Share

Bab 6 - Pria Asing Yang Gila

Anin merasakan jika tubuhnya dipeluk dari belakang. Bahkan aroma maskulin kian begitu menyeruak di indra penciumannya. Anin menangis terisak dan terus meronta-ronta agar tubuhnya dilepaskan.

“Lepas,” pintanya lirih.

“Enggak, Mbak. Jangan bunuh diri seperti ini. Dosa, Mbak.”

Anin tertawa terbahak-bahak mendengar kata ‘dosa’ yang terlontar dari bibir pria itu. Baginya, dosa itu sudah menjadi teman hidupnya sehari-hari selama ini. Apalagi ia hamil di luar nikah yang membuat semua orang terdekatnya melihat jijik dan murka.

“Saya hanya manusia penuh dosa memang kenapa? Jadi tidak ada gunanya lagi jika saya melakukan dosa yang kesekian kalinya. Lagipula dosa itu teman saya. Saya hamil di luar nikah. Dan, pacar saya tidak mau bertanggung jawab sama anak ini. Jadi, untuk apa saya hidup yang akan membuat kedua orangtua saya malu nantinya. Lebih baik saya mati dan membuat mereka bahagia.”

“Astagfirullah, Mbak. Istigfar. Mbak lagi emosi saja dan kacau saat ini. Sebaiknya kita bicara baik-baik di mobil saya.”

Anin menggeleng. Menolak usulan pria yang tidak dia ketahui namanya siapa.

“Kita cari solusi ini sama-sama. Meski kita belum kenal, Insa Allah saya akan bantu sebisa dan semampu saya.”

“Semua pria sama saja!”

“Astagfirullah, Mbak.”

“Semuanya berengsek! Hanya mau enaknya saja tanpa mau getahnya. Mereka makhluk egois yang selalu menindas dan menyalahkan kaum perempuan,” rancau Anin, memandang kosong ke depan.

“Tidak semua pria seperti itu. Pasti akan ada pria baik di dunia ini meski populasinya sedikit.”

Anin menyenggihkan bibirnya. Menyangsikan ucapan pria itu. “Jelas anda berkata seperti itu karena anda dari kaum mereka. Kaum egoistis.” Anin membalikkan tubuhnya—hingga pelukan itu terlepas secara otomatis—tatapan sendunya menatap  ke arah netra bola mata berwarna cokelat terang di depannya. Anin menatap intens hingga membuat pria itu ikut membalas tatapannya dengan sama-sama intens.

“Oke, kalau kamu tidak percaya adanya pria baik di dunia ini. Maka, saya akan buktikan dengan mempertanggung jawabkan anak dalam kandunganmu itu.”

Anin tidak bisa menutupi ekspresi keterkejutannya saat ini. Perempuan itu langsung tersenyum miring dan mengerutkan kening karena ucapan itu hanya bualan semata.

“Saya akan menikahi kamu dan menjadi Ayah untuk anak itu.”

Anin menggeleng sambil mengibaskan tangan di depan pria itu. Anin tidak percaya dengan ucapan pria yang tidak jelas asal usulnya. Apalagi ia baru bertemu sekarang dan dia bilang akan menikahinya? Yang benar saja. Rayyan yang menjadi kekasihnya bertahun-tahun saja mangkir dari tanggung jawab.

Anin langsung berjalan pergi meninggalkan pria itu. Namun, ia mendengar langkah kaki dari pria itu yang mengejarnya. “Mbak, saya serius ingin menikah,” teriaknya lantang. Anin tidak menggubrisnya.

Merasa langkah Anin semakin jauh membuat pria itu segera berlari mengejar dan memegang lengan Anin. “Mbak.”

“Apa?” Anin menyentak cekalan tangan dari pria yang entah namanya siapa. “Kamu bilang begitu pasti habis mabuk, ya? Sudahlah. Ini masalah hidupku, dan kamu tidak perlu ikut campur.”

“Tapi apa yang saya katakan barusan serius. Saya juga lagi pusing soal desakan orangtua yang selalu meminta untuk segera menikah.”

Anin menggeleng tidak mengerti. “Kalau begitu menikah saja dengan pacarmu.”

“Saya tidak punya pacar.”

Anin semakin tidak percaya mendengar jawaban dari pria itu. Zaman sekarang seorang pria jomlo? Sepertinya akan sangat tidak mungkin dan mustahil.

“Terus kamu menikahi saya karena desakan orangtua, begitu?”

Pria itu menggeleng, namun mengangguk yang membuat Anin mengerut bingung. “Salah satunya karena faktor itu. Namun, mendengar cerita Mbak yang merasa dicampakkan oleh pacar Mbak membuat saya berpikir soal nasib anak itu ke depannya jika tidak memiliki seorang Ayah. Pasti anak itu akan merasa insecure sama teman-temannya nanti. Jadi, alasan saya yang utama ingin menjadi Ayah anak itu karena kasihan.”

Anin mulai memikirkan kata-kata dari pria itu. Ada benarnya juga soal anak yang dikandungnya jika tidak memiliki ayah nanti. Pasti anaknya akan menjadi bahan bullyan teman-temannya. Dan, Anin tidak ingin hal itu terjadi. Cukup dirinya saja yang menjadi bahan bullyan teman-temannya saat di sekolah dulu.

“Ini sudah malam, Mbak, rumahnya di mana biar saya antar pulang.”

Anin diam, kepalanya menunduk bingung. Ia melihat kakinya yang kotor karena tidak menggunakan alas kaki. Pria itu menyadari kebimbangan dari Anin.

“Apa mau menginap di apartemen saya?”

Anin mendongak—menatap sendu ke arah mata pria itu dan berpikir atas tawaran dari pria asing yang baru dikenalnya ini. Bingung antara 'ya atau tidak'.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status