Share

Bab 8 Curhat

Hari-hari sepertinya berlalu dengan sangat cepat. Perubahan tubuhku juga berkembang sangat pesat. Aku sudah mulai merasakan desas-desus orang sekitarku. Di kantor aku sepertinya sudah menjadi bahan gosip dan gunjingan. Wina dan Sarah juga sering mencuri pandang kepadaku saat kami berada di rumah kos. Aku serba salah. Sedangkan Anton belum memberikan keputusan apa pun. Dia selalu berkilah bahwa ibunya belum sehat benar. Dia takut ibunya shock dan masuk rumah sakit lagi kalau mendengar kabar kehamilanku.

Aku mulai stress. Tapi itu malah membuatku semakin bernafsu makan. Tubuhku semakin gemuk. Apalagi pipi dan pinggangku. Padahal hampir setiap malam aku menangis sedih. Kupegangi perutku setiap kali itu terjadi. Berharap janinku tidak ikut merasakan kepedihan hatiku. Pernah di satu titik aku mengharapkan dia jatuh gugur akibat frustrasi yang kurasakan. Aku juga pernah ingin memakan obat keras yang katanya bisa merontokkan janin muda. Tapi aku cepat-cepat tersadar dan mohon ampun kepada Tuhan dan juga kepada calon anakku.

Sudah hampir jam 10 pagi saat aku tiba di kantor. Aku sudah siap dengan omelan Bu Amalia karena keterlambatanku. Kudengar ruangan kami sudah ramai dengan suara teman-temanku. Saat aku hampir mencapai pintu, aku menghentikan langkahku dan mencuri dengar obrolan mereka.

"Kok si Tina ini keseringan datang terlambat akhir-akhir ini, ya?" itu suara Bu Amalia.

"Iya kan, kupikir cuma aku yang memperhatikan," Diana menimpali. "Dia sering pula ngantuk dan ketiduran di sini."

"Kalian perhatikan nggak sih," itu suara Sarah, teman sekosku. "Dia gemukan kan sekarang. Dia tiap hari pake jaket lagi."

Ya, aku memang akhirnya memakai jaket setiap hari untuk menutupi perutku yang sudah mulai membesar. Dan Sarah adalah teman sekosku yang bahkan tak pernah menanyakan langsung keadaanku tapi malah bikin pernyataan yang membuat teman-temanku lebih penasaran.

"Apa jangan-jangan..." suara Bu Amalia menggantung saat aku memutuskan masuk dengan menebalkan muka untuk memotong kalimat Bu Amalia. Aku tahu kalimat apa yang bakal diucapkannya.

"Selamat pagi semua," aku berusaha memasang wajah tersenyum padahal aku tahu wajahku pasti sudah memerah karena dapat kurasakan wajahku sudah memanas.

"Dari mana aja kamu?" tanya Bu Amalia ketus.

"Maaf, Bu, tadi saya ada urusan," jawabku sopan.

"Setiap hari kamu selalu ada urusan?" tanya Bu Amalia. "Dan kami semua yang ada di sini nggak ada urusan begitu?"

Aku hanya terdiam sambil meletakkan tasku di meja dan segera duduk menghadap komputer. Ditha mendekat dan duduk di sampingku.

"Kami dari mana aja?" tanyanya dengan suara berbisik. "Mereka semua membicarakan kamu dari tadi."

"Iya, aku masih sempat dengar tadi," jawabku.

"Kamu ada masalah?" tanya Ditha lagi. Pertanyaan yang sama yang sering dilontarkan oleh Wina kepadaku akhir-akhir ini. Hanya mereka berdua yang bertanya dengan intens setiap hari dan selalu kujawab tidak ada apa-apa.

Aku akhirnya mengangguk. Aku tak sanggup lagi menutupi keadaanku. Aku menunduk tak berani menatap wajah Ditha.

"Segera selesaikan laporan kemarin," perintah Bu Amalia.

"Baik, Bu." jawabku.

"Nanti kamu cerita, ya!" kata Ditha sebelum beranjak meninggalkanku.

***

Kami duduk di kantin setelah jam kantor berakhir. Ditha memesan jus mangga dan makanan kecil. Tidak banyak orang di kantin itu. Hanya ada lima orang laki-laki berseragam seperti kami sedang duduk di pojok asyik bermain kartu tanpa memperdulikan kehadiran kami.

"Nah, ada apa?" tanya Ditha.

Pemilik kantin datang dan meletakkan pesanan kami.

"Makasih, Bu," kataku sebelum dia pergi.

Aku menyeruput jusku sampai habis setengah. Kemudian aku menghela nafas panjang. Ditha menungguku dengan sabar.

"Kak, aku hamil." bisikku perlahan.

Reaksi Ditha sungguh di luar dugaanku. Dia bersikap biasa saja, tidak terkejut atau heran. Malah aku yang heran sampai memelototinya. Aku pikir dia akan terkejut kemudian akan menghinaku atau memakiku atau memarahiku. Tapi dia bersikap sangat biasa. Seolah-olah apa yang aku ungkapkan itu hanya berita biasa saja. Ya, mungkin itu memang biasa bagi dia, ya.

"Sama Anton?" dia juga bertanya dengan santai.

Aku mengangguk. "Memangnya aku sama siapa lagi, Kak?" tanyaku agak tersinggung.

"Udah berapa lama?"

"Apanya?"

"Ya, usia kandunganmulah."

"Oh," aku menunduk malu. "Sepertinya udah Empat bulan, Kak, dari sejak aku tahu dari test pack."

"Berarti udah jalan lima bulan dong sekarang."

"Bisa jadi, Kak."

"Pantaslah kamu bengkak begini," katanya. "Anton udah tahu?"

Aku mengangguk. "Udah, Kak."

"Terus apa rencana kalian?"

Aku menggeleng.

"Belum tahu?" tanya Ditha. Kali ini reaksinya berbeda. Kaget. "Kalian belum membicarakan apa-apa?"

"Anton selalu mengelak, Kak. Bahkan awalnya dia menyuruh aku untuk menggugurkan janin ini." aku mengelus perutku.

"Astaga, gila..." Ditha sampai menutup mulut mendengar perkataanku. "Dia gila, ya. Tapi kamu nggak ada niat kan menuruti apa kata Anton?"

"Nggak, Kak. Tapi pernah saat lagi sangat stress aku berharap janinku ini gugur saja. Hanya sebatas itu, Kak. Tapi untuk menggugurkan dengan makan obat atau semacamnya nggak pernah terpikirkan sama sekali."

"Bagus. Jangan menambah dosa lagi kalian." kata Ditha. "Jadi sekarang bagaimana? Nggak mungkin kan kamu bisa menutupi ini semua?"

"Iya, Kak. Anton sangat pandai mengelak. Dan sekarang alasannya adalah ibunya." aku menceritakan semua tanpa ada yang kusembunyikan kepada temanku itu.

"Jadi sampai kapan kamu menunggu? Sampai perut kamu makin buncit? Begini aja kamu udah jadi bahan gunjingan orang-orang."

"Aku tahu, Kak."

"Kamu nggak menuntut pesta besar atau pesta adat kan?"

"Nggak, Kak. Sumpah! Aku hanya ingin anak ini lahir dengan orang tua yang sah. Aku nggak mau dia dicap sebagai anak haram."

"Jadi apa rencanamu?"

"Entahlah, Kak." aku mendesah.

"Tin, aku tahu ini berat, sangat berat. Aku harap kamu kuat menghadapi ini semua." Ditha merengkuh bahuku erat. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya mengalir dengan deras.

"Aku nggak bisa bantu kamu apa-apa. Tapi percayalah aku mendukung kamu."

"Terima kasih, Kak. Itu sangat berarti buatku. Tapi tolong jangan bilang siapa-siapa dulu tentang ini, ya, Kak. Biar aja mereka ngomong apa aja, aku nggak peduli."

"Kamu tenang aja, ini rahasia kita berdua."

"Termasuk dengan Wina, ya, Kak. Dia sering bertanya kepadaku tapi aku malu jujur sama dia. Aku malu karena kekhawatirannya dulu tentang Anton semua benar. Aku seperti kehilangan muka di hadapan dia."

"Tapi kalian satu kos, lho. Nggak apa-apa sih kamu curhat sama dia. Aku yakin dia nggak akan menghakimi kamu." kata Ditha

"Nggak, Kak. Biar aja dia tahu sendiri."

"Dia orang baik lho, Tin. Dia bisa kecewa sama kamu. Kalau dengan Sarah aku nggak menyarankan itu."

"Aku tahu, Kak. Wina orang baik. Justru itu yang membuat aku segan sama dia. Kalau Sarah, aku nggak dekat sama dia dan dia betul-betul tukang gosip."

"Semoga segera dapat jalan keluarnya, ya, Tin."

"Terima kasih, Kak. Tahu, nggak, aku merasa plong sekarang setelah bercerita sama kakak."

"Itulah gunanya teman. Udah, jangan menangis lagi. Bisa berpengaruh buruk sama bayimu, lho. Jaga kesehatanmu baik-baik."

"Iya, Kak." aku mengangguk.

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status