Share

Bab 3 Dewi Bertamu

Selamat Membaca.

Bab 3 Dewi Bertamu

Deg, detak jantung Kanaya seolah berhenti sejenak. Hatinya sekarang begitu sensitif setiap kali mendengar nama Dewi.

“Bi, orangnya cantik enggak?” tanya Kanaya spontan.

“Eu … Nyonya lihat saja langsung, ya!” Sepertinya Darmi tidak mau berpendapat.

Setelah kemarin Elang sebut nama Dewi, tiba-tiba hari ini ada seorang perempuan bernama Dewi datang mencari Kanaya. Tentu saja hal ini membuat pikirannya travelling jauh. Sehingga memunculkan beberapa pertanyaan dan asumsi.

Apa arti dari semua ini? Apa Elang benar selingkuh? Apa Dewi nama perempuan yang sering ditidurinya? Lantas mau apa si gundik sampai datang ke rumahnya? Jangan-jangan hamil dan hendak meminta pertanggungjawaban.

Daripada menerka-nerka, Kanaya gegas menemui tamu tak diundangnya. Darmi langsung mengekor. Sesampai di teras mata Kanaya melebar, sontak tubuhnya terlonjak ke belakang.

“Bi, apa ini perempuan yang namanya Dewi?”

“Iya, Nyonya.”

“Iya, Bu. Perkenalkan saya, Dewi. Ini pasti Bu Kanaya, ya?” tanyanya antusias.

“Silakan masuk,” ajak Nyonya rumah agak ragu.

“Terima kasih.”

Kilatan amarah di kedua bola mata Kanaya berangsur meredup. Sebab ternyata tak seperti yang dibayangkan. Sosok perempuan di hadapannya adalah seorang wanita lima puluh tahunan yang jauh dari kategoti cantik. Bukan maksud merendahkan atau lainnya, penampilan Dewi juga sedikit lusuh jauh dari kata modis itu tidak mungkin selingkuhan Elang.

Mereka sudah duduk di kursi ruang tamu.

“Maaf, ada keperluan apa?” tanya Kanaya.

“Katanya Ibu tidak enak badan, ya? Kapan saya bisa mulai?”

“Maksudnya?” Dahi Kanaya mengernyit.

“Loh, kata mbak Silvi, Bu Kanaya ini mau dipijat. Makanya saya diminta datang ke sini,” jelas Dewi.

“Oh, ya ampun! Jadi kamu orang kiriman Silvi?”

“Iya betul, Bu.”

“Astaga!”

Kanaya lupa kalau beberapa jam lalu, ia sempat menelepon Silvi-sahabatnya. Ia menceritakan tubuhnya yang sakit dan ingin sekali dipijat. Namun tidak tahu jasa pijat mana yang benar-benar bisa membuat nyaman, selain pijatan di tempat spa langganannya. Lalu Silvi merekomendasikan jasa pijat yang sudah sangat ia kenal.

Drett … ponsel bergetar dalam saku baju Kanaya. Nama kontak Silvi terpampang di layar. Segera Kanaya menggeser ikon hijau.

“Hallo Nay,” sapa Silvi dengan panggilan kesayangan kepada sang sahabat.

“Iya, Vi.”

“Itu bi Dewi sudah sampai rumah lu, belum?”

“Oh, baru saja sampai.”

“Ya sudah. Bilang saja pada dia, bagian mana saja badan lu yang terasa enggak enak. Dijamin pijatannya bikin nagih.”

“Ok. Teri--”

Tut … sambungan pun diputus sepihak.

“Kebiasaan deh, kalau telepon enggak pernah salam, enggak pernah pamit,” dengkus Kanaya. Padahal dia sendiri seperti itu kalau menelepon temannya.

“Bagaimana Bu, jadi tidak dipijatnya?”

“Oh, jadi-jadi. Tunggu sebentar, saya mau siapkan tempatnya dulu.”

“Baik, Bu.”

Kanaya meminta tolong Darmi untuk menyiapkan alas pijat di salah satu ruangan lantai dua. Selang beberapa menit Dewi pun dipersilakan untuk memulai pijatannya.

“Bi, enak banget pijatannya. Sudah berapa lama jadi tukang pijat?” tanya Kanaya dengan posisi tengkurap. Menikmati bagian punggungnya yang diurut-urut dengan minyak zaitun.

“Wah, saya mah sudah sejak kecil,” jawab Dewi dengan logat sundanya.

“Sejak kecil?”

“Iya. Soalnya ilmu pijatnya itu sudah turun temurun dari kakek buyut gitu.”

“Memangnya Bi Dewi asli orang mana?”

“Jampang Kulon, Bu.”

“Jampang Kulon itu dimana, Bi?”

“Di kabupaten Sukabumi. Popkoknya jauhlah, Bu.”

“Oh, begitu.”

“Wah, jujur baru kali ini saya memijat orang yang punggungnya sebagus dan semulus ibu,” decak kagum Dewi.

“Masa?”

“Serius, Bu. Suami Ibu pasti bangga punya istri secantik dan sebagus ini badannya.”

“Bi Dewi ini bisa saja.”

Meski Kanaya tidak tahu apa yang dikatakan tukang pijat itu benar atau hanya sekadar menghibur, yang jelas hatinya senang mendapat pujian tersebut. Kepercayaan dirinya kembali sebagai seorang istri yang tak mungkin diduakan.

Kurang apa coba aku ini? Batinnya.

Selama proses memijat, keduanya terus mengobrol. Kanaya yang ramah dan Dewi juga yang mudah akrab membuat keduanya tidak kehabisan bahan obrolan.

Selesai dipijat Kanaya merasakan tubuhnya benar-benar menjadi rileks. Pikirannya sudah tidak macam-macam lagi. Mood baik Kanaya sudah kembali.

**

“Elang lagi apa, ya? Apa dia sudah makan siang?” gumam Kanaya.

Ia pun memutuskan untuk menghubungi suaminya itu.

“Hallo Mas,” sapanya setelah tersambung via telepon.

“Iya, Ay. Ada apa?”

“Enggak. Aku kangen saja sama kamu.”

“Oh.”

“Kok, cuma ‘oh’ saja?” protes Kanaya merasa tidak direspon balik.

“Maaf Ay, aku benar-benar lagi sibuk.”

“Sibuk apa sibuk? Ini kan jam istirahat?” sinis Kanaya yang hatinya jadi mudah cemburu gara-gara suami sebut nama ‘Dewi’ kala itu.

“Serius Ay. Aku sibuk membuat laporan, bahkan aku belum makan siang.”

“Loh, kenapa enggak makan siang saja dulu? Kan bisa nanti dilanjut buat laporannya.”

“Tidak bisa. Laporannya sudah ditunggu Bos. Harus diselesaikan secepatnya. Kalau begitu sudah dulu, ya! Dadah Sayang.” Elang mengakhiri panggilan begitu saja.

Kanaya memberengut karena kesal.

“Punya bos gitu amat. Seenaknya saja nyuruh beresin laporan sampai suamiku enggak sempat makan. Bos macam apa coba? Ish dasar!” Dia mendumbel sendiri.

“Nyonya, ini jus jeruknya.” Darmi berujar sambil mengulurkan segelas jus.

“Wah, seger banget nih kayaknya. Makasih, Bi.”

“Iya, Nyonya.”

Darmi tidak langsung undur diri. Ia sejenak memerhatikan leher majikannya yang terbuka. Namun tak pernah dilihatnya kalung baru yang pernah Dirman ceritakan. Kanaya masih saja memakai kalung lamanya.

Kok, Nyonya tidak ganti-ganti kalung ya? Padahal saya penasaran kalung yang diceritakan Dirman secantik dan semewah apa. Kata hati Darmi.

“Bi, ada apa?” Kanaya mengangkat alis sebelah saat merasa Darmi memerhatikannya.

“Oh, tidak Nyonya. Permisi,” pamit Darmi segera.

“Aneh? Bodo ah,” gumam Kanaya tidak mau ambil pusing.

Ia segera menyeruput jus jeruk hingga tersisa setengah gelas. Hawa panas hari ini benar-benar membuat dahaga.

**

Sore hari, Kanaya memutuskan untuk bersantai di ayunan rotan yang ada di balkon kamar sambil memainkan ponsel. Sedangkan kedua putrinya tengah asik menonton TV di lantai bawah.

Rasa bersalahnya karena kemarin tidak menyelesaikan apa yang diinginkan Elang, membuat Kanaya merindu. Iseng ia melakukan video call kepada kontak bernama My husband. Ternyata panggilan videonya langsung diangkat.

Layar kamera memperlihatkan wajah tampan sang suami dengan rahangnya yang tegas. Mata Elang memicing mempertanyakan kenapa tiba-tiba istrinya menghubungi. Video call-an pula. Padahal sebentar lagi juga sudah jadwalnya pulang kantor.

“Hi, Mas.” Kanaya melambaikan tangan.

“Ada apa, Ay? Tumben.”

“Kangen,” rengeknya manja.

“Ekhm, bohong ah!”

“Serius.”

“Kemarin saja sampai tega ninggalin aku di bathtub,” cebik Elang seperti dendam.

“Ih, Mas. Masih ingat saja.”

“Iyalah. Mana mungkin lupa.”

“Aku minta maaf, Mas. Kan moodku yang mendadak ambyar.”

“Ok, dimaafkan. Asal ada syaratnya.”

“Apa?”

“Nanti sepulang kerja, temenin lagi aku mandi.” Elang menaik turunkan Alisnya yang datar nan pekat.

Kanaya mengangguk cepat seraya tersenyum lebar. Membuat Elang semakin tak sabar ingin segera pulang.

Di layar kamera terdengar ada yang mengetuk pintu ruangan Elang.

“Iya, masuk!” titah Elang.

Rupanya sekretaris Elang yang bernama Wulan muncul. Kanaya pun sudah mengenalnya karena pernah beberapa kali bertemu sewaktu acara kantor. Ya, Elang memang selalu mengajak serta istrinya hampir di setiap acara yang diselenggarakan tempat kerjanya. Seperti acara libur tahunan, acara ulang tahun perusahaan, acara syukuran atas pencapaian prestasi, bahkan acara hajatan rekan-rekan kerja Elang.

Tentu saja Elang senantiasa berbangga hati setiap mengenalkan istrinya ke khalayak ramai. Sehingga sosok Kanaya begitu familiar di kalangan orang-orang kantor.

“Maaf Pak, mengganggu. Bu Dewi sudah datang,” lapornya.

“Sudah datang?”

“Iya, Pak.”

“Aduh!” Elang terlihat panik.

Semua percakapan Elang dan Wulan jelas terdengar dan terlihat juga oleh Kanaya.

“Mas, Bu Dewi siapa?” tanya Kanaya dengan nada tak biasa.

“Ay, maaf. Sudah dulu, ya! Aku ada meeting dadakan,” pamit Elang buru-buru.

“Tapi—"

Tut … belum sempat Kanaya melanjutkan ucapannya, Elang sudah main putus saja video call-nya.

***

Jangan lupa follow ya..agar tidak ketinggalan ceritanya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ana Widarti
lanjut author bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Ratni
penasaran aduh ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status