Anin yang baru ingin memejamkan kedua mata langsung terkejut ketika mendengar suara berisik-berisik dari luar villa ini.Awalnya hanya suara seperti orang saling mengobrol, tapi entah kenapa menjadi suara jeritan lantang. Bahkan suara itu sangat tidak asing. Anin yang takut terjadi apa-apa dengan Emak, langsung menyingkap selimut dan turun dari atas ranjang untuk melihat apa yang terjadi di luar.Anin berjalan cepat menuju ke depan dan terkejut sangat luar biasa ketika salah satu dari pria berbaju hitam adalah anak buah dari keluarganya.“Itu dia Non Anin!” seru salah satu anak buah yang melihat Anin.“Cepat tangkap dan bawa pulang!” titah pimpin dari anak buah itu.Anin yang melihat Emak dan Bapak yang tengah menghalangi masuk orang itu membuatnya segera berlari cepat.“Non Anin cepat lari!” teriak Emak Nengsih.Merasa bingung dan tidak bisa berpikir panjang membuat Anin justru berlari menuju ke arah pintu belakang.Baru membuka pintu, Anin sudah merasa horor sendiri karena suasana y
Pagi-pagi Ares terbangun dengan wajah yang tampak begitu segar. Ia melirik ke samping di mana ada Kalla, sang keponakan.Ares pun segera turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi untuk melakukan kewajibannya sebagai umat muslim.Saat sudah selesai mandi dan menunaikan ibadah, Ares mengecek ponsel miliknya. Tidak ada notifikasi apapun di sana. Ares kembali meletakkan ponsel miliknya di atas meja nakas.“Ares, udah sholat toh?” tanya Sekar, ketika menyibak hordeng depan kamar milik Ares. “Bantuin Ibu dong, Res. Beresin barang-barang ke bagasi mobil.”“Iya, Bu.”Ares langsung keluar kamar dan melihat barang-barang yang akan dibawa ke Yogyakarta. Sangat begitu banyak yang membuat Ares mengesah dalam.Tapi tidak ingin terkena semprot sang Ibu, Ares mulai mengambil kardus-kardus itu untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil.“Ini isinya apa aja, Bu?”“Ya oleh-oleh toh, Res. Kalau kita tidak bawa oleh-oleh nanti buat omongan keluarga di sana! Dibilang pulang ke kampung kok tidak bawa oleh-ole
Anin yang diminta untuk keluar dari kamar kini sedikit menunda waktu dengan mencari alasan untuk mandi terlebih dahulu.Tapi Anin tengah memikirkan cara untuk kabur dari rumahnya. Anin benar-benar ingin mempertahankan janin di dalam kandungannya ini.“Aku harus meminta bantuan Mbak,” gumam Anin, lirih. “Enggak mungkin aku kabur sendirian begini tanpa bantuan orang lain.”Tok! Tok! Tok!“Non Anin,” kata Mbak, asisten rumah tangga di keluarga Anin. “Non!”“Masuk aja, Mbak,” sahut Anin sedikit berteriak.Ceklek.Anin tersenyum manis kepada asisten rumah tangganya yang datang sembari membawa makanan karena ia tadi berpesan kepada sang mama ingin sarapan di dalam kamar.Dan, setelah melihat asisten rumah tangganya itu selesai menata semua makanan di atas meja. Anin segera menahan asisten rumah tangganya itu sebelum keluar.“Mbak,” lirih Anin, menatap begitu memelas. “Bantu Anin pergi dari sini. Mbak tahu sendiri kalau gugurin kandungan itu dosa besar, ‘kan?”Asisten rumah tangga itu mengan
Tiba di rest area, Ares pamit pergi ke kamar mandi sebentar kepada Ibu dan adiknya. Mereka berdua pun memilih ikut turun dibanding menunggu di mobil.“Kita berdua tunggu di restoran itu, ya,” kata Sekar, menunjuk ke arah restoran cepat saji.“Kalau begitu kita parkir di sana saja, Bu. Biar Ares pindahkan mobilnya dulu.”“Yasudah cepetan. Ibu sama Nadia jalan saja menuju ke sana.”Ares mengangguk patuh dan bersiap-siap mencari parkiran di depan restoran makanan cepat saji. Ketika sudah dapat, Ares mengambil ponsel miliknya yang diletakkan di dalam dashboar mobil.Ares memencet nomor villa tapi tidak bisa. Ares akhirnya mencoba telepon nomor ponsel Emak Nengsih, namun lagi-lagi tidak tersambung.“Kenapa tidak ada yang bisa tersambung.” Ares langsung mengecek jaringan ponselnya yang ternyata sangat bagus. Kalau soal pulsa, tidak mungkin. Ares pakai pascabayar.Tidak mau membuat Ibu dan Nadia curiga, Ares memutuskan untuk keluar dari dalam mobil dan pergi ke toilet.Selama berjalan menuju
Di saat sedang memikirkan siapa yang sudah berani mengotak-atik ponselnya, mendadak terdengar suara Nadia dari luar kamar.Hal ini membuat Ares melirik ke arah ujung pintu yang terdapat Nadia yang sedang menyengir lebar.“Mawar! Mas Ares! Kalian berdua ini pasti lagi kangen-kangenan tapi enggak ngajakin aku dih!” protes Nadia, masih menyengir lebar.Nadia berjalan masuk menuju ke arah Mawar juga Ares. Nadia belum menyadari sorot mata Ares yang sudah begitu tajam.Ketika sudah berdiri di depan Mawar dan samping Ares, Nadia terkejut ketika lengan tangannya dicengkeram erat oleh kakaknya.“Kamu apain hape Mas, Nad?” tembak Ares to the point.Nadia tampak melongo tidak paham. “Maksud Mas Ares apaan, sih? Kenapa mendadak tanya begini?”“Sudah enggak usah banyak ngalor ngidul! Kamu apain hape Mas!” bentak Ares, mulai tersulut emosinya.“Dih apaan, sih, Mas!” sangkal Nadia, mencoba berontak agar cengkeraman Ares terlepas. “Aku enggak tahu soal hape Mas Ares. Memang hape punya Mas kenapa?”“E
Ares benar-benar merasa pusing memikirkan soal ini. Yang dilakukannya saat ini hanya mengendalikan diri agar tidak terlalu gampang emosi. Apalagi saat ini tengah ada acara hajatan keluarga besar.Merasa sudah tenang, Ares akhirnya memutuskan untuk istirahat sebentar di kamar Mawar. Soal Nadia biarlah nanti diperdebatkan jika sudah kembali ke Jakarta.Beberapa jam kemudian. Sekar mendatangi kamar Mawar untuk membangunkan Ares. Apalagi anaknya sejak datang belum sempat mengisi perut. Sekar khawatir kalau Ares nanti sakit lambung jika telat makan.“Res, bangun, Nak,” ujar Sekar, mengusapi kening Ares penuh kelembutan kasih sayang.Ares merasa ada yang membelai mulai membuka kedua matanya perlahan-lahan. Ares tersenyum tipis ketika melihat wajah sang Ibu.“Bangun terus makan, Res,” kata Sekar, tersenyum lembut.Ares buru-buru bangun dan menatap sang Ibu penuh kasih sayang. Bahkan Ares langsung memegang kedua telapak tangan sang Ibu untuk dikecupnya.Selama mengecu
Selesai mendapatkan alamat rumah Anin dari Mawar, kini Ares merasa lega sedikit. Setidaknya sekarang ia memiliki pandangan untuk hari esok.Akan tetapi hari ini ia harus tetap tampil ramah tamah di depan para tamu undangan karena merasa tidak enak dengan keluarga Mawar yang sudah baik kepadanya.“Res, lihat itu yang pakai kebaya hitam. Cantik banget toh,” goda Sekar, sang Ibu. “Kayanya cocok kalau nikah sama kamu,” lanjutnya sembari mesam-mesem memandangi tamu undangan yang datang ke pernikahan Mawar ini.“Bu! Jangan malu-maluin ah!” Ares mengeluh soal kelakuan sang Ibu. Sejak para tamu datang, matanya tidak pernah bosan-bosan menatap ke arah pintu masuk untuk menilai para perempuan yang katanya cocok dijadikan mantu.“Malu-maluin gimana toh! Ibu itu lagi usaha buat cariin kamu istri!” dengkus Sekar, kesal.Ares yang sudah paham karakter sang Ibu hanya bisa menghela napas panjang saja dengan kasar. Mau dilawan model apa juga pasti akan selalu ingin menang. Yang dilakukan Ares hanya di
Meski kepikiran soal Anin, tapi Ares harus tetap memikirkan kondisi kesehatannya juga agar esok hari bisa kembali lagi ke rumah Anin.Dan, pagi ini tepat pukul enam pagi kalau Ares sudah berada di depan rumah Anin seperti afirmasi dirinya kemarin.“Pagi, Pak,” sapa Ares, ramah dan sopan.“Aduh! Siapa, ya? Lupa lagi!” kata sekuriti itu sembari memegang dahi-nya. Mencoba mengingat sesosok Ares. “A-A—““Ares, Pak,” jawab Ares, cepat.“Oh, iya!” Sekuriti itu tertawa sendiri ketika mengingat nama Ares. “Mau ketemu siapa? Non Anin tidak ada di rumah. Dia kabur kemarin,” tambahnya menjelaskan.“Kabur ke mana, Pak?” tanya Ares, penasaran.“Saya tidak tahu. Yang pasti Tuan sama Nyonya kemarin ribut gara-gara Non Anin kabur dari rumah.”“Boleh saya masuk?” pinta Ares, penuh harap.Sekuriti itu tampak berpikir sejenak. Pria paruh baya itu merasa kasihan kepada Ares tapi ada rasa takut kepada Budi. Apalagi sejak semalam sesosok Budi selalu saja mengamuk hingga membuat para ajudannya sedikit kena