Setelah menolak ide gila dari Rayyan membuat Anin merasa bimbang. Pasalnya, pria yang dicintainya itu tetap keukeh tidak mau bertanggung jawab dan terus memberikan usulan ide untuk menggugurkan kandungan.
Anin yang sudah merasa berdosa karena melakukan itu di luar ikatan suci pernikahan saja membuat hidupnya terasa tidak tenang. Dan, ini akan ditambah dengan menggugurkan janin yang tidak bersalah ini?
Mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya membuat Anin segera bergegas keluar dan ingin mengatakan hal jujur ini kepada Papa dan Mama-nya. Anin hanya butuh dukungan untuk mempertahankan janin dalam kandungannya meski Rayyan tidak menginginkan anak ini ada.
Ceklek.
Belum sempat keluar kamar Anin sudah disuguhkan pertengkaran kedua orangtuanya di sana. Papa-nya selalu marah jika sang mama tidak bisa mengurusi segala yang diinginkannya itu. Dari celah pintu, Anin melihat sang papa menampar mamanya dengan keras.
PLAK.
“Istri tidak tahu diri! Mengurus begitu saja tidak becus! Harusnya kamu lebih pintar dalam kampanye di depan warga. Lebih merakyat lagi!”
“Aku tidak bisa harus terjun ke gorong-gorong, Mas. Bau-nya aku tidak kuat.”
“Ck! Saya menyesal menikah dengan kamu. Apa susahnya membersihkan gorong-gorong sepuluh menit saja untuk diliput wartawan agar kita terlihat merakyat! Kalau kamu tetap berpenampilan seperti ini pasti tidak akan ada warga yang mau memilih kita nanti.”
“Kita bisa suap warga dengan uang. Kita suruh kader-kader kita untuk memberikan amplop kepada warga agar menoblos kita. Cara ini pasti berhasil dan sudah terbukti.”
“Tapi setidaknya warga harus tahu jika kita merakyat! Kita mau turun tangan dan berbaur dengan rakyat itu yang penting. Kita harus cari simpati dan empati hati warga. Besok pokoknya kamu harus mau terjun ke lapangan dan berbaur dengan warga. Aku tidak mau melihat ekspresi jijik di wajahmu. Kamu harus terus tersenyum di depan kamera. Setelah selesai pengambilan gambar baru terserah kamu mau ngapain.”
“I-i-iya, Mas, maaf,” lirihnya.
Melihat kedua orangtuanya yang selalu sibuk soal kampanye membuat Anin merasa hidup di neraka. Terlebih semenjak papanya terjun ke dunia politik, ia sudah tidak mendapatkan kasih sayang seperti dulu. Terkadang Anin merasakan rindu yang menyesakkan dada-nya. Kedua orangtuanya sama-sama sibuk cari muka di depan kamera agar terlihat oleh warga jika mereka pantas dipilih menjadi pemimpin rakyat.
Dengan sedikit keberanian, Anin mulai membuka pintu kamarnya lebih lebar. Kedua orang tuanya langsung menoleh ke arah dirinya yang masih berdiri di ambang pintu.
“Anin, kamu di rumah, Nak?” tanya Rosa—sang mama.
Anin tersenyum tipis mendapat pertanyaan sang mama. Pasalnya selama ini ia lebih memilih tinggal di apartemen dibanding rumahnya sendiri. “Iya, Ma.”
Melihat Budi—papanya yang masih marah membuat Anin merasa takut harus mengatakan berita jika dirinya hamil. Namun, lambat laun berita ini pasti akan segera diketahui oleh mereka berdua.
“Sebenarnya ada yang ingin Anin sampaikan sama kalian berdua,” cicit Anin. Kedua tangannya gemetar begitu hebat.
Rosa langsung mendekat dan memeluk anaknya. “Mau bicara apa, hm? Rayyan mau melamar kamu, ya?” goda Rosa, seakan-akan dia tidak pernah merasakan sakitnya ditampar sang papa barusan. Mamanya terus menampilkan senyum lembut kepada Anin.
Anin justru diam, ia tengah memilah-milah kata yang tepat untuk disampaikan kepada kedua orangtuanya ini. Apalagi melihat perdebatan barusan membuat Anin sedikit ciut.
“Anin, hamil Ma, Pa,” cicitnya lirih.
Berita itu langsung seperti halilintar yang menyambar ke depan wajah Budi. Pria paruh baya itu langsung berdiri dari sofa dan menatap nyalang ke arah anak semata wayangnya.
“Kamu bilang apa tadi?” tanya Budi, memastikan pendengarannya.
Anin merasa tercekat, ia menoleh ke samping untuk melihat ekspresi sang mama yang sama-sama terkejut. Namun, mamanya masih bisa mengendalikan sikapnya saat ini. Lain hal dengan papanya yang baru saja duduk langsung bangkit dan menghampirinya.
“Anin … ha-hamil,” ulangnya lagi dengan suara yang begitu sangat lirih.
PLAK.
Anin terkejut mendapat tamparan dari sang papa. Bahkan sang mama hanya menangis saja sambil memeluknya erat.“Anin, apa itu benar, Nak?” tanya Rosa, memastikan.Anin mengangguk sambil menitikan air matanya.Budi langsung mengusap wajah frustrasi. Kedua tangannya langsung bertolak pinggang dan menatap sengit ke arah Anin. “Siapa yang melakukannya? Rayyan, hah?!”“Iya, Pa.”“Shit! Kamu tahu sendiri kalau Papa itu lagi nyalon pemimpin daerah, kan? Kenapa kamu membuat skandal seperti ini, hah! Memangnya kalian tidak menggunakan pengaman? Kenapa bisa sampai hamil, Anin! Kalau semua orang dan wartawan tahu soal kehamilan kamu ini. Bisa-bisa reputasi Papa yang sudah dibangun susah payah akan lenyap begitu saja. Mereka akan berpikir kalau Papa tidak bisa mendidik anak dengan baik. Kamu tahu sendiri jika Papa dan Mama ini sudah terkenal sangat merakyat. Ramah tamah, dan peduli kepada kondisi rakyat. Sekarang kamu ma
Anin merasakan jika tubuhnya dipeluk dari belakang. Bahkan aroma maskulin kian begitu menyeruak di indra penciumannya. Anin menangis terisak dan terus meronta-ronta agar tubuhnya dilepaskan.“Lepas,” pintanya lirih.“Enggak, Mbak. Jangan bunuh diri seperti ini. Dosa, Mbak.”Anin tertawa terbahak-bahak mendengar kata ‘dosa’ yang terlontar dari bibir pria itu. Baginya, dosa itu sudah menjadi teman hidupnya sehari-hari selama ini. Apalagi ia hamil di luar nikah yang membuat semua orang terdekatnya melihat jijik dan murka.“Saya hanya manusia penuh dosa memang kenapa? Jadi tidak ada gunanya lagi jika saya melakukan dosa yang kesekian kalinya. Lagipula dosa itu teman saya. Saya hamil di luar nikah. Dan, pacar saya tidak mau bertanggung jawab sama anak ini. Jadi, untuk apa saya hidup yang akan membuat kedua orangtua saya malu nantinya. Lebih baik saya mati dan membuat mereka bahagia.”“Astagfirullah,
Akhirnya Anin pun mengiyakan tawaran pria itu untuk ikut pulang ke apartemen. Lagipula sudah malam begini ia akan pergi ke mana lagi? Tidak mungkin tidur di emperan toko. Akan sangat bahaya bagi dirinya yang seorang perempuan.Selama perjalanan menuju ke apartemen tidak ada obrolan yang tercipta. Semuanya diam dengan pikiran masing-masing hingga akhirnya sampai di sebuah apartemen kelas menengah ke atas.Anin melihat bangunan dan menilai jika pria yang bersamanya bukanlah orang biasa. Pasti pria itu banyak uang kalau dilihat dari tempat tinggalnya ini.Tepat sampai di lantai 10 nomor 24, Anin memasuki apartemen pria itu dengan perasaan takut, namun sedikit lega.“Mbak, duduk dulu. Saya buatkan minum.”“Tidak usah,” tolak Anin cepat.“Tapi—““Saya tidak haus.”Pria itu mengangguk—m
Di saat sedang terbengong, Anin merasa terkejut kala pintu kamarnya didorong dari luar yang membuatnya melangkah mundur.Kedua perempuan itu saling bersitatap bingung dan Nadia—adik Ares mulai mengenali sedikit wajah dari perempuan di depannya itu.“Lo ini pacarnya Rayyan, kan? Anak dari pemain sinetron yang lagi ngehits itu. Lo ngapain di sini? Terus ngapain lo ada di apartemen kakak gue?”Anin diam, ia bingung harus menjawab apa. Tak lama datang perempuan satu lagi yang membuat dia terkejut melongo.“Ini si Anindya Kemala pacarnya Rayyan, kan?” kata perempuan bernama Widi—teman Nadia.“Hm.” Nadia mengangguk sebagai jawaban. Matanya terus menyorot tajam ke arah Anin untuk meminta penjelasan lebih.“Kok dia ada di apartemen Mas Ares, sih, Nad?”“Gue juga enggak tahu nih, Wid. Ini lagi gue tanyain dan dia hanya diam aja. Mana pakai baju tidur pula.”“A
Entah sudah berapa lama Anin tidak pernah mendatangi tempat ini. Mungkin bisa dihitung setahun dua kali saja.Malu rasanya menginjakkan kaki di tempat suci ini. Anin yang langsung teringat akan segala semua perbuatan hina-nya mendadak langsung menangis kembali.Entah Tuhan akan mengampuni perbuatan kotornya atau tidak. Sudah terlalu banyak perbuatan hina dan kotor yang Anin lakukan selama ini.Dengan sedikit tangan gemetar, Anin mulai mengambil air wudhu tetapi langsung berjongkok karena merasa mendadak lupa akan bacaan wudhu. Sampai akhirnya ada seorang perempuan paruh baya yang menepuk bahu Anin kuat.“Mbak.”Anin menoleh dan langsung mengusap pipinya kasar. Anin tersenyum tipis karena malu ketahuan oleh orang lain.“Ambil napas dulu, Mbak. Habis itu baru wudhu Insa Allah nanti bisa tenang.”Anin tersenyum tipis saja. “Iya, Bu.”Akhirnya Anin mengikuti saran dari seorang perempuan par
Anin setelah dari tempat ibadah langsung pergi ke rumah Poppi—salah satu teman selebgram-nya itu. Setidaknya Anin akan menumpang menginap semalam di rumah Poppi hari ini setelah tadi malam tidur di dalam Masjid.Tok! Tok! Tok!Ceklek!“Eh, Non Anin, masuk silakan.”Anin langsung tersenyum dan masuk ke dalam rumah Poppi. Anin bahkan langsung berjalan menuju ke dalam kamar Poppi—di sana ada Poppi yang masih sibuk berfoto-foto barang endorsemen.Tak lama Poppi langsung menghentikan kegiatannya itu. Perempuan yang dianggap Anin sebagai temannya itu langsung segera berjalan menuju di mana Anin berada.“Tumben lo ke sini? Enggak masuk kuliah?”Anin menggeleng cepat. “Gue lagi pusing, Pop. Banyak banget masalah.”“Kenapa? Berantem lagi sama Rayyan?”“Bukan, tapi itu salah satunya. Gue diusir sama bokap. Gue bingung mau tidur di mana. Semua ponsel dan dompet gue b
Tak tinggal diam, Ares langsung berdiri dari tempat duduknya dan segera keluar dari kedai kopi menuju di mana Anin berada.“Anindya!” serunya memanggil.Sang empu yang dipanggil langsung menoleh dan terkejut luar biasa ketika yang memanggil dirinya itu pria asing kemarin malam yang menolongnya.Dengan cepat Anin langsung mengubah mimik ekspresi wajahnya yang terkejut menjadi datar. Bahkan Anin menoleh kanan dan kiri takut ada yang mengenali dirinya kemudian memotret.“Ares.”“Kamu kenapa pergi dari apartemen aku?”Tampak wajah gugup dari Anin saat ini. Perempuan itu dengan cepat langsung mengendalikan ekspresinya kembali. Baru saja Anin ingin menjawab—baru membuka mulutnya mendadak Ares mengucapkan sesuatu yang membuat Anin tidak enak sendiri.“Nadia usir kamu, ya? Maafin sikap adik aku itu. Dia memang sedikit galak dan cerewet tetapi aslinya dia baik kok.”Anin memilih diam
Seusai bekerja seharian, Ares langsung pulang ke rumah. Melihat ibu-nya yang sedang duduk di sofa membuat Ares langsung menghela napas panjang dengan kasar.Sekar yang melihat kedatangan Ares langsung tersenyum manis. “Ares sini, Nak,” ucap Sekar—menepuk sofa di sebelahnya. Ares tersenyum tipis dan berjalan menuju Sekar.Ketika sudah berada di depan Sekar, Ares langsung salim seperti biasa dan duduk di samping perempuan yang sudah melahirkannya.“Sudah makan?”“Belum.”“Kalau begitu makan dulu.”“Iya, Bu. Nadia tidak kelihatan di mana?”“Biasa lagi di kamar buat nidurin si Kakak yang dari tadi susah banget disuruh tidur,” jelas Sekar—wajahnya tampak berbinar bahagia ketika menjelaskan sesosok cucunya itu. “Sebaiknya kamu makan duluan. Nunggu Nadia suka lama,” ajak Sekar, berdiri.Ares sendiri menurut untuk langsung makan. Sekar menga