Share

Bab 5 - Tamparan Dan Makian

Anin terkejut mendapat tamparan dari sang papa. Bahkan sang mama hanya menangis saja sambil memeluknya erat.

“Anin, apa itu benar, Nak?” tanya Rosa, memastikan.

Anin mengangguk sambil menitikan air matanya.

Budi langsung mengusap wajah frustrasi. Kedua tangannya langsung bertolak pinggang dan menatap sengit ke arah Anin. “Siapa yang melakukannya? Rayyan, hah?!”

“Iya, Pa.”

“Shit! Kamu tahu sendiri kalau Papa itu lagi nyalon pemimpin daerah, kan? Kenapa kamu membuat skandal seperti ini, hah! Memangnya kalian tidak menggunakan pengaman? Kenapa bisa sampai hamil, Anin! Kalau semua orang dan wartawan tahu soal kehamilan kamu ini. Bisa-bisa reputasi Papa yang sudah dibangun susah payah akan lenyap begitu saja. Mereka akan berpikir kalau Papa tidak bisa mendidik anak dengan baik. Kamu tahu sendiri jika Papa dan Mama ini sudah terkenal sangat merakyat. Ramah tamah, dan peduli kepada kondisi rakyat. Sekarang kamu mau menghancurkannya?” Budi benar-benar meluapkan emosinya saat ini atas kondisi yang menimpa sang anak. “Kamu harus segera menikah dengan Rayyan sebelum perut kamu membesar!” titahnya tegas.

Anin mendongak. Air matanya mulai berjatuhan membanjiri pipinya yang mulus. Kenapa di saat keadaan seperti ini justru tidak ada orang yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Ia hanya butuh didengar saja saat ini, bukan untuk dihakimi apalagi dimarahi habis-habisan.

“Di-di-dia enggak mau tanggung jawab, Pa,” sahut Anin, lirih.

Mendengar itu tentu Budi semakin murka. Wajahnya sudah merah padam. Matanya melotot begitu lebar hingga nyaris keluar. Anin hanya berdiri ketakutan melihat sang papa yang lebih memedulikan soal reputasi dan karir semata tanpa mau mengerti kondisi dan perasaannya saat ini.

“Apa?! Dia tidak mau tanggung jawab? Berengsek! Makanya jadi perempuan itu jangan murahan! Begini akibatnya!” bentak Budi sambil menjambak rambut panjang lurus milik Anin. Rosa yang melihat pun terus melerai.

“Pa, sudah. Kasihan Anin,” lerai Rosa.

“Kasihan? Untuk anak tidak tahu diri ini tidak ada kata kasihan kepadanya. Anak murahan! Tidak bisa menjaga martabat untuk orangtua!”

Anin hanya diam saja dijambak erat oleh papanya. Kulit kepalanya terasa sangat begitu panas saat ini. Bahkan, Anin sudah menyangsingkan jika rambutnya akan botak jika terus menerus dijambak seperti ini. Namun, tak lama jambakan itu mulai mengendur dan terlepas dengan dibarengi suara tamparan keras sekali lagi.

PLAK.

Anin mendongak dan melihat wajah sang mama yang terkena tampar kedua kali. Anin merasa tak tega melihat mamanya selalu diperlakukan kasar seperti itu.

“Stop, Pa! Jangan sakiti Mama terus!” teriak Anin, lantang.

“Diam kamu! Anak sama Ibu sama saja! Sama-sama tidak berguna! Sama-sama murahan dan tidak tahu diuntung! Maunya hidup enak saja selama ini tanpa mau bekerja keras!” maki Budi, lantang. “Gugurkan janin itu secepatnya!” titah Budi, tegas.

Anin menggeleng kuat. Menolak perintah sang papa untuk menggugurkan kandungannya. “Tidak, Pa. Anin akan terus membesarkan anak ini sampai kapanpun.”

Merasa perintahnya dibantah membuat Budi semakin murka hingga langsung menyambar vas bunga yang berada di meja sofa untuk dilempar ke arah anaknya. Namun, nahas vas bunga itu tidak mengenai Anin.

PRANGGG.

“Pergi kamu dari sini! Bila perlu pergi kamu ke luar negeri! Jangan pernah tampakkan batang hidungmu lagi di rumah ini! Anak tidak berguna!”

Merasa diusir membuat Anin langsung berlari keluar rumah. Ia bahkan tidak memedulikan pakaian yang digunakannya saat ini. Anin hanya menggunakan piyama tidurnya. Anin terus berlari sekencang-kencangnya karena merasa tidak kuat tinggal bersama kedua orangtua yang sibuk dengan urusan duniawi. Terlebih usulan papanya dan Rayyan sama saja. Sama-sama menginginkan anak yang dikandungnya mati.

Berlari tanpa alas kaki dan tanpa tujuan membuat Anin merasa bingung sendiri saat ini. Terlebih kondisi saat ini sudah hampir larut. Anin sudah tidak memedulikan jika dirinya dirampok atau dibegal saat ini karena ia sudah merasa putus asa dalam hidupnya. Ia bahkan sudah tidak memiliki semangat hidup lagi. Semua orang yang sangat dicintainya dan sayangi kini mulai menampakkan sifat aslinya. Semua kebaikan mereka selama ini hanya kamuflase belaka. Mereka baik karena ingin dipuji dan dipandang sempurna oleh orang lain. Ya, mereka manusia-manusia haus pujian.

Mendengar suara segemericik air membuat Anin menoleh. Ia baru sadar jika jalannya yang tanpa tujuan ini sudah sampai di sebuah jembatan besar. Anin langsung melihat ke dalam dan tubuhnya bergindik merinding melihat kedalam sungai itu. Apalagi derasnya air sungai membuat Anin berpikir jika ia melompat pasti akan langsung mati.

Dengan gerakan pelan, Anin mulai mendekat ke pembatas jembatan. Menangis tersendu-sendu dan mulai mengikis ketakutannya. Anin merasa jika inilah jalan yang terbaik. Jalan terakhir yang harus ditempuh jika sudah tidak ada lagi orang yang peduli akan kondisi dan keberadaannya.

Di saat satu kakinya mulai menaiki pembatas, Anin mendengar suara mobil berhenti dan mendengar suara teriakan seseorang yang ingin menghentikannya. Anin tidak peduli, dan akan terus melanjutkan aksi bunuh dirinya meski dalam hati sangat takut melihat kedalam sungai yang curam.

“Mbak, jangan nekat!” teriaknya lantang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status