Anin merasakan jika tubuhnya dipeluk dari belakang. Bahkan aroma maskulin kian begitu menyeruak di indra penciumannya. Anin menangis terisak dan terus meronta-ronta agar tubuhnya dilepaskan.
“Lepas,” pintanya lirih.
“Enggak, Mbak. Jangan bunuh diri seperti ini. Dosa, Mbak.”
Anin tertawa terbahak-bahak mendengar kata ‘dosa’ yang terlontar dari bibir pria itu. Baginya, dosa itu sudah menjadi teman hidupnya sehari-hari selama ini. Apalagi ia hamil di luar nikah yang membuat semua orang terdekatnya melihat jijik dan murka.
“Saya hanya manusia penuh dosa memang kenapa? Jadi tidak ada gunanya lagi jika saya melakukan dosa yang kesekian kalinya. Lagipula dosa itu teman saya. Saya hamil di luar nikah. Dan, pacar saya tidak mau bertanggung jawab sama anak ini. Jadi, untuk apa saya hidup yang akan membuat kedua orangtua saya malu nantinya. Lebih baik saya mati dan membuat mereka bahagia.”
“Astagfirullah, Mbak. Istigfar. Mbak lagi emosi saja dan kacau saat ini. Sebaiknya kita bicara baik-baik di mobil saya.”
Anin menggeleng. Menolak usulan pria yang tidak dia ketahui namanya siapa.
“Kita cari solusi ini sama-sama. Meski kita belum kenal, Insa Allah saya akan bantu sebisa dan semampu saya.”
“Semua pria sama saja!”
“Astagfirullah, Mbak.”
“Semuanya berengsek! Hanya mau enaknya saja tanpa mau getahnya. Mereka makhluk egois yang selalu menindas dan menyalahkan kaum perempuan,” rancau Anin, memandang kosong ke depan.
“Tidak semua pria seperti itu. Pasti akan ada pria baik di dunia ini meski populasinya sedikit.”
Anin menyenggihkan bibirnya. Menyangsikan ucapan pria itu. “Jelas anda berkata seperti itu karena anda dari kaum mereka. Kaum egoistis.” Anin membalikkan tubuhnya—hingga pelukan itu terlepas secara otomatis—tatapan sendunya menatap ke arah netra bola mata berwarna cokelat terang di depannya. Anin menatap intens hingga membuat pria itu ikut membalas tatapannya dengan sama-sama intens.
“Oke, kalau kamu tidak percaya adanya pria baik di dunia ini. Maka, saya akan buktikan dengan mempertanggung jawabkan anak dalam kandunganmu itu.”
Anin tidak bisa menutupi ekspresi keterkejutannya saat ini. Perempuan itu langsung tersenyum miring dan mengerutkan kening karena ucapan itu hanya bualan semata.
“Saya akan menikahi kamu dan menjadi Ayah untuk anak itu.”
Anin menggeleng sambil mengibaskan tangan di depan pria itu. Anin tidak percaya dengan ucapan pria yang tidak jelas asal usulnya. Apalagi ia baru bertemu sekarang dan dia bilang akan menikahinya? Yang benar saja. Rayyan yang menjadi kekasihnya bertahun-tahun saja mangkir dari tanggung jawab.
Anin langsung berjalan pergi meninggalkan pria itu. Namun, ia mendengar langkah kaki dari pria itu yang mengejarnya. “Mbak, saya serius ingin menikah,” teriaknya lantang. Anin tidak menggubrisnya.
Merasa langkah Anin semakin jauh membuat pria itu segera berlari mengejar dan memegang lengan Anin. “Mbak.”
“Apa?” Anin menyentak cekalan tangan dari pria yang entah namanya siapa. “Kamu bilang begitu pasti habis mabuk, ya? Sudahlah. Ini masalah hidupku, dan kamu tidak perlu ikut campur.”
“Tapi apa yang saya katakan barusan serius. Saya juga lagi pusing soal desakan orangtua yang selalu meminta untuk segera menikah.”
Anin menggeleng tidak mengerti. “Kalau begitu menikah saja dengan pacarmu.”
“Saya tidak punya pacar.”
Anin semakin tidak percaya mendengar jawaban dari pria itu. Zaman sekarang seorang pria jomlo? Sepertinya akan sangat tidak mungkin dan mustahil.
“Terus kamu menikahi saya karena desakan orangtua, begitu?”
Pria itu menggeleng, namun mengangguk yang membuat Anin mengerut bingung. “Salah satunya karena faktor itu. Namun, mendengar cerita Mbak yang merasa dicampakkan oleh pacar Mbak membuat saya berpikir soal nasib anak itu ke depannya jika tidak memiliki seorang Ayah. Pasti anak itu akan merasa insecure sama teman-temannya nanti. Jadi, alasan saya yang utama ingin menjadi Ayah anak itu karena kasihan.”
Anin mulai memikirkan kata-kata dari pria itu. Ada benarnya juga soal anak yang dikandungnya jika tidak memiliki ayah nanti. Pasti anaknya akan menjadi bahan bullyan teman-temannya. Dan, Anin tidak ingin hal itu terjadi. Cukup dirinya saja yang menjadi bahan bullyan teman-temannya saat di sekolah dulu.
“Ini sudah malam, Mbak, rumahnya di mana biar saya antar pulang.”
Anin diam, kepalanya menunduk bingung. Ia melihat kakinya yang kotor karena tidak menggunakan alas kaki. Pria itu menyadari kebimbangan dari Anin.
“Apa mau menginap di apartemen saya?”
Anin mendongak—menatap sendu ke arah mata pria itu dan berpikir atas tawaran dari pria asing yang baru dikenalnya ini. Bingung antara 'ya atau tidak'.
Hari ini adalah hari yang paling bersejarah di dalam keluarga Sastrowidjojo. Apalagi pagi ini Sekar tengah menanti dengan perasaan harap-harap cemas. Anindya—menantunya tengah berada di dalam kamar mandi untuk menguji kebenaran apa yang dikatakan oleh Ibu Nyai. Apakah benar hamil atau hanya mual-mual biasa karena asam lambung ataupun masuk angin.Semoga saja hasilnya sesuai harapan. Sekar ingin sekali menimang cucu dari Ares. Bukan ingin menuntut, tapi Sekar sadar jika usianya sudah tidaklah lagi muda. Sekar ingin menggendong anak hasil dari Ares agar bisa adil dengan Nadia. Di samping itu mumpung ia masih hidup juga karena usia tiada yang tahu bukan? Untuk itu Sekar selalu berdoa supaya Anin bisa sehat selalu dan mengandung benih dari Ares.Ceklek! “Bagaimana hasilnya?” tanya Sekar, harap-harap cemas.Anin diam saja. Ia justru langsung menyerahkan alat tes kehamilan itu kepada Sekar. “Enggak tahu, Bu. Anin enggak lihat soalnya takut,” jawab
Semua orang yang berada di kamar itu tentu saja terkejut dengan ucapan Ibu Nyai. Apalagi hanya dengan memegang perut saja langsung berasumsi seperti itu.“Iya betul ini lagi hamil,” ulang Ibu Nyai.“Itu seriusan Ibu Nyai?” tanya Sekar, masih tidak percaya akan ucapan Ibu Nyai. Tapi memang suka betul ucapan Ibu Nyai ini.“Iya, Ibu Sekar. Coba saja diperiksa ke dokter pasti hasilnya positif.” Ibu Nyai masih terus mengusap-usap perut milik Anin lembut. “Belum datang bulan, ‘kan, Nduk?” tanya Ibu Nyai kepada Anin.Anin tampak terdiam sesaat. Mencoba mengingat kapan terakhir dirinya kedatangan tamu bulanan.Dan, ketika ingat jika terakhir datang bulan saat akan menikah. Sedangkan ini sudah satu bulan lebih dirinya menikah dengan Ares. Sedangkan ia belum datang bulan lagi.“Astagfirullah! Anin belum datang bulan, Bu,” ucap Anin menatap ke arah Sekar dengan ekspresi wajah kebingungan. “Apa benar Anin hamil, ya, Bu?”“Walah Ibu juga tidak tahu, Nin. Kamu ada tespack?” tanya Sekar, jadi penasa
Meski tidak enak badan, Anin harus tetap bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mama Rosa. Apalagi kue Mama Rosa mulai banjir orderan dari teman-temannya.Tok! Tok! Tok!“Nin,” panggil Sekar dari luar kamar.“Masuk, Bu. Pintunya enggak dikunci.”Ceklek! Sekar membawa nampan yang berisi wedang jahe juga menu sarapan untuk Anin. Apalagi menantu-nya ini sedang tidak enak badan karena ulah dari Ares, putranya.“Lho, Bu. Tidak perlu repot.”“Kata Ares kamu lagi enggak enak badan.”“Hanya masuk angin aja kok, Bu. Nanti juga sembuh.”“Maafkan anak Ibu, ya. Maaf kalau dia terlalu menggebu-gebu,” kata Sekar, merasa tidak enak sendiri. Padahal yang melakukan perbuatan itu Ares bukan dirinya.Anin hanya menyengir saja karena yang dibahas sudah ke ranah sana. Meski merasa tidak enak dengan Sekar karena diperlakukan sangat baik, Anin tetap menghargai dengan memakan dan meminum wedang jahe itu.“Makasih banyak ya, Bu. Ibu sudah makan?”“Ibu sudah makan tadi setelah A
Dari banyaknya tempat perbelanjaan entah kenapa harus bertemu dengan Vivi di mal ini. Anin juga kaget tetapi ia harus tetap sopan serta ramah.“Eh, Anin. Sendirian aja?” tanya Vivi, masih fokus menatap cermin karena sedang memakai bulu mata palsu jadi harus fokus.“Sama Mama dan suami.”“Hah?! Suami? Kamu udah nikah?” Vivi langsung berputar badan menatap Anin yang memang berdiri di belakangnya ini. Ekspresinya benar-benar terkejut luar biasa. “Sama Ares?” lanjut Vivi, sambil menelan ludahnya susah payah.Anin tersenyum manis sambil mengangguk. “Iya, Tante.”“Kapan?” Ada rasa kecewa di dalam hati Vivi karena teringat akan lamarannya yang ditolak. Akan tetapi kali ini Vivi bisa mengendalikan diri karena banyak orang di toilet. Di samping itu juga sudah janji dengan Rayyan untuk bersikap baik kepada Anin. “Kok Tante enggak diundang?”“Baru kemarin, Tante. Kami mengadakan pernikahan sederhana saja. Yang datang juga dari pihak keluarga saja dan memang tidak mengundang orang lain.”Vivi men
Pagi ini Anin terbangun dengan perasaan yang berbunga-bunga. Apalagi semalam Ares telah menggagahi-nya dengan penuh kelembutan meski sedikit beringas kalau kata Bayu. Mungkin bagi dia mumpung sudah halal hingga sedikit beringas. Tapi semuanya membuat Anin puas juga terngiang-ngiang akan permainan pria itu.Ketika sedang mengeringkan rambut akibat keramas pagi pun membuat Anin tidak kuat menahan untuk tidak tersenyum. Alhasil Anin selalu cengar-cengir di depan cermin tempat ia make-up.Tak lama pintu kamar mandi terbuka yang menampilkan Ares. Anin pun rasanya malu ingin menoleh—melihat tubuh kekar suaminya yang semalam ia kecupi.“Sayang, bisa ambilkan bajuku tidak?”“Kamu mau kerja?”“Enggak lah. Aku cuti seminggu. Ambil baju santai aja. Terserah kamu pilih yang mana. Yang pasti hari ini kita akan jenguk Papa.”Mendengar ingin ‘menjenguk papa’ membuat Anin segera berdiri dari kursi. Sampai akhirnya Anin tidak sengaja melihat tubuh atletis milik Ares. Sontak hal ini membuat Anin segera
Anin bergegas turun dari atas ranjang. Ia melihat penampilan dirinya yang begitu acak-acakan. Merasa gerah membuat Anin memutuskan mandi terlebih dahulu sebelum akhirnya merias wajahnya ulang.Tak lupa Anin meminta bantuan kepada MUA, teman kuliahnya yang Anin undang ke acara pernikahan ini.“Enggak nyangka kalau lo nikah duluan, Nin.”“Hehehe, makasih banyak, Sara.”“Pokoknya doa yang baik buat lo dan suami. Kangen masa-masa kuliah deh. Enggak ada lo kurang rame di kampus.”“Ck! Masa, sih.”“Hm, betul dong. Pokoknya di kampus selalu heboh berita soal lo sama Rayyan. Tapi lo seriusan bakalan pindah kampus dan ngulang dari semester awal lagi?”“Kalau diizinkan sama suami, Sar.”“Kalau dilihat-lihat secara langsung tipikal Ares itu bucin banget tahu. Dih, betapa beruntungnya lo dapatin dia. Mimpi apa deh lo kemarin bisa dinikahi pengusaha kaya raya.”“Hahaha, ada-ada aja lo.”Akhirnya Anin selesai di make-up. Penampilannya kembali cantik bahkan lebih fress dari sebelumnya. Anin bahkan