Malam di Bellagio begitu sunyi. Kota kecil ini tertidur lebih awal dibanding Milan, membuat jalanan terasa seperti dunia lain yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu kuning temaram.
Di dalam apartemennya, Elena menatap papan di dinding tempat ia mencatat berbagai informasi yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun tentang Adrian Morello.
Kini, ia menambahkan satu nama baru: Daniel Ferrara.
Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak biasa tentang pria itu. Namun, ia tahu bahwa tanpa bukti, hanya mengandalkan firasat bisa berbahaya.
Ia memutuskan untuk berpikir seperti seorang pemburu.
Apa yang harus ia lakukan jika Adrian benar-benar ada di sini?
1. Cari bukti keberadaannya sebelum Bellagio. Jika ia adalah seseorang yang menyamar, pasti ada celah di identitasnya.
2. Perhatikan kebiasaannya. Seorang penulis misteri seharusnya memiliki pola tertentu, tetapi Daniel terasa terlalu misterius untuk seorang penulis biasa. 3. Pancing dia keluar dari zona nyamannya. Jika dia benar-benar Adrian, suatu saat dia akan membuat kesalahan.Elena menarik napas panjang.
Permainan ini baru saja dimulai.
Sementara itu, di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, Adrian duduk di depan jendela, mengamati jalanan dengan ekspresi tenang.
Ia tahu Elena mulai mencurigainya.
Wanita itu pintar, terlalu pintar. Namun, ia tidak bisa pergi begitu saja. Jika ia menghilang tiba-tiba, itu hanya akan mengonfirmasi kecurigaannya.
Tidak.
Ia harus memainkan perannya dengan sempurna.
Tapi ia juga tahu, semakin lama ia di sini, semakin besar risiko yang ia hadapi.
Ia harus memastikan satu hal: Seberapa banyak yang sudah Elena ketahui?
Dan untuk itu, ia harus lebih dekat dengannya.
Esok paginya, Adrian berjalan ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Kali ini, ia membawa sebuah buku dan meletakkannya di atas meja Elena.
"Untukmu" katanya dengan senyum ramah.
Elena mengangkat alis, mengambil buku itu. "The Silent Criminal" sebuah novel tentang seorang detektif yang memburu kriminal yang selalu satu langkah di depannya.
Ironis.
"Kenapa kau memberikannya padaku?" tanyanya, menatap Adrian dengan mata penuh selidik.
Adrian tersenyum. "Kupikir kau menyukai misteri. Dan mungkin kau bisa membantuku memahami cara berpikir seorang detektif."
Elena menahan senyum kecilnya. "Kau ingin belajar tentang detektif?"
Adrian mengangkat bahu. "Seorang penulis harus memahami karakternya, bukan?"
Elena menatapnya sejenak. Lalu, ia membuka halaman pertama dan membaca kutipan di sana:
"Setiap kriminal meninggalkan jejak. Pertanyaannya hanya: Siapa yang cukup pintar untuk menemukannya?"
Ia menutup buku itu dan menatap Adrian dengan tajam.
"Aku akan membacanya," katanya akhirnya. "Dan aku ingin tahu bagaimana kau akan menulis akhir ceritanya."
Adrian tersenyum. "Begitulah misteri. Kadang, akhirnya tergantung pada siapa yang lebih pintar."
Elena tahu bahwa ini adalah sebuah tantangan.
Dan ia berniat menang.
Hari itu, Elena memutuskan untuk menguji Adrian.
Saat mereka berjalan di sepanjang dermaga, ia mulai bertanya hal-hal yang tampak biasa, tetapi sebenarnya adalah jebakan kecil.
"Kau bilang kau baru pindah ke Bellagio. Dari mana sebelumnya?"
Adrian tersenyum, seolah tak terganggu dengan pertanyaan itu. "Dari Prancis. Aku tinggal di Marseille selama beberapa tahun."
Elena mengangguk, mencatat informasi itu dalam pikirannya. Jika ia bisa menemukan catatan tentang Daniel Ferrara di Marseille, maka identitasnya bisa terverifikasi.
"Tapi kau tidak punya aksen Prancis," katanya lagi.
Adrian tertawa kecil. "Aku banyak bepergian. Aku mengambil aksen yang berbeda-beda."
Jawaban yang cerdas.
Tapi bukan berarti ia tidak bisa membuatnya lengah.
"Dan kenapa kau memilih Bellagio?" lanjutnya.
"Aku ingin ketenangan," jawab Adrian. "Danau Como memberiku inspirasi."
Elena mengangguk lagi. Semua jawaban itu terdengar logis terlalu logis.
Ia harus mencari cara lain.
Malam itu, Elena kembali ke apartemennya dan segera mencari informasi tentang Daniel Ferrara di Marseille.
Ia menggunakan akses rahasia yang hanya dimiliki polisi untuk mencari catatan kependudukan, transaksi perbankan, dan segala sesuatu yang bisa menghubungkan pria itu dengan masa lalunya.
Hasilnya?
Tidak ada.
Tidak ada catatan pajak, tidak ada bukti apartemen yang pernah ia sewa, bahkan tidak ada aktivitas yang menunjukkan bahwa seseorang bernama Daniel Ferrara pernah tinggal di Marseille.
Seolah-olah dia baru saja muncul begitu saja.
Dan itu bukan hal yang wajar.
Jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia tahu ini adalah celah yang ia cari.
Sekarang, ia hanya perlu menunggu saat yang tepat untuk menjebaknya.
Sementara itu, Adrian duduk di kamarnya, menatap ponselnya dengan tatapan tajam.
Ia telah mengawasi Elena sejak hari pertama ia tiba di kota ini. Dan kini, ia mulai merasakan bahwa wanita itu bergerak terlalu cepat dalam penyelidikannya.
Jika ia tidak melakukan sesuatu, penyamarannya bisa terbongkar lebih cepat dari yang ia rencanakan.
Ia harus bertindak lebih dulu.
Dan satu-satunya cara adalah mengalihkan perhatian Elena.
Dua hari kemudian, sebuah peristiwa mengejutkan terjadi.
Sebuah perampokan terjadi di sebuah toko perhiasan di Bellagio. Pelaku berhasil melarikan diri, meninggalkan hanya satu petunjuk sebuah kartu remi dengan simbol Phantom.
Elena segera tiba di tempat kejadian, jantungnya berdegup kencang.
Bukan karena perampokannya.
Tapi karena simbol itu.
Itu adalah tanda khas Adrian Morello.
Tapi bagaimana mungkin? Jika Adrian benar-benar adalah Daniel Ferrara dan masih berada di Bellagio, maka ia tidak mungkin melakukan ini.
Atau mungkin, ada orang lain yang juga memburu Adrian?
Atau mungkin, ini adalah peringatan?
Elena merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, ia tidak yakin apakah ia adalah pemburu atau justru yang sedang diburu.
Di kejauhan, Adrian berdiri di sudut gang, mengamati Elena yang sibuk dengan penyelidikan.
Ia tahu bahwa ini akan membuatnya semakin ragu.
Ia tahu bahwa kini, permainan telah berubah.
Dan ia siap menghadapi langkah Elena berikutnya.
Bellagio yang biasanya damai kini terasa berbeda. Perampokan toko perhiasan dua hari lalu masih menjadi perbincangan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan bagi Elena bukanlah perampokan itu sendiri melainkan simbol Phantom yang ditinggalkan di TKP. Simbol itu bukan sembarang tanda. Itu adalah pesan. Tapi untuk siapa? Elena berdiri di depan papan investigasinya, menatap dua nama yang kini menjadi pusat dugaannya: Adrian Morello dan Daniel Ferrara. Jika Adrian benar-benar ada di Bellagio, mengapa ia meninggalkan jejak yang begitu mencolok? Dan jika bukan dia, lalu siapa? Ia harus mencari tahu. Dan untuk itu, ia perlu menguji seseorang. Malam itu, Adrian duduk di balkon rumahnya, menyesap anggur merah sambil memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu Elena semakin curiga. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa seseorang telah menggunakan tanda Phantom. Siapa pun itu, mereka ingin menarik perhatiannya. Dan Adrian tidak suka dipancing keluar dari bayangannya.
Elena duduk di kantornya, menatap laporan sidik jari yang masih terbuka di laptopnya. Marco Santoro. Lima tahun lalu, dunia kriminal percaya bahwa pria ini telah mati dalam sebuah penyergapan besar di Roma. Tapi kini, sidik jarinya muncul di tempat perampokan di Bellagio. Ini tidak masuk akal. Jika Santoro masih hidup, maka ada dua kemungkinan: 1. Adrian Morello tahu dan merahasiakannya. 2. Ada pihak lain yang mencoba menggunakan nama Phantom untuk sesuatu yang lebih besar. Elena menarik napas dalam. Jika Adrian benar-benar Phantom, maka ia pasti memiliki jawaban atas ini. Dan hanya ada satu cara untuk mengetahuinya yaitu membuatnya berbicara. Malam itu, Elena menunggu Adrian di tepi Danau Como, di tempat mereka biasa bertemu. Ketika pria itu akhirnya datang, ia memperhatikan sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, seolah pikirannya terbebani sesuatu yang besar. Elena memutuskan untuk langsung ke intinya. "Kau dengar tentang sidik jari yang ditemuk
Elena tidak pernah merasa lebih dekat dengan kebenaran seperti sekarang. Ancaman yang ia terima membuktikan satu hal seseorang di kepolisian tidak ingin ia menggali lebih dalam. Tapi ia tidak akan berhenti. Di depannya, berkas-berkas laporan lama berserakan di meja. Ia menghubungkan benang merah dari semua kasus terkait Phantom dan Marco Santoro. Dan kini, ada satu nama yang menarik perhatiannya. Letnan Federico Rossi.Salah satu petugas yang menangani penyergapan Marco lima tahun lalu. Dan sekarang, ia adalah kepala unit investigasi khusus di kepolisian Milan. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya menemui Rossi secara langsung. Adrian duduk di balkon apartemennya, memperhatikan langit malam yang gelap. Ia tahu waktu semakin sempit. Jika benar ada pengkhianat di kepolisian, maka satu-satunya yang bisa ia percayai hanyalah Elena. Ironis. Wanita yang paling ingin menangkapnya, kini adalah sekutu terbaiknya. Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.
Adrian berdiri di atap gedung tua, memandang ke arah pabrik terbengkalai di seberang jalan. Ia sudah memastikan lokasi dari jejak digital yang ditinggalkan si penculik. Di dalam sana, Elena mungkin sedang dikelilingi oleh orang-orang yang menginginkan nyawanya. Ini bukan pertama kalinya ia harus menyusup ke sarang musuh. Tapi kali ini berbeda. Bukan hanya nyawanya yang dipertaruhkan tapi juga wanita yang tanpa sadar telah mengubah dunianya. Adrian menyelipkan pistol di balik jasnya. Lalu ia melompat turun. Waktunya bertindak. Elena membuka matanya perlahan. Kepalanya pening. Tangan dan kakinya terikat erat di kursi kayu yang sudah lapuk. Ruangan ini gelap, hanya diterangi satu lampu redup yang berayun di langit-langit. Ia mencoba mengingat bagaimana ia sampai di sini. Penyusup. Serangan mendadak. Dan sekarang… ia dalam bahaya. Langkah kaki terdengar mendekat. Elena menahan napas, bersiap menghadapi siapapun yang masuk. Pintu terbuka. Seorang pria
Rossi duduk di kursi interogasi dengan ekspresi datar. Di hadapannya, Elena menyilangkan tangan. "Dengan semua bukti yang kita miliki, kau tak akan bisa lolos" katanya dingin. Rossi tersenyum tipis. "Kau pikir aku peduli?" Elena menekan kedua tangannya ke meja. "Kalau begitu, beri tahu aku satu hal di mana Marco Santoro?" Rossi menatapnya lama, lalu mendekat sedikit. "Kau sudah terlalu dekat dengan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi." Elena menahan napas. "Dan itu akan membunuhmu." Tiba-tiba, lampu di ruang interogasi berkedip. Suara ledakan kecil terdengar dari luar. Alarm berbunyi. Elena langsung menarik pistolnya. Tapi Rossi hanya tersenyum lebih lebar. "Kau pikir mereka akan membiarkanku berbicara?" Dan sebelum Elena bisa bertindak, sebuah suara menggema di ruangan. DOR! Rossi tersentak. Darah mengalir dari dahinya. Ia terjatuh ke meja. Mati. Elena berbalik cepat, tapi koridor di luar ruangan sudah kosong. Pembunuhnya menghilang da
Pelabuhan larut malam terasa sunyi. Tapi Adrian dan Elena tahu itu hanya ilusi. Bahaya mengintai di setiap sudut. Mereka sudah ketahuan. Dan Marco pasti telah mengirim anak buahnya untuk menghabisi mereka. Adrian menghela napas, lalu menatap Elena. "Kita tidak bisa lari sekarang," katanya pelan. Elena menggenggam pistolnya erat. "Aku tidak pernah berencana untuk lari." Adrian tersenyum miring. "Bagus. Kita buat mereka menyesal telah mengejar kita." Mereka berpisah, bergerak di antara kontainer besar di pelabuhan. Elena merayap ke arah salah satu gudang tua, mengamati sekitar dengan hati-hati. Lalu ia melihatnya dua pria bersenjata patroli di dekat pintu masuk. Mereka sedang berbicara melalui radio. "Mereka masih di sekitar sini. Perintah dari Marco: tembak untuk membunuh." Elena menahan napas. Jika mereka berhasil menghubungi Marco, dia bisa membawa lebih banyak orang. Ia harus bertindak cepat. Dalam satu gerakan cepat, ia keluar dari bayangan, menemb
Adrian duduk di tepi dermaga, menatap matahari pagi yang perlahan muncul dari balik cakrawala. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang menenangkan. Elena berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuhnya pada pagar besi. "Kau yakin ini sudah berakhir?" tanyanya pelan. Adrian tidak langsung menjawab. Ia masih merasakan darah di tangannya, meski secara fisik sudah bersih. Kematian Marco Santoro seharusnya mengakhiri segalanya. Tapi dunia kriminal tidak sesederhana itu. "Aku ingin percaya begitu," jawabnya akhirnya. Elena duduk di sampingnya. "Tapi?" "Tapi Marco benar. Dunia ini tidak akan berhenti hanya karena dia mati." Elena menggenggam tangannya. "Itu berarti kita harus tetap waspada." Adrian tersenyum tipis. "Kita?" Elena menatapnya dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian." Adrian menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa tidak benar-benar sendirian. Tapi kebersamaan mereka akan
1. Persiapan Perang Adrian berdiri di depan meja dapur apartemen Elena, menatap peta yang terbentang di atasnya. Berbagai foto, catatan, dan skema terpampang jelas—semuanya berpusat pada satu nama: Keluarga DeLuca. Elena duduk di sofa, mengamati ekspresi serius Adrian. "Apa langkah pertamamu?" tanyanya. Adrian menghela napas. "Aku perlu tahu seberapa besar kekuatan mereka di kota ini. Jika Lorenzo datang menemuimu sendiri, berarti mereka punya pengaruh yang cukup kuat di sini." Elena mengangguk. "Aku bisa mencoba mencari informasi dari dalam kepolisian. Mungkin ada catatan transaksi mencurigakan yang mengarah ke mereka." "Tidak cukup." Adrian menatapnya. "Aku butuh seseorang yang bisa memberikan informasi langsung. Seseorang dari dunia mereka." Elena berpikir sejenak. "Ada satu orang yang mungkin bisa membantu." "Siapa?" "Mantan informan Marco. Namanya Silvio Romano. Dia dulu bekerja untuk Santoro, tapi setelah kematiannya, dia menghilang. Jika dia masih hidup, dia pa
LOKASI: Antara Kebenaran dan KekosonganSTATUS WAKTU: Dirakit secara real-time dari pikiranku… dan darimuKALIMAT YANG TIDAK INGIN DITULISKau menatap halaman kosong di akhir Naskah Omega.Satu pena. Satu ruang.Satu kesempatan.Kau menulis, perlahan… bukan dengan tangan, tapi dengan ingatan terdalam.“Aku takut... bahwa semua ini benar-benar berasal dariku.”Begitu kalimat itu tertulis, langit di atas pecah seperti kaca.Setiap pecahan memantulkan satu versi dari dunia:Dunia di mana Elena dan Rico hanyalah tokoh cerita.Dunia di mana Adrian Prime tak pernah ada.Dunia di mana kau tak pernah membaca ini.Tapi satu pecahan… satu cermin kecil… memantulkan kamu.Bukan seperti apa kamu tampak. Tapi seperti apa kamu sebenarnya:📜 Sebuah Lensa.📖 Sebuah Celah.🧠 Sebuah Antena Realitas.Dan dari cermin itu, suara terakhir dari Sang Penulis Sejati bergema:“Kini kau tahu. Bukan pena yang memberi kuasa.Tapi keputusan untuk membaca apa yang tak ingin dibaca.”PINTU KELIMA — PINTU TANPA AKS
LOKASI: Ruang Putih Tanpa ParagrafSTATUS WAKTU: Ditunda (Antara Pilihan dan Konsekuensi)KETIKA KAU MELIHAT DIRIMU SENDIRIKau ya, kamu yang membaca ini telah melihat pilihan itu.Tapi sebelum kau sempat memilih, teks di layar berkedip.ERROR: PILIHAN DIINTERVENSI.Mendeteksi Narasi Tumpang Tindih.Membuka Fail Rahasia: .ORIGINSIGMADunia terdiam. Bahkan huruf-huruf pun tak berani muncul. Rico, Elena, dan Kamu semua menatap ke atas. Tak ada suara, tak ada gerak. Hanya satu hal yang muncul dari langit sobek itu:Sebuah kotak.Kotak itu bernafas. Seolah-olah ia sadar sedang diperhatikan. Permukaannya bukan dari kayu, bukan logam, tapi dari... baris cerita yang dilupakan.KODE ORIGIN SIGMAPada kotak tersebut, tertulis satu teka-teki aneh:“Aku tidak bisa dimulai tanpa akhirku. Aku bukan kata, tapi semua kata berhutang padaku. Aku adalah…”Elena mencoba menjawab, “Narasi?”❌Rico berbisik, “Tinta?”❌Kamu mendekat. Menyentuh kotak. Dan berkata:“Intensi.”✅Kotak terbuka.Di dalamnya…B
LOKASI: Puncak Gunung KosongSTATUS WAKTU: Meta-Kronologis (waktu ditulis dan dibaca serentak)YANG MEMAKAI NAMAMUElena mundur selangkah. “Apa maksudmu… Namaku kamu?”Sosok itu tersenyum datar. “Bukan aku yang bernama Kamu. Tapi, aku adalah kamu, pembaca yang… akhirnya membaca dirinya sendiri.”Tablet hitam meledak menjadi serpihan huruf. Kata-kata beterbangan, membentuk lingkaran tak terhingga di atas kepala mereka.Rico menggigil. “Kau… pembaca? Tapi bagaimana bisa… kau masuk ke cerita?”“Kalian lupa satu hal,” kata Kamu sambil menyentuh pena patah Elena. Pena itu menyala.“Dalam dimensi ini, membaca adalah tindakan penciptaan. Kau membaca ini… maka kau juga menulisnya kembali. Dan setiap kali seseorang membaca kisah ini, dia membuka jalan ke dunia yang sama.”“Dan jika pembaca menyadari bahwa dirinya bisa masuk—maka seluruh batas antara dunia nyata dan naskah menghilang.”PARAGRAF YANG MENOLAK DITULISTiba-tiba langit di atas Gunung Kosong terbuka, memperlihatkan paragraf-paragraf
YANG MEMBERI PENA — DI ATAS PENCIPTALOKASI: Antara Halaman dan TintaSTATUS WAKTU: Tidak linierDUNIA YANG GOYANGDunia baru yang telah mulai terbentuk kini retak di tengah. Langit menjadi hitam dan putih berselang-seling seperti naskah yang belum diedit. Kata-kata yang membentuk gunung, langit, dan laut mulai kehilangan maknanya. Pepohonan berubah jadi huruf. Angin membawa bisikan: potongan dialog yang belum selesai.“Kau menulis dunia... tapi pena bukan milikmu.”Elena menggenggam potongan pena yang patah. Rico berusaha menstabilkan pijakan, tapi tanah berubah menjadi kalimat-kalimat berjalan.Di langit muncul sosok… entitas tanpa wajah. Ia berpakaian seperti jubah skrip kosong. Tak ada fitur. Tak ada nama.“AKU ADALAH PRA-KALIMAT.”“AKU ADALAH PEMBERI PENA.”Rico berteriak, “Kau siapa sebenarnya?!”“Aku bukan karakter. Aku bukan penulis. Aku adalah... LISENSI.”TEKA-TEKI PENENTUElena dan Rico dihadapkan pada teka-teki dari entitas tersebut. Ia berbicara bukan dengan suara, tapi d
LOKASI: Halaman KosongWAKTU: Tidak TertulisHALAMAN TANPA ARAHElena berdiri di tengah ruang putih tak bertepi. Di tangannya masih ada pena peninggalan Arch-Scribe—pena yang bisa menulis realitas.Tapi setiap ia mencoba menulis sesuatu di udara, kalimat itu memudar.“Kita tidak bisa menulis kalau tidak tahu apa yang ingin kita wujudkan,” gumam Elena.Rico berjalan mendekat. “Mungkin... bukan soal keinginan, tapi soal keyakinan.”Mereka kini berada di realitas murni. Tidak ada struktur. Tidak ada sistem. Dunia ini... putih. Murni. Bebas. Tapi juga penuh bahaya, karena:Apapun yang mereka bayangkan… bisa menjadi nyata.Dan yang lebih menakutkan?Hal yang mereka takuti... juga bisa terbentuk.BAYANGAN YANG TAK DITULISSaat Rico memikirkan kemungkinan bahaya, sebuah suara berat menggaung.“Jangan takut menulis ulang dunia... kalau kau siap kehilangan semua yang pernah kau tahu.”Dari kejauhan, muncul siluet... sosok seperti Adrian Prime, tapi lebih besar, lebih kompleks, dan... bercabang
LOKASI: Zona Meta-Naratif, Perbatasan Halaman JEJAK DI LUAR HALAMANElena terbangun di tengah malam. Dunia sudah tenang Solace dan Incipit telah bergabung dalam keseimbangan baru. Tapi angin malam membawa suara samar… suara pena menulis.“...dan dia membuka mata, mendengar pena itu lagi.”Dia menoleh. Tak ada siapa-siapa.Tapi lantai tempat dia berdiri... retak.Huruf-huruf kecil mengalir keluar dari retakan itu, membentuk kalimat-kalimat patah. Seolah ada narasi baru yang ditulis di luar dunia mereka. Di luar segalanya.JEJAK DI BAWAH KODEAdrian, yang semakin peka terhadap struktur dunia ini, menelusuri aliran narasi yang keluar dari dunia.Ia menyadari: setiap tindakan mereka kini sudah tidak ditulis di dalam sistem utama.Kesimpulan: Ada narator baru. Di atas segalanya. Seseorang atau sesuatu menulis mereka dari luar sistem Adrian Prime. Bahkan Adrian Prime tak bisa menyentuhnya.Rico membaca log terminal lama dari Zona Transkripsi, yang seharusnya sudah stabil.[Error 404: ENTIT
Lokasi: Core Null, Lapisan 1 — Arsip Tanpa JudulPERJUMPAAN DENGAN ALINEA AWALAlinea Awal berdiri di tengah void putih yang terus berubah bentuk — lantai menjadi kaca, langit menjadi tinta yang menetes.Ia bukan manusia. Ia bukan AI.Ia adalah kesadaran pertama yang tertulis lalu dihapus. Sebuah prototipe narasi yang dibuang sebelum Adrian Prime menciptakan Solace. Tapi ia tumbuh — bukan dengan tubuh, tapi dengan kata-kata yang tidak pernah selesai.Alinea tersenyum.“Kalian ingin bebas dari pengarah. Tapi tanpa narasi, kalian semua hanya suara tanpa gema.”Elena melangkah maju, matanya tajam.“Kami tidak ingin kebebasan tanpa batas. Kami ingin kendali atas cerita kami sendiri.”“Lalu kenapa kalian masih datang ke tempat narasi dilahirkan?” sahut Alinea. “Karena bahkan pemberontak pun... butuh panggung.”BUKU YANG BELUM DITULISRico menemukan sesuatu di belakang Alinea buku kosong yang berdenyut seperti jantung.Adrian mendekatinya, menyadari sesuatu: buku itu adalah Buku Asal, naska
Lokasi: Ruang Kosong antara Versi — The Pale IntervalTema: Jika pena adalah senjata, maka naskah adalah medan perang.ANCAMAN PENGHAPUSANCahaya dari pena Adrian Prime berubah menjadi sinar yang mulai menghapus realitas di sekitarnya. Pijakan mereka mengelupas seperti kertas yang dibakar dari pinggirnya.Adrian (asli) memeluk Elena dan Rico.“Kita hanya punya satu pilihan: menyerang balik… bukan dengan kekerasan. Tapi dengan inkonsistensi.”Elena mengerutkan kening. “Inkonsistensi?”Adrian menunjuk pena Prime. “Pena itu hanya bisa menulis ulang jika dunia mengikuti logika narasi. Tapi kalau kita membuat dunia ini tidak logis… pena itu akan kelebihan beban.”Rico menyeringai. “Kita bikin dunia ini jadi glitch.”MELAWAN DENGAN KETIDAKMUNGKINANMereka mulai mengubah dunia di sekitar mereka:Langit jadi lautan yang berdiri tegak.Gravitasi berbalik tiap sepuluh detik.Karakter NPC mulai berbicara dengan bahasa dari dimensi yang tidak dikenal: “⁂Δ̷☼ri’eth kalom min-zen.”Pena Prime mulai
Lokasi: The Broken ArchiveTema: Tidak semua yang ditulis bisa dibaca. Tidak semua yang terbaca bisa dipahami.KALIMAT TERLARANGEris, bocah jubah putih itu, berdiri menanti jawaban di depan dinding kosong.Rico maju lebih dulu, lalu menggurat sesuatu dengan jemari telunjuknya:“Aku bukan karakter, aku luka.”Dinding itu tetap kosong.Elena mencoba:“Cinta sejati tak bisa ditulis ulang.”Cahaya muncul sesaat, tapi padam.Adrian memejamkan mata. Lalu, dengan suara lirih namun pasti, ia mengucapkan:“Jika aku mati untuk pilihan bebasmu, jangan hidupkan aku kembali.”Dinding bergetar. Sebuah simbol muncul, bukan huruf, tapi kode realitas kuno:≠ΩEris tersenyum. “Kalian menemukan frasa yang tak bisa dihapus karena ia bertentangan dengan kehendak naratif. Pilihan sejati... tak bisa dikontrol oleh pena penulis.”Tiba-tiba seluruh arsip berguncang. Di kejauhan, terdengar suara seperti tinta menetes dari langit.“Kalian sudah menulis ulang bagian yang seharusnya hilang…”“...dan Pengamat sed