Setelah mendapat laporan kalau Bima Anggara sedang malam mingguan di sebuah club ternama ibu kota, Kanaya gegas bersiap. Ia akan mengunjungi club yang sama. Bagaimanapun Kanaya harus bisa berbicara langsung kepada Big boss yang arogan itu.
Detak jantung Kanaya tak biasa. Sebab, ini adalah pengalaman pertamanya memasuki tempat hiburan malam seperti club. Mungkin sebagian orang tidak percaya jika mengetahui salah satu konglemerat ibu kota masih asing dengan tempat seperti itu. Akan tetapi, inilah faktanya. Sewaktu muda, jiwanya sama dengan anak muda lainnya. Ingin bersenang-senang di tempat hiburan malam, tetapi sang ibu sambung tak pernah mengizinkan. Kanaya memilih patuh. Selepas menikah, suaminya pun tak pernah mengizinkan ia mengenal gemerlap malam dan Kanaya lagi-lagi memilih patuh. “Mas, maafkan aku. Tapi aku harus menemui bosmu,” gumam Kanaya. Begitu masuk ke dalam club, cahaya remang menyambutnya. Beberapa orang tengah asik dengan alunan musik yang Dj mainkan. Sebagian lainnya tengah tenggelam dengan minuman yang memabukkan. Tampaklah Bima di meja bar sedang menikmati segelas John Daly yang terbuat dari campuran vodka, es teh dan limun. Kanaya pelan-pelan menghampiri dan ambil posisi duduk tepat di sampingnya. “Mau minum apa?” tanya bartender kepada Kanaya. “Eumm ….”Aduh, apa ya? Aku kan enggak tahu ada minuman apa saja di sini. Batin Kanaya.Ia menoleh sekilas segelas minuman yang ada di hadapan Bima. Kanaya yang tak paham tentang minuman beralkohol hanya menyimpulkan kalau yang telah dipesan Bima hanyalah segelas es teh lemon.“Jus jeruk,” lanjut Kanaya ragu. Ia asal sebut saja. “Ok, wait.”Si Bartender segera meracikan segelas minuman yang dipesan Kanaya. Tidak lama segelas vodka and orange telah tersaji. Irisan jeruknya membuat minuman yang sudah ada di hadapan Kanaya semakin menyegarkan. Apa lagi suasana ibu kota malam ini cukuplah panas. “Thanks.”“Mbak, baru ya ke sini?” tanya bartender.Kanaya mengusap tengkuk. “Emang kenapa gitu?”“Saya baru lihat soalnya. Mbak sendirian apa menunggu teman?”“Sendiri.”“Oh.” Si Bartender hanya tersenyum tipis.Kemudian Kanaya sedikit menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Big boss.“Ekhm, maaf. Bukankah Anda Pak Bima?” Kanaya menyapa.Bima menoleh sekilas. Kedua matanya terkejut melihat siapa yang duduk tak jauh darinya. Mau apa dia ada di sini? Apa dia mengikutiku? Tanyanya dalam hati.“Anda kenal saya?”“Saya Kanaya, istrinya Elang Sanjaya, sahabatnya Pak Bima.” Kanaya sedikit memberi penekanan pada kata sahabat.“Oh.”“Kebetulan sekali bertemu di sini. Apakah Anda sendiri? Saya juga sendiri. Boleh bergabung?”“Ya.”“Terima kasih.”Hening.“Pak, boleh saya bicara?”“Ya.”“Begini, soal tempo hari. Sebaiknya Bapak pertimbangkan kembali untuk memindahkan jabatan sekretaris. Karena jujur, itu semua kesalahan saya. Jadi rasanya tidak adil jika sekretaris kena imbas. Saya mohon. Saya juga sudah berjanji kepadanya akan mengembalikan posisi sekretarisnya. Waktu itu dia sudah berusaha menjalankan perintah Bapak semaksimal mungkin, tetapi saya-nya ngeyel,” cerocos Kanaya panjang.“Oh.”Tanggapannya yang begitu singkat sukses membuat Kanaya jengkel. Tangannya terkepal tanpa sadar.“Jadi bagaimana Pak? Apakah Bapak mau memaafkan saya dan menerima kembali dia menjadi sekretaris?”“Tidak.”“Apa? Tolong Pak, saya mohon pertimbangkan kembali.”“Anda sudah merusak suasana malam saya.”“Maaf-maaf. Sungguh saya minta maaf. Saya tidak bermaksud melakukannya. Setelah Bapak berjanji akan mempertimbangkannya, saya akan langsung pergi.”“Ok.”“Jadi Bapak setuju akan mempertimbangkannya?”“Ya.”Sebenarnya Bima memindahkan jabatan sekretarisnya bukan karena Kanaya. Jauh-jauh hari ia memang berniat memindahkannya. Sebab, sekretaris tersebut dirasa kurang berkompeten. Big boss sebelumnya terus mempertahankan Si Sekretaris bukan karena hasil kerjanya yang bagus, melainkan karena servis plus-plusnya. Tentu saja ini adalah sebuah rahasia dan Bima mengetahuinya. Waktu itu kebetulan Kanaya bikin ribut sehingga kesalahan bisa dilimpahkan kepada Si Sekretaris. Jelas menjadi suatu kesempatan untuk mengambil keputusan.“Terima kasih. Oh, ada satu lagi yang ingin saya sampaikan.”“Anda berjanji akan pergi setelah saya setuju untuk mempertimbangkan. Lalu kenapa masih di sini?”“Maaf, Pak. Tapi masih ada yang ingin saya sampaikan. Ini penting.”“Ok.”“Pak, bisakah Anda tidak menugaskan suami saya setiap bulannya ke kota Bandung?”“Itu bagian dari pekerjaannya.”“Tapi Pak, gara-gara Bapak menugaskan Elang ke Bandung, ia jadi se-”“Se-?” Alis pekat Bima yang datar terangkat sebelah.“Maksud saya … waktu bersama anak-anak jadi tersita.”“Bukan urusan saya.”“Saya mohon, Pak. Anda bisa menugaskan karyawan yang lain. Kalau perlu, gantikan saja jabatan suami saya.”“Tidak bisa.”“Pak, Saya mohon.” Kanaya menangkupkan kedua tangannya di dada. Ia benar-benar memohon dan memelas.“Pergilah!” usir Bima yang merasa semakin terusik.Bukannya pergi, Kanaya malah tampak putus asa. Kenapa begitu sulit membujuknya? Padahal aku sudah berlemah lembut. Batin Kanaya.Dadanya bergemuruh menahan marah sebab saking kesalnya kepada big boss. Tangannya langsung menyambar segelas minuman segar yang telah dipesannya.Glek, glek! Habis sampai tak bersisa.“Ahh …,” desah Kanaya. Minumannya memang terasa menyegarkan, tetapi terasa ada yang aneh di lidah serta kerongkongannya. Ada sensasi lain.Sebenarnya apa yang telah aku minum? Tanyanya dalam hati.“Kenapa, Mbak?” tanya bartender yang melihat Kanaya seperti tidak nyaman.“Oh, tidak apa-apa.”Kanaya kembali membujuk Bima agar suaminya tidak ditugaskan lagi ke Bandung. Namun Bima sama sekali tidak menggubrisnya.Beberapa saat kemudian kepalanya terasa keleyengan dan berat. Sepertinya Kanaya mulai mabuk. Ia yang tak pernah mencicipi minuman beralkohol, membuat tubuhnya bereaksi di luar dugaan.“Sebaiknya Anda segera pulang.”“Gue enggak mau pulang sebelum big bos yang menyebalkan dan arogan itu menarik Elang dari Bandung,” ucap Kanaya mendadak santai dan bahkan berani mengumpat.“Ish,” desis Bima sebal. Rupanya di balik wajah memelas dan memohon tersimpan umpatan.“Kenapa lu diam, hah? Gua udah ngomong panjang lebar, lu hanya bilang Ya, Oh, Ok. Apaan itu? Hahaha …,” racau Kanaya. “Panggilkan taksi untuk dia!” titahnya kepada bartender. “Sudah gua bilang, gua enggak mau pulang!” sentak Kanaya yang mendengar perintah Bima. “Anda menyusahkan saja.” “Apa lu bilang, menyusahkan? Semua ini gara-gara lu, tahu!” tunjuk Kanaya tepat ke muka Bima. “Andai saja lu tidak menugaskan Elang ke Bandung, ia tidak mungkin selingkuh.” Kemudian ia berdiri, jalannya yang sempoyongan menubruk kaki kursi dan jatuh tepat di pangkuan big boss. “Hei, cepat bangun!” Namun, kesadaran Kanaya malah hampir hilang. Niat Bima untuk memesankan taxi berubah pikiran. Ia cemas kalau terjadi sesuatu kepada Kanaya saat seperti ini. Bagaimana pun wanita yang menyebalkan ini adalah istri sahabatnya. Ia memutuskan untuk mengantarkannya pulang. Sebelum mengantar, Bima mencoba hubungi Elang. Akan tetapi sayang sekali nomernya sedang tidak aktif. Antarkkan saja dulu kali ya, nanti aku coba hubungi Elang lagi. Ucap Bima dalam hati.Bima memapah Kanaya ke mobilnya. Ia sudah terbiasa menyetir sendiri. Kehadiran sopir pribadi justru membuatnya merasa tidak nyaman. Begitulah Bima, ia memang terkesan menjaga jarak dengan siapa pun. Mobil pun melaju meninggalkan club. Di tengah perjalanan, Kanaya tidak mau diam di bawah pengaruh minuman beralkohol. “Aku mohon, jangan kirim lagi Elang ke Bandung,” ucap Kanaya dengan mata masih terpejam. Kedua tangannya meraih pundak Bima, lalu menggoyang-goyangkan lengannya. Bima yang sedang memegang kemudi menjadi terganggu. Ia segera menepikan mobil untuk menghindari kecelakaan. “Lepaskan tangan Anda!” titah Bima. Tangan Kanaya malah menggantung di lehernya hingga kepala big boss tertarik. Wajah mereka kini dalam keadaan sangat dekat. Bahkan ujung hidung keduanya yang mancung telah beradu. ***Mohon tinggalkan komentar ya 🙏🥰SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau