‘Ryana, kamu sudah shalat istikharah?’
Pesan W******p dari Mbak Sinta mengagetkanku, di suatu siang yang cerah.Ya Allah, kok lupa begini? Kemarin aku sudah niat untuk minta petunjuk pada Allah; apakah bersedia ta'aruf dengan Rangga atau tidak.Jawaban apa yang harus kuberikan pada Mbak Sinta? Aku tak mau berbohong dengan menjawab "sudah". Aku benar-benar lupa shalat istikharah!Kucoba merenung sejenak. Kupikirkan dan kupelajari sosok Rangga dengan cermat.Sejujurnya aku selama ini jatuh simpati padanya. Orangnya sangat baik, rajin beribadah, hafalan Al Qurannya sudah lebih dari lima juz. Rangga memiliki wajah bulat, tidak terlalu ganteng. Hobinya fotografi.Rangga juga lumayan cerdas, lulusan S1, sudah mapan dari segi finansial, bahkan keluarganya pun kaya. Ayahnya seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Tapi dia kurang bagus dalam hal memimpin, dan usianya lebih muda dua bulan dari aku.Ada dua kriteriaku yang tidak ada pada Rangga. Tapi di sisi lain, ada rasa simpati yang cukup besar di hatiku untuknya. Simpati yang belum mengarah ke perasaan cinta, karena selama ini aku memang tak pernah membayangkan jika dia menjadi suamiku.'Apakah aku perlu bertoleransi terhadap dua kriteria yang tidak terpenuhi?'Sampai setengah jam berlalu, aku belum juga menjawab WA Mbak Sinta. Bingung harus menjawab apa.* * *Suatu sore, aku mampir ke sekretariat GIL, karena ada acara rapat pengurus. Belum banyak orang yang hadir. Namun Rangga sudah ada di sana, duduk sendiri di ruang depan, membaca sesuatu di layar laptop. Biasanya sikapku wajar saja ketika ketemu Rangga. Namun hari ini, entah kenapa ada sedikit perasaan canggung. Bahkan sebuah debaran halus hadir di hatiku. Duh, ada apakah gerangan?"Assallamualaikum, Rangga," kucoba menetralisir perasaan dengan cara menyapanya duluan dan duduk di depannya. "Lagi baca apa?"Rangga terlihat kaget oleh kedatanganku. Lalu dia tersenyum dan menyahut, "Eh, Ryana. Waalaikumsalam. Biasa, lagi baca status teman-teman di F******k.""O, gitu."Rangga manggut-manggut. "Oh ya, Ryana," lanjutnya. "Pak Ishadi ada cerita sesuatu gak, sama kamu?"Dadaku langsung berdebar kencang saat mendengar pertanyaan itu. Benar-benar tak menduga jika tiba-tiba Rangga membahas hal yang beberapa hari ini menjadi beban pikiranku, membuatku bingung harus berbuat apa."Hm... cerita tentang apa, ya?" aku mencoba pura-pura tidak tahu, sambil menetralisir sikap, agar tidak terlihat gugup."Soal ta'aruf.""O itu. Beliau sudah cerita."Rangga pun tersipu malu. "Iya. Maaf Ryana, kalo aku menyampaikannya lewat orang lain. Sebab kemarin itu baru tahap cari tahu. Aku rencananya ngomong langsung ke kamu setelah yakin belum ada ikhwan lain yang melamar duluan.""It's okay, Rangga. Aku maklum, kok. Tak perlu minta maaf.""Makasih. Jadi gimana tanggapan kamu? Kapan aku bisa dapat jawaban?"Oh, My God! Aku tertegun. Sepertinya Rangga sangat serius, sampai-sampai dia minta jawabanku dengan cara blak-blakan seperti itu."Hm, maaf Rangga. Aku belum bisa memberi jawaban sekarang. Lagipula hal ini sebaiknya tidak kita bicarakan di sini. Nanti teman-teman bisa dengar. Ta'aruf harus dirahasiakan, kan?""Oh iya, betul. Maaf aku khilaf. Nanti kita janjian aja, ya."Aku mengangguk, tersenyum.Usiaku sudah 26 tahun, banyak orang yang menyebutku perawan tua. Aku mulai jadi bahan omongan. Dan itu bukan situasi yang kusukai. Aku juga sebenarnya ingin cepat-cepat menikah. Tapi pria mana yang akan kupilih? Belum ada yang sesuai kriteriaku. Aku tidak ingin jadi perawan tua beneran.Apakah aku harus menerima lamaran Rangga, karena hampir semua kriteriaku ada padanya? Atau apakah sebaiknya kutolak saja, karena ada beberapa kritera yang tidak ada padanya?Aku benar-benar bingung.Suatu malam, sudah kuniatkan untuk shalat istikharah. Tapi entah kenapa, aku lupa dan ketiduran.Esoknya, aku buru-buru ke kantor karena ada rapat penting di pagi hari. Seusai rapat, Mbak Dewi - atasanku - memanggilku ke ruangannya."Ada tugas untuk kamu," ujarnya dengan nada penuh wibawa."Tugas apa, Mbak?""Ada tawaran kerjasama sponsorship dari sebuah komunitas anak muda di Jakarta Utara. Namanya Komunitas Nuansa. Mereka membuat acara santunan di panti asuhan. Kita akan menyumbang buku. Kamu siapkan semuanya, ya. List bukunya sudah ada pada Dian.""Insya Allah, Mbak. Siap! Acaranya kapan, ya?""Besok.""Okay.""Oh, ya. Besok kamu juga harus datang ke acara mereka. Nanti harus ada laporan tertulis yang dilengkapi dokumentasi foto dan video.""Okay."Maka di hari yang ditentukan, aku datang ke lokasi acara santunan anak yatim piatu yang diselenggarakan oleh komunitas anak muda tersebut. Panti asuhan yang menjadi lokasi kegiatan mereka, tempatnya agak jauh dan terpencil. Untung ada Ma
Kutaksir usia pemuda ini sekitar 21 atau 23 tahun. Masih lebih muda dariku. Penampilannya terlihat keren dengan kemeja kotak-kotak warna hitam yang semua kancingnya dibiarkan terbuka. Dan di bagian dalam dia mengenakan kaos warna krem yang sangat serasi dengan tubuh atletis dan kulitnya yang berwarna sawo matang.Badannya tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu pendek. Bentuk wajahnya lonjong, rambutnya pendek namun tidak cepak. Secara umum penampilannya terlihat sangat casual, sederhana namun trendi. Khas anak muda sekali.Sebuah name tag yang dikalungkan di lehernya membuatku yakin bahwa dia salah seorang panitia. Sayangnya, name tag itu dalam posisi terbalik sehingga aku tidak bisa melihat namanya."Eh... sorry," aku gugup, merasa malu karena si pemuda ganteng tersebut melihat diriku untuk pertama kalinya dalam posisi tubuh yang memalukan seperti itu. Dengan cepat aku segera bangkit, duduk di jok mobil, berusaha menenangkan diri dan tersenyum ke arahnya. "HP saya hilang.""H
Kami tadi memang sempat ngobrol, tapi tidaklah lama. Tak banyak yang bisa kuketahui dari dirinya melalui obrolan yang sangat singkat.Dan HPku yang "hilang" ternyata membawa keberuntungan tersendiri. Tadi Syarif sempat menawarkan diri untuk menghubungi nomorku pakai HP dia. Alhamdulillah, tersambung. Yang menerima adalah Dian."Halo, ini HP Ryana. Tertinggal di kantor. Orangnya sedang ada acara di luar. Saya temannya, Dian. Ada yang bisa dibantu?""AIhamdulillah, ternyata tidak hilang." aku menatap Syarif sambil tersenyum bahagia, merasa amat bersyukur.Lebih bersyukur lagi karena secara tidak langsung bantuan Syarif membuatku berhasil mendapatkan nomor HPnya, tanpa harus kupinta.Sesampai di kantor, segera kucek fitur received call di HP. Nomor Syarif kusimpan rapi di phonebook. Ada godaan untuk menghubungi dia, sekadar mengucapkan apa kabar. Tapi rasa malu dan gengsi menguasai diriku. Hm... rasanya kok tidak pantas. Seperti perempuan murahan saja.Lagipula aku kan belum tahu, apakah
Saat sedang santai di kantor, kubuka aplikasi Facebook, singgah di fan page Komunitas Nuansa. Kuperhatikan satu-persatu statusnya, termasuk orang-orang yang berkomentar.Dari situlah, aku berhasil menemukan akun Syarif. Aku merasa sangat gembira, karena berkesempatan mencari tahu mengenai dirinya lebih detil. Aku sangat antusias dan penasaran, kepo sekepo-keponya, ingin mengetahui profil Syarif sampai sedalam-dalamnya.Kuperhatikan profil pria yang telah merebut hatiku itu dengan penuh antusias. Kubaca satu-persatu status yang dia tulis. Kuamati foto-foto yang dia pajang.Banyak sekali fakta yang kutemukan dari halaman Facebooknya itu. Ternyata dia masih single dan tak kulihat anda-tanda dia sedang pacaran (duh, senangnya hatiku!). Dia hobi sepakbola, membaca, fotografi, dan desain grafis. Ketika SMA, dia aktif di ekskul teater. Jadi pasti dia pandai berakting.Yang mengejutkanku, ternyata Syarif juga aktif di Gerakan Islam Lurus!'Kok bisa? Kok selama ini aku tak tahu? Kok selama ini
Mungkin karena keseriusanku memikirkan Syarif, atau karena sering berdoa, secara mengejutkan keajaiban itu datang. Suatu hari, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari dirinya!‘Assallamualaikum, Mbak Ryana. Saya Syarif, panitia acara yatim piatu beberapa minggu lalu. Moga masih ingat, ya.’Alhamdulillah! Aku merasa sangat bahagia dan bersyukur ketika membaca pesan WA itu. Bukan hanya karena Syarif menghubungiku, tapi kedatangan pesannya membuatku yakin bahwa dia pun ternyata menyimpan nomor HPku. Berarti dia tidak melupakanku. Berarti dia pun merasa penting untuk terus menjalin silaturahmi denganku.Duhai, betapa bahagianya ketika aku memikirkan hal itu.'Walaikumsalam, tentu masih ingat. Apa ķabar, Mas Syarif?' Segera kubalas WA-nya dengan penuh sukacita.'Alhamdulillah, baik Mbak. Maaf kalau saya lancang. Di ķantor Mbak Ryana ada lowongan, gak? Untuk sepupu saya.''Sepupunya lulusan apa? Cari kerja di bidang apa?''Lulusan SMA. Kerja apa saja boleh.'Masya Allah! Mungkin inilah jawaban
POV: SYARIFSecara tak terduga, tiba-tiba hadir seorang gadis yang menarik perhatianku, membuatku jatuh cinta. Namanya Ryana.Pertemuan pertama kami terjadi di sebuah panti asuhan, saat komunitas yang aku ikuti - Komunitas Nuansa - mengadakan acara santunan di sana. Padahal saat itu yang kulihat baru punggungnya! Ia sedang jongkok di dalam mobil, mencari sesuatu di lantai.Saat kusapa dirinya, kepalanya mendongak, menoleh ke arahku, menatapku dengan ekspresi gugup serta malu, membuat hatiku berdesir dengan kuat. Namun sebagai juara pendam-memendam sejati, aku bisa menyembunyikan rasa tertarikku dengan sangat sempurna."Perkenalkan, saya Ryana."[‘Saya Syarif, Kamu cantik banget, deh. Nikah, yuk.’]"Nama saya Syarif, Mbak."Ia tersenyum. Hatiku mabuk kepayang, melayang-layang di udara.Perlu kujelaskan bahwa kejadian di panti asuhan itu adalah pertemuan pertama kami. Namun sebenarnya, aku sudah lama mengenal Ryana, karena kami sama-sama aktif di komunitas Gerakan Islam Lurus (GIL). Dia
Di suatu Sabtu malam, aku asyik bermain-main di depan laptop. Foto-foto Ryana hasil bidikanku pun kutatap dengan penuh cinta. Walau kupotret dari jarak jauh, namun hasilnya sangat jelas dan bagus. Maklumlah, pakai kamera DLSR dengan lensa tele yang cukup panjang.Kecantikan wajah Ryana makin terlihat jelas di foto-foto itu. Senyumnya alamiah, tidak dibuat-buat, dan sangat memikat. Dia mengenakan jilbab lebar yang modelnya sangat anggun, membuat dirinya terlihat lebih cantik dan menarik.'Duhai Ryana, sudah berapa banyak pria yang bertekuk lutut di hadapanmu? Sudah berapa banyak pria yang menyatakan cinta padamu? Pasti sangat banyak. Adakah satu di antara mereka yang beruntung memilikimu? Aku harap tak ada. Hanya akulah yang layak memilikimu. Kamu harus tahu itu!'"Cieee... malam Minggu kok gak ngapelin pacarnya, Mas?" tiba-tiba suara Susi membuat kaget. Sepupuku yang centil itu memang sedang bertandang ke rumah kami."Siapa yang mau diapelin? Lagian aku kan tak mau pacaran," sahutku s
‘Waalaikumsalam. Maaf Mas, baru reply. Tadi ada acara keluarga di rumah. Alhamdulillah kabar baik nih. Mas Syarif sendiri gimana?’Aku tertegun, menyesali buruk sangka terhadap Susi yang terlanjur mengotori hatiku. Menyesali buruk sangka terhadap Ryana, karena kukira dia tak menaruh perhatian sedikit pun terhadapku. Balasan pesannya seperti mengobati luka parah yang belum sembuh juga selama bertahun-tahun. kini jadi sembuh total, tanpa bekas sama sekali!Segera kumatikan MP3 Player. Kukunci rapat pintu kamar. Kuminum segelas air. Kubiarkan suasana hening menemani jari-jariku yang mengetik WA balasan untuk sang gadis pujaan hati.[‘Alhamdulillah, kabarku selalu baik jika kamu mencintaiku. Kabarku akan makin baik jika kamu mau menikah denganku.’]‘Alhamdulillah, kabar baik, Mbak. Thanks balasannya.’Ternyata isi hati tidak selamanya sama persis dengan yang terketik di layar ponsel. Aku sibuk mengutuki diri sendiri.'Sama-sama. Lagi