Share

Bab 4 Dewi Lagi

Selamat membaca.

Bab 4 Dewi Lagi

Jangan ditanya betapa dongkolnya hati sang istri. Padahal baru saja ia berdamai dengan pikirannya untuk tidak mengingat nama Dewi. Eh, malah semakin nyata terdengar dan di depan matanya pula. Meski hanya lewat virtual, tetapi sudah lebih dari cukup untuk menghantam jantung seorang Kanaya.

Kanaya mondar-mandir gelisah. Mengingat suaminya begitu buru-buru memutuskan sambungan panggilan hanya karena wanita yang nama Dewi itu sudah datang. Dadanya bergemuruh dan sesak.

Meski ragu kalau Elang akan menjawab lagi panggilannya, Kanaya tetap melakukan panggilan. Disentuh kontak bernama My husband itu.

“Aish!” desisnya. Sebab Elang tidak menjawab panggilan telepon.

Ia semakin bernafsu untuk menghubunginya lagi dan lagi. Namun, masih juga tidak dijawab. Batas kesabaran Kanaya kian terkikis.

**

Darmi memerhatikan wajah Dirman yang terlihat pucat dan lesu.

“Mang, kamu teh kenapa?”

“Kepala saya keleyengan, pusing.”

“Kamu sakit?” Darmi tampak cemas.

“Ya sedikit.”

“Itu wajah kamu pucat pisan.” Darmi menempelkan punggung tangan di dahi Dirman. “Eleuh-eleuh … panas,” sambungnya berseru.

“Iya, enggak enak badan.”

“Sudah minum obat?”

“Belum. Stok obat panas di kotak P3K habis. Mau beli ke apotek juga, takut Nyonya mau pergi-pergi. Si Ujang kan lagi pulang kampung dulu.”

“Ya atuh ke apotek kan hanya sebentar. Ayo gih cepat beli obat dulu, daripada sakitnya berlanjut. Nanti tambah repot, Mang.”

“Oh, ya sudah atuh. Nanti kalau Nyonya nyari tolong beri tahu, ya!”

“Siap. Buruan berangkat sana!”

“Iya.” Dirman beranjak seraya menyunggingkan senyum lebarnya. Ia merasa bahagia karena merasa diperhatikan oleh Darmi.

“Eh, Mang ….”

“Apa?” Dirman menghentikan langkah.

“Saya kok enggak lihat Nyonya memakai kalung barunya, ya?”

“Ehm … kirain apa. Kamu ternyata penasaran juga sama kalung yang dibeli Tuan.”

“Kan kamu sendiri yang bilang kalau kalungnya bagus sekali. Jadi saya penasaran lah.”

“Mungkin belum saja atau Nyonya malah tidak suka. Selera Nyonya kan tinggi banget. Sudah ah, mau ke apotek dulu,” pamit Dirman segera.

Tinggallah Darmi sendiri mematung. Ia masih kepikiran dengan kalungnya.

“Aduh, kok saya jadi kepo begini, ya?” gumamnya.

**

Kanaya masih gelisah menunggu Elang menghubungi balik atau paling tidak mengirimkan sebuah pesan.

Tung, akhirnya satu notifikasi chat masuk. [Ay, maaf tidak bisa jawab telepon dulu. Soalnya lagi meeting penting. Sepertinya aku juga nanti pulang malam]

Satu pesan Elang membuat Kanaya semakin berprasangka buruk.

“Ini tidak bisa dibiarkan,” gumam Kanaya.

Meeting dadakan itu pasti hanya sebuah alasan. Sama persis dengan yang ada di novel. Aku harus melakukan sesuatu sebelum semuanya lebih jauh. Harus menyelamatkan rumah tanggaku. Ya Tuhan, apa ini? Aku seperti mendapat mimpi buruk tiba-tiba. Kenapa harus sekarang? Tidak ada artinya kah usia 15 tahun pernikahan kami bagi dirinya? Sampai tega berkhianat. Hati Kanaya terus bermonolog.

Ingatan saat Elang menyebut nama Dewi kala itu, membuat ia bertekad untuk mendatangi kantor suaminya. Gegas ia mengambil kunci mobil dan pamit kepada anak-anak.

“Ann, Al, Mama ada urusan mendadak, tolong tunggu di rumah saja, ya!”

“Mama mau kemana?” tanya Anna.

“Pokoknya ada urusan dulu, nanti saja Mama cerita. Ini lagi buru-buru.”

“Mang Dirman kan lagi ke apotek dulu, Mah,” ujar Alya memberitahu.

“Mama bawa mobil sendiri, Al.”

“Oh.”

“Hati-hati,” pesan Anna.

“Ok, Sayang.”

Kanaya mencium dahi anaknya bergantian. Kemudian berlalu menuju garasi.

“Mah,” teriak Anna sesaat setelah tersadar akan sesuatu hal.

Kanaya tidak mendengarnya. Anna pun berlari untuk menyusul. Namun sayang, mamanya ternyata sudah melesat jauh dengan kuda besi. Padahal, tadinya Anna mau menegur Kanaya yang bepergian hanya menggunakan setelan baju rumahan. Bahkan rambutnya hanya diikat sembarang ke atas. Sungguh diluar kebiasaan. Sepenting apa urusan itu sampai lupa dengan penampilan?

Hanya memerlukan waktu sepuluh menit untuk sampai ke kantor di mana suaminya berada. Kini gedung tinggi menjulang sudah ada di hadapan Kanaya. Perusahaan tempat Elang bekerja merupakan perusahaan yang memproduksi farmasi, suplemen, nutrisi dan layanan kesehatan.

Di usianya yang ke-45 tahun, Elang sudah menjabat sebagai Direktur keuangan. Keluarganya juga adalah salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut. Begitupun dengan keluarga Kanaya. Walau kepemilikan saham sangat kecil selepas ayahnya meninggal.

“Bu Kanaya, ya?” tanya sekuriti kantor dengan ramah.

“Iya,” jawab Kanaya sedikit ketus.

Sekuriti mengerutkan kening mendapat sikap istri salah satu bosnya yang untuk pertama kali tidak bersahabat. Sekuriti pun menerka kalau wanita yang melenggang di depannya begitu saja sedang diliputi amarah. Daripada kena sembur, ia lebih memilih membiarkan saja. Sebenarnya tidak bisa sembarang orang masuk ke kantor tempat Elang bekerja. Akan tetapi, Kanaya memang seolah mendapat hak istimewa.

Lift membawa langsung Kanaya ke lantai lima, dimana ruang suaminya berada.

“Selamat sore, Bu,” sapa Sekretaris Elang yang bernama Wulan. Ia juga sudah mengenal baik Kanaya.

“Bapak Ada?”

“Bapak sedang meeting, Bu.”

Sekretaris Elang pun merasa ada yang aneh dengan istri atasannya tersebut.

“Meeting?” Alis Kanaya terangkat.

“Iya, Bu. Meeting mendadak dan sangat penting. Maaf, apa sebelumnya Ibu sudah memberitahu Bapak akan ke sini?” tanya Wulan hati-hati.

“Ya, saya sudah memberi tahu akan datang. Ada urusan darurat dan harus bertemu secepat mungkin,” ujar Kanaya sedikit berbohong.

Keadaan memang darurat untuk kelanggengan rumah tangganya.

“Oh, begitu. Silakan Ibu bisa menunggu terlebih dahulu. Saya usahakan untuk memberitahu Bapak secepatnya kalau Bu Kanaya sudah datang.”

“Tidak bisa, saya harus bertemu sekarang.”

“Tapi Bu, Bapak sedang meeting dan tidak bisa diganggu,” jelas Wulan.

“Bapak meeting di ruang mana?”

“Di ruang Meeting tiga, Bu.”

“Oh,” tanggap Kanaya singkat. Kebetulan Kanaya hapal di mana ruangan tersebut.

“Bu, permisi saya tinggal dulu,” pamit Wulan.

Kesempatan ini tidak Kanaya sia-siakan. Ia langsung menuju ruang Meeting tiga yang letaknya ada di lantai dua. Kanaya benar-benar kalut dan tidak bisa berpikir sehat. Di kepalanya sudah terisi penuh oleh prasangka kalau suaminya selingkuh dengan wanita bernama Dewi.

Berani-beraninya wanita itu datang ke kantor suamiku dan berani sekali Elang menjadikan meeting sebagai alasan. Parahnya, apa mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas di ruang meeting itu? Bagaimana bisa ini terjadi? Apa mereka semua bersekongkol? Hatinya bermonolog sampai akhirnya pintu lift terbuka di lantai yang dituju.

Walau berat kakinya diseret mendekati ruang meeting yang membuat suhu tubuh Kanaya memanas. Dengan dada berdegup kencang, keringat dingin meluncur dan tangan yang bergetar mencoba meraih gagang pintu.

Benarkah suamiku ada di dalam bersama wanita bernama Dewi? Siap tidak siap, aku harus siap dengan apa yang akan kulihat. Hati Kanaya meyakinkan diri sesaat sebelum daun pintu terbuka.

Ceklek ….

“Ay?!” Mata Elang melebar sempurna melihat sang istri sudah ada di ambang pintu.

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ana Widarti
hayo kamu emang mampvvss
goodnovel comment avatar
Ratni
hayo kabur aja lah ...
goodnovel comment avatar
darajat hidayat
aduh bikin penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status