Share

Dilamar oleh Teman Sendiri

Perkenalkan namaku Ryana, usia 26 tahun, anak sulung dari tiga bersaudara, lahir dan besar di Jakarta. Saat ini, aku bekerja sebagai staf marketing di sebuah penerbitan buku.

Aku menganggap bahwa jodoh merupakan hal yang sangat rumit, penuh rumus, penuh kriteria yang harus dipenuhi. Jika bertemu seorang pria yang melamarmu, kau harus teliti dulu, apakah dia cocok atau tidak dengan kriteria yang kau tetapkan.

Selama bertahun-tahun prinsip ini kupegang dengan sangat teguh. Aku sangat memercayainya.

Namun ternyata, semua hal di dunia ini bisa berubah drastis. Pertemuan dengan seorang pria di suatu hari yang cerah telah menjungkirbalikkan semua prinsip dan pandangan hidupku mengenai kriteria jodoh.

Kisahnya berawal saat Mbak Sinta - guru ngajiku - menyuruhku tidak pulang dulu setelah kami mengikuti pengajian di rumahnya, di suatu Sabtu siang yang cerah.

"Ada yang hendak saya sampaikan," ujar Mbak Sinta sambil membereskan meja yang penuh oleh piring, gelas, makanan dan minuman.

"Apa itu, Mbak?"

"Hm..., begini, Ryana. Apakah kamu sudah punya calon suami?"

"Belum, Mbak."

"Apa selama ini sudah ada yang melamar kamu?"

"Ada beberapa yang mendekati atau melamar saya. But so far... not yet. Belum ada yang lamarannya saya terima."

"Berarti masih ada kesempatan ya, untuk pria lain?"

"Hm.... Mbak Sinta mau mengenalkan saya dengan seseorang, ya?" aku tersenyum jenaka.

"Bukan memperkenalkan, karena kalian sudah saling kenal, kok."

"Oh, ya? Siapa?"

"Rangga."

"Rangga? Yang tinggal di Pasar Minggu? Tubuhnya agak gemuk? Kerja di perusahaan telekomunikasi?"

"Betul."

Aku tertegun. Tentu saja Ranga sudah sangat kukenal dengan baik. Kami sama-sama aktif di Gerakan Islam Lurus (biasa disingkat GIL), sebuah gerakan dakwah yang bertujuan untuk membentengi umat dari berbagai aliran sesat yang bisa merusak aqidah.

Aku dan Rangga sudah sering bekerja sama satu tim kepanitian. Kami lumayan akrab, namun dalam batas-batas yang kami usahakan sewajar mungkin. Aku, Rangga dan teman-teman lain sering ngobrol akrab, bercanda, saling meledek, atau mendiskusikan tema tertentu dengan serius. Namun selama ini, aku tidak melihat tanda-tanda bahwa dia tertarik padaku. Atau aku yang kurang peka?

"Apa kamu bersedia ta'aruf dengannya?" suara Mbak Sinta mengagetkanku.

"Hm, kami sebenarnya sudah akrab, Mbak. Sering ngobrol bareng."

"Tapi cuma ngobrol biasa, kan?"

"Iya, sih. Dan selama ini... he never talked... tak pernah menunjukkan pertanda bahwa dia suka pada saya."

"Mungkin dia ingin menjaga hatinya agar tidak terjerumus ke zinah hati. Jika kalian sudah akrab, saya pikir sangat mudah baginya untuk bicara langsung pada kamu. Tapi dia justru mendatangi suami saya, meminta kami jadi perantara kalian. Artinya dia ingin mengikuti proses yang lebih aman."

Aku manggut-manggut. "By the way, emang Rangga kenal Pak Ishadi?"

"Mereka sama-sama alumni IPB, sering ngobrol di group F******k."

"O, I see. Dan dia tahu kalau saya ngaji di sini?"

"Awalnya enggak tahu, kok. Dia cuma tanya, 'Bapak kenal sama Ryana?' Mungkin karena dilihatnya nama kamu ada di friend list Bapak. Dari situlah pembicaraan soal ta'aruf tersebut dimulai."

"O, I see."

"Jadi gimana? Kamu mau ta'aruf dengan Rangga?"

Aku tertegun. Sejujurnya, ada rasa simpati di hatiku untuk Rangga. Namun aku sangat kaget, benar-benar tak menduga jika Rangga melamarku. Kami selama ini merupakan dua sahabat akrab. Sungguh tak bisa kubayangkan jika dia menjadi suamiku.

"Hm, saya akan pikir-pikir dulu, Mbak," ujarku akhirnya. "Hal seperti ini tak bisa diputuskan dengan buru-buru, kan?"

"Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. ya. Rangga ingin segera menikah. Saran saya, kamu sebaiknya shalat istikharah, minta petunjuk pada Allah."

“Baik, Mbak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status