sini aja. Aku mau baca surat ini. Sendirian.""Mbak Ryana pesan, Susi harus di sini waktu Mas Riprip baca suratnya.""Kok gitu?""Gak tahu. Dia mintanya gitu. Susi nurut aja.""Kamu gak bohong, kan?""Suer, gak bohong!""Suer apa Demi Allah?""Demi Allah!""Hm...," aku menggumam. Terpaksa deh, kubiarkan ma
Ya Allah! Betapa menggigilnya tubuhku setelah membaca pesan itu. Semangatku terbakar sebakar-bakarnya. Terasa panas, hingga tubuhku melonjak-lonjak, meluap-luap oleh rasa bahagia yang tak terlukiskan dengan kata-kata.Segera kuketik pesan untuk membalas WA itu. Tapi tiba-tiba aku berpikir, 'Pesan sepenting ini tak layak dikirim. lewat WhatsApp. Aku harus meneleponnya.'Tapi baru saja hendak meneleponnya via WhatsApp, tiba-tiba kubatalkan niat itu sambil berkata di dalam hati, ‘Panggilan telepon pun tidak layak. Aku harus bicara langsung padanya, persis di depan dirinya.’Maka seperti singa mengamuk, aku segera bertindak. Kupinjam motor teman kantor, minta izin pada direktur agar aku diperbolehkan keluar sebentar. Kukebut motor sekencang-kencangnya menuju kantor Ryana, seolah-olah aku dikejar-kejar oleh gelombang tsunami yang siap menerkam tubuhku jika terlambat sedetik saja.Jam dua belas lewat dua puluh menit, aku tiba di kantor Ryana. Kuparkir motor dengan buru-buru, lalu kuberlari
"Begini," aku mendesah. "Sejujurnya aku merasa tak pantas berdampingan dengan kamu, Ryana. Keluargaku miskin, sedangkan keluarga kamu....""Syarif," potong Ryana dengan cepat. "Apa kita masih harus membicarakan itu? It's not important. Okay?""Baiklah. Tapi keluarga kamu gimana? Apa mereka setuju?""Aku belum tahu, tapi aku akan meyakinkan mereka. Kamu tak perlu khawatir.""Alhamdulillah. Terima kasih karena kamu akan berusaha. Tapi bagaimana jika mereka tetap tak mau menerimaku setelah kamu yakinkan?""Jangan pesimis gitu, dong. Percaya aja sama aku. Insya Allah aku akan bisa menaklukkan hati Mama. Jelek-jelek gini aku pintar negosiasi, dan alhamdulillah selalu menang.""Hehehe..., iya deh. Aku percaya. Kudoakan semoga usaha kamu berhasil.""Aamiin. Jadi yang nomor dua beres. ya? Lalu yang nomor tiga apa?""Ini soal masa laluku. Aku punya masa lalu yang sangat kacau. Anak nakal, merokok, hobi tawuran, suka ber....""Aku sudah tahu semua dari Susi," Ryana kembali memotong pembicaraank
Saat itu pagi-pagi sekali, aku menagih sebuah hadiah istimewa pada kedua orang tuaku. Kue tart berwarna orange Persija dengan gambar bola di bagian atasnya. "Nanti kalau ada waktu, kue tartnya kami belikan," ujar Ayah. "Asyiiikkk!!!" aku berteriak kegirangan. Dan siang hari seusai shalat Dzuhur, Ayah dan Ibu berangkat dari rumah dengan pakaian yang sangat rapi. Ayah mengenakan batik warna coklat tua dan celana bahan warna hitam. Sementara Ibu mengenakan gaun terusan berwarna biru muda, jilbab dengan warna senada, membuatnya terlihat lebih cantik dari biasanya. Aku tak tahu ke mana tujuan mereka. Senyum misterius Ayah dan Ibu membuat jantungku berdebar kencang. Apakah mereka sedang merencanakan sebuah pesta kejutan untukku? Apakah malam nanti mataku akan ditutup, dituntun berjalan dari kamar ke ruang tamu? Lantas ketika penutup mataku dibuka, terbentanglah pemandangan berupa balon-balon hias yang sangat cantik, spanduk bertuliskan "Happy Birthday, Syarif" dengan huruf dan warna yan
Di hari yang ditentukan, sekitar lima puluh siswa berhasil dikumpulkan. Kami bergerak maju, melangkah dengan amarah dan rasa benci yang meluap-luap, menuju SMK Gradasi. Di depan pagar sekolah itu kami berteriak-teriak, memaki-maki mereka dengan istilah-istilah kasar. Botol dan batu kami lemparkan ke arah gedung, membuat tiga jendela kaca hancur berkeping-keping, dan atap genteng mereka pecah berantakan. Tentu saja, seisi sekolah itu jadi gempar. Kami diusir, bahkan polisi pun dipanggil untuk menghalau kami. Di sekolah, kami didamprat habis-habisan oleh Pak Kepsek. "Kalian telah bertindak anarki! Sekolah lain kalian hancurkan! Hubungan baik kita dengan mereka jadi rusak! Siapa yang akan mengganti semua kerusakan gedung mereka?" Kami semua diam. "AYO JAWAB!!!" Kami masih diam. "Siapa dalang semua ini?" Semua masih diam. "AYO NGAKU!!!" "Saya, Pak!" Pak Kepsek menatap ke arah suara itu. Ya, itu suaraku. Walau bandel dan sangat nakal, aku ingin jadi seorang gentleman. Aku harus
Sepulang ke Jakarta, kuajak keluarga angkatku bicara. "Sebentar lagi aku lulus SMA," ujarku dengan nada yang amat perlahan. "Ini akan jadi yang terakhir kalinya Ayah dan Ibu mnembiayai aku. Setelah lulus, aku akan cari uang sendiri, membiayai hidupku sendiri. Sudah cukup pengorbanan dan kebaikan kalian selama ini. Aku sama sekali tak pernah berbakti, tak pernah membalas budi. Aku justru durhaka pada keluarga yang sangat baik padaku." "Syarif," Ibu meraih pundakku. "Kami masih sanggup dan bersedia membiayai sekolahmu hingga sarjana." "Gunakan uang itu untuk keperluan yang lebih penting. Ibu dan Ayah sejak lama ingin naik haji, kan? Aku sudah tak mau membebani dan merepotkan keluarga ini. Keputusanku bulat. Tolong jangan rayu aku." Bahkan impian untuk kuliah pun harus kukubur dalam-dalam. Kulupakan selupa-lupanya. Padahal aku ingin sekali mendapat gelar sarjana. Aku memang masih tinggal di rumah itu, sekadar numpang makan dan berteduh. Aku sebenarnya ingin ngontrak atau kos, tapi b
Tapi cinta memang benar-benar ajaib, Kawan! Gadis pujaanku itu justru meneleponku dan berkata dengan suaranya yang sangat merdu, "Syarif, aku tetap ingin menikah denganmu. Aku tak peduli pada status keluargamu." "Alhamdulillah," betapa bahagianya aku ketika mendengar ucapannya itu. "Terima kasih, Ryana. Tapi bagaimana dengan keluargamu?" "Jangan khawatir. Aku akan meyakinkan mereka. Kamu percaya saja padaku, ya. Selama ini aku lebih sering menang jika berunding dengan keluarga." * * * POV: RIANA Malam ini, pria idamanku, Syarif, telah hadir di ruang tamu rumahku. Ia berpakaian demikian rapi, baju batik warna cokelat, rambut disisir rapi dan diberi gel yang wanginya bercampur dengan parfum yang tadi mungkin disemprotkan ke badannya. Dia duduk persis di depan Mama, menunduk dengan amat sopan, sikapnya terlihat sedikit kaku. "Jadi kamu yang bernama Syarif?" "Betul, Tante." "Panggil Ibu saja. Saya tak suka dipanggil tante." "Eh....maaf. Baik, Bu." Lalu Mama pun bertanya banyak