Beranda / Thriller / Samaran Terakhir / Jejak yang Terlupakan

Share

Jejak yang Terlupakan

Penulis: InkRealm
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-24 09:18:50

Malam di Bellagio begitu sunyi. Kota kecil ini tertidur lebih awal dibanding Milan, membuat jalanan terasa seperti dunia lain yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu kuning temaram.  

Di dalam apartemennya, Elena menatap papan di dinding tempat ia mencatat berbagai informasi yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun tentang Adrian Morello.  

Kini, ia menambahkan satu nama baru: Daniel Ferrara.  

Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak biasa tentang pria itu. Namun, ia tahu bahwa tanpa bukti, hanya mengandalkan firasat bisa berbahaya.  

Ia memutuskan untuk berpikir seperti seorang pemburu.  

Apa yang harus ia lakukan jika Adrian benar-benar ada di sini?  

1. Cari bukti keberadaannya sebelum Bellagio. Jika ia adalah seseorang yang menyamar, pasti ada celah di identitasnya.  

2. Perhatikan kebiasaannya. Seorang penulis misteri seharusnya memiliki pola tertentu, tetapi Daniel terasa terlalu misterius untuk seorang penulis biasa.  

3. Pancing dia keluar dari zona nyamannya. Jika dia benar-benar Adrian, suatu saat dia akan membuat kesalahan.  

Elena menarik napas panjang.  

Permainan ini baru saja dimulai.  

Sementara itu, di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, Adrian duduk di depan jendela, mengamati jalanan dengan ekspresi tenang.  

Ia tahu Elena mulai mencurigainya.  

Wanita itu pintar, terlalu pintar. Namun, ia tidak bisa pergi begitu saja. Jika ia menghilang tiba-tiba, itu hanya akan mengonfirmasi kecurigaannya.  

Tidak.  

Ia harus memainkan perannya dengan sempurna.  

Tapi ia juga tahu, semakin lama ia di sini, semakin besar risiko yang ia hadapi.  

Ia harus memastikan satu hal: Seberapa banyak yang sudah Elena ketahui?  

Dan untuk itu, ia harus lebih dekat dengannya.  

Esok paginya, Adrian berjalan ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Kali ini, ia membawa sebuah buku dan meletakkannya di atas meja Elena.  

"Untukmu" katanya dengan senyum ramah.  

Elena mengangkat alis, mengambil buku itu. "The Silent Criminal" sebuah novel tentang seorang detektif yang memburu kriminal yang selalu satu langkah di depannya.  

Ironis.  

"Kenapa kau memberikannya padaku?" tanyanya, menatap Adrian dengan mata penuh selidik.  

Adrian tersenyum. "Kupikir kau menyukai misteri. Dan mungkin kau bisa membantuku memahami cara berpikir seorang detektif."  

Elena menahan senyum kecilnya. "Kau ingin belajar tentang detektif?"  

Adrian mengangkat bahu. "Seorang penulis harus memahami karakternya, bukan?"  

Elena menatapnya sejenak. Lalu, ia membuka halaman pertama dan membaca kutipan di sana:  

"Setiap kriminal meninggalkan jejak. Pertanyaannya hanya: Siapa yang cukup pintar untuk menemukannya?"  

Ia menutup buku itu dan menatap Adrian dengan tajam.  

"Aku akan membacanya," katanya akhirnya. "Dan aku ingin tahu bagaimana kau akan menulis akhir ceritanya."  

Adrian tersenyum. "Begitulah misteri. Kadang, akhirnya tergantung pada siapa yang lebih pintar."  

Elena tahu bahwa ini adalah sebuah tantangan.  

Dan ia berniat menang.  

Hari itu, Elena memutuskan untuk menguji Adrian.  

Saat mereka berjalan di sepanjang dermaga, ia mulai bertanya hal-hal yang tampak biasa, tetapi sebenarnya adalah jebakan kecil.  

"Kau bilang kau baru pindah ke Bellagio. Dari mana sebelumnya?"  

Adrian tersenyum, seolah tak terganggu dengan pertanyaan itu. "Dari Prancis. Aku tinggal di Marseille selama beberapa tahun."  

Elena mengangguk, mencatat informasi itu dalam pikirannya. Jika ia bisa menemukan catatan tentang Daniel Ferrara di Marseille, maka identitasnya bisa terverifikasi.  

"Tapi kau tidak punya aksen Prancis," katanya lagi.  

Adrian tertawa kecil. "Aku banyak bepergian. Aku mengambil aksen yang berbeda-beda."  

Jawaban yang cerdas.  

Tapi bukan berarti ia tidak bisa membuatnya lengah.  

"Dan kenapa kau memilih Bellagio?" lanjutnya.  

"Aku ingin ketenangan," jawab Adrian. "Danau Como memberiku inspirasi."  

Elena mengangguk lagi. Semua jawaban itu terdengar logis terlalu logis.  

Ia harus mencari cara lain.  

Malam itu, Elena kembali ke apartemennya dan segera mencari informasi tentang Daniel Ferrara di Marseille.  

Ia menggunakan akses rahasia yang hanya dimiliki polisi untuk mencari catatan kependudukan, transaksi perbankan, dan segala sesuatu yang bisa menghubungkan pria itu dengan masa lalunya.  

Hasilnya?  

Tidak ada.  

Tidak ada catatan pajak, tidak ada bukti apartemen yang pernah ia sewa, bahkan tidak ada aktivitas yang menunjukkan bahwa seseorang bernama Daniel Ferrara pernah tinggal di Marseille.  

Seolah-olah dia baru saja muncul begitu saja.  

Dan itu bukan hal yang wajar.  

Jantungnya berdegup lebih cepat.  

Ia tahu ini adalah celah yang ia cari.  

Sekarang, ia hanya perlu menunggu saat yang tepat untuk menjebaknya.  

Sementara itu, Adrian duduk di kamarnya, menatap ponselnya dengan tatapan tajam.  

Ia telah mengawasi Elena sejak hari pertama ia tiba di kota ini. Dan kini, ia mulai merasakan bahwa wanita itu bergerak terlalu cepat dalam penyelidikannya.  

Jika ia tidak melakukan sesuatu, penyamarannya bisa terbongkar lebih cepat dari yang ia rencanakan.  

Ia harus bertindak lebih dulu.  

Dan satu-satunya cara adalah mengalihkan perhatian Elena.  

Dua hari kemudian, sebuah peristiwa mengejutkan terjadi.  

Sebuah perampokan terjadi di sebuah toko perhiasan di Bellagio. Pelaku berhasil melarikan diri, meninggalkan hanya satu petunjuk sebuah kartu remi dengan simbol Phantom.  

Elena segera tiba di tempat kejadian, jantungnya berdegup kencang.  

Bukan karena perampokannya.  

Tapi karena simbol itu.  

Itu adalah tanda khas Adrian Morello.  

Tapi bagaimana mungkin? Jika Adrian benar-benar adalah Daniel Ferrara dan masih berada di Bellagio, maka ia tidak mungkin melakukan ini.  

Atau mungkin, ada orang lain yang juga memburu Adrian?  

Atau mungkin, ini adalah peringatan?  

Elena merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.  

Untuk pertama kalinya, ia tidak yakin apakah ia adalah pemburu atau justru yang sedang diburu.  

Di kejauhan, Adrian berdiri di sudut gang, mengamati Elena yang sibuk dengan penyelidikan.  

Ia tahu bahwa ini akan membuatnya semakin ragu.  

Ia tahu bahwa kini, permainan telah berubah.  

Dan ia siap menghadapi langkah Elena berikutnya.  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Samaran Terakhir   Hari yang Tidak Ditentukan Siapa-siapa

    Tentang tokoh-tokoh yang memilih untuk hidup… dan tersenyum.---[Pagi Tanpa Agenda]Matahari muncul, bukan karena diperintah narator, bukan karena menandai sebuah awal bab. Tapi karena pagi memang datang begitu saja.Lena membuka matanya perlahan. Di sampingnya, Kai sedang tertidur dengan buku kosong di dadanya buku yang dulu ingin diisi dengan perlawanan, sekarang hanya menjadi tempat ia menulis mimpi-mimpinya sendiri.Lena tidak membangunkannya. Ia hanya menatap wajah itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa: tidak ada yang harus dilakukan, tidak ada yang harus dibuktikan.Dan ternyata, itu cukup untuk bahagia.---[Adrian dan Elena – Menanam, Bukan Mengendalikan]Adrian kini hidup di rumah kecil yang mereka bangun sendiri, jauh dari ruang konflik, jauh dari keributan struktur. Ia duduk di tanah, menanam bibit kecil bersama Elena.“Ini tomat?” tanya Elena sambil tersenyum.Adrian mengangguk. “Kalau tumbuh... kita bisa bikin sup.”Elena tertawa kecil. “

  • Samaran Terakhir   Narasi yang Menolak Dimiliki

    Narasi yang Menolak DimilikiTentang kisah yang memilih untuk tidak dikendalikan.[Pembuka – Ruang Tanpa Naskah]Mereka berdiri di ruang yang seharusnya kosong tempat narasi biasanya lahir. Tapi malam itu, tidak ada pembukaan, tidak ada konflik, tidak ada klimaks.Hanya kesunyian yang jujur.Lena menatap ke depan. Di tangannya ada potongan narasi yang pernah ia tempelkan di dinding hatinya. Ia merobeknya perlahan, membiarkannya tertiup angin.Kai berjalan di belakangnya, membawa pena yang tidak lagi bisa menulis. Bukan karena tintanya habis—tapi karena dunia sudah menolak untuk ditulisi.“Bagaimana kalau kita tidak menulis akhir?” tanya Kai.Lena tersenyum, lelah tapi utuh.“Maka kita bebas.”[Adrian – Yang Pernah Menjadi Pusat]Adrian duduk sendirian. Di sekelilingnya ada kalimat-kalimat yang dulu ia pimpin. Kalimat-kalimat yang tunduk. Tapi malam ini, mereka menatapnya balik.Bukan dengan dendam. Tapi dengan kesadaran.“Kami bukan perpanjangan tanganmu lagi,” bisik salah satu paragr

  • Samaran Terakhir   Di Mana Cinta Menjadi Cerita yang Terbuka

    Di Mana Cinta Menjadi Cerita yang Terbuka[Adegan Pembuka – Paragraf Tanpa Tanda Baca]Tidak ada awalan. Tidak ada penutup. Hanya satu halaman putih, terbuka di tengah dunia yang masih menulis dirinya sendiri.Elena berdiri di sana, membaca setiap kata yang muncul bukan dari pena, tapi dari keberanian untuk tidak menyembunyikan apa pun.Di sisi lain halaman, Adrian muncul. Ia tidak membawa skrip. Tidak menawarkan plot twist. Hanya satu kehadiran yang penuh kesadaran:> "Aku tidak ingin mencintaimu dalam diam lagi."Kalimat itu tidak berani diucapkan di musim lalu. Tapi kini, tidak ada musim. Hanya ruang yang diciptakan oleh keduanya.Elena tidak menjawab dengan kata. Tapi dengan langkah mendekat. Dengan genggaman yang tidak menyelamatkan, tapi menemani.Dan dunia akhirnya membuka bab yang selama ini tertunda.---[Lena – Menulis Diri Tanpa Sembunyi]Lena duduk di pojok halaman itu, memandang mereka. Tapi ia tidak iri. Karena cinta yang ia lihat bukan soal romansa. Tapi soal keberanian

  • Samaran Terakhir   Cerita yang Ditulis dari Mata yang Menangis

    [Adegan Pembuka – Pena yang Gagal Mengatur Arah]Adrian duduk di tengah struktur kosong yang biasanya ia kontrol penuh. Dulu, cukup satu gerakan tangannya dan dunia akan mengubah warna, arah, dan nasib.Namun kali ini, tidak.Tangannya gemetar saat menyentuh naskah kosong di depannya. Ia mencoba menulis ulang Elena mencoba memberi akhir yang rapi, sebuah penutup yang ia pikir pantas.“Elena kembali ke ruang cerita, dan menerima bahwa ia hanyalah versi gagal dari cinta…”Ia berhenti.Kertas menolak menyerap tinta.Pena retak.Struktur menolak.Di belakangnya, suara lembut Elena terdengar:“Kau tidak bisa lagi menulisku dengan tangan yang sama yang pernah meninggalkanku.”[Elena – Menulis dari Luka yang Pernah Dibungkam]Elena duduk di hadapan Adrian, memegang selembar naskah kosong. Tapi ia tidak menulis dengan tinta.Ia menulis dengan air mata.“Dulu aku kalimatmu. Kini aku narasiku sendiri.”Ia menggoreskan jejak luka masa lalu, tapi bukan untuk membalas.Untuk menyatakan bahwa luka

  • Samaran Terakhir   Kalimat yang Tidak Ingin Selesai

    [Adegan Pembuka – Langkah yang Mengganggu Keheningan Panggung]Panggung yang dibangun oleh air mata masih berdiri. Tirai dari luka, cahaya lembut dari pengampunan, dan lantai narasi yang retak namun hidup. Tapi tiba-tiba… terdengar langkah.Satu. Dua. Tiga.Langkah yang bukan berasal dari dunia ini. Langkah yang membawa semacam... kenangan.Lena dan Kai saling menatap. Bahkan Valen berhenti menulis.Lalu suara itu datang. Bukan teriak. Bukan bisik.“Kalian menulis tentang keberanian dari mereka yang bertahan.”“Tapi bagaimana dengan kami… yang memilih untuk pergi?”Elena Rinaldi berdiri di ambang panggung. Rambutnya lebih panjang, pakaiannya tidak mencerminkan masa lalu. Tapi matanya—matanya masih penuh cerita yang tertahan di ujung koma.[Elena – Kalimat yang Tak Pernah Diakhiri]Lena menatapnya, napasnya tercekat. “Elena… kau—”“Belum selesai,” Elena memotong dengan lembut. “Aku belum selesai.”Ia melangkah ke tengah panggung dan mengangkat secarik naskah yang compang-camping.“Aku

  • Samaran Terakhir   Panggung yang Diciptakan oleh Air Mata

    Tentang panggung yang tidak dibangun oleh penulis,melainkan oleh karakter-karakter yang pernah jatuh.Tentang ruang tampil yang tidak mencari tepuk tangan,tapi mengundang keberanian untuk berdiri lagi—meski tanpa naskah.[Adegan Pembuka – Lantai Panggung dari Luka]Tidak ada karpet merah.Tidak ada lampu sorot.Hanya lantai retak yang terbuat dari kata-kata yang pernah gagal.Dindingnya dibentuk oleh kalimat yang tak pernah sempat selesai.Langit-langitnya bergantung pada harapan yang belum berani diucapkan.Di sanalah Lena berdiri.Ia tidak menunggu giliran tampil.Ia tidak membawa dialog.Ia hanya berdiri… dengan air mata yang tidak ditulis oleh siapa pun.Karena kali ini, air matanya bukan untuk dipahami. Tapi untuk menghidupkan panggung ini.[Kai – Merangkai Dialog dari Duka]Kai tidak pernah berpikir akan kembali ke tempat ini:ruang narasi yang pernah ditinggalkan,bekas teater cerita yang dibakar oleh keputusasaan.Namun kini, ia datang bukan sebagai tokoh yang mencari arah.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status