Di suatu Sabtu malam, aku asyik bermain-main di depan laptop. Foto-foto Ryana hasil bidikanku pun kutatap dengan penuh cinta. Walau kupotret dari jarak jauh, namun hasilnya sangat jelas dan bagus. Maklumlah, pakai kamera DLSR dengan lensa tele yang cukup panjang.
Kecantikan wajah Ryana makin terlihat jelas di foto-foto itu. Senyumnya alamiah, tidak dibuat-buat, dan sangat memikat. Dia mengenakan jilbab lebar yang modelnya sangat anggun, membuat dirinya terlihat lebih cantik dan menarik.'Duhai Ryana, sudah berapa banyak pria yang bertekuk lutut di hadapanmu? Sudah berapa banyak pria yang menyatakan cinta padamu? Pasti sangat banyak. Adakah satu di antara mereka yang beruntung memilikimu? Aku harap tak ada. Hanya akulah yang layak memilikimu. Kamu harus tahu itu!'"Cieee... malam Minggu kok gak ngapelin pacarnya, Mas?" tiba-tiba suara Susi membuat kaget. Sepupuku yang centil itu memang sedang bertandang ke rumah kami."Siapa yang mau diapelin? Lagian aku kan tak mau pacaran," sahutku sewot sambil buru-buru menutup laptop."O, iya, baru ingat. Tapi cari jodoh tentu boleh,kan?""Kalo itu sih, wajib.""Udah dicari belum?""Udah.""Terus?""Belum ketemu.""Terus?""Ya masih terus mencari.""Terus?""Terus masuk got! Rese ah! Teras terus teras terus!"Susi tertawa ngakak."Di kantor kamu, ada gak akhwat berjilbab yang rajin ikut pengajian dan bacaan Qurannya bagus?""Ada. Mbak Ryana.""Jangan ngaco!""Kenapa?""Ketinggian!""Dia orangnya gak terlalu tinggi, kok.""Maksudku levelnya, Centil, bukan tinggi badan!""Hehehe... tapi dia masih jomblo, Mas. Dia katanya tak suka pacaran juga.""Hm...""Dia juga sering nanyain Mas Riprip.""Nanyain apa?""Macam-macam."“Oh, ya?”"Iya betul, Mas.""Kamu gak bohong, kan?""Ngapain Susi bohong?""Terus kamu cerita apa sama dia?""Macam-macam juga.""Macam-macamnya itu apa?""Hm.. kasih tau gak ya?""Rese!"Susi tertawa ngakak, membuatku keki setengah mati."Kamu ngomong apa aja sama dia? Cerita, dong!" desakku."Jadi penasaran, nih ceritanya? Penasaran biasa aja, apa penasaran banget?""Penasaran rasa jengkol!"Susi kini tertawa terpingkal-pingkal, membuatku makin keki dan emosi."Udah, deh. Daripada kamu bikin ribut di sini, mending keluar dari kamarku. Mau ngelanjutin kerja, nih.""Kerja? Paling cuma pelarian karena malam Minggu gak bisa ngapel. Wkwkwkw....""Terserah!""Cieee.... marah nih, ceritanya?""Tauk!"Susi masih tertawa, tapi volumenya kini lebih rendah. Mungkin baterenya mulai habis. "Mas Riprip, Susi mau ngomong serius, nih.""Emang kamu pernah serius?""Ih, sebel! Bener kok, serius. Sumpah!""Oke. Mau ngomong apa?""Soal Mbak Ryana.""Tadi kan udah.""Belum selesai.""Apalagi yang kurang?""Susi curiga, dia naksir Mas Riprip.""Gak baik curigaan.""Tapi bener lho, Mas. Dia sering nanyain Mas Riprip ke Susi. Waktu kemarin Susi ngepel di depan mejanya, di layar laptopnya ada F* Mas Riprip.""Maksudnya?""Dia kayaknya sering ngebuka F* Mas Riprip.""Dari mana dia tahu FBku?""Tauk. Emang Mas Riprip belum temenan sama dia di F*?""Belum."“Di-add, dong.”"Males!""Kok males?""Entar dia ngira aku naksir dia.""Mas Riprip emang naksir dia, kan?""Hush! Enak aja!""Jangan membohongi diri sendiri, Mas.""Aku cuma kagum sama dia. Titik!""Awalnya kagum. Lama-lama jadi cinta, wkwkwkw....""Ngaco lu!""Jadi bener nih, gak cinta sama Mbak Ryana?""Enggak!" Duh, betapa sakitnya menipu diri sendiri!"Katanya tadi kagum.""Aku juga kagum pada Cristiano Ronaldo. Apa aku jatuh cinta padanya?""Kok jadi ngomongin pemain sepakbola?""Itu analogi, Centil! Bahwa kagum tak sama dengan cinta.""Terserah, deh. Tapi omonganku tadi benar, Iho. Mbak Ryana perhatian banget sama Mas Riprip.""Perhatian tak selamanya berarti cinta.""Susi perempuan, Mas, sama kayak Mbak Ryana. Susi bisa ngerasain kalo dia cinta.""Bohong!""Terserah kalo gak percaya. Ya udah, Susi pamit dulu."Lalu Susi beranjak, pergi dan menghilang dari rumahku, membuatku bernafas lega karena bisa tenang dan bebas dari gangguan sikap usilnya.Benarkah Ryana menaruh perhatian terhadapku? Benarkah dia sering melihat-lihat profil Facebookku? Benarkah semua yang disampaikan Susi tadi? Benarkah dia mencintaiku? Hm... aku akan sangat bahagia jika itu benar.* * *Kuakui, Susi telah berhasil memprovokasi hatiku. Betapa pintarnya dia membuat perasaanku teraduk-aduk, gelisah, kelabakan, harap-harap cemas, penuh penasaran!Maka kulirik handphone yang tergeletak di sisi laptop. Kuraih, kubuka aplikasi W******p, kuketik pesan singkat untuk dikirim khusus bagi gadis pujaan hatiku itu.[‘Ryana yang cantik, apa benar kamu mencintaiku? Nikah yuk.’]Ya ampun! Norak banget! Segera kuhapus dan kupikirkan kalimat yang jauh lebih bagus.[‘Ryana, kudengar dari Susi, kamu sering buka F*-ku, ya? Udah lihat apa aja di situ?’]Demi Allah, ini kalimat sangat garing! Justru bisa membuat Ryana jadi kehilangan simpati pada sepupuku yang centil itu. Sebab dirinya terkesan seperti seorang pengadu. Oh, harus kuganti lagi kalimatnya.[‘Ryana, gimana kerja Susi di kantor? Dia tidak malas, kan?’]Halah! Ngapain juga bertanya soal si centil itu? Rugi amat! Ayo ganti lagi!‘Assalamualaikum, Mbak Ryana. Apa kabar?’Akhirnya kalimat singkat dan sederhana itulah yang terkirim. Aku sudah kehabisan ide, jadi biarlah hanya sapaan standar saja.Lima menit menunggu, tak ada balasan. Sepuluh menit tetap tak ada. Tiga puluh menit, situasi masih sama. Satu jam, masih belum dibalas.Duhai! Panaslah hatiku seketika. Sepertinya Susi bukan hanya mempermainkan perasaanku. Tapi dia juga telah berhasil menipuku! Aku kena prank!Sayangnya dia sudah pulang ke rumahnya. Jika masih di sini, akan kubuat babak belur tubuhnya! Tunggu pembalasanku, Gadis Centil!!Di tengah amarah dan emosiku yang tak terbendung itu, tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk. Wah, jangan-jangan dari Ryana! Segera, buru-buru kuraih handphone, kubuka aplikasi W******p.'Selamat, Anda mendapat hadiah 150 juta dari Telkomsel!'‘KURANG AJAR! PENIPU SIALAN!!!’Hampir kubanting telepon selular kesayanganku itu. Untung pikiranku masih waras. Kalau dibanting, tentu ia rusak dan besok aku tak punya HP lagi. Padahal untuk beli HP baru, aku belum punya anggaran.Maka kucoba bersabar. Kutenangkan diri.‘Sadar dirilah, Syarif. Kamu itu siapa? Ngaca, dong! Tak mungkin perempuan berkelas seperti Ryana jatuh cinta pada pria kere sepertimu! Lihatlah, dia bahkan tak mau membalas WA-mu. Kamu bukan hanya tidak penting baginya, tapi juga tak ada artinya. Salah kamu sendiri sih, percaya pada cewek centil yang penipu itu!’Kuhibur diri sendiri dengan mendengarkan musik dari MP3 player. Kuberteriak keras-keras melantunkan syair lagu, untuk melampiaskan emosi jiwa yang menggelegak. Tak peduli pada tetangga yang mungkin terganggu oleh suaraku. Kucoba melupakan harapan cinta yang tadi sempat tumbuh. Ingin kubunuh dan kukikis habis semua mimpi itu. Jangan sampai ada yang tersisa!Dan saat diriku hanyut di tengah hingar bingar musik itulah, sebuah pesan di W******p datang lagi. Kali ini aku tak berharap apapun. Mungkin itu dari Miko, temanku yang suka iseng ngirim pesan gak jelas di malam hari. Atau bisa juga dari penipu yang lain.Kuraih handphone yang selama dua tahun lebih ini menemaniku. Aku terpaksa mencintainya walau dia hanya handphone android biasa dengan RAM 2GB dan memorinya hampir penuh. Bahkan layarnya sudah retak-retak. Kubuka aplikasi W******p, dan kubaca pesan yang barusan masuk. Hm, benar saja, dari Miko!‘Ha1low Prend, malam niyy jgn lupa berdoa, yach. Khususnya yg jomblo, biar gak lumutan. Besok Minggu, kan? Mank napa klo Minggu? Gak apa-apa, siyy. Cuma ngasih tau aja. Bye!’‘Kutukupret!’ teriakku sambil membanting HP itu ke atas kasur. Benar-benar tak habis pikir pada kelakuan Miko yang sering mengirim WA garing bin tidak jelas seperti itu. Apa sih maksudnya? Mau melawak tapi gagal lucu? Kasihan banget dia!Sekitar satu menit setelah kubanting, tiba-tiba HP itu berbunyi lagi. Duh, pasti masih dari Miko! Maka kucuekin saja bunyi notifikasi itu.Tiba-tiba rasa kantuk menyerang, membuatku menguap dengan berat. Segera aku berdiri, menghampiri tempat tidur, dan membaringkan tubuh di atas ranjang.Saat itulah tanganku menyentuh handphone yang tadi kubanting. Kuraih, kutatap dengan seksama, dan jadi penasaran terhadap pesan terakhir yang tadi belum dibaca.Ya Allah! Mataku melotot, hatiku berdebar kencang. Rasa kantuk hilang seketika. Hatiku seperti melonjak ke langit ketujuh saat melihat siapa nama pengirim pesan itu: RYANA.‘Duhai! Apa kira-kira isi pesannya? Berita gembirakah? Atau sebaliknya?’Hatiku berdebar kencang saat membuka pesan dari gadis yang kucintai itu.(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha