Saat sudah berada di dalam kamarnya, Anin justru memikirkan soal aset milik Ares. Bagaimana kalau tidak berfungsi ke depannya. Anin yang membayangkan hal ini saja rasanya seperti frustrasi sendiri. Tidak bisa terbayangkan bagaimana sedihnya Ares nanti.Ketika sedang melamun, Anin mendengar pintu lift terbuka. Anin menebak kalau itu Bayu yang datang.Awalnya Anin mencoba bersikap masa bodoh. Akan tetapi hati kecilnya penasaran apa yang akan Bayu lakukan untuk mengobati sakitnya Ares itu..Terpaksa Anin segera pergi keluar kamar untuk memastikan. Ternyata ketika sudah keluar kamar, sepi tidak ada siapa-siapa. Anin melirik ke arah pintu kamar milik Ares yang tertutup rapat.“Aaaahhh! Pelan-pelan!” protes Ares, kesal.Mendengar suara jeritan Ares membuat Anin semakin penasaran apa yang Bayu lakukan sampai-sampai Ares menjerit kesakitan.“Ares pasti normal, ‘kan?” gumam Anin, mulai berpikiran kotor. “Mereka lagi apa, sih!” geramnya mulai emosi.Tidak bisa tenang membuat Anin mencari ide ag
Anin langsung menutup pintu kamar milik Ares. Ia tahu betul jika Ares barusan telah melindunginya lagi di depan Nadia. Entah harus senang atau sedih. Di sini lain Ares harus berdebat dengan adiknya. Tapi tidak bisa dipungkiri jika ia juga senang ketika Ares memprioritaskan dirinya dibanding keluarganya sendiri.Ketika sudah berada di depan kamar Ares, Anin terkejut ketika Nadia dan Widi ternyata belum pergi dari dalam apartemen milik Ares. Kedua perempuan itu hanya keluar kamar dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.“Ck! Gimana? Bangga dibela sama Mas Ares?” sindir Nadia, menatap sinis ke arah Anin.Anin yang diintimidasi Nadia mencoba bersikap kooperatif. Tersenyum hangat kepada calon adik iparnya itu. “Ya, aku senang karena Mas Ares begitu membela dan mencintaiku,” jawab Anin, santai bahkan tersenyum manis di depan Nadia juga Widi.Sontak hal ini membuat Nadia dan Widi merasa geram sendiri. Apalagi sikap Anin tampak menunjukkan kemenangan di depannya secara nyata.Memang b
Setelah menerima telepon Anin terkejut dengan kehadiran Ares yang berdiri di belakangnya itu. Anin pun melemparkan senyum manisnya.“Telepon dari siapa?” tanya Ares, menatap lekat wajah Anin.Anin bingung ingin menjawab apa saat ini. Tidak mungkin juga ia mengatakan hal yang sejujurnya kepada Ares. Bisa-bisa dia akan terus mencecar dirinya dengan berbagai banyak pertanyaan.“Bukan dari siapa-siapa. Hanya orang iseng saja,” jawab Anin, meringis.“Orang iseng?” balas Ares tampak tidak percaya. “Baru kali ini ada yang nyasar ke sini. Biasanya jarang ada telepon. Sekali ada telepon juga hanya Bayu atau Ibu,” tambah Ares, terus melanjutkan berjalan menuju sofa ruang tv.“Iyaaaa mungkin dia salah pencet nomor atau gimana. Soalnya tadi dia bilang unitnya Tuan Bret!” sahut Anin, mencoba terus berbohong.“Ohhh! Kamu udah makan belum?” tanya Ares, mengalihkan topik obrolan.“Hehehe, belum.”Ares langsung mendengkus sebal ketika tahu jika Anin belum juga mengisi perutnya itu. Sampai akhirnya Are
Jujur saja ucapan Sekar membuat hati Anin langsung merasa tidak enak sendiri. Terlebih pandangan Sekar yang biasa sengit juga galak kini tampak begitu teduh. Hal ini justru membuat mental Anin merasa tidak karuan.Alhasil yang dilakukan Anin untuk menetralkan rasa tidak enak sekaligus gugupnya hanya dengan menelan ludahnya berkali-kali dengan kasar.“Saya yakin kalau kamu perempuan baik-baik,” ucap Sekar, tersenyum manis.Anin yang dinilai seperti ini merasa bingung sendiri. Pasalnya kemarin perempuan di depannya begitu mengamuk dan selalu menghina-nya dengan kata sumpah serapah. Entah kenapa hari ini sangat baik sekali. Sampai-sampai Anin merasa bingung harus bereaksi apa saat ini.“Itu saja yang mau saya sampaikan. Kamu sebentar lagi akan menjadi seorang Ibu. Kamu pasti akan merasakan apa yang saya rasakan,” tambah Sekar, lembut.Diperlakukan baik seperti ini yang ada membuat Anin terkena mental. Anin benar-benar bingung harus bagaimana. Yang dilakukan hanya diam sembari tersenyum t
Mereka berdua memutuskan untuk menonton film bioskop di dalam mal Pacific Place. Sebelum itu, Anin mengajak untuk makan malam terlebih dahulu. Hal ini tentu saja langsung dituruti oleh Ares tanpa rasa curiga sedikit pun.Sebelum benar-benar masuk ke dalam bioskop pun Anin mengajak Ares untuk makan malam terlebih dahulu. Hal ini membuat Ares merasa senang karena Anin bersikap begitu perhatian.“Kamu lagi pengin makan apa emangnya?” tanya Ares, penuh perhatian.“Apa aja asal membuat perut kita kenyang.”Ares tersenyum lebar mendengar jawaban lelucon dari Anin. Tidak biasanya Anin akan ngelawak seperti ini. Biasanya perempuan itu akan selalu serius.Sampai akhirnya Ares menuju ke restoran Jepang. Mendadak Ares ingin memakan shabu-shabu. Anin sendiri menuruti keinginan kekasihnya.Ketika sudah mendapatkan meja, mereka berdua memesan makanan yang lumayan banyak. Ares bahkan senang melihat Anin memesan makanan dengan porsi cukup banyak. Pasalnya jika sedang makan dengannya, Anin selalu meme
Ares yang melihat Anin menangis langsung segera menarik tubuh perempuan itu untuk dipeluknya. Diusap dengan lembut rambut panjang dari perempuan itu. Sedangkan Anin masih menangis tergugu di dalam pelukan Ares. Sulit rasanya untuk membendung semua kesakitan yang dirasa.Namun tidak mau semakin terlena akan sikap manis dari Ares, Anin segera melepaskan diri dari pelukan pria itu.“Terima kasih, Res.” Anin mengatakan begitu pelan yang membuat Ares hanya bisa menghela napas panjang saja dengan kasar. “Kamu pasti akan menemukan perempuan yang tepat nantinya. Kamu pria baik, sedangkan aku—““—Stop!” potong Ares, cepat. “Bagiku kamu adalah orang yang tepat, Anindya. Kita pulang, ya. Kamu pasti capek. Kita bahas ini nanti besok saja.”Ares mengulurkan tangan kepada Anin. Akan tetapi perempuan itu justru menepisnya kasar. Menatap Ares dengan tatapan yang amat sangat sengit.Di sini Ares mencoba terus bersabar menghadapi Anin. Ares mencoba memahami Anin karena tengah hamil muda. Ares berpikir
Pagi ini tumben-tumbenan sekali suasana rumah Anin begitu adem ayem. Apalagi jika biasanya di pagi hari sudah didominasi suara teriakan sang papa, kini tidak lagi.Acara sarapan yang jarang dilakukan bersama pun kini kembali lagi. Anin terkejut ketika kedua orangtuanya duduk bersama di ruang makan.“Pagi Pa, Ma,” sapa Anin, sedikit kaku menyapa kedua orangtuanya sendiri.“Pagi sayang,” balas Rosa, lembut.“Gimana tidurmu?” tanya Budi, menatap Anin dengan wajah semringah. Biasanya ekspresi Budi sangat suram jika pagi. “Apa nyenyak?”Diperhatikan seperti ini justru membuat Anin merasa kaget luar biasa. Karena sudah lama sekali Budi tidak pernah menanyakan kondisinya. Budi selalu disibukkan oleh pekerjaan yang begitu menyita waktu hingga tidak ada lagi keharmonisan di dalam keluarga kecilnya ini.Dan, pagi ini Anin merasakan kehangatan seperti yang dialami sewaktu dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar dulu. Papa-nya selalu perhatian kepadanya dan Mama. Apalagi dulu pekerjaan Papa b
Setelah menekan Anin, Rosa pamit pergi menuju ke dalam kamarnya. Sedangkan Anin masih bingung antara ingin egois atau berkorban perasaan demi Ibu-nya Ares yang memang tidak setuju soal hubungan ini.Dalam tarikan napas yang cukup dalam dan panjang akhirnya Anin kembali menjadi perempuan egois yang ingin anaknya memiliki sesosok Bapak. Anin akhirnya akan melawan Sekar juga Nadia demi mendapatkan restu kedua perempuan itu meski cacian yang sering didapatkan.Kini Anin mengambil ponsel miliknya dan menghubungi Ares. Tak butuh waktu lama sambungan itu langsung diangkat oleh Ares.“Iya, sayang.” “Emm! Papa minta kamu ke rumah nanti malam,” ucap Anin, menahan malu meski Ares tidak melihatnya. Pasalnya Anin seakan menjilat ludah sendiri saat ini. “Papa mau ngajak kamu makan malam bersama,” lanjut Anin, menjelaskan.“Oh, oke! Jam berapa kira-kira?”“Mungkin jam tujuh kamu ke sini.”“Oke! Kamu sendiri pengin dibawain apa?” tanya Ares, lembut.Anin terkejut ketika di