Suatu malam, sudah kuniatkan untuk shalat istikharah. Tapi entah kenapa, aku lupa dan ketiduran.
Esoknya, aku buru-buru ke kantor karena ada rapat penting di pagi hari. Seusai rapat, Mbak Dewi - atasanku - memanggilku ke ruangannya."Ada tugas untuk kamu," ujarnya dengan nada penuh wibawa."Tugas apa, Mbak?""Ada tawaran kerjasama sponsorship dari sebuah komunitas anak muda di Jakarta Utara. Namanya Komunitas Nuansa. Mereka membuat acara santunan di panti asuhan. Kita akan menyumbang buku. Kamu siapkan semuanya, ya. List bukunya sudah ada pada Dian.""Insya Allah, Mbak. Siap! Acaranya kapan, ya?""Besok.""Okay.""Oh, ya. Besok kamu juga harus datang ke acara mereka. Nanti harus ada laporan tertulis yang dilengkapi dokumentasi foto dan video.""Okay."Maka di hari yang ditentukan, aku datang ke lokasi acara santunan anak yatim piatu yang diselenggarakan oleh komunitas anak muda tersebut. Panti asuhan yang menjadi lokasi kegiatan mereka, tempatnya agak jauh dan terpencil. Untung ada Mang Cecep, sopir kantor yang mengantarku sambil mengajak ngobrol selama perjalanan. Kami sudah sangat akrab, sampai-sampai nama dan tanggal lahir anak-anaknya pun sudah kuhafal semuanya dengan baik."Didi jadi ikut lomba mewarnai, Mang?" ujarku, menyebut nama anak bungsunya."Jadi, Mbak.""Menang?""Hehehe.... Enggak.""Wah, kasihan. Dia jadi sedih, dong?""Iya. Tapi setelah ibunya beli pensil warna, dia langsung diam."Alhamdulillah. By the way Heru jadi sunatan?" kusebut nama anak keduanya."Jadi, Mbak. Minggu depan. Datang. ya.""Insya Allah. Kateringnya pake apa?""Masak sendiri aja. Ibu-ibu pengajian yang nanganin.""Kenapa enggak pake katering Mama saya aja, Mang?""Hehehe... gak kuat bayarnya, Mbak.""Bisa diatur, kok. Khusus untuk Mang Cecep, nanti aku usulkan special price, deh.""Apaan tuh, spesial prais?""Harga khusus. Diskon.""Hm.... terima kasih, Mbak. Tapi udah ada ibu-ibu pengajian. Mereka udah biasa masak untuk acara syukuran.""O, I see. No problem. Aku doakan semoga acaranya lancar, Mang. Insya Allah nanti aku datang bareng Mama.""Terima kasih, Mbak. Maaf banget soal kateringnya, ya. Jadi gak enak, nih.""Enggak apa-apa, kok. Mang. Santai aja."Kami terus ngobrol dengan asyik, berbincang tentang banyak hal. Sambil bicara, mataku asyik menatap layar PC Tablet di tanganku, berselancar di dunia maya sambil mengerjakan beberapa tugas kantor. Aku memang terbiasa bawa PC Tablet ke mana-mana. Dan handphoneku - seingatku tadi - telah kumasukkan ke dalam tas.Tak terasa, mobil yang membawa kami pun tiba di lokasi acara. Mang Cecep memarkir mobil itu di halaman kompleks panti asuhan yang asri. Aku siap-siap hendak turun, sambil merogohkan tangan ke dalam tas untuk mencari handpone. Betapa gusarnya aku ketika sadar bahwa alat komunikasi yang sangat vital tersebut tak berhasil kutemukan!"Kok HPku tak ada, ya?" ujarku dengan gelisah."Emangnya tadi ditaruh di mana, Mbak?" ujar Mang Cecep"Di dalam tas.""Coba cari di jok, atau di lantai. Siapa tahu jatuh."Aku menuruti ucapan Mang Cecep. Kuedarkan pandangan ke seisi ruangan mobil, bahkan meraba-raba seluruh bagian dan sudut kendaraan itu dengan tanganku. Tapi benda yang dicari belum ketemu juga. Aku makin gusar dan gelisah."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"Suara itu tiba-tiba mengejutkanku. Sebuah suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Saat itu posisi tubuhku sedang jongkok di dalam mobil, wajahku mengarah ke lantai untuk mencari handphone yang belum ditemukan.Kudongakkan kepala untuk melihat si pemilik suara. Saat itulah tatapanku beradu dengan sebuah mata yang sangat tajam, wajah yang terlihat super ganteng luar biasa, sebuah kegantengan yang sangat eksklusif dan spesial, yang belum pernah kulihat seumur hidup.Aku terpana luar biasa saat pertama kali melihatnya. Bahkan di dalam hati aku berteriak sambil menangis, ‘Duh, kenapa ada pria seganteng ini? Dia manusia atau malaikat?’Rasanya seumur hidup aku belum pernah melihat pria seganteng ini, membuatku terpesona luar biasa. Sebuah kegantengan yang super luar biasa. Kamu tak akan paham jika tidak mengalaminya sendiri. Aku sampai lupa mengenai HP yang belum berhasil ditemukan.(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha