Share

Mulai Penasaran

Kutaksir usia pemuda ini sekitar 21 atau 23 tahun. Masih lebih muda dariku. Penampilannya terlihat keren dengan kemeja kotak-kotak warna hitam yang semua kancingnya dibiarkan terbuka. Dan di bagian dalam dia mengenakan kaos warna krem yang sangat serasi dengan tubuh atletis dan kulitnya yang berwarna sawo matang.

Badannya tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu pendek. Bentuk wajahnya lonjong, rambutnya pendek namun tidak cepak. Secara umum penampilannya terlihat sangat casual, sederhana namun trendi. Khas anak muda sekali.

Sebuah name tag yang dikalungkan di lehernya membuatku yakin bahwa dia salah seorang panitia. Sayangnya, name tag itu dalam posisi terbalik sehingga aku tidak bisa melihat namanya.

"Eh... sorry," aku gugup, merasa malu karena si pemuda ganteng tersebut melihat diriku untuk pertama kalinya dalam posisi tubuh yang memalukan seperti itu. Dengan cepat aku segera bangkit, duduk di jok mobil, berusaha menenangkan diri dan tersenyum ke arahnya. "HP saya hilang."

"Hilang? Hilang di mana?"

"Hm... nanti saja dicari lagi. Acara sudah dimulai, kan? Eh.... Mas ini panitia, kan?"

"Betul, Mbak," sahutnya dengan santun sambil memperlihatkan name tag yang tadi kuperhatikan. Namanya pun dapat kueja dengan jelas di situ. "Syarif nama saya, Mbak. Ada barang-barang di bagasi yang bisa saya bawa?"

"Eh... ada. Tolong bantu, ya. Soalnya banyak dan berat semua."

"Siap, Mbak!"

Lalu bersama Mang Cecep, si pemuda itu dengan sigap mengeluarkan buku-buku bawaan dari bagasi, yang jumlahnya enam dus.

"Saya Ryana," ujarku memperkenalkan diri.

"Salam kenal, Mbak. Nama saya Syarif."

"Iya, tadi kan sudah disebut."

"Hehehe.., iya."

"Mas Syarif ini ketua panitia?"

"Bukan. Saya bagian dokumentasi."

"O, I see."

Lalu Syarif meneruskan kesibukannya mengeluarkan kardus-kardus buku. Aku memerhatikannya tanpa henti.

Duhai, kenapa perhatianku hanya tertuju padanya seperti ini? Ada apakah gerangan?

Ketika kami berjalan berdampingan ke arah gedung lokasi acara pun, aku tak dapat menahan debaran di dada. Pemuda yang bernama Syarif ini sangat santun orangnya. Gayanya sopan, formal, terlihat agak minderan. Entah kenapa, rasa tertarikku padanya sama sekali tak bisa dibendung.

"Mas Syarif masih kuliah?" ujarku saat kami sudah berbaur dengan para panitia lain, menyusun buku-buku bawaan kantorku di sebuah pojok ruangan. Aku bertanya seperti itu, sebab kulihat gayanya seperti mahasiswa pada umumnya.

"Saya belum kuliah, Mbak."

"Maksudnya, eng... nganggur?"

"Bekerja di sebuah perusahaan."

"O, syukurlah. Berarti lulus SMA langsung kerja, ya?"

Syarif diam sejenak. seperti memikirkan sesuatu. Lalu ia menjawab, "Iya. betul."

Aku manggut-manggut. Dari hasil obrolan ini, dapat kutebak Syarif pasti berasal dari masyarakat kalangan bawah. Pasti dia tak kuliah karena orang tuanya tak mampu membiayai. Duh, kasihan juga. Padahal dari cara dia menjawab tadi, feelingku berkata dia pasti ingin sekali kuliah. Dia menggunakan kata, "Saya belum kuliah." Artinya, di dalam hatinya pasti ada keinginan suatu saat nanti ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

"Boleh tahu, pekerjaan Mas Syarif di bidang apa?"

Duh, aku agak menyesal karena menanyakan itu. Rasanya kok kurang sopan. Untuk seorang lulusan SMA, dugaanku dia paling hanya seorang office boy atau cleaning service. Dia mungkin malu menceritakan hal itu.

"Admin, Mbak."

"Admin?" aku tersentak. Sebuah jabatan yang benar-benar di luar dugaanku. "What kind of admin? Hm... maksud saya, pekerjaannya seperti apa?"

Saya mengelola akun media sosial milik kantor."

"O, I see," aku manggut-manggut. "Itu namanya social media admin. Hm... very cool!"

"Hehehe.... biasa aja, Mbak. Saya cuma lulusan SMA."

"Justu itu. Mas Syarif lulusan SMA. tapi bisa menduduki posisi yang biasanya hanya bagi lulusan S1."

"Masa sih, Mbak?"

"Benar. Itu artinya hebat, kan?"

Pemuda itu tersipu malu. "Mungkin karena perusahaannya kecil, Mbak. Belum bisa bayar gaji lulusan S1. Saya diterima di situ pun gak pake tes. Langsung diterima aja," ujarnya.

"O gitu. Kok bisa?"

"Ada teman yang ngajak."

"O, I see. Berarti Mas Syarif memang sudah biasa ya, mengelola social media?"

"Udah, tapi iseng-iseng aja."

Aku manggut-manggut. Seketika rasa kagum pada Syarif mulai tumbuh. Dia yang hanya lulusan SMA, bisa mendapat pekerjaan dengan posisi yang lumayan keren. Artinya dia punya keahlian yang membuatnya lebih unggul dibanding para lulusan SMA lain.

* * *

Setelah acara santunan acara yatim piatu berakhir, aku dan Mang Cecep melambaikan tangan, mengucapkan say goodbye, meninggalkan para panitia dan seluruh penghuni panti.

Tapi entah kenapa, bayangan Syarif justru ikut menemaniku sepanjang perjalanan pulang. Ia masuk ke hatiku, ke pikiranku, menyapaku dengan senyum yang amat primitif namun membuat anganku melambung tinggi.

‘Siapa sebenarnya dia?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status