Anin terkejut mendapat tamparan dari sang papa. Bahkan sang mama hanya menangis saja sambil memeluknya erat.
“Anin, apa itu benar, Nak?” tanya Rosa, memastikan.
Anin mengangguk sambil menitikan air matanya.
Budi langsung mengusap wajah frustrasi. Kedua tangannya langsung bertolak pinggang dan menatap sengit ke arah Anin. “Siapa yang melakukannya? Rayyan, hah?!”
“Iya, Pa.”
“Shit! Kamu tahu sendiri kalau Papa itu lagi nyalon pemimpin daerah, kan? Kenapa kamu membuat skandal seperti ini, hah! Memangnya kalian tidak menggunakan pengaman? Kenapa bisa sampai hamil, Anin! Kalau semua orang dan wartawan tahu soal kehamilan kamu ini. Bisa-bisa reputasi Papa yang sudah dibangun susah payah akan lenyap begitu saja. Mereka akan berpikir kalau Papa tidak bisa mendidik anak dengan baik. Kamu tahu sendiri jika Papa dan Mama ini sudah terkenal sangat merakyat. Ramah tamah, dan peduli kepada kondisi rakyat. Sekarang kamu mau menghancurkannya?” Budi benar-benar meluapkan emosinya saat ini atas kondisi yang menimpa sang anak. “Kamu harus segera menikah dengan Rayyan sebelum perut kamu membesar!” titahnya tegas.
Anin mendongak. Air matanya mulai berjatuhan membanjiri pipinya yang mulus. Kenapa di saat keadaan seperti ini justru tidak ada orang yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Ia hanya butuh didengar saja saat ini, bukan untuk dihakimi apalagi dimarahi habis-habisan.
“Di-di-dia enggak mau tanggung jawab, Pa,” sahut Anin, lirih.
Mendengar itu tentu Budi semakin murka. Wajahnya sudah merah padam. Matanya melotot begitu lebar hingga nyaris keluar. Anin hanya berdiri ketakutan melihat sang papa yang lebih memedulikan soal reputasi dan karir semata tanpa mau mengerti kondisi dan perasaannya saat ini.
“Apa?! Dia tidak mau tanggung jawab? Berengsek! Makanya jadi perempuan itu jangan murahan! Begini akibatnya!” bentak Budi sambil menjambak rambut panjang lurus milik Anin. Rosa yang melihat pun terus melerai.
“Pa, sudah. Kasihan Anin,” lerai Rosa.
“Kasihan? Untuk anak tidak tahu diri ini tidak ada kata kasihan kepadanya. Anak murahan! Tidak bisa menjaga martabat untuk orangtua!”
Anin hanya diam saja dijambak erat oleh papanya. Kulit kepalanya terasa sangat begitu panas saat ini. Bahkan, Anin sudah menyangsingkan jika rambutnya akan botak jika terus menerus dijambak seperti ini. Namun, tak lama jambakan itu mulai mengendur dan terlepas dengan dibarengi suara tamparan keras sekali lagi.
PLAK.
Anin mendongak dan melihat wajah sang mama yang terkena tampar kedua kali. Anin merasa tak tega melihat mamanya selalu diperlakukan kasar seperti itu.
“Stop, Pa! Jangan sakiti Mama terus!” teriak Anin, lantang.
“Diam kamu! Anak sama Ibu sama saja! Sama-sama tidak berguna! Sama-sama murahan dan tidak tahu diuntung! Maunya hidup enak saja selama ini tanpa mau bekerja keras!” maki Budi, lantang. “Gugurkan janin itu secepatnya!” titah Budi, tegas.
Anin menggeleng kuat. Menolak perintah sang papa untuk menggugurkan kandungannya. “Tidak, Pa. Anin akan terus membesarkan anak ini sampai kapanpun.”
Merasa perintahnya dibantah membuat Budi semakin murka hingga langsung menyambar vas bunga yang berada di meja sofa untuk dilempar ke arah anaknya. Namun, nahas vas bunga itu tidak mengenai Anin.
PRANGGG.
“Pergi kamu dari sini! Bila perlu pergi kamu ke luar negeri! Jangan pernah tampakkan batang hidungmu lagi di rumah ini! Anak tidak berguna!”
Merasa diusir membuat Anin langsung berlari keluar rumah. Ia bahkan tidak memedulikan pakaian yang digunakannya saat ini. Anin hanya menggunakan piyama tidurnya. Anin terus berlari sekencang-kencangnya karena merasa tidak kuat tinggal bersama kedua orangtua yang sibuk dengan urusan duniawi. Terlebih usulan papanya dan Rayyan sama saja. Sama-sama menginginkan anak yang dikandungnya mati.
Berlari tanpa alas kaki dan tanpa tujuan membuat Anin merasa bingung sendiri saat ini. Terlebih kondisi saat ini sudah hampir larut. Anin sudah tidak memedulikan jika dirinya dirampok atau dibegal saat ini karena ia sudah merasa putus asa dalam hidupnya. Ia bahkan sudah tidak memiliki semangat hidup lagi. Semua orang yang sangat dicintainya dan sayangi kini mulai menampakkan sifat aslinya. Semua kebaikan mereka selama ini hanya kamuflase belaka. Mereka baik karena ingin dipuji dan dipandang sempurna oleh orang lain. Ya, mereka manusia-manusia haus pujian.
Mendengar suara segemericik air membuat Anin menoleh. Ia baru sadar jika jalannya yang tanpa tujuan ini sudah sampai di sebuah jembatan besar. Anin langsung melihat ke dalam dan tubuhnya bergindik merinding melihat kedalam sungai itu. Apalagi derasnya air sungai membuat Anin berpikir jika ia melompat pasti akan langsung mati.
Dengan gerakan pelan, Anin mulai mendekat ke pembatas jembatan. Menangis tersendu-sendu dan mulai mengikis ketakutannya. Anin merasa jika inilah jalan yang terbaik. Jalan terakhir yang harus ditempuh jika sudah tidak ada lagi orang yang peduli akan kondisi dan keberadaannya.
Di saat satu kakinya mulai menaiki pembatas, Anin mendengar suara mobil berhenti dan mendengar suara teriakan seseorang yang ingin menghentikannya. Anin tidak peduli, dan akan terus melanjutkan aksi bunuh dirinya meski dalam hati sangat takut melihat kedalam sungai yang curam.
“Mbak, jangan nekat!” teriaknya lantang.
Anin merasakan jika tubuhnya dipeluk dari belakang. Bahkan aroma maskulin kian begitu menyeruak di indra penciumannya. Anin menangis terisak dan terus meronta-ronta agar tubuhnya dilepaskan.“Lepas,” pintanya lirih.“Enggak, Mbak. Jangan bunuh diri seperti ini. Dosa, Mbak.”Anin tertawa terbahak-bahak mendengar kata ‘dosa’ yang terlontar dari bibir pria itu. Baginya, dosa itu sudah menjadi teman hidupnya sehari-hari selama ini. Apalagi ia hamil di luar nikah yang membuat semua orang terdekatnya melihat jijik dan murka.“Saya hanya manusia penuh dosa memang kenapa? Jadi tidak ada gunanya lagi jika saya melakukan dosa yang kesekian kalinya. Lagipula dosa itu teman saya. Saya hamil di luar nikah. Dan, pacar saya tidak mau bertanggung jawab sama anak ini. Jadi, untuk apa saya hidup yang akan membuat kedua orangtua saya malu nantinya. Lebih baik saya mati dan membuat mereka bahagia.”“Astagfirullah,
Akhirnya Anin pun mengiyakan tawaran pria itu untuk ikut pulang ke apartemen. Lagipula sudah malam begini ia akan pergi ke mana lagi? Tidak mungkin tidur di emperan toko. Akan sangat bahaya bagi dirinya yang seorang perempuan.Selama perjalanan menuju ke apartemen tidak ada obrolan yang tercipta. Semuanya diam dengan pikiran masing-masing hingga akhirnya sampai di sebuah apartemen kelas menengah ke atas.Anin melihat bangunan dan menilai jika pria yang bersamanya bukanlah orang biasa. Pasti pria itu banyak uang kalau dilihat dari tempat tinggalnya ini.Tepat sampai di lantai 10 nomor 24, Anin memasuki apartemen pria itu dengan perasaan takut, namun sedikit lega.“Mbak, duduk dulu. Saya buatkan minum.”“Tidak usah,” tolak Anin cepat.“Tapi—““Saya tidak haus.”Pria itu mengangguk—m
Di saat sedang terbengong, Anin merasa terkejut kala pintu kamarnya didorong dari luar yang membuatnya melangkah mundur.Kedua perempuan itu saling bersitatap bingung dan Nadia—adik Ares mulai mengenali sedikit wajah dari perempuan di depannya itu.“Lo ini pacarnya Rayyan, kan? Anak dari pemain sinetron yang lagi ngehits itu. Lo ngapain di sini? Terus ngapain lo ada di apartemen kakak gue?”Anin diam, ia bingung harus menjawab apa. Tak lama datang perempuan satu lagi yang membuat dia terkejut melongo.“Ini si Anindya Kemala pacarnya Rayyan, kan?” kata perempuan bernama Widi—teman Nadia.“Hm.” Nadia mengangguk sebagai jawaban. Matanya terus menyorot tajam ke arah Anin untuk meminta penjelasan lebih.“Kok dia ada di apartemen Mas Ares, sih, Nad?”“Gue juga enggak tahu nih, Wid. Ini lagi gue tanyain dan dia hanya diam aja. Mana pakai baju tidur pula.”“A
Entah sudah berapa lama Anin tidak pernah mendatangi tempat ini. Mungkin bisa dihitung setahun dua kali saja.Malu rasanya menginjakkan kaki di tempat suci ini. Anin yang langsung teringat akan segala semua perbuatan hina-nya mendadak langsung menangis kembali.Entah Tuhan akan mengampuni perbuatan kotornya atau tidak. Sudah terlalu banyak perbuatan hina dan kotor yang Anin lakukan selama ini.Dengan sedikit tangan gemetar, Anin mulai mengambil air wudhu tetapi langsung berjongkok karena merasa mendadak lupa akan bacaan wudhu. Sampai akhirnya ada seorang perempuan paruh baya yang menepuk bahu Anin kuat.“Mbak.”Anin menoleh dan langsung mengusap pipinya kasar. Anin tersenyum tipis karena malu ketahuan oleh orang lain.“Ambil napas dulu, Mbak. Habis itu baru wudhu Insa Allah nanti bisa tenang.”Anin tersenyum tipis saja. “Iya, Bu.”Akhirnya Anin mengikuti saran dari seorang perempuan par
Anin setelah dari tempat ibadah langsung pergi ke rumah Poppi—salah satu teman selebgram-nya itu. Setidaknya Anin akan menumpang menginap semalam di rumah Poppi hari ini setelah tadi malam tidur di dalam Masjid.Tok! Tok! Tok!Ceklek!“Eh, Non Anin, masuk silakan.”Anin langsung tersenyum dan masuk ke dalam rumah Poppi. Anin bahkan langsung berjalan menuju ke dalam kamar Poppi—di sana ada Poppi yang masih sibuk berfoto-foto barang endorsemen.Tak lama Poppi langsung menghentikan kegiatannya itu. Perempuan yang dianggap Anin sebagai temannya itu langsung segera berjalan menuju di mana Anin berada.“Tumben lo ke sini? Enggak masuk kuliah?”Anin menggeleng cepat. “Gue lagi pusing, Pop. Banyak banget masalah.”“Kenapa? Berantem lagi sama Rayyan?”“Bukan, tapi itu salah satunya. Gue diusir sama bokap. Gue bingung mau tidur di mana. Semua ponsel dan dompet gue b
Tak tinggal diam, Ares langsung berdiri dari tempat duduknya dan segera keluar dari kedai kopi menuju di mana Anin berada.“Anindya!” serunya memanggil.Sang empu yang dipanggil langsung menoleh dan terkejut luar biasa ketika yang memanggil dirinya itu pria asing kemarin malam yang menolongnya.Dengan cepat Anin langsung mengubah mimik ekspresi wajahnya yang terkejut menjadi datar. Bahkan Anin menoleh kanan dan kiri takut ada yang mengenali dirinya kemudian memotret.“Ares.”“Kamu kenapa pergi dari apartemen aku?”Tampak wajah gugup dari Anin saat ini. Perempuan itu dengan cepat langsung mengendalikan ekspresinya kembali. Baru saja Anin ingin menjawab—baru membuka mulutnya mendadak Ares mengucapkan sesuatu yang membuat Anin tidak enak sendiri.“Nadia usir kamu, ya? Maafin sikap adik aku itu. Dia memang sedikit galak dan cerewet tetapi aslinya dia baik kok.”Anin memilih diam
Seusai bekerja seharian, Ares langsung pulang ke rumah. Melihat ibu-nya yang sedang duduk di sofa membuat Ares langsung menghela napas panjang dengan kasar.Sekar yang melihat kedatangan Ares langsung tersenyum manis. “Ares sini, Nak,” ucap Sekar—menepuk sofa di sebelahnya. Ares tersenyum tipis dan berjalan menuju Sekar.Ketika sudah berada di depan Sekar, Ares langsung salim seperti biasa dan duduk di samping perempuan yang sudah melahirkannya.“Sudah makan?”“Belum.”“Kalau begitu makan dulu.”“Iya, Bu. Nadia tidak kelihatan di mana?”“Biasa lagi di kamar buat nidurin si Kakak yang dari tadi susah banget disuruh tidur,” jelas Sekar—wajahnya tampak berbinar bahagia ketika menjelaskan sesosok cucunya itu. “Sebaiknya kamu makan duluan. Nunggu Nadia suka lama,” ajak Sekar, berdiri.Ares sendiri menurut untuk langsung makan. Sekar menga
Melihat rasa penasaran Nadia yang sangat membubung tinggi tentu saja membuat Ares paham betul sifat adiknya ini. Tidak akan menyerah sebelum mendapatkan jawaban yang diinginkan.“Sejak kamu kasih tahu berita soal Anin.”“Hah?! Jadi gara-gara berita soal Anin, Mas Ares buat akun media sosial?”“Hm.”Nadia dibuat menganga kembali. Tidak menyangka jika kakaknya yang anti media sosial bisa langsung berubah secepat kilat gara-gara selebgram bernama Anin itu.Melihat kakaknya seperti itu, Nadia merasa tidak suka. Pasalnya jika Mas Ares—kakaknya dekat dengan Anin pasti semua silsilah keluarganya ini akan ikut tersorot. Nadia tidak mau kehidupan privasi keluarganya sampai terbongkar. Apalagi bapaknya pernah menikah sampai empat kali. Nadia tidak mau keluarganya yang sudah adem ayem harus dirusuhi oleh para netizen.“Kalla udah tidur?” tanya Ares—menanyakan keponakannya—anak dari Nadia